Recent Posts

Rabu, 05 Oktober 2011

0 komentar

KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU

PENDAHULUAN

Banyak sekali nubuatan kedatangan Nabi Suci Muhammad juga terdapat dalam kitab-kitab suci agama Hindu. Ada tiga bagian dari kitab-kitab ini – Weda, Upanishad dan Purana. Brahmana itu tiada lain adalah suatu tafsir dari Weda, tetapi ini tetap dimasukkan dalam kitab yang diwahyukan (Shruti). Ada empat bagian pokok dalam Weda, meskipun menurut jumlahnya, mereka berjumlah tak kurang dari 1311.(1) Dari situ hanya kira-kira duabelas yang bisa didapat. Rig Weda, Yajur Weda dan Sama Weda, dianggap sebagai kittab yang lebih kuno, Rig Weda adalah yang tertua. Rig Weda dikumpulkan dalam tiga masa yang panjang dan berbeda. (2) Menurut Manu, yang disebut di atas adalah tiga Weda yang tua.(3) Yang juga dikenal sebagai ‘Trai Vidya’ atau Ketiga Ilmu. Yang keempat, Atharwa Weda, adalah yang bertanggal belakangan. Besar selisih pendapat tentang masa pengumpulan atau wahyu dari empat Weda itu. Kaum Orientalis Eropa, betapapun, sedikit banyak sepakat dalam riset mereka; tetapi ada jurang perbedaan yang tak terjembatani antara macam-macam sekte dan pakar Hindu. Seorang cendikiawan memegang pendapat bahwa Weda diwahyukan seribu tigaratus dan sepuluh ribu tahun yang lalu,(4) dan menurut yang lain ini usianya tak lebih dari empat ribu tahun.(5) Begitu pula, suatu perbedaan besar terdapat dalam berbagai peristiwa tentang tempat dimana kitab ini diwahyukan dan Rishi (nabi) kepada siapa kitab suci ini diberikan. Dengan mengabaikan perbedaan ini, Weda adalah kitab suci yang paling otentik dari umat Hindu dan dasar yang sesungguhnya dari Hindu Dharma.

Susunan selanjutnya dalam keunggulan dan otentisitasnya sesudah Weda adalah Upanishad. Namun, beberapa Pandit menganggap Upanishad ini lebih unggul dari Weda.(6) Umat Hindu bangga dengan perjanjian filosofis ini; dan begitu pula dalam Upanishad, kita temukan pengakuan akan keunggulannya terhadap Weda.(7)

Kitab otentik selanjutnya sesudah Upanishad dan yang paling luas dibaca oleh semuanya yakni Purana. Kitab ini mudah diterima akal dan mudah didapat di mana-mana, sedangkan Weda adalah sulit difahami dan jarang didapati. Umat Hindu menunjukkan penghormatan yang tinggi atas kitab-kitab ini dan membacanya dengan penuh perhatian dan keyakinan. Purana terdiri dari sejarah penciptaan alam semesta ini, sejarah awal dari bangsa Arya, kisah kehidupan dari dewa dan dewi dalam agama Hindu. Maharshi Vyasa telah membagi kitab ini kedalam bagian delapan belas jilid. Mayoritas umat Hindu percaya bahwa Weda juga membuktikan kebenaran Purana, yang menunjukkan bahwa Purana itu lebih otentik dan lebih kuno. Dalam Atharwa Weda kita ketemukan: “Ayat-ayat dan lagu-lagu serta hymne magis, Purana, teks yang suci – Semuanya berhubungan dengan Tuhan Yang rumahNya di langit, yang bangkit dari sisa” (8) Lagi kita dapati: “Dia pergi ke wilayah yang besar. Itihasa dan Purana dan gatha dan Narashansi mengikutinya” (9) Begitu pula, dalam Rig Weda disebutkan tentang Purana: “Demikianlah dengan ilmu ini (dari) Puran Yajua bapak-bapak kita bangkit menjadi Rishi” (10), Suatu rujukan kepada Purana juga diketemukan dalam Chhandogya Upanishad.(11)

Semua referensi ini, menunjukkan bahwa Purana adalah juga kitab wahyu seperti Weda, dan dipandang dalam masa pewahyuannya, entah mereka diwahyukan bersamaan waktunya dengan Weda ataukah beberapa masa sebelumnya. Dengan sepatah kata, kesucian dan penghormatan kepada Purana diakui dan dikenal dalam semua kitab otentik dari agama Hindu. Tetapi di samping semuanya ini, kini beberapa Pandit mulai menolak kumpulan ini hanya karena mereka menemukan di dalamnya banyak sekali ramalan dan tanda bukti yang kuat atas kebenaran dari Nabi Muhammad. Bukannya beriman kepada Nabi dan dengan demikian menaati para Rishi mereka yang agung dan suci, dan menyadari kebenaran akan apa yang mereka katakan, para pandit ini berfikir yang terbaik adalah menolak seluruhnya kepercayaan apa yang terkandung dalam Purana. Tetapi Weda dengan jelas telah membuktikan kebenaran Purana dan dicatat bahwa karena Weda itu diwahyukan dari Tuhan, dengan cara yang sama, Purana juga telah diwahyukan oleh-Nya. Betapa pun, terkadang mereka berkilah bahwa Purana kini tidak sama dengan koleksi yang disebutkan Weda, kitab-kitabnya yang asli telah hilang. Namun keberatan ini tidak tepat. Adalah mustahil dan jauh dari kebenaran bila seluruh Purana itu yang begitu luas dibaca dan dipelajari dengan cermat, bisa jatuh dalam pengabaian dan terhapus total dari muka bumi, dan Weda, yang hanya bisa dibaca serta difahami oleh sedikit orang malah tetap tak tersentuh hingga saat ini. Dikatakan selanjutnya bahwa nubuatan ini ditambahkan ke dalam Purana pada hari belakangan. Namun inipun satu argumen yang tak berdasar. Kitab termasyhur semacam itu, yang mempunyai peredaran sangat luas, dan juga dibaca pada saat-saat tertentu dalam sembahyang, (12) mustahil dikacaukan. Melihat ramalan yang jelas mengenai Nabi bangsa Arab dalam kitab-kitab mereka, para Pandit mulai berteriak bahwa Purana itu dirusak. Selanjutnya, adalah omong kosong untuk mengira bahwa semua Pandit serta wali cerdas dari umat Hindu bisa berkumpul di suatu tempat lalu menambahkan nubuatan ini dalam Purana. Pada saat yang sama, terdapat begitu banyak sekte di kalangan Brahman dan masing-masing sekte sangat menentang sekte lainnya, maka adalah mustahil buat mereka untuk bersetuju trhadap perubahan semacam itu. Setiap copy Purana bisa diketemukan nyaris di setiap rumah seorang Brahman, dan adalah sungguh aneh  bahwa selama ini dunia belum pernah menemukan suatu koleksi yang tanpa ramalan ini. Dan hal yang paling menggelikan adalah bahwa perusakan ini demi keuntungan Nabi Muhammad dan untuk melawan agama mereka. Mungkin saja menambahkan sesuatu terhadap nubuatan ini atau merubah teksnya, tetapi adalah naif untuk beranggapan bahwa para Pandit Hindu menambahkan sesuatu yang bertentangan dengan agama dan keyakinan mereka sendiri. Jadi, kita menghimbau saudara-saudara kita umat Hindu untuk memberikan pertimbangan serius terhadap pertanyaan ini. Setiap kata Nubuatan dalam Purana adalah asli dan diwahyukan oleh Tuhan seperti yang di Weda; dengan membacanya akan membawa keselamatan dan rahmat baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, biarkanlah mereka, mengkaji dengan cermat, dalam kitab suci mereka sendiri, keagungan Nabi Muhammad dan semoga mereka mengumumkan keimanannya kepada beliau.

NUBUATAN TENTANG NABI SUCI MUHAMMAD DALAM KITAB-KITAB SUCI HINDU

PENGHORMATAN MAHARESI WIYASA KEPADA NABI

Umat Hindu telah sangat terkenal dalam pemujaan terhadap pahlawan. Karakter mereka yang mencolok ini, sebagai suatu fakta nyata, membentuk bagian dari agama mereka. Maharesi Wiyasa sangat dihormati di kalangan Hindu sebagai seorang resi yang agung dan seorang suci yang cerdas. Dia sangat salih, takwa dan orang yang berhati bersih. Dialah orang yang mengatur Weda di bawah bermacam-macam judul. Dia juga menulis suatu buku berharga tentang kesufian. Gita dan Mahabharata adalah juga hasil dari penanya yang piawai. Tetapi kompilasinya yang terbesar adalah delapan belas jilid Purana. Induk dari Purana adalah suatu kitab yang dikenal sebagai ‘Bhavishya Purana’, dimana Maharesi membuat suatu penelitian yang menakjubkan tentang peristiwa yang akan datang. Ini disebut Bhavishya Purana karena ini memberikan pencatatan secara kronologis kejadian mendatang. Kaum Hindu menganggapnya sebagai Karya Ilahi seperti halnya Weda. Maharesi Wiyasa hanya sekedar mengumpulkan kitab itu, pengarang sebenarnya adalah Tuhan Sendiri. Copy dari Bhavishya Purana, dari mana kami mengutip ramalan berikut, dicetak oleh Venkteshwar Press di Bombay.

Berikut ini adalah terjemahan bahasa Inggris dari kata-kata nubuatan itu.

“Seorang malechha (orang dari negeri asing dan berbicara bahasa asing), seorang guru ruhani akan muncul bersama para sahabatnya. Namanya adalah Muhammad Raja (Bhoj) setelah memberikan ini Mahadewi Arab (yang berkedudukan malaikat) suatu permandian di “Panchgavya” dan sungai Gangga, (yakni menyucikan dia dari segala dosa) setelah memberikan dia kehadirannya yang sepenuh pengabdian dan menunjukkan segenap penghormatan, berkata ‘Saya taat kepadamu’.’Wahai engkau! kebanggaan kemanusiaan, penghuni gurun Arabia, engkau telah mengumpulkan kekuatan yang besar untuk membunuh Iblis dan engkau sendiri telah dilindungi dari musuh-musuh Malechha’ ‘Wahai engkau! bayangan dari Tuhan Yang Maha-suci, Tuhan Yang Maha-besar, akulah budakmu, ambillah aku sebagai orang yang bersimpuh di kakimu” (13).

Dalam tulisan pujaan kepada Nabi Suci, Maharesi Wiyasa telah mengurutkan hal-hal berikut ini:

Nama Nabi itu jelas dinyatakan sebagai Muhammad.
Dia dikatakan termasuk bangsa Arab. Kata Sanskrit marusthal digunakan dalam ramalan berarti suatu bidang tanah berpasir atau suatu gurun pasir.
Penyebutan khusus diadakan bagi para sahabat Nabi. Sulit diketemukan satu Nabi lain di dunia yang mempunyai sejumlah besar sahabat yang semuanya mirip beliau.
Dia akan kebal dari dosa, mempunyai kekuatan malaikat.
Raja India akan menunjukkan penghormatan kepadanya dengan sepenuh hatinya.
Nabi akan mendapatkan perlindungan terhadap musuh-musuhnya.
Dia akan membunuh iblis, mencabut sampai akar-akarnya penyembahan berhala dan akan menyingkirkan segala jenis kejahatan.
Dia akan menjadi bayangan dari Tuhan Yang Maha-kuasa.
Maharesi menyatakan akan bersimpuh di kakinya.
Beliau dipandang sebagai kebanggaan umat manusia (Parbatis Nath).

Nubuatan ini sungguh terang benderang bak di tengah hari, tak ada sedikitpun bayangan keraguan bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad. Namun, beberapa orang menyatakan keberatan bahwa Raja yang disebutkan dalam ramalan ini bernama Bhoj yang hidup pada abad 11M dan adalah keturunan dalam generasi kesepuluh dari raja Shaliwahin. Jadi, raja Bhoj datang ke dunia limaratus tahun sesudah kedatangan Nabi . Tetapi nama dalam nubuat, seperti telah kita nyatakan sebelumnya, tidak berarti banyak.
Nama juga diberikan sebagai ramalan dan seringkali nama ini harus diberi tafsiran. Selanjutnya, tidak hanya satu Raja yang bernama Bhoj, sebagaimana dalam kerajaan Mesir dikenal nama Fir’aun dan raja-raja Roma disebut Caesar. Begitu pula, Raja India diberi gelar Bhoj. Beberapa raja yang hidup sebelum Raja Bhoj mempunyai nama raja yang sama. Kita temukan sebutan Raja Bhoj di kitab Sanskrit kuno “Aitreya Brahmana”. Begitu pula, Panini, yang adalah ahli tata-bahasa sanskrit terkenal dan hidup lama sebelum Islam, juga merujuk nama Bhoj, kota-kotanya dan keturunannya. – Disamping itu, nubuatan ini jelas memberi nama nabi itu sebagai Muhammad yang menunjukkan bahwa ini tak bisa diterapkan kepada orang lain kecuali Nabi Islam.

Hal lain yang perlu penjelasan, adalah, bahwa Nabi mandi di ‘Panchgavya’ dan air sungai Gangga. Jelas ini tidak benar-benar terjadi, karena ini hanyalah rukyah; maka kita beri tafsiran bahwa Nabi akan disucikan dan dibuat kebal terhadap segala macam dosa. Air ini dianggap sangat suci dan murni dan mereka membasuh manusia hingga bebas dari dosa, seperti halnya sungai Yordan dianggap suci oleh umat Kristiani dan Zamzam bagi kaum Muslim.

Jadi, kita telah menyaksikan apa yang Brahmaji (Tuhan) wahyukan dan apa yang dikatakan Wiyasaji kepada dunia. Maharesi telah menganggap Nabi Suci itu mutlak saleh dan tanpa dosa serta menunjukkan kesetiaan dan penghormatan yang tulus kepadanya dan ingin bersimpuh di kakinya. Tidakkah selayaknya kita menghimbau, dalam cahaya fakta-fakta di atas, kepada saudara-saudara kita umat Hindu, yang percaya kepada Kitab-kitab Suci Ilahi dan mendewakan pemimpin agama mereka, untuk merenungkan apa yang dikatakan oleh Maharesi Wiyasa tentang Nabi dan beriman kepada Nabi untuk menaati perintah Brahma dan memenuhi hasrat yang menyala di hati Maharesi!


NUBUAT LAIN YANG JELAS DARI WIASAJI

Dalam kelanjutan dari kutipan yang sama dari Bhavishya Puran yang telah kita berikan di atas, kami masih bisa menemukan suatu ramalan yang jelas dalam Shloka 10-27. Maharesi Wiyasa telah menandai Nabi Suci sebagai berikut:

“Malechhas telah merusakkan tanah Arab yang terkenal. Arya Dharma tidak diketemukan di negeri itu. Sebelumnya juga telah muncul satu setan yang sesat yang telah Aku bunuh; dia sekarang muncul lagi dikirim oleh musuh yang penuh kuasa. Untuk menunjukkan kepada para musuh ini jalan yang benar dan memberi mereka petunjuk, maka Mahammad (Muhammad) yang tenar, yang telah Aku beri kata-kata Brahma, sibuk membawa ‘Pishachas’ (mereka yang sesat) ke jalan yang benar. Wahai Raja! Engkau tak perlu pergi ke tanah jahiliyah Pishachas, engkau akan disucikan melalui kebaikanku bahkan dimanapun engkau berada. Pada waktu malam, dia yang berkekuatan malaikat, lelaki yang berselimut, dalam kostum seorang Pishacha  berkata kepada raja Bhoj: “Wahai raja! Arya Dharmamu telah dibuat mengungguli segala agama, tetapi sesuai dengan perintah Ishwar Parmatma, aku akan menekankan dengan kuat kredo pemakan daging. Pengikutku adalah lelaki yang bersunat, tanpa kuncir (di kepalanya), memelihara jenggot, menciptakan revolusi, mengalunkan Adhan (seruan untuk salat) dan akan memakan semua makanan yang halal. Dia akan makan segala jenis binatang kecuali babi. Mereka tidak mencari penyucian melalui semak yang suci, melainkan akan disucikan dengan peperangan. Dalam peperangan mereka melawan bangsa-bangsa yang tak beragama, mereka akan dikenal sebagai muslimin. Aku akan menjadi pencetus dari agama kaum pemakan-daging ini”.

Dalam nubuatan ini Wiyasaji telah mengurutkan banyak sekali tanda-tanda atas kedatangan Nabi Suci Muhammad s.a.w. Yang menonjol diantaranya adalah sebagai berikiut:

Tanah Arab telah dirusak oleh pembuat kejahatan.
Arya Dharma tidak diketemukan di tanah itu.
Musuh-musuhnya yang sekarang akan musnah seperti halnya musuhnya yang terdahulu (Abrahah) dan lain-lainnya telah binasa.
Demi membimbing para lawannya ini kepada kebenaran, Muhammad telah diberi Tuhan kata-kata
‘Brahma’, dan dia sibuk membangun bangsanya.
Raja India takut pergi ke tanah Arab. Karenanya, penyuciannya akan terjadi di sini di India, ketika kaum muslimin tiba di sini.
Nabi yang akan datang itu akan membuktikan kebenaran dari kepercayaan Arya dan akan memperbaharui umat yang sesat ini.
Para pengikut Nabi akan bersunat, memelihara jenggot, tidak memakai kuncir (di kepalanya), dan pemimpin mereka akan menciptakan revolusi besar.
Tidak ada rahasia dalam agamanya dan panggilan salat akan diserukan dari menara setiap masjid.
Daging babi diharamkan bagi mereka, sisa binatang yang lain yang bisa dimakan halal baginya.
Umat Hindu menggunakan semacam rumput untuk bersuci, tetapi umat ini akan disucikan dengan sarana pedang.
Mereka akan dikenal sebagai muslimin karena peperangan mereka melawan orang-orang yang tidak beragama.
Dan agama para pemakan daging ini akan menjadi suatu kultus Ilahi.

Dikisahkan dalam ramalan ini bahwa Nabi Suci akan membuktikan kebenaran  dari kepercayaan Arya  dan juga bahwa Aryan Dharma akan unggul di atas semua agama. Suatu pertanyaan timbul di sini bahwa bila Arya Dharma menjadi yang terbaik dari semua keyakinan dan unggul di atas agama yang lain, maka apa perlunya untuk memberi dunia ini keimanan yang baru yakni Islam? Namun jawabannya adalah bahwa agama Arya, pada saat dia diwahyukan, tentulah yang terbaik bagi bangsa Arya dan menjadi unggul di atas segala agama. Tetapi lama kelamaan dia menjadi rusak dan karenanya Islam diperlukan. Maharesi Wiyasa sendiri telah menggambarkan keadaan agama ini pada saat munculnya Nabi. Dia telah memberikan gambaran sebenarnya tentang apa yang disebut ‘malechha dharma’ (Islam) dan keimanan Arya. Katanya:

“Kerusakan dan penganiayaan adalah tatanan hari itu di tujuh kota suci Kashi, dan sebagainya. India dihuni oleh Raksasa, Shabar, Bhil dan orang-orang jahil lainnya. Di tanah ‘malechhas’, para pengikut ‘malechhas dharma’ (Islam) adalah orang-orang yang bijak dan berani. Semua sifat yang luhur ini terdapat pada kaum muslimin dan segala jenis kejahatan telah berkumpul di tanah Arya. Islam akan memerintah India dan kepulauannya. Mengetahui kenyataan ini, wahai Muni, terpujilah nama Tuhan”. (14)

Dalam Seloka di atas kata ‘malechha’ telah digunakan lagi dan lagi. Jelas bahwa kata ini digunakan dengan arti yang kurang baik, tetapi Maharesi Wiyasa telah menggunakannya dengan pengertian yang agaknya berbeda.Dia sendiri mendefinisikan kata itu sebagai “Seorang dengan amalan yang baik, tajam akal fikirannya, tinggi keruhaniannya, menunjukkan penghormatan kepada dewa-dewa, dikenal sebagai seorang ‘malechha’ yang bijaksana”.(15)

Jadi, ketika Arya Dharma diredusir menjadi sekedar gerombolan kejahatan dan rusak total serta carut­marut, apakah tidak perlu bahwa beberapa Brahma harus muncul di jazirah Arab untuk mereformasi bangsa Arab dan begitu pula bangsa Arya? Begitulah apa yang sebenarnya terjadi sebagaimana diramalkan oleh Maharesi Wiyasa. Karena itu, hendaklah kaum Arya menaati Resi mereka dan mengagungkan asma Tuhan atas munculnya Nabi  Muhammad Juru Selamat dunia.

NAMA SUCI MUHAMMAD DALAM ALLO ATAU ALLAH UPANISHAD

Kedua pentingnya sesudah Purana, dalam kitab-kitab suci agama Hindu, adalah Upanishad; dan seri kitab­kitab ini begitu pentingnya sehingga kitab-kitab suci ini dianggap sebagai dari ilmu Ilahi; dan atas alasan ini banyak ulama agama Hindu percaya bahwa Upanishad bahkan jauh lebih unggul dari Weda; dan bahwa klaim ini diketemukan dan ada dalam beberapa kitab Upanishad; karena, tema dari Weda itu untuk mendapatkan banyak hujan dan panenan serta melimpah-ruahnya kekayaan dan ternak, tetapi Upanishad membukakan ilmu Ilahi dan mengajarkan bagaimana jiwa manusia itu bisa lebih mendekat kepada Pencipta dan Tuannya. Maka, banyak dari Upanishad disebut Supplemen atau Appendix dari Weda, sedemikian hingga bab 40 dari Yajur Weda diakui disebut sebagai Ish Upanishad. Begitu pula, seluruh Upanishad telah dibagiakn kepada empat Weda, atau mereka disebut Upanishad mereka yang khusus, sehingga bahwa Allo Upanishad adalah Upanishad dari Atharwa Weda. Penyebutan ini telah dilakukan, dari sejak zaman kuno, tidak hanya dalam leksikon sanskrit, melainkan namanya juga ada dalam daftar Upanishad. Selanjutnya, untuk menekankan pentingnya, ini telah diterbitkan dalam bahasa Gujrati dan bahasa lain-lainnya beserta teksnya yang asli, dan penerbitnya tiada lain adalah para Pandit Hindu sendiri Di sini dalam buku ini, kita sajikan suatu reprint fotografis dari Allah Upanishad yang diterbitkan oleh para pandit ini.

Nagendra Nath Vasu, seorang ulama Hindu, telah meng-copy ini dalam bukunya yang berjilid-jilid, Vishwa kosh (Encyclopaedia Indica), jilid II, diterbitkan di Calcutta, dan menyatakan bahwa, dalam Allah Upanishad suatu puji-pujian telah dinyanyikan dan didoakan oleh Parmeshwar; dan Allah adalah nama Parmeshwar atau Brahma. Tetapi dalam Jilid III dari kitab yang sama suatu usaha telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa itu tidak otentik; dan alasan yang diberikan untuk menyokong klaim ini adalah karena setelah membaca Upanishad ini banyak umat Hindu menjadi Muslim, dan bahwa seorang Pandit yang msuk Islam kemudian menyusunnya. Sekarang hal yang perlu dipertimbangkan ialah bahwa bila itu dikompilasi oleh seorang pandit yang menjadi muslim, bagaimana itu bisa masuk ke rumah Hindu di bawah judul Upanishad; dan bagaimana dia bisa berjalan dari Calcutta ke Bengal, ke Aurangabad di Deccan dimana para pendeta Hindu menerbitkannya di bawah judul Upanishad; dan mengapa di Bombay para pandit Hindu menerjemahkannya ke dalam bahasa Gujarati, mencetak dan menerbitkannya? Dan lagi, bagaimana bisa bahwa leksikografer bahasa Sanskrit mempertimbangkan dan menerima kitab yang disusun oleh seorang Muslim menjadi Allah Upanishad dan suatu sukt dari Atharwa Weda? Tetapi argumen yang paling lucu dari semuanya adalah yang disajikan oleh kaum Arya Samaj bahwa sukt ini telah ditambahkan dalam Atharwa Weda, tetapi apakah mereka tidak berfikir bahwa dengan cara ini posisi Weda menjadi meragukan dan tak bisa dipercaya. Bila kompilasi seorang Muslim bisa mendapat tempat di Weda, apa lagi yang bisa diselipkan ke dalamnya oleh para pandit Hindu; dan kehadiran Weda sebagai kitab suci, dengan banyaknya campuran beracun seperti ini, akan menjadi teracuni dan mati.

Tetapi pertanyaannya adalah; Apakah semua MSS dari Weda dalam pengawasan seorang pandit yang memeluk Islam secara diam-diam, dan tidak menyatakan diri bahwa dia telah menjadi Muslim, dan merusak Weda; dan kemudian semua pandit yang lain, mengambil seluruh MSS dalam Weda darinya, membagikannya ke seluruh India, dan kemudian karenanya tipuan dan kejahatan mistis dari seorang pandit-mualaf ini, dengan cara demikian, tersebar kemana-mana dan menyihir seluruh negeri? Dan bila tidak demikian, maka tak diragukan lagi ini adalah mukjizat yang unik bahwa tak ada MS dari Atharwa Weda yang muncul dari rumah seorang pandit-pun yang tanpa Allah Sukt, dan bahwa seorang yang baru masuk Islam, berkeliling negeri dan masuk ke rumah pandit di Bengal, Aurangabad (Deccan) dan Bombay, untuk menyelipkan Allah Upanishad dalam kitab suci mereka, dan tak seorangpun tahu bahwa Weda yang tersimpan di rumahnya, telah dirusak dan dicemari dalam semalam, dan bahwa interpolasi itu, sedemikian berbahayanya sehingga mengandung di dalamnya Kalimah Syahadah kaum Muslimin, serta nama Muhammad, dan penyebutan asma-asma Allah; dan ada lagi keajaiban yang mengherankan terjadi atas mukjizat ini bahwa semua orang Hindu mulai melihat dan mempertimbangkan kompilasi dari seorang Muslim ini sebagai benar-benar Upanishad ; yakni, ilmu Ilahi dan suatu kitab yang jauh lebih unggul daripada Weda, dan para leksikografer dari bahasa Sanskrit, karena percaya bahwa ini adalah benar-benar Upanishad, telah memperbanyak dalam kepustakaan mereka, dan menggambarkan bahwa di dalamnya berisi asma Allah dan penyebutan sifat-sifat-Nya, dan bahwa pujian serta pujaan dari Parmeshwar dilagukan di dalamnya, adalah begitu berbeda dengan Weda, sangat masuk akal dan cocok. Mengulas dari mulut seorang pandit Hindu, demi kompilasi seorang Muslim, kebanggaan dan penonjolan bahwa itu adalah kata-kata Ishwar, sungguh sebuah keajaiban di atas keajaiban. Dan masih ada lagi keanehan besar yaitu dimana pengarang Muslim dari Allah Upanishad yang telah menjadi Muslim, setelah menyusun sendiri kitab ini, tidak memberikan pengetahuannya kepada seorang Muslim lainnya, bahkan tidak menyatakan namanya; bahwa disamping kepada Pandit Hindu, suatu manuskrip atau terjemahnya pasti muncul dari rumah seorang Muslim.

Mendengar pernyataan bodoh dari orang-orang yang kurang akal semacam ini tentulah saya terkejut dengan heran dan sedih; tetapi suatu pemikiran, pada waktu yang sama, melintas di kepala yang barangkali, beberapa pandit yang sedang didera kemiskinan atau tak punya uang, untuk mendapatkan penghormatan dan kehormatan di kalangan kaum Muslimin, telah melakukan hal semacam ini. Tetapi apa yang telah menarik dan memikat Raja Radha Kant Bahadur, penyusun kitab Shabd Kalpadram yang kaya dan makmur, untuk menulis dalam kamusnya bahwa Upanishad ini adalah Upanishad daro Atharwa Weda? Dan bagaimana bisa pengarang Wachasptya, suatu leksikon yang sangat kuno dalam bahasa sanskrit, telah menyebutkan Allah Sukt di dalam kitab ini lama sebelum kaum Muslimin datang ke India? Dan Pandit Bhagwat Dutta, ulama peneliti dari Arya Samaj, kepada siapa mereka menaruh kebanggaan yang besar, terpaksa harus mengakui, mengenai Allah Sukt ini, bahwa teks Atharwa Weda telah tercampur dan rusak; yang berarti bahwa hidung mereka boleh ada atau boleh tiada di wajahnya, tetapi mereka tak akan mengizinkan seekor lalat duduk di sana; mengakui adanya interpolasi dalam Atharwa Weda itu sungguh suatu hal yang jauh lebih berbahaya dan mematikan daripada menerima kehadiran Allah Upanishad di dalamnya. Musuh-musuh Weda Dharma ini tidak menyadari, bahwa bila Weda itu kitab yang begitu tidak aman dan tidak cermat dimana seseorang bisa mengolah teksnya sesuai dengan yang dia mau, maka klaim mereka bahwa itu wahyu dan ilmu Ilahi akan menjadi meragukan dan tak bisa diterima.

Manuskrip dari Allo Upanishad, yang diterbitkan di Aurangabad (Deccan), dalam Shabd Kalpadramnya Raja Radha Kant Bahadur dan di Bombay bersamaan dengan terjemah Gujarati, tidaklah diambil keluar dari rumah seorang  Muslim, tetapi tulisan tangan MSS yang kuno itu menghias lemari buku perpustakaan para pandit Hindu yang memperlakukan kitab-kitab suci ini lebih berharga daripada jiwa mereka sendiri, di jaga dengan sepenuh hati dan dirawat selama ribuan tahun , dan yang mengabaikannya bahkan disentuhnya kitab-kitab suci ini oleh seorang Muslim adalah suatu dosa besar. Bagi seseorang yang memutuskan untuk tidak menerima kebenaran betapa besar dan jayanya hal itu, maka tak akan ada obatnya, tak akan ada penyembuhannya. Tetapi seorang yang sehat akalnya dapat menerima kemungkinan bahwa para pendeta Hindu, ketika menerbitkan kitab-kitab ini, boleh jadi, akibat bias keagamaan mereka, telah merubah teks, atau membuat suatu ikhtiar, dengan cara yang kacau, yang membuat kitab ini tidak masuk akal dan kabur; tetapi ide bahwa mereka telah menyelipkan sesuatu yang diluar keyakinan mereka, adalah jelas naif dan bodoh.

Tepat seperti disebutkan dalam Bhavishya Purana mengenai nama Nabi Suci, negeri dan umatnya, dan suatu pujian telah dinyanyikan bagi para pengikutnya,….. …dan agamanya telah disebut sebagai agama yang didirikan oleh Tuhan Yang Maha-tinggi, dengan cara yang sama, dalam kitab suci kecil ini, yakni Allo Upanishad, Kalimah suci Islam telah disebutkan dua kali, dan juga nama Nabi Suci, dan suatu tekanan telah diletakkan dalam membaca rumus Keesaan Ilahi ini. Kita telah menerbitkan dalam buku ini suatu copy fotografis dari Upanishad ini, bersama dengan terjemahnya secara harfiah bagi para pencinta kebenaran, dan para pencari kebenaran, serta kepada saudara-saudaraku umat Hindu, argumennya mungkin telah final dan lengkap, dan mereka silahkan mereposisi keyakinannya dan beriman kepada Nabi Suci Muhammad s.a.w.,sesuai dengan perintah langsung dari para Resi mereka; karena ajaran Nabi yang luhur telah membebaskan dan melepaskan dari segala kejahatan kasta yang tak boleh disentuh dalam agama Hindu dan perbedaan kasta yang menimbulkan kebencian dan sebagainya; sehingga mereka bisa, setelah diperkaya dengan khazanah Keesaan Ilahi yang murni dan sempurna, yakni beriman hanya kepada Tuhan Yang Sejati saja, dan dengan asma-asma-Nya sebagaimana dinyatakan dalam Allo Upanishad, dan menempatkan dirinya bebas dari menyekutukannya dengan meneyembah pepohonan dan bebatuan, hewan dan makhluk manusia, serta menapakkan kakinya di Jalan Kebenaran, jalan keselamatan dan kebebasan di dunia maupun di Akhirat.

Berikut ini adalah terjemahan sederhana dan harfiah dari Allo Upanishad.

Nama Dzat itu ialah Allah. Dia adalah Esa. Mitra, Baruna dan sebagainya adalah asma-asma-Nya; dan Allah sesungguhnya adalah Baruna yang menjadi raja segenap dunia. Wahai teman, lihatlah dan anggaplah Allah seperti itu sebagai Dewamu. Dia adalah Baruna dan menyukai teman-teman, meletakkan kebenaran amal semua orang.
Dia adalah Indra. Indra yang perkasa. Allah adalah yang terbesar dari segalanya, yang terbaik, yang paling sempurna, dan yang paling suci dari semuanya.
Muhammad, Utusan Allah adalah Utusan terbesar dari Allah. Allah adalah Alfa, dan Allah adalah Omega, dan Allah adalah Pemelihara dari seluruh dunia.
Bagi Allah adalah semua perbuatan mulia. Allah, sesungguhnya, telah menciptakan matahari, rembulan dan bintang-gemintang.
Allah telah mengirim semua Resi, dan menciptakan matahari, rembulan dan bintang. Allah mengirim
seluruh Resi, dan menciptakan langit.
Allah adalah Yang Menampakkan bumi dan langit. Allah adalah Yang Maha-besar, dan tiada Tuhan kecuali Dia. Katakan, engkau menyembah (Atharwa Resi) ‘La-ilaha-illa-Allah’.
Allah adalah yang awal. Dia adalah Pemelihara dari semua burung dan binatang buas serta binatang yang hidup di laut, dan mereka yang tidak kelihatan di mata. Dia adalah Yang Menyingkirkan semua kejahatan dan bencana.
Muhammad adalah Rasulullah, pangeran dari ciptaan ini. Karena itu, mendeklarasikan: “Allah adalah Esa, dan tak ada tuhan lain kecuali Dia”.

Jelas dari teks Allah Upanishad ini bahwa, seperti telah ditulis oleh Nagendra Nath Vasu dalam Encyclopaedia India, “bahwa dalam Upanishad ini ada disebutkan Keesaan Allah (Parmeshwar) dan asma­asma Ilahi, dan fakta bahwa keindahan dan kemurahan-Nya dimana tak ada seorang beragama yang sehat akalnya dapat menaruh keberatan sedikitpun. “Dan kerasulan Muhammad itu disebutkan dua kali”.


NUBUATAN DALAM ATHARWA WEDA

Atharwa Weda memiliki kedudukan yang menonjol dari keempat Weda karena dikenal sebagai Brahma Weda atau Ilmu Ilahi. Ini adalah kumpulan dari segala jenis mantera. Ini berisi Richas (syair pujian) dari jenis Rig Weda, komposisi literer dari jenis Sama Weda dan juga rincian sembahyang sebagaimana diketemukan dalam Yajur Weda. Jadi ini terdiri dari segala macam mantera yang terdapat dalam Weda yang berbeda-beda. Di samping itu, ini berisi mantera yang memberi rincian bagaimana seseorang itu bisa mengatasi sakit parah, bagaimana kemenangan bisa dicapai dalam peperangan dan gambaran tentang surga dan neraka. Inilah sebabnya mengapa ini digambarkan secara khusus dalam Mundak Upanishad, sebagai Brahma Widya atau Ilmu Ilahi.

Penggalian modern di Mesir dan Babylonia tidak saja membuktikan bahwa sumber sejati dari Alkitab, adalah Tabut Babylonia, melainkan juga membuktikan, sesuai dengan peristiwa internal dalam Weda, bahwa Kitab Weda itu terutama juga meminjam masalah yang menjadi bahasannya dari kitab suci Babylonia. Dr. Pran Nath, seorang guru besar dari Universitas Hindu Benares, menyumbangkan suatu makalah berharga dalam kaitannya dengan Alkitab, Weda dan Mesir, dalam Times of India bulan Juli dan Agustus 1935. Dia telah menunjukkan dalam artikelnya bahwa telah disebutkan dalam Rig Weda tentang Raja-raja Mesir dan Babylonia serta peperangan mereka. Dia juga telah memperlihatkan bahwa seperlima dari Rig Weda itu berasal dari kitab suci Babylonia. Diterangi cahaya penelitian ini, adalah sulit, mungkin juga salah, menyatakan bahwa Atharwa Weda adalah salinan yang persis sama dengan Kitab Nabi Ibrahim atau Brahma sebagai yang dipercayai oleh beberapa pandit.

Kuntap Sukt dalam Atharwa Weda

Dalam kitab ke duapuluh dari Atharwa Weda, beberapa Sukta (bab 127-136) dikenal sebagai Kuntap Sukt. Ini diulang-ulang setiap tahun dalam majelis besar dimana sembahyang diucapkan dan pengorbanan diserahkan. Tujuhbelas pandit ulama besar duduk setiap tahun mengulang mantera ini dengan pengabdian besar. Ini menunjukkan bahwa umat Hindu dianjurkan dengan kuat agar mengingat mantera ini (Aitreya Brahmana 6:32).

Menurut penggelaran dari para mufasir, Kuntap Sukt pertama itu terdiri dari empat subyek yang berbeda yang dikenal sebagai Narashansi, Raibhi, Parikshiti dan Karavya. Betapa pun, pembagian ini hanya dibuat berdasarkan beberapa kata yang ada di dalamnya, jika tidak, ini adalah asma dari satu atau individu yang sama, seperti yang akan kita perjelas dalam terjemah dari mantera ini.

Kata Kuntap berarti ‘konsumer dari kesusahan dan kesulitan’. Suatu kumpulan dari semua mantera ini dimana disebutkan seseorang yang mengobati kesusahan dunia ini disebut Kuntap Sukt. Risalah Islamiyah dan ajaran Nabi Suci Muhammad adalah rahmat bagi kemanusiaan dan satu-satunya obat bagi kejahatan serta kebrengsekan dunia. Karena itu, Kuntap Sukt secara mudah dapat ditafsirkan sebagai ‘Islam’ atau ‘risalah perdamaian dan keamanan’.

Kuntap Sukt adalah bagian yang terkenal dari Atharwa Weda (20:127-136). Kata Kuntap juga berarti ‘cairan yang tersembunyi dalam lambung’. (Shatpath Brahman 12:3-4-12). Dan mantera ini diberi nama itu, mungkin karena, makna yang sebenarnya itu tersembunyi dan akan diungkapkan pada suatu abad mendatang. Arti yang sebenarnya itu berhubungan dengan pusar yang menunjukkan titik tengah dari bumi ini. Mekkah disebut Ummul Qura (ibu dari kota-kota) atau pusar bumi, dalam banyak kitab wahyu. Rumah pertama dari ibadah kepada Ilahi, dimana Tuhan Yang-esa dipuja dan dari mana pemeliharaan ruhani diberikan kepada dunia ini hanyalah di Mekkah; sebagaimana Quran Suci berkata:

 “Sesungguhnya rumah permulaan yang ditetapkan bagi manusia ialah Rumah yang ada di Bakkah, yang diberkahi dan pimpinan bagi sekalian bangsa” (Q.S. 3:95).

Al-Quran memberikan dua nama kepada Mekkah yakni Bakkah dan yang satunya lagi adalah Mekkah. Bakkah berarti perut dan ‘Mekkah’ berarti payudara. Organ yang sama yang memberi makan anak di dalam perut, merubahnya menjadi susu dan datang ke payudara ibu, ketika anak itu dilahirkan. Sepanjang pemeliharaan anak itu di dalam perut maka ada beberapa cairan tersembunyi dan suatu rahasia bagi dunia, tetapi seketika cairan itu masuk ke payudara, maka itu menjadi “susu murni, yang sedap bagi orang yang minum” (Q.S. 16:66). Jadi Kuntap (cairan yang tersembunyi dalam perut) berarti Bakka – tempat pertama yang memberikan pemeliharaan pertama kepada umat manusia dan ketika manusia bisa melewati tingkat perkembangan yang diperlukan ini, cairan tersembunyi yang sama berubah menjadi susu segar di dalam payudara, dan sekarang untuk selamanya umat manusia akan memperoleh pemeliharaannya dari nutrisi yang sama yakni Mekka.

Kuntap Sukt ini sejak lama sudah menjadi rahasia dan tebak-terka. Betapapun, kita akan berusaha menjelaskannya. Pandit Raja Ram, seorang guru besar di Kolese Lahore D.A.V., Professor Griffith, Professor Max Muller, Dr. Whitney, M. Bloomfield dan beberapa sarjana lain menganggap mantera ini sebagai teka-teki. Suatu teka teki, sepanjang itu belum dipecahkan, tentulah tetap sebagai teka-teki. Tetapi setelah kedatangan Nabi Suci Muhammad, Kuntap ini tidak menjadi rahasia lagi. Sekarang dunia dengan mudah faham akan maknanya. Cairan yang tersembunyi itu sekarang telah menjadi susu yang murni dan sedap untuk memelihara seluruh umat manusia, tetapi hanya dia yang mau mencicipi susu murni ini yang akan mengenal ibunya dan lari ke dadanya untuk menerima santunannya.

Mantera pertama dari Kuntap Sukt: (Atharwa Weda 20:127.1)

M. Bloomfield telah menerjemahkan mantera ini sebagai berikut:
“Dengarkanlah wahai rakyat, kepada ini (suatu nyanyian) pujian seorang pahlawan akan dilagukan! Enam ribu dan sembilanpuluh (sapi) kita akan dapatkan, ketika Kami dengan Kaurama di antara Rushamas”.

Dalam terjemahan Prof. Griffith kita temukan:
“Dengarkanlah ke sini wahai manusia; suatu pujian atas kedermawanan yang jaya akan dinyanyikan. Seribu enampuluh dan sembilanpuluh, kami, wahai Kurama, di antara Rushamas telah menerima”.

Versi Inggris dari terjemahan Pandit Raja Ram (dalam bahasa Hindi) adalah sebagai berikut:
“Dengarkan kepada ini, wahai umat! Seorang yang terpuji akan dipuji,. Wahai raja yang mudah mencinta, kami temukan enampuluh ribu dan sembilanpuluh orang-orang berani menjebol musuh-musuh mereka”.

Dalam semua terjemahan ini, empat hal berikut adalah begitu kurang pasti dan kalau tidak ditambah beberapa teks, maka maknanya akan tidak jelas.

a. Pertanyaan pertama adalah, siapakah yang dipuji?
b. Kedua, apakah enamapuluhribu dan sembilanpuluh ini?
c. Ketiga, mengapa orang-orang harus mendengarkan dia dengan penuh hormat?
d. dan keempat, siapakah Rushamas dan Kaurama ini?

Sejarah kuno India tidak menyiratkan cahaya atas mantera ini dan mereka tetap kabur sebagaimana adanya. Namun, sejarah Islam permulaan dan berlangsungnya peristiwa dan kejadian di jazirah Arab, telah menerangi dengan sinar berlimpah atas mantera yang remang-remang ini dan menjadikannya benderang seperti yang lain.

”Dia yang akan dipuji” adalah terjemahan harfiah dari kata ‘Muhammad’.

Enampuluh ribu atau tujuhpuluh ribu adalah populasi kota Mekkah, semua melawan Nabi (Al Mathal­ul-Kamil).

Karena mantera ini mengandung suatu nubuatan yang besar, maka orang-orang diberitahu agar mendengarkan hal itu dengan penuh penghormatan. Rushamas adalah para musuh Nabi dan kaurama adalah atribut Nabi, yang berarti seorang ‘imigran’ Dan ‘seorang yang mempromosikan perdamaian’.

Teks dari mantera itu menunjukkan bahwa ini sesungguhnya adalah suatu ramalan besar. Tak ada di semua Kitab Weda ke-empat-empatnya bahwa orang-orang secara khusus diseru dan ditekankan. Umat Hindu diminta untuk mendengarkan kata-kata ini dengan penuh perhatian dan penghormatan. Mereka tidak dapat mengabaikan kata-kata ini hanya berdasarkan menganggapnya sebagai teka-teki. Kata Sanskrit Astvishyate, yang digunakan dalam mantera ini, dalam future tense berarti ‘dia akan dipuji’. Ini tanda pertama bahwa ini adalah suatu ramalan. Peristiwa ini akan terjadi pada masa yang akan datang, ketika nabi akan sangat dipuji. Dan nabi yang paling banyak dipuji dan dihormati di antara seluruh nabi di dunia adalah Muhammad s.a.w. Semua nabi memujinya dan telah meramalkan kedatangannya. Baik kawan maupun lawan memujinya. Encyclopaedia Brittanica (edisi ke-11 hal.898) menganggap dia “yang paling sukses dari semua nabi dan pribadi keagamaan”.

Nama yang diberkahi dari Nabi

Adalah perlu bahwa nama seseorang yang dijanjikan harus diberikan untuk siapa nubuatan  ini dimaksudkan. Karenanya, sesuai dengan itu, Resi Weda menyebut namanya, Narashansah astrrshyate – “Muhammad akan dipuji yang adalah sangat terpuji”.(16) Dia akan dipuji, Tuhan memujinya dan umatpun demikian pula. Kata narashansah telah diterjemahkan sebagai “dia yang terpuji di antara orang-orang”, yang adalah terjemahan yang tepat dari kata Muhammad. ‘Dia terpuji dan akan senantiasa dipuji’. Dia adalah Muhammad baik bagi Tuhan maupun manusia, dan patut dipuji oleh keduanya.

Dia adalah Pangeran Perdamaian

Tanda lain dari Muhammad ini (seorang yang terpuji) adalah, bahwa dia kelak adalah Kaurama (17) atau seorang yang menyebar-luaskan dan mempromosikan perdamaian. Dari segenap nabi di dunia hanya Nabi Suci Muhammad sendiri yang memiliki ciri yang menonjol ini yang telah dibuktikan kebenarannya oleh semua guru dunia dan karenanya telah menyingkirkan kebencian di antara beragam agama. Tak seorang nabi lainpun yang memiliki sifat khusus ini. Lagi pula, Nabi Suci adalah pangeran perdamaian karena dia mengajarkan persamaan di antara manusia dan persaudaraan antar manusia. Menurut ajaran Nabi, tak seorangpun dapat menyatakan dirinya mengungguli yang lain dalam hal kasta, warna kulit atau agamanya. “Semua manusia adalah putera Adam dan Adam diciptakan dari tanah,” (18) adalah suatu sabda dari Nabi. Karena diciptakan dari zat yang sama, maka kalian semua juga serupa. Tak seorangpun dari kalian yang hidup sebelum kalian bisa mengklaim bahwa dia lebih unggul. Ide tumimbal lahir, pembedaan kasta dan warna kulit, dan ciri darah serta kebangsaan bertanggung-jawab atas pertengkaran dan perkelahian antara seseorang dengan orang yang lain. Pada saat yang sama ide ini terutama diajarkan oleh umat Hindu dan membentuk gambaran khusus dalam ajaran Weda. Tetapi pangeran perdamaian memecahkan rantai perbudakan ini dan membebaskan dunia.Kata Kaurama juga berarti seorang imigran, dan dalam pengertian ini juga, cocok diterapkan kepada Nabi Suci Muhammad, karena hijrahnya Nabi (dari Mekkah ke Madinah) adalah begitu menonjol dalam sejarah sehingga zaman baru dimulai dari sana. Hijrah dalam Islam ini (imigrasi) adalah akhir dari kesulitan Nabi dan perjuangan melawan lawan-lawannya serta menandai awal kemakmuran dan keberhasilannya


DIA AKAN DISELAMATKAN DARI ANTARA MUSUH-MUSUHNYA

Tanda lain dari orang yang terpuji, pangeran perdamaian dan benteng keamanan ini adalah, bahwa dia sendiri akan benar-benar sendirian ditengah enampuluh ribu musuhnya yang kejam dan brutal, (19) tetapi tak seorangpun bisa melukainya. Dia akan mengambil bagian dalam pertempuran yang seru dan peperangan yang berdarah-darah, dan selalu berjuang di garis depan, tidak pernah absen dari setiap situasi yang berbahaya; dan meski demikian dia tetap selamat dan sehat serta tak seorangpun mampu membunuhnya. Pronoun dalam mantera itu jelas menunjukkan bahwa adalah Tuhan Sendiri Yang akan melindungi dia di tengah musuh-musuhnya dan akan menjaganya terhadap lawan-lawannya. ‘Kami akan melindunginya dari rombongan musuhnya’. Perlindungan dan kehadiran Tuhan selalu menjadikan dia unggul di atas lawannya yang tak terhitung. Betapa jelas tanda yang diberikan kepada umat Weda untuk mempertimbangkan kebenaran dari Narashansa yang dijanjikan (Muhammad) dan betapa nubuatan ini digenapi secara tertulis maupun dalam ketepatan!

Penjelasan lebih lanjut

Penjelasan dari mantra dalam Atharwa Weda yang kita berikan ini, selanjutnya didukung dan dibenarkan oleh mantera lain dalam Weda ini sendiri; dan penjelasan dalam sebuah pernyataan yang dikerjakan oleh pengarangnya sendiri, akan selalu lebih baik dan lebih otentik dibanding  peragaan oleh mufasir yang lain, betapapun besarnya dia. Jika teks kedua ayat itu berbeda, tetapi maksud pentingnya sama, dan fakta yang disebutkan juga sama, maka, selanjutnya, harus dipandang sebagai saling menerangkan; dan hendaknya fakta juga mendukung dan membenarkannya. Adalah suatu penyimpangan dari maksud dan keinginan untuk dikoreksi bila berkilah untuk mengakuinya.

Meskipun demikian tuntutan dari pandit Hindu dalam pendiriannya, patut dipertimbangkan. Mereka beralasan bahwa karena teks Kuntap Sukt telah rusak dan berubah, adalah salah bila seorang Muslim berargumentasi dari sana atau mengambil sebagai contoh ramalan tentang kedatangan Nabi Suci Muhammad s.a.w. Namun, ajaibnya, hal ini diketahui oleh Tuhan Yang Maha-tinggi, Yang Maha-besar Maha-tahu atas Yang Ghaib, Yang telah mengucapkan nubuatan ini dalam Kuntap Sukt, bahwa para pandit Hindu akan berusaha mengelak tentang perkara ini dengan menyatakan bahwa mantera ini sudah dirubah­rubah. Maka Tuhan mengucapkan lagi, ramalan ini di samping dalam Kuntap Sukt, di temapt lain dengan istilah yang sama. Meskipun hal itu adalah membodohi diri sendiri bila untuk mengelak menyatakan percaya kepada nubuatan dalam Weda, lalu dia malah mengutuk kitab sucinya sendiri dengan menyatakannya sudah tercemar, toh, sebagaimana Shakespeare dengan tepatnya menyatakan: “Dia yang berdiri di tempat yang licin, merasa nyaman karena tidak berdiri di atas lubang”. Dengan pembicaraan yang jelas dan terbuka telah dibuktikan tanda-tanda kebenaran Nabi Suci dan missi Ilahi dalam mantera Weda; dan tanda­tanda ini, kecuali dan khusus oleh Nabi Suci Muhammad, tidak terpenuhi oleh seorang pembaharu yang lain di dunia ini.

Di tempat pertama, kata suci membawa tekanan yang kuat serta menyeru mereka yang memperbaiki keimanan dan keyakinannya kepada Weda yang Suci, untuk mendengarkan mantera ini dengan penuh penghormatan dan kemuliaan. Para Resi dari zaman dahulu, telah menjaga penekanan ini dalam pandangannya, dan telah mengarahkan bahwa mantera ini harus selalu dibaca di dalam Yagya dan upacara agama lainnya, sehingga mereka yang beriman kepada Weda tidak melupakannya, dan selalu menjaga selalu kesegarannya dalam ingatan mereka. Alasan untuk mendengarkan mantera ini dengan takzim dan mengingat dalam hatinya, ialah bahwa orang yang penuh penghormatan yang disebut di sini, adalah seorang yang berbudi luhur dan sangat terpuji. Bahwa umat Hindu mungkin tidak mau menghormati dan meujinya, tidak mau memahami arti penting istilah Arab Muhammad; mereka telah diberi-tahu dalam bahasa Sanskrit mereka sendiri nama yang manis dan hangat, Narashansa: “Bahwa apa yang kita sebut mawar dengan nama lainpun akan tetap harum baunya”. Setelah mendengar namanya dan kata pujian kepadanya, bila seseorang tetap menolak memberikan penghormatan dan kehormatan kepadanya, ini adalah pengingkaran terhadap perintah Weda dan suatu tindak  penghujatan. Bila sudah diperintahkan oleh Parmatma (Tuhan Yang Maha-tinggi), bahwa namanya layak dihormati dan dipuji, dan penghormatan yang tinggi kepadanya harus dilakukan, maka bagi mereka yang tidak menghormati dan memujinya, untuk berfikir serius tentang neraka apa yang menantikan mereka. Kenyataan bahwa dia adalah terpercaya dan sangat terpuji membuktikan bahwa dia bukanlah seorang yang tak dikenal atau awam, melainkan seorang pribadi penting dalam sejarah. Namanya maupun karyanya layak dihormati dan dikagumi; dan dalam kitab suci dari setiap agama bisa didapati namanya yang suci begitu pula pemberian penghormatan atas karyanya; maka tak perlu kiranya sedikitpun alasan yang lain. Tidak hanya dalam kitab-kitab suci dan kitab wahyu dari semua agama bahwa nubuatan atas kedatangannya bersama dengan pujian kepadanya itu hadir, tetapi dalam pandangan para sarjana besar dunia juga, dia adalah yang patut dipuji dan dihormati secara istimewa. Dalam menghormat Nabi Suci Muhammad, ditulis dalam Encyclopaedia Brittanica yang adalah suatu kompilasi dari para pakar yang paling utama dan terkemuka di dunia:

Yang paling sukses dari semua Nabi-nabi serta pribadi keagamaan (Edisi ke-11 hal.898). Pemberi pandangan dalam Encyclopaedia Britannica ini bukanlah seorang Muslim melainkan seorang pakar Kristen dengan kecerdasan dan reputasi tinggi. Mahatma Gandhi dan para pemimpin Hindu lainnya, Bernard Shaw, Bertrand Russell dan orang-orang Inggris yang masuk Islam telah menyanyikan pujian kepadanya, merengkuhnya dengan penghormatan yang tinggi. Bukankah kata-kata Weda itu dijamin dan diperkuat oleh kata-kata pujian dan tepuk-tangan yang diucapkan oleh para pakar dan cendikiawan dari abad modern bahwa Muhammad itu tak diragukan lagi adalah orangnya,  yang patut mendapatkan semua kehormatan dan pujian, kepada siapa Weda telah berkata bahwa dia akan dihormati dan dipuji setinggi-tingginya? Jika seseorang telah merusak teks Weda, bagaimana itu terjadi bahwa setelah masa ribuan tahun berlalu, para pakar abad modern telah menetapkan atasnya cap pembenaran mereka, yang merupakan alasan yang tak bisa dialihkan atas fakta bahwa yang merubah Weda itu tiada lain adalah Paramatma atau Tuhan Sendiri sehingga kata-kata-Nya telah digenapi. Juga telah diwahyukan dalam mantera Weda bahwa dia akan sendirian sepenuhnya dan bahwa enampuluh atau tujuhpuluh ribu musuh akan menjebaknya. Tetapi meski jumlah mereka begitu besar, para musuh itu tak mampu mengalahkannya. Pangeran perdamaian dan keamanan akan terpaksa pindah dari tanah kelahirannya. Tuhan Yang Maha-tinggi akan menjaganya dalam perlindungan istimewa-Nya sendiri; yakni bisa dikatakan, perlindungannya bukanlah suatu perkara biasa atau kebetulan, melainkan itu akan penuh daya guna dan dilengkapi dengan tangan yang penuh kekuatan dari Tuhan. Setelah menyebutkan semua tanda-tanda yang tergelar ini, pembuktian dari mantera ini dilakukan di tempat lain dari Weda ini sendiri sehingga ini bisa menjadi argumen terhadap mereka yang menyodorkan kilah bahwa telah terjadi kerusakan dan perubahan dalam Weda. Mantera yang lain ini bukanlah suatu mantera dari Kuntap Sukt yang boleh dihapus danb ditolak dengan alasan sudah dirubah. Ini ada dalam Atharwa Eda 20:21.9. Mantera ini terbaca:

“Wahai Indra! Dengan cakramu yang tak terkalahkan dan kuat engkau telah menimpakan kekalahan atas duapuluh pemimpin bangsa dan enampuluhribu serta sembilanpuluh sembilan     pengikut yang telah mengobarkan peperangan terhadap Sushravah yang tak berdaya dan tak berkawan”.

Penyebutan enampuluh ribu musuh juga didapati dalam Kuntap Sukt. Fakta bahwa Narashansah sendirian dan tak berkawan juga disebutkan di sana. Tetapi di sini dikatakan bahwa dia adalah Sushravah, yang tak berdaya dan tak berteman. Jadi Sushravah adalah nama dari pribadi yang terkenal dan terpuji. Jelaslah bahwa Narashansah dan Sushravah adalah nama yang sama. Dalam leksikon arti nama Sushravah adalah terkenal dan tenar; terpuji dan terhormat; seorang nabi; seorang yang terilham, seorang yang sempurna dalam ilmu pengetahuan Ilahi.(20) Tetapi ini bukan suatu kata benda biasa, melainkan nama dari seorang pribadi tertentu yang mempunyai kedudukan tinggi yang berperingkat di atas malaikat di langit tinggi.(21)

Semua atribut ini, yang terdapat dalam makna istilah Sushravah, adalah atribut dari Nabi Suci Muhammad, dan suatu terjemahan dari namanya yang suci. Nama gelar dari orang besar ini sesungguhnya adalah terjemahan dari namanya pribadi. Dalam mantera ini suatu hal baru telah dinyatakan bahwa duapuluh pemimpin bangsa adalah musuhnya. Dukungan dan kekuatan dari duapuluh pemimpin ini melebihi enampuluh ribu orang-oarng tempur. Pasukan besar musuh semacam itu maju ke medan perang menghadapi orang yang sendirian ini. Tetapi cakra Indra yang tak terkalahkan yakni mukjizat Ilahi membantu dalam mengusir dan mengalahkan duapuluh pemimpin berikut enampuluh hingga tujuhpuluhribu pasukan tempur ini. Membolak-balik dan mencari dengan teliti dari halaman sejarah dunia untuk menemukan siapakah orang tunggal ini, yang disebut tak berkawan dan tak berdaya dalam Weda, terhadap siapa duapuluh pemimpin bangsa berikut sepasukan besar terdiri dari enampuluh hingga tujuhpuluhribu pasukan dengan kuat menyerangnya, dimana akhirnya orang-orang ini saling berkelahi sendiri, dan orang sendirian ini dimana Tuhan Yang Maha-tinggi ada di belakangnya, dia mendapat kemenangan, serta gerombolan besar yang terdiri dari enampuluh hingga tujuhpuluh ribu orang ini menderita kekalahan yang meremukkan; lalu siapakah orang itu? Orang yang sendirian dan menang ini, di dalam sejarah dunia, tiada lain adalah Nabi Suci Muhammad, yang termasyhur dan terkenal di dunia (Sushravah) serta pantas mendapatkan segala pujian dan pujaan. Wahai para pandit Hindu dan mereka yang melihat Weda sebagai kata-kata Tuhan, beriman bahwa Parmatma itu hadir dan melihat serta takut keada Dia saja, renungkan dan fikirkan yang manakah cakra dari Tuhan (Indra) itu yang bisa mengusir dan mengalahkan enampuluh hingga tujuhpuluhribu musuh. Sesungguhnya ini adalah cakra dari kebijaksanaan dan kekuasaan Tuhan, dan bahkan kini cakra ini di tangan kaum muslimin yakni Quran Suci, terhadap mana, apa yang dikatakan dengan enampuluh hingga tujuhpuluh ribu orang yang gemar berperang, bahkan bila seluruh pendeta dan padri di dunia, begitu pula pandit dari Bharat, atau dengan perkataan lain, seluruh gerombolan Dajjal dan para penyokongnya, Hindu, Yahudi dan Kristen bergabung dan berkonfederasi, maka tidak saja kekuatan Dajjal ini akan menderita kekalahan dan kebingungan, melainkan, sebagaimana telah diramalkan dalam Weda, semua pandit akan berbalik dan lari tunggang-langgang, menarik selendang sucinya dari lehernya dan melemparkan ke bahunya. (Nubuatan ini yang terdapat dalam Rig Weda, akan dikaitkan dan diperbincangkan di lain kesempatan). Setelah menegakkan korelasi antara ketepatan ayat-ayat Weda dengan fakta nyata, jika tetap ada keraguan menyelinap dalam fikiran seorang pandit yang skeptis bahwa tidak hanya dalam Kuntap Sukt dalam Atharwa Weda tetapi juga di Kitab Weda secara keseluruhan, seseorang telah menyisipkan nubuatan dari Nabi Suci Muhammad, maka kami akan, untuk menunjukkan jalan yang lurus baginya yang membimbing dia ke rumahnya, kami serahkan bukti pembenaran mantera ini juga dari Rig Weda, dari mana bahkan suatu terjemahan harfiah akan menunjukkan bahwa dalam mantera ini telah disebutkan nama seseorang yang tiada lain kecuali Nabi Suci Muhammad serta para Sahabatnya yang mulia. Terjemahan harfiah dari mantera dalam Rig Weda ini adalah sebagaimana di bawah ini: (Rig Weda 1:53.9)

“Dan yang penolongnya tak seorangpun; dan duapuluh pemimpin bangsa serta enampuluh ribu   dan sembilanpuluh sembilan ahli tempur datang untuk berperang dengan dia. Wahai Indra;   terhadap mereka semua engkau telah menimpakan kekalahan dengan cakramu yang tak   terkalahkan. Dengan pertolonganmu kaulindungi Sushravah dan Turvyan. Demi Sushravah yang   berani dan penuh kekuatan, engkau kalahkan Kuts, Atithigva dan Ayum”.

Dalam mantera dari Rig Weda ini juga disebutkan kenyataan bahwa Sushrava (yakni Muhammad, yang terpuji) tidak berkawan dan sendirian, serta kekalahan dari lawan-lawannya, duapuluh pemimpin dari kabilah Arab dan enampuluh ribu pasukan tempurnya. Dan dunyatakan pula bahwa kemenangan dan keunggulan dari Sushravah terhadap lawan yang begitu berat semata-mata adalah karena bantuan dan daya kekuatan Tuhan Yang Maha-tinggi. Dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa bersama Sushravah (Muhammad), Tuhan Yang Maha-tinggi memberikan perlindungan-Nya kepada orang lain yang dipanggil Turvayan. Saynacharya, mufasir kuno Weda, telah menerjemahkan istilah ini berarti cepat dan kencang. Ini adalah nama Hazrat Abu Bakar, baik karena kenyataan bahwa dia yang paling pertama dan cepat dalam beriman kepada Nabi Suci, dan karenanya menjadi pemimpin “Orang yang paling depan, yang paling pertama”(Q.S.9:100) atau bahwa dia adalah sahabat Nabi yang menyertai hijrahnya yakni, “Dia adalah yang kedua dari (orang) dua” (Q.S. 9:40) atau bahwa dia melebihi dan paling luhur dibanding semuanya dalam amal salih dan kedermawanan, atau bahwa dia begitu cepat dan kencang dalam kebenaran dan kesucian. Dengan suatu cara, bila Sushravah itu melebihi semua umat manusia dalam kenabian dan ilmu Ilahi, maka Turvyan adalah cepat dan kencang dalam ketaatan serta penyerahan diri kepadanya. Dalam mantera, disebutkan bahwa perlindungan istimewa telah diberikan kepada keduanya, yang telah dilakukan Tuhan Yang Maha-tinggi dengan cara yang sangat ajaib. Selanjutnya, dinyatakan bahwa Kuts dan Atithigva serta Ayum telah dibikin tunduk di bawah perintah Sushravah. Kuts berarti seorang yang bisa membedakan kebenaran dengan kepalsuan; seorang yang bisa merobek berkeping-keping penggempur dan pegulat yang paling besar. (22) Dan nama ini cocok tepat dengan Singa Tuhan, Hazrat Ali r.a. Atithigva berarti keramah-tamahan, menghibur si miskin dan dermawan. Jadi, karena itu ini sama dengan Usman Ghani. Ayu adalah kata yang biasa ditempatkan, yang berarti umar (umur) yakni Hazrat Umar r.a. Adalah sungguh suatu yang kurang menguntungkan, bagi yang main tipu-tipu dengan menuduh bahwa Kuntap Sukt itu tambahan dalam Atharwa Weda, dan telah mengutuk  kitab ini sebagai telah rusak; karena mantera ini tidak saja terdapat dalam Kuntap Sukt, namun sebagiannya juga ada di Kand 20, Sukt 21 dan mantera 9. Dan apakah mantera ini juga ditolak dan dianggap sebagai disisipkan, dan seluruh Atharwa Weda disingkirkan ke samping sebagai kitab yang tercemar, bahkan kemudian, mantera yang sama itu juga terdapat dalam Rig Weda, mandal 1, Sukt 53, mantra 9; dan dalam mantera yang berikutnya lebih lanjut ada penjelasan tentang itu, dan bersama dengan Sushravah yang terpuji, juga disebutkan telah melindungi Turvyan; dan adalah suatu kenyataan bahwa Tuhan Yang Maha-tinggi menghubungkan dengan dua pribadu besar: Sushravah dan sahabatnya di gua, Turvyan atau Hazrat Abu Bakar. Tetapi nubuatan ini tak berakhir di sini. Di sana ada juga, dalam mantera ini, disebutkan tiga sahabat yang besar dari Nabi, dan tunduk melayaninya: Singa Tuhan Hazrat Ali, Usman dan Umar, suatu catatn atas akhlak dan kemuliaannya yang luhur juga telah dinyatakan dalam ayat ini. Sifat baik dan keluhuran budi mereka adalah kenyataan sejarah, dan bukan sekedar ceritera fiktif dari para mufasir Weda.


RESI PENUNGGANG UNTA. Mantra 2

Mantera kedua dari Kuntap Sukt berbunyi sebagai berikut:

Prof. Grifith memberikan terjemahan berikut ini: setelah bahasa Sanskritnya (Atharwa Weda, 20; 127.2). “Unta-unta dua kali sepuluh yang menarik kendaraan, dengan perempuan di sampingnya, dia berikan.   Indah akan kereta-keretanya atasnya merunduk dari sengatan langit”.

Maurice Bloomfield menterjemahkan: “Yang dua kali sepuluh kerbau bergerak bersama-sama dengan sapi-sapi mereka, tinggi dari kereta   seperti menyundul langit, yang menarik diri dari sentuhannya”.

Pandit Khem Karan menterjemahkannya:  “Yang binatang kendaraannya yang cepat adalah duapuluh unta dengan betinanya. Orang-orang jahil    tidak mengindahkan kedudukan mulia dari lelaki itu”.

Pandit Raja Ram memberikan tafsiran lain dari mantera ini:  “Duapuluh unta menarik kendarannya, beserta dia dan juga isteri-isterinya. Pucuk kendaraan atau    keretanya merunduk menghindari sentuhan langit”.

Semua terjemahan ini menunjukkan bahwa orang yang sama yang dirujuk dalam mantera ini seperti yang diacu dalam mantra pertama. Semua terjemahan kecuali Bloomfeld, setuju pada kenyataan bahwa dia adalah seorang penunggang unta. Terjemahan ini juga menunjukkan bahwa pucuk keretanya menyundul langit.(23)

Jadi, mantera ini dengan jelas menunjukkan bahwa Resi yang dijanjikan adalah seorang Arab. Seorang resi India tidak dapat mengendarai unta. Sebab, seperti dalam hukum Dharma Shastra, daging dan susu unta itu diharamkan bagi seorang resi India (Manu 5:8, 18), sehingga adalah haram baginya untuk menunggang unta. Dalam sikap yang sama, seorang Brahman juga tidak boleh mengendarai unta. Telah ditulis dalam Manu Smriti:

 “Seorang Brahma akan tercemar kalau berniat mengendarai seekor keledai atau unta dan mandi   telanjang. Pencemaran ini hanya bisa dihilangkan dengan manahan nafas untuk waktu yang lama  (Manu 11:201). Larangan dalam Dharma Shastra ini berdasar kenyataan supaya tidak tersisa sedikitpun ambiguitas dalam menafsirkan nubuatan ini, dan hendaknya difahami dengan jelas bahwa  Resi yang dijanjikan tidak tinggal di India tetapi seorang Resi penunggang unta dari  Arabia. Tak  Seorangpun resi India yang pernah mengendarai unta tetapi seorang Nabi bangsa Arab  s.a.w. sering­  Kali menaiki unta dan minum air susunya. Tanah Arab dikenal ke seluruh dunia karena untanya dan  Bangsa Arab dkenal sebagai para penunggang unta”.

NABI YANG MENAIKI UNTA

Dalam Kitab Wahyu dimana disebutkan, dalam pengertian harfiah yang dikenal, mengenai seorang nabi atau resi atau dewata yang mengendarai seekor binatang atau lain kendaraan, maka ini ada makna kiasannya, wahana ini menunjukkan dan terdiri dari umat atau bangsanya. Wacana semacam ini sangat umum dalam kitab suci agama Hindu ini dimana para resi atau dewata dikatakan mengendarai lembu jantan, kambing, singa dan tikus; dan kendaraan mereka itu diartikan sebagai gambaran mencolok dari masing-masing pengikut mereka. Secara singkat dan padat, kita hanya akan memberi dua atau tiga contoh. Dalam Q ur’an Suci, suatu kaum atau pemimpin agama mereka disebut seperti seekor keledai yang sekedar terbebani dengan kitab-kitab, tetapi tak bisa memetik manfaat dari timbunan kitab-kitab tersebut. Firman-Nya: “Perumpamaan orang-orang yang dibebani Taurat, lalu mereka tak memperhatikan itu, adalah

Ibarat keledai yang mengangkut kitab. Buruk sekali perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tak memberi petunjuk kepada kaum yang lalim” (Q.S.62:5)

Dalam kiasan ini, Tuhan Yang Maha-tinggi telah mengumpamakan para ulama Yahudi yang di beri amanat Kitab Taurat, tetapi tidak memperhatikannya, bak seekor keledai yang dibebani dengan kitab-kitab, tetapi tidak mendapat manfaat apa-apa dari situ. Bahkan yang jauh lebih buruk adalah permisalan seekor keledai muda yang menolak ab initio Kitab-kitab Suci dan tidak mau dibebani dengan kitab-kitab. Jelas sekali bahwa setidak-tidaknya orang yang menerima dan menyetujui dibebani dengan Hukum, boleh jadi bisa hidup menurutinya. Tetapi yang dari awal sudah menolak untuk  menerima dan memperhatikan Taurat atau Hukum, adalah jelas  dari jenis yang lebih rendah dibanding golongan sebelumnya.

Dalam Kitab Suci dinyatakan, bahwa Yesus Kristus telah digambarkan mengendarai seekor keledai; dan ini juga terkenal dengan perumpamaan: “Bahkan bila keledai Isa Almasih telah sampai ke Mekkah, dia akan tetap di atas keledainya pada saat dia kembali”. Tetapi perkaranya tidak berakhir sampai di sini. Tidak saja seekor keledai yang dipakai berkendaraan oleh Yesus, melainkan juga keledai muda; dan mengendarai keduanya pada satu dan saat yang sama telah dinyatakan dan disorot. Jelas naif untuk menyatakan bahwa seseorang berkendaraan seekor keledai dan keledai muda secara bersamaan; dan tak ada pemecahan lain atas dilema ini kecuali menganggapnya sebagai nubuatan yang diucapkan dengan bahasa kiasan serta diterjemahkan  langsung  agar masuk akal (Zakharia 9:9).

Bila nabi Zakaria telah meramalkan kedatangan seorang penunggang keledai, bukanlah suatu tugas yang sulit ataupun penemuan besar untuk membuka ikatan dan melepas  keledai seseorang atau keledai muda dan mengendarainya sehingga nubuatan itu bisa tergenapi. Sudah jelas sekali bahwa kaum yahudi itu disebut pembawa taurat; dan juga sudah diakui bahwa Yesus dikirim kepada domba-domba Bani Israil; dan juga suatu perkara yang benar bahwa kaum Yahudi, yang tidak bisa memetik manfaat dari taurat, menolak beriman kepada Yesus. Jadi jelas sekali bahwa kaum Yahudi, yang telah disebut sebagai pengemban Taurat berubah menjadi tak lebih dari keledai yang membawa kitab-kitab. Bangsa lain yang nasibnya jauh lebih buruk, diumpamakan sebagai anak keledai. Dengan mengingat hal itu, ditulis dalam Alkitab menurut Matius 21:5, bahwa Yesus mengendarai keduanya, keledai dan anak keledai. Tetapi dalam Lukas 19:35, Markus 11:7, Yohanes 12:14; dinyatakan bahwa dia hanya menunggang anak keledai, yang berdasarkan kenyataan, akan lebih tepat. Betapapun, keledai adalah menunjukkan dan lambang dari kaum Yahudi untuk siapa tuntunan Yesus dimunculkan, tetapi mereka tidak menerimanya. Namun contoh dari mereka yang beriman kepadanya, adalah seperti keledai muda; dan mengenai anak keledai ini, penulis Injil dengan khusus berkata, dimana tak seorangpun laki-laki  pernah menungganginya; yakni untuk menyatakan, bahwa tak seorangpun nabi Bani Israil maupun non-Israil yang bisa menjadikannya  umat pengikutnya. Jadi, keledai muda dalam perumpamaan ini adalah ibarat orang-orang, yang ab initio, tidak mampu dan tidak cocok untuk membawa amanah Hukum, bahkan tidak bisa membawa beban amanah Yesus Kristus. Dan karena itu, bahwa dalam gambar Yesus ditunjukkan mengendarai anak keledai sedemikian rupa sehingga kaki dan lututnya menyentuh tanah; yakni, bahwa anak keledai itu mutlak tidak mampu membawa bebannya. Dengan cara yang sama, Dajjal dinyatakan dalam hadist mengendarai seekor keledai.

Bagusnya, menunggang keledai, berdasarkan teks di atas, diutamakan untuk Yesus; dan Nabi Isaiah melihat dalam rukyah dua pengendara, satu di punggung keledai dan satu lagi menunggang unta. Kisah penunggang keledai berhenti di sini, tetapi perihal dia menaiki keledai muda perlu dtafsirkan lebih lanjut. Ini menunjukkan suatu bangsa yang menolak mengemban amanat Hukum. Pernyataan lain yang diberikan oleh Yesus menunjang hal ini. Misalnya, Yesus mengatakan, bahwa para muridnya adalah kain lama yang tidak dapat dipotong-potong lagi menjadi baju yang baru; atau mereka adalah botol lama yang tidak dapat diisi dengan anggur yang baru. (24) Pada tempat lain, Yesus bahkan berkata dengan istilah yang lebih keras: “Sekali lagi aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk kedalam Kerajaan Allah” (25).

Ayat ini diambil untuk diartikan, bahwa adalah mudah bagi seekor unta, binatang yang sangat besar dan bentuknya tidak mulus, bisa melewati mata jarum, meskipun ini benar-benar mustahil. Tetapi di sini istilah unta itu digunakan sebagai lawan kata dari orang kaya; dan orang kaya berarti suka hidup enak-enakan, bermewah-mewah dan cinta-dunia, sedangkan unta itu melambangkan sosok yang selalu bekerja keras, makanannya sederhana, sabar dan tenang, serta melintas dengan selamat melalui jalan Hukum dan perintah Ilahi yang paling rumit, atau secara kiasan, melintasi jalan Lurus yang lebih tajam dan mengiris melebihi mata pedang; tetapi buat orang yang mencari kesenangan pribadi, foya-foya, dan menolak membawa beban amanahnya, serta menggantungkan pengorbanannya kepada kambing hitam, dan menolak Hukum Ilahi, maka jelas baginya sangat sulit untuk memasuki kerajaan Tuhan. Adakah muridnya, betapa pun besarnya dia, dimana Tuannya sendiri menyatakan bahwa (muridnya) itu tidak memahami kata­katanya? (26) Jadi, unta adalah motto dan tanda dari seorang muslim sempurna, menyusuri jalan Hukum Ilahi yang paling rumit untuk memasuki kerajaan Tuhan. Hendaknya juga diingat bahwa kerajaan Tuhan itu bukanlah suatu kerajaan tanpa hukum yang penuh pemberontakan, dan karena itu, orang-orang tersebut, yang menyebut dan menghujat hukum itu sebagai kutukan, tidak akan diizinkan untuk memasukinya.(27) Sesungguhnya itu adalah pintu yang rendah lewat mana seorang yang gemuk berlemak takkan bisa melaluinya. Karena itu, nubuatan ini adalah suatu ramalan yang penuh kebijaksanaan, diucapkan untuk dipertimbangkan dengan hati-hati dan pemikiran mendalam tentang pamrih pribadi dari negeri-negeri Kristen dalam abad ini.

Jika dalam Kitab Weda, pada satu sisi, Dia Yang Dijanjikan, Narashans, telah dikatakan sebagai penunggang unta, sebaliknya, dalam Alkitab juga dikatakan, dengan menyebutkan sepasang pengendara, seorang menunggang keledai muda dan seorang lagi dengan unta.

Unta dan mengendarai unta merujuk kepada negeri Arabia. Ditulis dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics: “Unta adalah binatang yang sangat penting dalam kehidupan suku Badui. Mengingat makannya sedikit, daya tahan dan kecepatannya, ini adalah wahana umum untuk berjalan lama melintasi gurun pasir”.

Dengan memperluas dan memperbincangkan keajaiban serta keingin-tahuan kita terhadap alam penciptaan dari seekor unta akan memakan waktu yang panjang. Namun, Quran Suci telah menujukan perhatian kepada hal itu dengan mengatakan; Apakah mereka tidak melihat unta itu, betapa mereka diciptakan dan peragaannya telah dilakukan oleh Reader’s Digest bulan November 1964 dengan kata-kata berikut ini:

“Alam, yang adalah arsitek perancang yang besar, tidak pernah mencapai sesuatu yang lebih baik dibanding camelus-dromedarious, bangsa  Arab atau seekor unta yang kuat, untuk melintasi padang pasir di dunia ini. Sesungguhnya ini memang fakta yang lengkap”.

Kemudian, setelah menyebutkan keajaiban dan keheranannya atas penciptaan kaki, lehernya yang jenjang, mata, hidung, mulut serta organ “dalam”nya, majalah tersebut selanjutnya berkata:

“Ada banyak rahasia tentang unta yang komplit itu yang belum terpecahkan”.

Kesederhanaan dari kehidupan seekor unta, hidupnya yang sekedar memakan semak dan tanaman berduri lainnya selama berhari-hari, kesabaran dan ketenangannya menghadapi kelaparan dan kehausan, serta melintas dengan cepat dan aman melalui gurun pasir telanjang dan membakar, sambil memikul di punggungnya baik pengendara maupun bebanyang lain, adalah gambaran seorang muslim dan yang beriman sempurna. Mengacu atas hal itu, para penyair telah bersenandung dengan benar, yakni “Jika anda ingin hidup penuh kehormatan di dunia ini, anda harus membiasakan diri dengan kebiasaan hidup terantuk semak berduri”.

Jadi, baik Weda maupun Nabi Isaiah, telah menyebut Nabi Suci seorang penunggang unta, telah menunjukkan dengan jelas atribut eksternal maupun internal beliau, yakni, di samping beliau adalah Nabi dari Arabia, neliau juga sebagai suatu model yang sangat mulia bagi pemerintahan raja-raja maupun penguasa dunia. Meskipun kenyataannya beliau adalah seorang  panglima yang berani dan seorang raja, beliau melakukan segala jenis pekerjaan dengan tangannya sendiri. Beliau memerah susu kambingnya sendiri, menyapu lantai rumahnya, memelihara unta-untanya, bekerja sebagai tukang bersama yang lain dalam membangun mesjid, dan menggali parit pertahanan. Dengan mengingat kedudukan raja yang dijalankan oleh Nabi dengan perintahnya sendiri, seseorang dengan tepatnya telah mencermati: “Bisakah kautunjukkan satu saja penguasa dalam sejarah dunia ini yang kehidupan sosialnya semacam ini dimana pada kemejanya ada sepuluh tambalan perbaikan; yang dengan kantung kulit tersandang   di bahunya, menimba air untuk para perempuan; yang  biasa berbaring di tanah tanpa alas, berjalan   di jalan raya dan semuanya serba sendiri tanpa dikawal kemanapun beliau suka; yang   menggosokkan minyak dengan tangannya sendiri pada untanya, yang tidak punya balairung untuk   audiensi kerajaan, tidak punya  pengawal pintu gerbang ataupun sekretaris, tidak pernah melatih   pembantu; namun dia bisa memerintah dengan menggentarkan dan penuh wibawa sehingga baik   orang Arab maupun non-Arab gemetar kaki-kaki mereka dengan hanya menyebut namanya. Dalam   perjalanannya ke Syria Umar Faruk tidak membawa apa-apa kecuali seekor unta yang dikendarainya   namun pusat dunia itu gemetar, maka kedudukannya sebagai penunggang kuda itu tepat bagi kedua-nya, baik secara harfiah maupun arti pentingnya”.


PARA ISTERI NABI SUCI DISEBUTKAN DALAM WEDA

(Rig Weda 1:126:3)

(Rig Weda 6:27:8)

Kata-kata ‘vadhu mantah davirdarsh’ dalam mantera telah diberi dua terjemahan yang berbeda. Pertama, bahwa unta-unta itu menarik kereta dimana para isterinya juga besertanya. Dan kedua, unta-unta dengan betinanya menarik keretanya. Menurut penafsiran pertama Resi yang dijanjikan dikatakan mempunyai lebih dari satu isteri  yang adalah benar bagi Nabi Suci, dan menurut yang kedua, menunggang unta itu adalah keistimewaannya, yang juga benar sama dengan Nabi Suci. Jadi kedua terjemahan tidak bisa diterapkan kepada resi yang lain kecuali Nabi Suci Muhammad.

Dalam bahasa Sanskerta, istilah Vadhu mempunyai arti yang sangat penting. Ini berarti: seorang perempuan yang mandiri; seorang perempuan yang menikah; pembantu-perempuan; hewan betina(kuda, sapi, kerbau dan sebagainya)(28). Dalam Weda, istilah Vadhu juga telah digunakan untuk semacam perempuan  sebagai hadiah kepada seorang Brahman dari raja atau orang kaya.

Dalam istilah Weda, lelaki itu bukan monogami, dan resi-resi besar pun, mempunyai banyak isteri. Kisah cinta dari Yam Yami, Parwa Urwashi, Lopa Mudra, Indra Indrani, telah disebutkan dalam Weda; dan telah dinyatakan bahwa Raja Trasadasyu memberikan limapuluh isteri kepada seorang Brahman sebagai hadiah. (Rig Weda 8:19:36). Setelah menyatakan binatang tunggangan khusus dari Narashansah yakni, unta untuk Nabi, juga telah dinyatakan bahwa dia itu Vadhumantah yakni, yang mempunyai banyak isteri. Dengan menolak keberatan para pandit, bahwa di sini Vadhumantah itu betina dari unta, atau kelompok unta yang dimaksud, atau bahwa istilah Vadhumantah itu dibuat dengan makna penghancur para musuhnya, kita akui bahwa beliau dikatakan mempunyai isteri-isteri. Tetapi sebagaimana yang juga telah dinyatakan sebelumnya, bahwa dia itu sangat dipuja dan pujian kepadanya akan dinyanyikan. Karena itu, fakta bahwa dia mempunyai isteri-isteri, tidak bisa dijadikan keberatan; ini, sebaliknya, berharga untuk dipuji dan diperhatikan. Seorang laki-laki, bahkan meskipun dia lajang atau mungkin hanya mempunyai seorang isteri, bisa dianggap punya kekurangan  atau dipersalahkan; tetapi fakta bahwa nabi mempunyai isteri-isteri dan menjadi orang terpuji mengundang kita untuk mempelajari dan meneliti kehidupan rumahtangganya dengan cermat. Dan untunglah kehidupan rumah tangganya itu bukan rahasia tersembunyi atau affair yang ditutup­tutupi; tetapi bab ini dalam hidupnya telah disebar-luaskan melalui bibir isteri-isterinya sendiri. Umumnya, banyak orang, di luar rumah atau dalam kehidupan publik, dengan mudah menjadi populer dan dipuja-puji. Tetapi seorang laki-laki yang dipuji dalam hidup rumah-tangganya menunjukkan bahwa tak ada sudut atau lubang gelap dalam kehidupannya. Beliau, dimana-mana, di dalam maupun di luar rumahnya, berharga untuk seribu puja-puji, karena alasan yang difahami dalam tujuan perkawinan itu adalah dorongan seksual, penjagaan kemurnian dan kesucian, serta penerusan keturunan, dalam keempat dinding rumahnya selama ini adalah perawatan yang terbaik demi latihan moral dan spiritual lebih dari setengah masa hidupnya. Bab pembukaan dari kehidupannya adalah seorang perempuan pengusaha, yang melihta kejujuran dan sifat amanahnya, meminang beliau. Beliau, pada waktu itu, berusia 25 tahun, sedangkan dia berumur empat puluh. Selama 25 tahun beliau hidup dengan seorang isteri yang adalah seorang janda yang jauh lebih tua usianya. Pada saat dia wafat, usianya 65, sedangkan Nabi 53. Seorang laki-laki yang menghabiskan masa-mudanya yang panas dan malam-malam utama dalam hidupnya hanya dengan seorang isteri, yang jauh lebih tua dalam usia darinya, dan meninggalkan hari-hari tengah malamnya untuk berdoa di sebuah gua yang gelap di padang pasir untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha-tinggi – adakah sesuatu yang lebih terhormat dan terpuji daripada ini?

(Rig Weda 8:19:36).

Di samping ini, semua perkawinannya dihabiskan, kecuali Aisyah r.a., dengan para janda yang suaminya telah syahid di medan perang, dan tak ada yang merawat mereka, ataupun orang lain yang bersedia untuk mengawini mereka. Dengan cara ini, hadirlah dalam ikatan perkawinan dengannya lima orang janda dari kaum Muslimin yang gugur dalam peperangan, dan tiga janda dari kabilah yang sangat membencinya, dan dengan ikatan perkawinan ini, maka seluruh kebenciannya mencair.

Hidup dengan seorang isteri saja hingga usia 53 tahun, dan isterinya menerima agamanya yang paling awal dari semuanya, dan dengan dikobarkan cintanya oleh akhlaknya yang luhur, sungguh suatu contoh yang sangat mulia yang diperlihatkan Nabi di hadapan dunia. Kebutuhan terbesar dari semua perkawinan ini timbul di saat jumlah  lelaki yang merosot akibat peperangan yang tanpa henti, dengan perempuan dan anak-anak yang ditinggalkan dalam keadaan tanpa daya dan tanpa rasa aman. Perkawinan dengan janda itu tidak populer di antara kaum. Tetapi demi menjaga dan mempertahankan kehidupan suatu bangsa, poligami mutlak diperlukan. Tetapi hingga penguasa sendiri yang memberikan contoh perkawinan dengan janda, maka orang-orang akan menganggap rendah hal itu sebagai perkara yang memalukan. Tujuan ketiga dari perkawinan ini, sebagaimana dinyatakan dalam Quran Suci, adalah:

“Dan jika kamu (para isteri Nabi) mendambakan Allah dan Utusan-Nya dan tempat tinggal Akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan ganjaran yang besar bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kamu” (Q.S. 33:29).

Yakni, Kepada Allah, Nabi Suci Muhammad serta Hari Akhirat engkau berikan kesukaan melebihi kehidupan di dunia ini, maka suatu ganjaran yang besar akan menunggumu. Allah, Utusan-Nya dan Kehidupan-sesudah-mati adalah bagian dari agama Islam yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Mengkomunikasikan dan membagikannya dengan kaum Muslimin lainnya telah menjadi kewajiban utama dari para isteri Nabi.

Kenaikan Nabi atau Mi’raj.

“Puncak dari keretanya merunduk untuk menghindari sentuhan langit”. Ini adalah rujukan yang jelas tentang Kenaikan Nabi Suci atau Mi’raj. Quran Suci mengacu kepada hal itu, dengan firman-Nya: “Dan ia ada di daerah cakrawala yang paling tinggi” (Q.S. 53:7). Adanya Nabi di bagian tertinggi dari cakrawala dan kemudian merunduk sedikit atau menurun, melukiskan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha-kuasa dan masing-masing umat. Sebagai perkara nyata, adalah merunduknya demi kasihnya kepada sesama manusia, yang menjadikan beliau sebagai seorang yang disayangi Tuhan, yeng menempatkan beliau di cakrawala tertinggi dan membawanya begitu dekat kepada Dzat Ilahi. Karena ide wahyu itu mempunyai pra-anggapan kemungkinan gerak dari langit ke bumi, maka ide mi’raj itu berpra-anggapan kemungkinan gerak dari bumi menuju langit. Dalam beberapa bentuk atau lainnya kedua konsepsi ini mendapat tempat dalam setiap sistim keagamaan.

Resi yang tersayang. Mantra 3

(Atharwa Weda 20:121:3).

M. Bloomfield menterjemahkannya: “Yang satu ini menyajikan kepada pemirsa dengan seratus permata, sepuluh kalung, tigaratus kuda   dan sepuluh ribu ternak”.

Terjemahan Prof. Griffith adalah: “Seratus rantai emas, sepuluh lingkar kalung yang dianugerahkan-Nya kepada Resi. Dan tiga kali seratus kuda gaib dan sepuluh ribu sapi”.

Pandit Raja Ram menerjemahkannya sebagai berikut: “Dia memberikan kepada Mamah Resi seratus koin emas, sepuluh kalung, tigaratus kuda dan sepuluh ribu sapi”

Ketiga terjemahan ini bersetuju atas fakta bahwa Resi yang bernama ‘Mamah’ akan diberi seratus koin emas, sepuluh kalung atau tasbih, tiga ratus kuda pacu yang baik dan sepuluh ribu ekor sapi.

Mantera ini memberi nama Resi tersebut sebagai Mamah. Tak ada Resi di India atau seorang nabi lain yang pernah mempunyai nama seperti ini. Akar kata dari ini adalah Mah yang berarti ‘menghargai tinggi, menghormati, memuliakan, membesarkan, meninggikan, dan seterusnya’ (Sanskrit English Dictionary oleh Sir Monier Williams).

Beberapa buku Sanskerta seperti Allo Upanishad dan Bhavishya Puran memberikan nama Nabi itu sebagai Mahamad, tetapi kata ini, menurut tata-bahasa Sanskerta, juga digunakan dalam arti yang buruk. Meski adalah salah untuk menerapkan grammar Sanskrit ke dalam kata bahasa Arab, namun untuk membuat nubuatan itu menjadi jelas, kata Mamah, yang lebih mendekati pengucapan yang sama dengan kata Muhammad dan memiliki arti yang sama, telah digunakan dalam Atharwa Weda. Jadi, Mamah itu sama dengan Muhammad, tidak peduli bila pengucapannya tidak tepat sama. Banyak nama Muslim yang baik­baik digunakan dalam kitab-kitab Sanskerta dengan sedikit perubahan. Mahmud al Ghazni, misalnya, diucapkan sebagai ‘Mahmud Gajnawi’ oleh Kshitiz dalam Vanshavli Charit.

Karena itu, Resi dalam Atharwa Weda, membuat sedikit perubahan dalam kata Arab dan digunakan kata Sanskerta Mamah, meskipun hakekatnya tetap sama. Dia melakukannya untuk membimbing Pandit Hindu kepada yang benar dan memungkinkan mereka mendapatkan gambaran hakekat yang sebenarnya dari nubuatan ini, agar mereka betul-betul memperhatikan dalam berbuat demikian.


Koin Emas.

Tuhan mengaruniakan kepada Mamah Rishi atau Nabi Suci Muhammad, seratus koin emas. Seratus koin emas ini adalah kaum mukminin dan para sahabat Nabi di masa awalnya yang diberikan kepadanya dalam kehidupannya di Mekkah yang penuh guncangan, yang menahan segala jenis kesulitan hidup serta penderitaan dan akibatnya menjadi demikian suci dan berharga seperti emas murni. Mereka adalah ‘Orang yang paling depan, yang paling pertama’ (Q.S.9:100) yang setelah menjalani masa penganiayaan yang panjang di tangan orang-orang Mekkah, meninggalkan rumah mereka dengan sanak keluarganya dan bahkan Nabi yang disayanginya serta dipaksa lari ke Abesinia. Mereka meninggalkan semua yang paling disayanginya dan segenap harta miliknya, tetapi tidak meninggalkan Islam dan karenanya menjadi mereka yang terpilih di hadapan Tuhan sebagaimana al-Quran berkata: “Allah berkenan kepada mereka” (Q.S. 98:8). Mereka dihadang oleh cobaan berat dan mereka lulus dengan penuh keberhasilan melintasi setiap ujian. Dalam kata-kata Quran Suci: “Dan sesungguhnya Kami akan menguji kamu dengan sesuatu dari ketakutan dan kelaparan dan kehilangan harta dan jiwa dan buah-buahan”.(Q.S. 2:155). Daln lagi Kitab Suci berfirman: “Dan Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan” (Q.S.21:35). Kata fitnah dalam ayat ini diterangkan bagaikan meletakkan emas dalam api untuk memisahkan yang tidak murni itu dari emasnya. Begitu pula, kaum muslimin yang masuk Islam paling awal dan para sahabat Nabi Suci dicoba dengan keburukan, teraniaya dan tercebur dalam api kesukaran hidup serta penderitaan dan akibatnya mereka menjadi suci bak emas murni.

Dinyatakan dalam ‘Shatpath Brahmana’, yang dipandang sebagai sebuah tafsir terilham dari Yajur Weda, bahwa emas itu secara kiasan digunakan untuk menunjukkan kekuatan spiritual dari seseorang. Daya ruhani seseorang yang bisa mengatasi segala kesulitan dan ujian dibandingkan dengan emas murni. Jadi, para sahabat Nabi yang menghadapi segala macam kesulitan dan memikul kesukaran hidup yang berat itu adalah koin emas murni yang dianugerahkan kepada Nabi. Seratus adalah jumlah sahabat yang mengungsi ke Abesinia, menggenapi ramalan bahwa Mamah Rishi akan diberi seratus koin emas.

Sepuluh kalung

Hadiah kedua yang dikaruniakan kepada Nabi Suci yakni sepuluh kalung yang indah tak ternilai harganya. Ini adalah sepuluh sahabat terbaik dari Nabi Suci yang dikenal sebagai ‘Ashra-i-Mubashshara’. Mereka adalah yang paling sukses dalam missi kehidupan mereka dari antara segenap kaum Muslimin, dan telah menerima kabar baik tentang peningkatan mereka baik di dunia maupun di akhirat dari bibir Nabi sendiri yang menamakan masing-masing dari mereka itu ‘di surga’. Mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, ‘Ali, Talhah, Zubair, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf,  Sa’ad  bin Abi Waqqas, Sa’ad bin Zaid dan Abu ‘Ubaidah (semoga Allah sangat meridhoi mereka). Besar dan tak terhitung pengorbanan yang telah mereka lakukan demi Islam sehingga tak tertandingi pahala bagi mereka itu. Mereka adalah pribadi mencolok tentang mana Weda menamakannya sebagai Dash asrija – ‘sepuluh buket dari Surga’.

(Rig Weda 10:184:2).

Kata asrijah digunakan dalam bahasa Sanskerta baik dalam pengertian ‘serangkaian’ atau ‘seikat bunga­bungaan’ dan ‘seorang pemimpin’. Dalam Rig Weda kita dapati: “Wahai kalian yang menginginkan seorang anak, semoga Aswani Kumar Dewata menghadiahkan anak-anak kepadamu dengan serangkaian bunga­bungaan di kepalanya” (Rig Weda 10:184.2; Atharwa Weda 1:14.1).

Tigaratus kuda pacu yang baik

Hadiah ke tiga merujuk kepada mantera di atas adalah tiga ratus ekor kuda pacu yang baik. Kuda-kuda ini digambarkan termasuk keturunan Arab. Kata Sanskrit Arwah berarti seekor kuda pacu Arab terutama digunakan oleh Asura (bukan-Arya) (Rig Weda 5:54:14). Kendaraan Agni dan Indra (dewa ilmu dan kekuatan) juga dinamakan sebagai ‘Arwah’ (Rig Weda 8:42.2; 8:62.3).

Karena itu, dalam cahaya mufasir Weda, tiga ratus ekor kuda pacu yang bagus (30) dari Muhammad adalah para sahabat Nabi Suci yang berjihad di perang ‘Badar’ dan disamping berjumlah tigaratus juga adalah cerdas dan perkasa. Mereka itu, di waktu malam, adalah pengabdi yang salih dari Tuhan mereka dan sepanjang siang hari menjadi pejuang besar dan perkasa. Tak seorang panglima pun yang sanggup mengumpulkan kekuatan pemukul semacam itu seperti yang telah dilakukan Muhammad. Mereka juga ilahiah di samping pasukan tempur, dan dengan mengabaikan sejumlah hambatan yang berupa kekurangan senjata, amunisi dan sebagainya, telah bisa menaklukkan kekuatan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak.

Sepuluh ribu sapi.

Hadiah terakhir yang dianugerahkan kepada Nabi Suci, sesuai dengan mantera ini, yakni serombongan sepuluh ribu wali yang menemani Nabi ketika beliau menaklukkan Mekkah. Mereka digambarkan dalam mantera Weda sebagai ‘sapi’. Kata Sanskrit go itu berasal dari gaw yang berarti pergi ke medan perang. Seekor sapi disebut go karena bangsa Arya mengobarkan peperangan terutama untuk  menangkap lembu musuh-musuhnya. Inilah sebabnya mengapa lembu jantan dipakai sebagai lambang kemenangan. Dan sangat sering kata yang sama go digunakan baik untuk lembu jantan maupun seekor sapi.

Seekor sapi atau lembu jantan digambarkan dalam Weda sebagai simbol perang maupun damai dan aman. Dalam Rig Weda, kami dapati, seorang serdadu perkasa yang mengalahkan musuh-musuhnya, digambarkan sebagai lembu jantan. ‘Gaw iva shaktah’(Rig Weda 8:33.6). Begitu pula, dalam Shatpath Brahmana (5:2.4.13) dan Taitreya Brahman: 2.5.2, seekor sapi digambarkan sebagai simbol keganasan dan kehancuran. Di tempat lain dalam Rig Weda, dikatakan, Gaw iva bhimyoh, ‘dia itu ganas dan kejam seperti seekor sapi’ (Rig Weda 5:56.3). Namun, dalam Rig Weda yang sama, seekor sapi juga disebutkan sebagai tanda perdamaian dan keamanan.

(Rig Weda 9:112.3)

‘Manusia dengan bermacam kecerdasan, pencari kekayaan kita hidup (bersama) seperti sapi” (Rig Weda 9:112.3). Begitu pula, dalam Rig Weda, kita dapati:

(Rig Weda 10:145.6)

“Biarlah hatimu beralih terhadapku sama seperti seekor sapi beralih kepada anaknya” (10:145.6). Seperti seekor sapi yang memberikan kasih-sayangnya kepada anaknya yang muda, wahai suamiku, hendaknya engkau menaruh kasih kepadaku”. Dalam Shatpath Brahmana, sapi-sapi itu dikatakan seperti orang-orang. Sekali lagi, seekor sapi digambarkan sebagai lambang peribadatan, ketegaran (aditi) dan ilmu (saraswati) (12:9.1.7).

Dengan membawa semua kutipan ini dalam ingatan, lagi kita menengok kepada mantera itu dan melihat apa yang diartikan dengan sepuluh ribu sapi dari Muhammad. Kutipan ini membuat dua perkara menjadi jelas; pertama, bahwa para sahabat Nabi Suci itu adalah orang-orang suci, salih dan penyayang seperti seekor sapi, dan kedua, mereka keras dan kuat seperti Indra. Jelaslah, sifat-sifat mulia ini bertolak belakang satu sama lain, tetapi Quran Suci dengan mudahnya memecahkan kesulitan ini. Berbicara mengenai Nabi Suci dan para sahabatnya al-Quran bersabda:

“Muhammad Utusan Allah; dan orang-orang yang menyertai dia berhati teguh melawan kaum kafir, bercinta-kasih antara mereka. Engkau melihat mereka berruku’, bersujud, memohon anugerah dan perkenan Allah”. (Q.S.48:29).

Lagi dia berkata:

“Rendah hati terhadap kaum Mukmin, dan gagah berani terhadap kaum kafir”(Q.S.5:54).

Pada perang Uhud Nabi Suci melihat dalam kasyaf bahwa sapi-sapi disembelih. Beliau sendiri memberikan penafsiran bahwa dalam pertempuran itu sejumlah sahabatnya akan terbunuh. Ini juga menunjukkan, bahwa para sahabat Nabi Suci itu benar disebut sapi-sapi karena kehangatan dan kasih-sayang sesamanya. Jadi, mantera Weda memberikan gambaran yang tajam tentang sepuluh ribu wali para sahabat Nabi Suci yang menemani beliau pada saat kejatuhan Mekkah.

Berbicara mengenai para sahabat ini, Quran Suci juga menyatakan:

“Itulah gambaran mereka dalam Taurat, dan gambaran mereka dalam Injil” (Q.S. 48:29).

Jadi, al-Quran juga meng-klaim bahwa suatu gambaran tentang Nabi Muhammad dan para sahabatnya akan didapati dan suatu rujukan atas mereka akan diketemukan dalam kitab suci pelbagai agama dan dalam nubuatan sejumlah nabi-nabi.

Mantera dari Kuntap Sukt ini, seperti yang kita lihat, dengan jelas memberi nama Nabi Suci sebagai Mamah yang disamping mengandung hakikat yang sama dengan kata Muhammad, juga kemiripan dalam bentuk maupun pengucapannya. Mantera ini juga menunjukkan bahwa Muhammad adalah seorang resi yang besar yang diberi hadiah Ilahi para sahabat yang teruji dan suci, yang murni dan berharga bagaikan emas murni, dan yang terangkat serta sempurna sedemikian sehingga mereka diumpamakan dengan bunga­bunga Surga. Beliau telah diberi para sahabat semacam itu yang baik pengabdi yang wali di sisi Tuhan dan juga pejuang yang gagah-berani di medan perang. Sejarah telah menyatakan kepada kita bahwa tanda­tanda ini hanya digenapi dalam pribadi Nabi Muhammad dan para sahabatnya serta tiada lagi yang lain. Nabi memperoleh hal-hal ini dengan urutan yang sama seperti yang digambarkan oleh mantera tersebut. Pertama beliau memperoleh seratus koin emas, kemudian ‘ashra-i-mubashshara kemudian tigaratus sahabat yang bertempur di medan Badar dan akhirnya sepuluh ribu wali yang menemani Nabi pada penaklukan Mekkah. Sejarah dunia tidak dapat menunjukkan satu pribadi lain yang memiliki atribut ini dan memenuhi yang digambarkan ini kecuali Nabi dari Arabia yang diberkahi (s.a.w.) Seseorang boleh mengingkari kebenaran ini karena mau benar sendiri dan kepala batu, tetapi seseorang tak dapat membuktikan dua fakta yang bertolak-belakang itu memang benar pada suatu kali dan suatu waktu yang sama; karena kebenaran itu tak mungkin bermuka dua.


Pemujaan Nabi kepada Tuhan. Mantra 4

(Atharwa Weda 20:127:4).

 “Pertunjukkan dirimu, wahai penyanyi, pertunjukkan dirimu, bagaikan seekor burung di pohon   penuh berbunga, lidahmu mengalir lancar di bibir seperti pisau cukur dengan kulit pengasahnya” (Bloomfield)  “Berlimpahlah engkau, wahai penyanyi, berlimpahlah engkau seperti seekor burung di pohon yang    berbuah masak” (Griffith).

“Sebar-luaskanlah kebenaran, wahai engkau yang selalu memuji (Ahmad), siarkanlah kebenaran,    bagaikan seekor burung yang menyanyi di pohon yang berbuah masak. Bibir dan lidahmu bergerak    cepat bagaikan pisau tajam di atas sepasang kulit pengasahnya”. (Penerjemah Hindu).

Nabi diminta menyiarkan agamanya dan menyebar-luaskan kebenaran. Buah-buahan di pohon telah masak, sukses Nabi sudahlah pasti. Mantera ini menyebut Nabi Suci sebagai ‘Rebh’ yang berarti astuti (31) atau “seorang yang selalu memuji atau mengagungkan”, dan ini adalah terjemahan yang tepat dari Nabi bangsa Arab yang bernama Ahmad. Sesuai dengan itu, Nabi Ahmad mengajarkan agamanya dan dunia memetik buah-buah masak yang beliau bawakan. Quran Suci telah, tepat sesuai dengan mantera ini, menggelar permisalan tentang sebatang pohon yang berbuah lebat dalam kata-kata berikut ini:

‘Kata-kata yang baik bagaikan pohon yang baik, yang akarnya kuat dan cabang-cabangnya di langit” (Q.S.14:24). Jadi, kata-kata yang baik atau Islam itu seperti pohon yang teguh berakar dan berbuah lebat.

Mantera dalam Atharwa Weda ini dibenarkan dan diperkuat oleh mantera berikut dari Rig Weda:

 “Dua ekor burung dengan sayap-sayap yang indah, diikat dengan tali persaudaraan pada pohon   pelindung yang sama, telah menemukan tempat pengungsiannya. Satu dari si kembar itu memakan   buah tin yang manis, yang satunya lagi tidak makan, hanya melihat” (Rig Weda 1:164:20).

Kriteria dari ketulusan seseorang yang diberikan Tuhan dalam mantera ini, dalam pandangan Resi Weda, adalah bahwa dari dua orang, yang diberi kebiasaan dan kekuatan yang sama, termasuk dalam bangsa yang sama, serta hidup di negeri yang sama, yang satu mau memakan buah dari pohon ruhani sedangkan yang lain hanya melihatnya dengan penuh kesedihan. Pohon yang berbuah masak ini adalah pohon Islam atau Nabi Suci Muhammad yang mendapat sukses dan  mengandung buah; serta lawan-lawannya yang memandang dengan terpukul oleh kesedihan dan duka-cita. Pohon tin, dalam kiasan Alkitab, bermakna pohon ruhani.

Di tempat lain, al-Quran bersabda:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kebaikan yang melimpah-limpah. Maka bersalatlah kepada Tuhan dikau dan berkorbanlah. Sesungguhnya musuh engkau itu terputus (dari kebaikan)” (Q.S.103:1-3).

Diterangi ayat-ayat ini, makna dari mantera ini cukup jelas. Tuhan telah memberikan kebaikan yang melimpah ruah atau buah-buah masak kepada Nabi Ahmad. Karena itu beliau diminta untuk memuji Tuhannya dan mengagungkan Dia. Beliau menggerakkan bibirnya dalam memuji Tuhannya, demikian cepat, sebagaimana digambarkan oleh mantera, bagaikan sepasang pisau tajam di atas kulit pengasahnya, memotong musuh-musuhnya dari kebaikan. Inilah apa yang sebenarnya terjadi dan kebenaran Nabi ditegakkan tepat seperti yang diramalkan oleh Resi Weda.

Salat di medan perang. Mantra 5

(Atharwa Weda 20:127:5) “Penyanyi dengan lagunya yang kudus bergegas  dengan abai seperti sapi; di rumah adalah anak­anak    mereka dan di rumah sapi-sapi pun hadir” (Bloomfield).  
“Cepat dan berhasrat seperti  kerabat datang keluar penyanyi itu dengan nyanyi-pujian mereka:

Anak dara kecil mereka di rumah, di rumah mereka menunggu-nunggu sapi-sapi”  (Griffith).

Inti-sari terjemahan yang diberikan oleh beberapa mufasir Hindu adalah:  “Dia yang bersembahyang dengan doanya yang bergegas seperti sapi jantan yang perkasa. Hanya    anak-anak mereka yang di rumah, dan di rumahlah mereka menantikan sapi-sapi itu”.

Pasukan yang berangkat dari Madinah untuk menyerbu Mekkah adalah sekelompok pejuang yang gagah­berani. Mereka adalah orang-orang yang bersembahyang yang mengucapkan doanya sambil tergesa menuju medan perang. Di Madinah, hanya perempuan dan anak-anak mereka saja yang tertinggal. Seperti juga sapi muda yang dengan gelisah menanti di rumah akan induknya, begitu pula anak-anak kaum Mulsimin menunggu di rumah demi kembali dengan selamatnya dia yang bersembahyang.

Quran Suci menyatakan: “Dan mohonlah pertolongan (Allah) dengan sabar dan salat” (Q.S.2:45).

Memperagakan kekuatan dan pada saat yang sama dengan rendah hati berdoa kepada Tuhan mereka adalah suatu tanda kakateristik yang tidak didapatkan pada kaum yang lain di dunia kecuali para sahabat Nabi Suci Muhammad. Mengenai Nabi, kata Quran Suci:

 “Dan apabila engkau berada ditengah-tengah mereka dan memimpin salat untuk mereka, hendaklah   segolongan dari mereka berdiri bersama-sama engkau, dan hendaklah mereka memegang senjata   mereka. Lalu setelah mereka menyelesaikan sujud, hendaklah mereka pergi ke belakang kamu,    dan golongan lain yang belum salat hendaklah maju ke depan dan bersalat bersama-sama engkau,   dan hendaklah mereka siap dan memegang senjata mereka” (Q.S. 4:102).

Sungguh pantas dicatat, gambaran para pejuang Muslim, yang diberikan dalam mantera ini. Seperti sapi jantan yang perkasa, pada satu sisi, mereka bergegas ke medan perang dan bertempur dengan gagah­berani, dan seperti sapi yang rendah hati, di lain fihak, mereka hidup penuh kedamaian dengan umatnya sendiri dan mereka berdoa kepada Tuhannya dimanapun mereka berada baik di medan perang ataupun diluarnya.

Penyiaran Kitab. Mantra 6

(Atharwa Weda 20:127.6).

‘Bawalah kemari, wahai penyanyi sajak-sajakmu, yang akan menghasilkan ternak dan menghasilkan   barang-barang yang baik! Di antara Dewa-dewa, tempatknlah suaramu seperti seorang  pemanah   dengan panahnya” – (Bloomfield). 

“Wahai penyanyi, bawalah ke depan hymne yang menemukan ternak, temukanlah kekayaan. Bahkan   seperti seorang pemanah yang menujukan panahnya, yang menujukan doanya kepada Dewa-dewa”.  Griffith.

“Wahai engkau yang memuji (Tuhan), peganglah erat-erat kebijaksanaan, yang menghasilkan sapi
serta barang-barang yang baik. . Sebar-luaskanlah ini diantara orang-orang suci, tepat seperti
seorang pemanah yang menempatkan anak panahnya di jalan yang lurus” Para penafsir Hindu.

Kebijaksanaan, yang dibicarakan dalam mantera ini, tiada lain adalah Quran Suci. Melalui al-Quran,
seseorang dapat menghasilkan kebaikan di dunia ini maupun di akhirat. Nabi diminta menyiarkan ajaran dari kitab ini di antara orang-orang suci, yakni, para sahabatnya, seperti seorang pemanah dengan anak panahnya. Dan Nabi Suci sungguh telah melakukannya. Beliau satu-satunya Nabi yang wahyunya disimpan dalam ingatan para pengikut dan sahabatnya dan yang kitabnya benar-benar ditulis sejak masa hidupnya. Beliau menyiarkan Kitabnya di kalangan para pengikutnya yang suci dan mereka menghafalkan di hatinya. Karena itu tak ada kitab wahyu lain yang ditulis serta dijaga keasliannya.

Quran Suci juga memperkuat mantera ini dengan berkata:



“Wahai Utusan, sampaikanlah apa yang diturunkan kepada engkau dari Tuhan dikau” (Q.S.5:67).


 “Tidak, sesungguhnya itu Peringatan. Maka barangsiapa suka, hendaklah ia memperhatikan itu. Dalam Kitab yang dimuliakan, Yang diluhurkan, yang disucikan,Di tangan para penulis, Yang mulia, berbudi baik” (Q.S. 80:11-16).

NABI SEBAGAI LAKI-LAKI TERBAIK DAN SEORANG PEMBIMBING BAGI DUNIA. Mantra 7

(Atharwa Weda 20:127.7)

“Dengarkanlah engkau kepada pujian tinggi Raja yang memerintah semua orang, Tuhan yang di atas manusia biasa, dari Vaishvanara Parikesit” – (Bloomfield)

“Dengarkanlah pujian Parikesit, pemerintahan yang disayangi semua orang, raja yang memerintah semuanya, menaikkan manusia seperti Tuhan” – (Griffith).

Mufasir Hindu telah menrejemahkan mantera ini sebagai berikut: “Nyanyikanlah pujian yang tinggi kepada raja dunia atau Cahaya Alam Semesta, yang adalah tuhan serta yang terbaik dari antara manusia. Dia adalah pembimbing seluruh umat manusia dan yang memberikan perlindungan kepada semua orang”.

Semua gelar yang diungkapkan dalam mantera ini khususnya cocok kepada Nabi Suci Muhammad. Dia adalah nabi pertama dan terakhir yang menjadi pembimbing bagi seluruh bangsa di dunia. Begitu pula, beliau adalah nabi yang digambarkan sebagai sebaik-baik manusia. Tak seorangpun dari resi Weda bisa memperoleh kedudukan yang demikian tinggi, tidak, bahkan nama merekapun tidak dikenal di dunia. Para pengikut Weda sendiri berbeda pandangan mengenai keunggulan resi satu dengan yang lain. Karena itu, tiap kata dari mantera ini, diterapkan hanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. “Penguasa dunia”, “Cahaya Alam Semesta”, sebaik-baik manusia, ‘seorang pembimbing seluruh umat manusia’, dan ‘satu perlindungan bagi semua orang’ – betapa besar pujian kepada Nabi Suci yang dinyanyikan oleh Resi Weda?


Penjelajahan dalam kerajaan kemakmuran dan perdamaian.

Dalam mantera 7 hingga 10 dari Sukt ini, ada disebutkan seorang pribadi besar dimana pemerintahannya yang damai serta populer telah dipuja dan dipuji. Namanya adalah Parikesit; dan pemerintahannya adalah menjadi impian semua umat manusia, dan raja itu adalah kesayangan umat. Adalah suatu perkara yang sungguh disesalkan, bahwa penafsir Weda, Mahabharata, Bhagawat dan Purana telah menyingkirkan serta mengabaikannya sebagai bayangan khayal atau kilasan dari lamunan liar. Siapakah itu Parikesit, dan dimanakah pemerintahannya yang diberkahi, membaca suatu peristiwa dimana dalam Weda sendiri yang menimbulkan hingga kini suatu dambaan dalam fikiran untuk berziarah ke tempat itu? Pujian Parikesit telah dinyanyikan dalam Rig Weda, Atharwa Weda dan Brahman Grantha,(32) serta disebutkan adalah kerajaannya yang damai dan warganya yang bahagia serta makmur, dan suatu perintah telah diberikan agar selalu menjaga kesegaran ingatan kita terhadap pemerintahan yang ideal ini dalam Yagya tahunan.

Di samping pandit Hindu, kaum orientalis Eropa pun, yang menjadi musafir serta wisatawan yang tak kenal lelah ke tanah Hindu ini, sama-sekali kosong dalam memberi kita petunjuk dalam perkara ini, yakni siapakah itu Parikesit yang telah dinyanyikan dalam Weda; kapan dan dimanakah beliau hidup? Parikesit di sana, seorang yang sangat disayang dari Rumah Kurawa, yang telah disebut dalam Mahabharata, Bhagawat Puran serta legenda Hindu lainnya; Adakah dia Parikesit yang sama yang telah dinyanyikan dalam Atharwa Weda? Jika jawabannya adalah anggukan, maka Mahabharata harus dianggap lebih kuno dibanding Atharwa Weda. Dan bila tidak demikian; dan Atharwa Weda sesungguhnya adalah suatu kitab yang jauh lebih tua, maka, dengan penyebutannya apakah Parikesit telah disisipkan dalam Purana, dan belakangan, dalam Weda? Dalam kedua kasus di atas, maka ini jelas sekali, akan menimbulkan pelecehan umum terhadap Weda dan menimbulkan rasa sakit dan menderita di hati seorang yang beriman.

Tetapi bila kedua perkara itu tidak benar, dan Weda adalah kata-kata dari Tuhan Yang Maha-tinggi, maka kita harus, dalam menghormati Parikesit ini, menyelidiki dengan lebih mendalam dan memecahkan kulit untuk mengeluarkan isinya. Mengenai Weda, para ulama telah mempunyai pandangan yang bermacam­macam dan saling bertentangan:

Ada kisah binatang dan dongeng dalam Weda.
Tidak ada kisah binatang dan dongeng dalam Weda.
Fabel dan dongeng dalam Weda itu bukan fakta nyata, tetapi adalah gambaran dari wacana dan
perumpamaan.

Pandangan yang bermacam-ragam serta perbedaan semacam itu didapati baik dari pandit Hindu maupun kaum orientalis. Kelompok pertama berpendapat:

 “Dia (Parikesit) muncul dalam Atharwa Weda sebagai seorang raja dimana kerajaannya yang besar itu makmur serta damai.

Ini adalah nama dari seorang raja kuno (putera Abimanyu dan ayah Janmejaya). Karena itu ayat-ayat Dimana dia dipuja-puji belakangan disebut ‘Pariksitya’. Baik Zwimmer(33) maupun Oldenbrug(34)    Mengenal Parikesit sebagai benar-benar seorang raja, suatu pandangan yang didukung oleh fakta bahwa dalam kepustakaan Weda belakangan, raja Janmejaya membawa nama ayahnya yakni

Parikesit. Jika memang benar demikian, maka Parikesit termasuk kepada periode belakangan, karena Bait-bait Atharwa dimana namanya terdapat itu pasti dari masa belakanagan, dan tak seorangpun dari Samhita yang lain mengenal Parikesit sama-sekali. Roth(35) dan Bloomfield(35) yang kurang  Senang dalam Hymne dari Atharwa Weda, 690, 691 menganggap Parikesit itu bukanlah sebagai Raja yang berasal dari manusia sama-sekali”.

Dengan cara yang sama, beberapa pendeta Arya juga berpendapat bahwa dalam Atharwa Weda tidak disebutkan raja secara khusus, dan bahwa arti dari Parikesit adalah:

Tinggal di sekitar, tinggal atau menyebar di sekitar, sekeliling, meluas.
Raja yang tinggal bersama warganya, dan bercampur bebas dengan mereka, adalah Parikesit.

Berdasarkan pengertian ini, Brahma Grantha telah mengambilnya untuk  mengartikannya sebagai Agni, bumi dan langit yang menyebar di sekeliling umat manusia.

Komentar kita terhadap penafsiran ini.

Bahwa tidak ada dongeng atau ceritera dalam Weda, adalah sekedar ciptaan kaum Arya Samaj. Bahkan di antara kaum Arya Samaj sendiri ada beberapa pandit yang percaya bahwa Weda itu mengandung kisah dan anekdot. Selanjutnya, pengarang leksikon yang paling otentik dari Weda, Nirukt, telah menyebutkan kisah tentang para raja, kota, dinasti dan resi yang ditemukan di sini dan di sana dalam Weda. Menerjemahkan nama-nama ini akan mengalihkan mantera menjadi tak bermakna dan naif. Ceritera ini tidak saja terdapat dalam Atharwa Weda, melainkan juga dalam seluruh Weda. Akankan anda, menyanyikan sedikit lalu mengakui bahwa Weda itu bukannya Kitab Wahyu, atau bahwa ini Kitab yang dirusak dan tercemar, atau bahwa semua pandit non-Arya itu bodoh dan buta huruf?

Dalam tingkat pertama, pengumuman ini seharusnya dibuat oleh Weda sendiri, bahwa: Akulah Kitab pertama sejak dunia ini ada; maka tak ada kisah maupun dongeng di dalamnya. Tetapi adalah klaim kita bahwa tak ada mantera semacam itu dalam seluruh keempat Weda. Karena topik ini tak bisa kita perbincangkan dengan rinci di tempat ini, maka kita memuaskan diri dengan menulis sesuatu tentang pribadi Parikesit. Dari terjemahan mantera yang kita diskusikan, kelihatannya itu muncul sebagai kisah atau bukan, kita tinggalkan kepada para pembaca untuk menentukan dengan segenap keadilannya. Terjemah harfiah dari mantera itu adalah:

“Raja dari seluruh umat manusia, yang adalah suci serta murni di antara manusia; Pemimpin dari semua orang, Parikesit; dengarkanlah atas pujian yang tinggi kepadanya”.

Jelaslah bahwa dalam mantera ini, Parikesit, adalah seorang yang terpuji, dan bahwa seluruh umat
manusia itu hadir karena dia adalah raja; pada sisi lain, dia itu suci dan murni (devta) doi antara laki-laki, dan pemimpin seluruh dunia, serta patut dipuji dan dihormati; dan Weda telah memerintahkan untuk memasang telinga dan mendengarkan pujian yang tinggi kepadanya. Dengan memandang terjemah harfiah ini di hadapan mata kita, maka kita harus melihat:

Apakah ini sekedar ceritera?
Apakah ini suatu nubuatan?

Jika Parikesit hidup sebelumnya dan Weda datang belakangan, maka kemudian akan jelas bahwa ini sebuah ceritera, suatu dongeng atau  kisah binatang; dan pertanyaan sewajarnya akan timbul: Kapankah Parikesit ini hidup? Jika dia sama dengan Parikesit yang disebut dalam Mahabharata dan Bhagwat Purana, dan adalah putera Kuru, dalam kasus ini, maka mantera dan Weda ini kitab pada masa Mahabharata.

Tetapi Parikesit ini bukan seorang raja dari seluruh umat manusia, tidak lebih unggul dan mengatasi semua makhluk manusia. Karena itu, demi alasan ini, maka Parikesit di sini bukanlah Parikesit dalam Mahabharata, karena Weda itu sudah ada sebelumnya, dan Parikesit hidup belakangan. Dan bila beralasan bahwa tak diragukan, Weda itu ada sebelumnya tetapi kisah ini dirubah dan disisipkan dalam Weda di belakang hari, maka dalam kasus ini, anda harus mengakui bahwa Weda itu tidak terjaga dan bukan kitab yang terlindungi.

Sekarang kita mengambil dan mempertimbangkan aspek lain dari pertanyaan, yakni bahwa Weda itu ada sebelumnya dan Parikesit datang belakangan. Ini bukanlah dongeng atau cerita, namun suatu nubuatan; dan dalam hal ini, anda tidak akan menganggap Weda sebagai kitab yang datang belakangan sesudah Mahabharata, ataupun mengakui suatu kerusakan atau perubahan di dalamnya. Namun, anda harus menjawab satu pertanyaan: Siapakah itu Parikesit, atau pada siapa nubuatan ini digenapi?

Dalam pujian kepada Parikesit ini dinyatakan bahwa dia akan menjadi raja dari seluruh umat manusia, serta yang paling suci dan murni (devta) dari seluruh makhluk manusia. Putera Kuru bukanlah raja dari seluruh umat manusia. Dan mengapa pujian ini harus diingat-ingat selamanya dengan sarana yagya? Karena itu, teranglah bahwa Parikesit ini adalah orang lain, yang diberkahi dengan sifat yang utama dan mulia, serta yang akan datang pada suatu waktu mendatang.

Tetapi orang-orang ini yang tidak percaya adanya kisah atau nubuatan dalam Weda, mengambil arti harfiah untuk istilah Parikesit dan menyebutnya sebagai nama gelar. Maka, dikatakan, berdasarkan kamus, dengan mengambil arti: tinggal di sekitar, tinggal atau menyebar ke sekitar, sekitar, meluas. Dan karena itu, Pandit Arya Samaj, memberi kita untuk memahami bahwa istilah Parikesit itu terdiri dari dan menunjukkan bahwa itu adalah raja yang dalam kehidupannya bercampur dengan rakyatnya. Bahkan bila kita menerima penafsiran ini, tidak akan menimbulkan hambatan di jalan bahwa itu suatu ramalan. Sudah ada, dalam kronik sejarah manusia, hanya ada satu raja, kepada siapa dibuktikan oleh sejarah serta kejadian yang dialami oleh musuh-musuhnya, bahwa dia bangkit dari keadaan yatim yang sederhana dan tanpa daya lalu mencapai puncak tertinggi dari kekuasaan dan kerajaan. Tetapi dia tidak pernah memakai mahkota di kepalanya, bahkan tidak pernah duduk di tahta kerajaan, atau membangun istana buat dirinya. Dia duduk dalam lingkaran bersama rakyatnya sedemikian rupa, sehingga seorang pendatang baru tidak bisa tahu, siapakah di antara mereka itu yang menjadi rajanya, dan siapa yang muslim awam. Lututnya menyentuh begitu dekat dengan lutut para sahabatnya sehingga, seorang yang baru datang harus bertanya: "Siapa diantara kalian, yang bernama Muhammad?" Dalam masalah berbusana beliau benar-benar seperti oarng biasa. Tetapi Weda berkata, bahwa dari semua anak Adam, dia-lah yang paling suci dan murni, dan terbebas dari segala dosa dan kejahatan. Dan ini adalah argumen atas adanya dia sebagai Pemimpin dan Kepala dari dunia ini.

Karena itu, Parikesit, menyangkut sifatnya, ucapannya dan amal perbuatannya, tiada lain adalah Nabi Suci Muhammad. Dengan menerima kebenaran ini, maka kehormatan dan keagungan Weda pasti akan berlipat dan membesar; bahwa ribuan tahun yang lalu, suatu nubuatan telah ada di dalamnya, dan setelah berlalunya waktu yang begitu panjang, datang untuk digenapi kata demi kata oleh Nabi Suci Muhammad dari Arabia, dan bahwa di dalamnya telah dinyatakan suatu model yang luhur dari pemerintahan untuk seluruh umat manusia; dan model pemerintahan ideal serta kerajaan dunia ini bahkan sampai sekarang sangat dibutuhkan.

Weda telah memerintahkan: Pasanglah telinga dan dengarkanlah pujiannya. Dan umat Weda, dengan memperhatikan kata-kata ini, telah menjaga dalam kesegaran ingatannya kerajaan yang aneh ini dalam yagya tahunan mereka, sehingga ketika Dia Yang Dijanjikan muncul, mereka tidak akan melakukan kesalahan sedikitpun dalam mengenalinya, serta menujukan keimanan mereka kepadanya, dan melagukan pujian kepadanya. Mungkin anda akan mengira, bahwa saya telah, berdasarkan mantera ini,  menyatakan dengan jelas kepada pandit Hindu realitas dari Parikesit Yang  Dijanjikan, dan melengkapi argumen saya demi keyakinan agama. Tetapi, wahai para pencari kebenaran, Hindu maupun Kristiani, pinjamkanlah telinga anda dan dengarkanlah alasan saya pula.


Parikesit Yang Dijanjikan dalam weda dan Paraclete dari Yesus Kristus adalah satu dan orang yang sama.

Prinsip dari dua agama, yakni Hindu dan Kristen, jelas pusatnya terpisah, dan saling pengaruh di pusatnya diperkirakan  mustahil. Tetapi, sebagaimana penyair dengan sangat tepatnya mengungkapkan; yakni: “Meskipun jalan yang kami pakai dan arahkan olehku dan sainganku itu berbeda, namun kami    bisa datang bersama serta bertemu di tujuan yang sama demi seorang yang paling dicinta”

Titik pusat dimana kedua agama ini bisa datang dan bertemu bersama-sama, adalah pribadi yang pemurah dan welas-asih dari Nabi Suci Muhammad, yang kedatangannya telah diramalkan tidak saja oleh para nabi Bani Israil, yang memberi kabar gembira, melainkan juga oleh Mahatma Buddha, Zend Avestha dan Dasatir, serta para resi Weda yang menyanyikan pujian dan pujaan kepadanya, suatu penyebutan yang akan anda dapati sepanjang kitab ini di sini dan di sana. Pribadi Nabi Suci adalah batu-karang yang teguh dimana dibangun dasar dari semua agama di dunia. Dan ini bukanlah suatu kejadian kebetulan, melainkan suatu rencana yang telah diputuskan oleh Pencipta Agung dari alam semesta ini.

Saudara-saudaraku Hindu dan kawan-kawan Kristiani, renungkanlah dan fikirkan, sekali lagi bercerminlah dan bernalar, bahwa baik Weda maupun Alkitab keduanya menunjukkan persaingan kepada pusat yang sama dari semua agama, yakni Parikesit Yang Dijanjikan dalam Weda dan Paraclete yang diramalkan oleh Yesus, dengan perbedaan hanyalah bahwa Weda itu berbahasa Sanskerta sedangkan Alkitab itu dalam bahasa Yunani. Dalam Weda adalah Kshi sedangkan dalam Alkitab cle; dan kalian tahu betapa bentuk kata itu diadopsi bila digunakan dalam bahasa lain. Tetapi, disamping alasan yang sederhana dan akrab ini, saya juga ingin menambahkan fakta ilmiah lain demi pertimbangan para pakar. Mereka yang telah mempelajari “Perbandingan Tata-bahasa Sanskerta, Parsi, Yunani, Latin dan Jerman, dan sebagainya” mengetahui sepenuhnya  dengan baik bahwa dalam bahasa sanskerta Ksha adalah kata yang sederhana, dan bahwa dalam bahasa Yunani tidak ada kata yang berhubungan dengan itu, dan ini berubah menjadi Cle di sana. Jadi Parikshit dalam Sanskrit menjadi Paraclete dalam bahasa Yunani. Suatu diskusi terinci atas istilah ini, Paraclete, dalam pandangan pakar Kristiani juga telah direproduksi, akan diketemukan di bawah judul “Nubuatan Yesus”. Istilah ini, Paraclete, dalam pandangan beberapa cendikiawan, bukanlah istilah Yunani, tetapi ini termasuk  dalam agama asing lainnya. Tepat seperti pandit Hindu yang menebak-nebak dan bingung dalam memberi arti sebenarnya dari Parikshit, dengan cara yang sama, para cendikiawan Kristen juga menyerah dan bingung  dalam menerjemahkan istilah ini. Tetapi kesulitan ini dengan mudah dapat dipecahkan dengan sedikit becermin bahwa gelar Paraclete Yang Dijanjikan atau pujian kepadanya seperti yang dikatakan oleh Yesus, dalam kenyataannya adalah terjemahan dari Parikesit yang sayangnya telah menjadi tersembunyi dan tertutupi dari pandangan para pandit Hindu. Kesimpulan dari apa yang dikatakan baik oleh Weda maupun Alkitab tentang  Dia Yang Dijanjikan, kita berikan di bawah ini:

Alkitab menurut Yohanes:
Dia akan mengadili semua orang dengan keadilan dan persamaan (Yohanes 14:16).
Dia akan tinggal besertamu selamanya (Yohanes 14:16).
Dia berdiam bersamamu dan akan besertamu (Yohanes 14:17)

Atharwa Weda:
Dalam kerajaan Raja (Parikesit) yang memberikan perdamaian serta perlindungan kepada semuanya…
Orang-orang makmur dalam pemerintahan Raja (Parikesit). (Atharwa Weda  20:127:9-10).
Parikesit …. tinggal di sekitar.
Kshit…..akhir atau bagian ujung dari suatu benda.

Pernyataan Weda yang sukar dibedakan dan kabur telah diperjelas melalui mulut Yesus Kristus, yang berkata, bahwa tinggalnya di antara orang-orang akan selamanya; yakni untuk mengatakan, bahwa kenabiannya tiada akhir, dan tak ada nabi lagi setelah dia untuk memansukh-kan dan menghapuskan kenabiannya. Perkara lain yang dinyatakan oleh Weda yalah bahwa Parikesit akan menjadi penguasa dari seluruh umat manusia; Yesus Kristus telah menerangkannya dengan berkata, bahwa dia akan mengadili dunia dengan keadilan dan persamaan hak; atau dengan perkataan lain, dia tidak hanya raja atau penguasa dari seluruh umat manusia, melainkan juga, sesuai dengan hukum alam, memberikan persamaan hak kepada seluruh umat manusia. Dengan cara ini, Yesus Kristus telah memperjelas dan menerangkan pujian yang telah dinyanyikan Weda untuk Parikesit; dan komentar yang terbaik yang mengatakan bagaimana Nabi itu kelak kiranya hanyalah dari seorang  nabi yang lain.

Ada juga kepentingan lain dari Parikesit sebagaimana disebutkan dalam mantera ini (Rig Weda 4:6.11), yakni seorang yang selalu memuji. Dalam Rig Weda istilah vaishvanar telah digunakan, yang berarti “Pujian dan pengagungan dari beberapa !”(36). Yakni untuk mengatakan, bahwa Parikesit adalah Ahmad disamping juga Muhammad (Ahmad berarti seorang yang paling banyak memuji Tuhan Yang Esa dan Sejati, dan Muhammad berarti dia yang sangat terpuji). Dan siapakah yang bisa lebih besar daripada Ahmad serta Muhammad selain dia yang bisa menyingkirkan dari dunia ini kebencian dan kecemburuan akibat pembedaan warna kulit serta keyakinan, keunggulan geografis maupun nasional, dan mencampur seluruh umat manusia ini ke dalam satu Persaudaraan, dengan Tuhan Yang Benar di atasnya sebagai Pencipta dan Tuan dari seluruh alam semesta; yang telah menyampaikan ajaran luhur tentang persatuan dan persamaaan, serta menyisihkan segala perbedaan yang dibuat orang akibat kelahiran seperti Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra, atau bahkan di antara Bani Israil, para putera Yudah adalah lebih unggul, hanya karena peristiwa kelahiran, terhadap putera Benyamin; yang telah menyingkirkan ke samping serta menolak catatan tinggi dan rendah semacam ini, dan menegakkan bagi seluruh ras kemanusiaan pada kedirian yang tak terpisahkan dan sederajat. Karena itu dia adalah (Vaishvanar). Pujian dan pujaan umat manusia! Nabi Suci Muhammad s.a.w. Tujukanlah pandangan keimanan kalian kepadanya, dan raihlah kebebasan serta emansipasi dari kutukan kasta serta kelahiran.

Muhammad memeberikan perlindungan dan perdamaian kepada dunia. Mantra 8

“Parikesit telah menjamin kita bagi suatu tempat tinggal yang aman, pada waktu dia, seorang yang paling mulia, pergi, ke tempat duduknya. (Jadi) suami di tanah Kuru ketika dia mendapati keluarga­   nya, bercakap dengan isterinya” – (Bloomfield). 

“Duduk di atas tahtanya, Parikesit, yang terbaik dari semuanya memberi kita perdamaian dan   ketenangan, mengatakan suatu Kauravya kepada isterinya ketika dia menata rumahnya”- (Griffith).

“Dia, yang menyediakan perlindungan kepada semua orang, memberikan perdamaian kepada dunia, segera setelah dia duduk di singgasananya. Orang-orang di tanah Kuru membicarakan dia
yang pembuat perdamaian pada waktu membangun rumahnya” – (Komentator Hindu).

Pada waktu pembangunan kembali Ka’bah (rumah Tuhan), para kabilah Arab nyaris saling memotong leher; dan ketika masalah itu dibawa ke hadapan nabi Suci, maka beliau menyelesaikan pertikaian itu dengan cara yang demikian indah sehingga seluruh kabilah sangat puas tanpa setetes darahpun yang keluar. Karena itu Nabi memberikan perdamaian ke dunia dan menjaga Rumah Tuhan dari darah manusia yang menetes di dalamnya. Begitu pula, pada saat penaklukan Mekkah, ketika pemerintahan Nabi ditegakkan, beliau memberikan perdamaian dan perlindungan bahkan kepada musuhnya yang paling keras dan menyuruh mereka pergi hanya dengan kata-kata:

“Dia berkata: Pada hari ini tak ada celaan bagi kamu” (Q.S. 12:92).

Kata Kauravya yang digunakan dalam mantera ini meminta beberapa komentar. Pertempuran di antara Pendawa dan Kurawa itu sangat dikenal dalam kepustakaan agama Hindu, suatu sebutan yang juga ada dalam Mahabharata. Padang dimana pertempuran ini dilangsungkan dikenal hingga hari ini sebagai Kurusetra. Kuru adalah suatu kaum yang sangat kuno, di mana Rig Weda menyebutnya sebagai Puru. Aslinya orang-orang ini adalah penduduk  Babylonia, dan mereka datang ke India beberapa saat sesudah perpindahan kaum Arya dari tanah itu. Alkitab juga menyebutkan suatu bangsa yang disebut Kora yang berselisih dengan Bani Harun menyangkut hubungannya dengan sajian mereka di Kuil Suci Yerusalem. Seseorang yang termasuk kaum ini, karenanya dikenal sebagai Kaurawa. Kata ini juga telah diterjemahkan sebagai seorang ‘pekerja’, dan ini tepat sesuai dengan rasa dimana kata ini digunakan dalam mantera ini yakni, seorang ‘mason’ atau pembangun rumah. Dalam bahasa Ibrani, kata Kuru berarti ‘dia yang melindungi rumah’, Kore berarti suatu rumah, dalam bahasa Ibrani maupun Pashto. Jadi, ini juga mungkin bahwa kata ini menjadi bentuk lain dalam kata Koreish.

KERAJAAN PENUH PERDAMAIAN. Mantra ke-9.
(Atharwa Weda 20:127.9)

“Apa yang saya bawakan kepadamu, kepala susu, minuman yang diaduk, ataukah miras?  (Demikianlah) sang isteri menanyakan kepada suaminya dlm kerajaan Raja Parikesit” (Bloomfield).

 “Apakah yang akan aku sajikan kepadamu, kepala susu, susu tipis, atau ragi gandum? Demikianlah  sang isteri menanyai suaminya dalam kerajaan dimana Raja Parikesit memerintah”- (Griffith).

“Dalam kerajaan sang Raja, yang memberikan perdamaian dan perlindungan kepada semuanya, seorang isteri menanyakan kepada suaminya apakah yang harus dihidangkan kepadanya kepala susu ataukah beberapa minuman ringan” – (Para mufassir Hindu).

Mantera ini juga mengacu kepada kerajaan penuh damai dimana Dia Yang Dijanjikan, yakni Parikesit, membawakan pemerintahannya . Ini diriwayatkan sebagai suatu nubuatan dalam masa awal Hadist Nabi, bahwa suatu saat akan tiba di Arabia dimana seorang perempuan bisa melakukan perjalanan sendirian dari Medinah ke Mekkah tanpa takut akan sesuatupun di jalan. Dan dunia telah melihat betapa setelah kedatangan Nabi itu perdamaian serta keamanan telah menyebar luas di seluruh tanah Arab, dimana sebelum munculnya Islam baik kesucian seorang perempuan maupun perlindungan atas hidup dan hak milik itu tak dijamin aman. Sepanjang pemerintahan nabi yang penuh damai maka para perempuan dengan mudah bisa melakukan perjalanan sendirian maupun pergi ke pasar untuk berjual beli barang dagangan.

TANDA BUKTI SUATU AGAMA SEJATI. Mantra ke-10
(Atharwa Weda 29:127:10).

 “Seperti cahaya gandum yang masak  tercurah di bawah mulut (bejana). Orang-orang berkembang dengan suka-cita dalam kerajaan Raja Parikesit” – (Bloomfield).

 “Menanjak seperti itu kepada cahaya langit , bersemi gandum yang masak di atas rekahan. Gembiralah orang-orang yang menjadi makmur di tanah dimana Parikesit memerintah” - (Griffith).

 “Gandum yang masak bersemi dari rekahan dan berkembang sampai ke langit. Orang-orang   berkembang makmur dalam pemerintahan raja yang memberikan perlindungan kepada semuanya” Para komentator Hindu.

Satu dari tanda bukti utama atas kebenaran sejati agama dan Kerajaan Ilahi yakni bahwa orang-orang berkembang kebahagiaan dan kemakmurannya di bawah pemerintahannya, persis seperti gandum yang bersemi di padang yang baik. Sebelum kedatangan Nabi Suci, bangsa Arab itu tenggelam dalam segala jenis kejahatan dan telah jatuh mendalam di kemerosotan. Tetapi dengan kekuatan ruhani Nabi dan berkah dari agamanya, kaum yang sama itu bangkit kepada ketinggian yang agung dan mulia. Taurat, Injil, Weda, dan Kitab-kitab Ilahi lainnya juga telah berdiri saksi atas kenyataan ini, sebagaimana Quran Suci menyatakan:

“Itulah gambaran mereka dalam Taurat, dan gambaran mereka dalam Injil; bagaikan benih yang  mengeluarkan tunasnya, lalu menguatkan itu, maka jadilah itu kuat dan berdiri dengan teguh di atas batangnya” (Q.S. 48:29).

Kata-kata Weda abhivsvah prajihite yavah (biji-bijian yang berkembang dan menjulang) mengandung ide yang sama sebagaimana diungkapkan dalam ayat yang dikutip di atas dari Quran Suci. Kitab Suci itu sekali lagi bersabda di tempat lain:

“Apakah engkau tak melihat bagaimana Allah membuat perumpamaan tentang kata-kata yang baik bagaikan pohon yang baik, yang akarnya kuat dan cabang-cabangnya di langit, Yang menghasilkan buahnya pada tiap tiap musim dengan seizin Tuhannya? Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka ingat” (Q.S. 14:24-25).

Baik Weda maupun al-Quran telah menggelar perumpamaan ini sebagai kalam ibarat dari agama yang benar. Al-Quran menyebutnya sebagai pohon yang baik, dan Weda menamakannya bhadram, yang berarti kebajikan dan kemakmuran yang berlimpah.

Menurut al-Quran maka akar dari pohon kebaikan itu menghunjam teguh di tanah, dan menurut Weda akar dari Yavah (atau pohon dari biji-bijian) mendalam di rengkahan. Al-Quran menyatakan bahwa cabang­cabangnya di langit, sedangkan Weda juga menyatakan bahwa pohon itu berkembang mencakar langit. Kemudian al-Quran menyatakan:

“Allah mengukuhkan orang-orang yang beriman dengan sabda yang mantap dalam kehidupan dunia dan di Akhirat” (Q.S. 14:27).

Weda, dengan cara yang sama, menyatakan bahwa manusia akan berkembang makmur dan bahagia di bawah pemerintahan agama yang benar.

Al-Quran menggambarkannya sebagai pohon yang berbuah lebat : “Yang menghasilkan buahnya pada setiap musim” (Q.S. 14:25). Dan Weda juga menggambarkannya sebagai pohon yang berbuah masak.

Quran Suci memberikan perumpamaan ini untuk mendukung kebenaran Nabi Suci Muhammad, dan kita telah melihat betapa mantera Weda memperkuatnya kata demi kata. Dalam kata-kata Quran Suci:

“Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka ingat” (Q.S. 14:25).

Karena itu, silahkan para pengikut Weda merenungkan fakta-fakta ini sebagaimana al-Quran telah memperkuat mantera-mantera Weda; mereka hendaknya juga beriman dan membuktikan kebenaran Nabi Suci Muhammad dalam mendukung apa yang telah dikatakan oleh ayat dan mantera di atas.

NABI DIMINTA BANGUN DAN MEMPERINGATKAN. Mantra 11
(Atharwa Weda 20: 127.11)

“Indra telah membangunkan sang penyair, berkata: Bangunlah, bergeraklah, dan bernyanyilah;    tentang aku, yang kuat, sesungguhnya, nyanyikanlah puji-pujian; setiap orang yang salih akan    memberikan kepadamu (pahala pengurbanan)” – (Bloomfield).  

“Indra telah membangunkan penyair dan berkata, Bangunlah berkelana bernyanyi di sini dan di sana.    Pujilah aku, yang kuat; tiap orang salih akan memberi engkau kekayan sebagai balasan”- (Griffith).

“Indra membangunkan penyanyi dengan pujiannya dan memintanya untuk pergi kepada orang-orang di setiap jurusan. Dia diminta untuk mengagungkan Indra, yang perkasa, dan semua orang salih yang akan memuji usahanya serta Tuhan yang akan memberkahinya dengan pahala-Nya” (Para mufasir Hindu)

Mantera ini memberikan, kurang lebih, terjemahan yang tepat dari surat 74 Quran Suci yang bernama Al-Muddatstsir (Orang yang berselubung):

 “Wahai orang yang berselubung. Bangun dan berilah peringatan. Dan Tuhan dikau agungkanlah”. (Q.S. 74:1-3).

Kemudian kata al-Quran: 

“Dan janganlah memberi sesuatu untuk mencari keuntungan. Dan demi Tuhan dikau, bersabarlah”. (Q.S. 74:6-7).

Dan lagi:

“Dan Tuhan dikau segera akan memberikan kepada engkau, sehingga engkau menjadi puas”. (Q.S. 93:5)

Di tempat lain dikatakan:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kebaikan yang melimpah-limpah. Maka bersalatlah kepada Tuhan dikau dan berkorbanlah” (Q.S. 108:1-2).

Tanpa suatu catatan atau komentar, kami telah memberikan terjemahan setepat mungkin dari mantera Weda dan ayat-ayat al-Quran, sehingga setiap pencari kebenaran yang tanpa bias akan menyaksikan bagi dirinya sendiri betapa ribuan tahun sebelumnya para resi Weda telah mengucapkan kata-kata yang sama, yang kemudian diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mantera ini sendiri sudah cukup untuk menegakkan kebenaran pengakuan Nabi. Al-Quran berfirman:

“Wahai orang yang berselubung! Bangunlah”.(QS.74:1).

Weda berkata:
“Indra membangunkan penyanyi untuk memuji (yakni Ahmad)”. Al-Quran menyatakan kepadanya agar memperingatkan orang-orang, dan begitu pula, dalam Weda dia diminta untuk pergi ke oarng-orang di setiap jurusan.

Al-Quran berkata: “Dan Tuhan dikau agungkanlah” (Q.S. 74:3).
Weda berkata, “Agungkanlah Indra, yang perkasa”
Menurut al-Quran: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kebaikan yang melimpah-ruah” (Q.S. 108:1).
Dan di dalam kata-kata mantera, “Tuhan akan memberikan dia pahala-Nya”.

Semua tanda-tanda yang jelas ini digenapi dalam pribadi Nabi Muhammad dan tidak kepada resi atau utusan yang lain. Dia bangkit dan memperingatkan umat serta mengagungkan Tuhannya. Siang dan malam dia menyiarkan keimanannya dan menyebar-luaskan kebenaran, serta, dalam kata-kata Weda, seperti seekor burung di suatu pohon yang berbuah masak dia menyanyikan pujian kepada Tuhannya.

Wahai Tuhan berikahilah Nabi Muhammad.

KEDERMAWANAN NABI. Mantra 12
(Atharwa Weda 20:127.12)

“Di sini, wahai ternak, engkau akan dilahirkan, di sini, wahai kuda, di sini, wahai para penghuni!   Dan Pushan juga, yang menganugerahkan seribu (sapi) sebagai hadiah pengorbanan, menetap   di sini” – (Bloomfield). 

“Di sini, sapi-sapi! bertambah dan berkembang biaklah di sini, di sini, wahai kuda, di sini, wahai manusia. Di sini dengan seribu hadiah kekayaan, Pushan juga melakukannya dengan duduk sendiri” (Griffith).

Komentator Hindu memberikan terjemah berikut ini:
“Sapi, kuda, dan manusia, berkembang biak dan bertambah-tambah di sini, karena di sini
memerintah seorang yang pemurah dan sangat dermawan yang memberikan ribuan dalam sedekah dan pengorbanan”.

Sejarah Islam mengusung suatu kesaksian yang terang tentang kebenaran nubuatan ini. Dunia telah menyaksikan betapa segalanya berkembang dan meningkat dalam kerajaan Nabi Suci. Bangsa yang paling terbelakang di dunia menjadi pemimpin utama dan pembawa obor cahaya dan ilmu. Kemakmuran, manusia dan ternak, segala sesuatu bertambah dan berlipat-ganda. Dan ini juga menjadi suatu fakta yang tegak bahwa Muhammad adalah orang yang paling dermawan, pemurah dan welas-asih yang pernah disaksikan dunia.

Quran Suci mengatakan:

 “Jadi dengan rahmat Allah itulah engkau bertindak lemah-lembut terhadap mereka. Dan sekiranya   engkau kasar (dan) kejam, niscaya mereka akan bubar dari sekeliling engkau” (Q.S. 3:158).

Jadi, karena kelembutan hati Nabi, kemuliaan akhlak, serta kedermawanannya maka umat dari segala penjuru berduyun-duyun dan berkumpul di sekelilingnya. Bila tidak maka suatu kaum kepala batu seperti bangsa Arab mustahil bisa dikalahkan dan diperintah.

DOA RESI WEDA BAGI NABI . Mantra 13
(Atharwa Weda 20:127:13).

“Semoga ternak ini, wahai Indra, tak terluka, dan semoga pemiliknya tidak cedera, semoga kelompok yang tidak suka, wahai Indra, semoga pencuri tak bisa memperoleh milik dari mereka”-(Bloomfield).

“Wahai Indra, semoga sapi-sapi ini selamat, tuannya bebas dari cedera. Semoga yang hatinya benci  atau para perampok tidak bisa mengendalikan mereka” – (Griffith).

“ Wahai Indra, semoga sapi-sapi ini (wali-wali pengikut Nabi) selamat, dan semoga tuan mereka tidak  cedera. Dan jangan biarkan seorang musuh, wahai Indra, atau seorang perampok, menguasai mereka” - Para komentator Hindu.

Betapa luar-biasa doa dari Resi Weda ini terhadap Nabi Suci serta para pengikutnya. Tidak ada sedikitpun penolakan bahwa doa ramalan dari Resi ini jelas telah tergenapi. Nabi dan para pengikutnya yang suci telah berhasil dalam dakwah mereka dan telah diselamatkan serta ditolong oleh Tangan Tuhan. Para lawannya yang membenci serta musuhnya yang keras tidak dapat menguasai mereka ataupun merampok mereka dari kemurahan yang Nabi telah berikan kepada mereka. Kaum Muslim berkembang makmur sedangkan lawan-lawannya binasa, dan karena itu, doa dari Resi itu telah diterima. Doa yang sama juga terdapat dalam surat terakhir dari Quran Suci:

“Katakan: Aku berlindung kepada rabb-nya manusia, Rajanya manusia, Ilahnya manusia.
Dari keburukan bisikan (setan) yang menyelinap. Yang berbisik-bisik dalam hati manusia
Dari golongan jin dan manusia”  (Q.S. 114: 1-6).

Nabi Suci juga diriwayatkan telah mengajarkan suatu doa kepada para pengikutnya:  “Wahai Tuhan; janganlah beri kekuatan dia atas kami yang tidak berbelas-kasihan kepada kami”. Dan Tuhan Sendiri berkata tentang Nabi Suci dalam al-Quran:   “Dan Allah akan melindungi engkau dari manusia” (Q.S. 5:67).

Resi berdoa kepada Tuhan demi keselamatan Nabi, dan Tuhan menerima doa tersebut serta mengumumkan bahwa Nabi dijamin aman dan akan berhasil dalam dakwahnya.

PUJIAN DAN DOA RESI. Mantra 14
(Atharwa Weda 20:127.14)

“Kami berseru kepada pahlawan dengan hymne dan nyanyian: Kami (berseru) dengan lagu yang menyenangkan. Bergembiralah dalam lagu-lagu kami; semoga kita tidak mengalami cedera!” (Bloomfield)

“Berulang-ulang dan lagi kami mengagungkan pahlawan dengan hymne pujian, dengan doa, dengan doa yang penuh harapan. Ambillah kesenangan dalam lagu-lagu yang kami nyanyikan; semoga kejahatan tak pernah menimpa kami”. – (Griffith)

“Kami nyanyikan pujian dari pahlawan besar dan dengan lagu yang menyenangkan kami agungkan  dia. Dengan bahagia terimalah doa ini, wahai pahlawan, sehingga tak ada kejahatan yang bisa menimpamu” –  (Para komentator Hindu).

Ini adalah mantra terakhir yang kita telah kutip dalam halaman-halaman yang lalu, dan di sini Resi Weda pemohon dengan sungguh-sungguh agar Nabi Suci mau menerima doa dan pujiannya ini. Permohonan Resi ini, sebagai suatu fakta, membuatnya wajib bagi para pengikut Weda bahwa hendaknya mereka juga menyanyikan pujian kepada nabi dan dengan mengagungkannya akan menyelamatkan diri mereka dari kejahatan di dunia ini maupun di akhirat. Doktrin palsu dari sistim kasta, tumimbal lahir serta takhayul yang lain, adalah rantai yang telah memperbudak mereka di dunia ini; dan begitu pula perbedaan dalam keagamaan telah menjadikan keselamatan dan pembebasan mereka di akhirat juga menjadi tanda tanya. Karena itu, Muhammad datang ke dunia untuk membebaskan umat dari segala jenis kejahatan dan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar.

BEBERAPA FAKTA LAGI TENTANG NUBUATAN INI

Beberapa penerangan tambahan diperlukan untuk menyoroti nubuatan dalam Atharwa Weda yang telah kita diskusikan  dalam halaman yang telah lalu. Ada dua aliran pemikiran yang berbeda menyangkut ramalan ini dalam Kuntap Sukt. Beberapa mahasiswa peneliti modern seperti Pandit Bhagawat Datt, cendikiawan peneliti di Kolese D.A.V. Lahore, dan Swami Hari Prashad, muni Weda, cenderung berfikir bahwa Kuntap Sukt, atau koleksi ramalan ini, tidaklah benar-benar membentuk bagian dari Atharwa Weda tetapi dimasukkan pada hari-hari belakangan. Kedua aliran pemikiran ini, berpendapat bahwa mantera ini adalah teka-teki dan sulit masuk akal. Dan kaum modernis itu juga, sebagai akibatnya, menarik kesimpulannya setelah tidak mampu memahami apa yang diartikan oleh mantera-mantera itu.

Ide bahwa Kuntap Sukt itu dimasukkan dalam Atharwa Weda pada hari-hari belakangan, adalah tanpa dasar dari berbagai sumber. Buku yang paling kuno pun tidak lupa menyebutkan Kuntap Sukt, seperti misalnya, Aitreya Brahmana (6:32), Kaushitki Brahmana (30:5), Shankhayana Shraut Sutar (12:14), Ashvlayana Shraut Sutar (12:3:7), Vaitan Sutar (32:19) dan Gopath Brahmana (2:7:12). Kalau mantera­mantera ini ditambahkan kepada Weda pada hari-hari belakangan, tak mungkin mereka dirujuk dalam begitu banyak kitab kuno. Hanya karena mereka sulit diterima akal, janganlah mendorong orang untuk berfikir bahwa mereka itu tidak merupakan bagian dari kitabnya yang benar. Kedua, mantera-mantera ini, sebagaimana dinyatakan dalam Brahmana Granth selalu diulang-ulang setiap tahun di dalam majelis yang besar dimana soma dipersembahkan kepada dewa-dewi, dan tujuhbelas pandit biasa menyenandungkan mereka untuk jangka yang panjang. Jadi, suatu hal yang diulang-ulang setiap tahun dengan penuh pengabdian dan kekhidmatan dan yang sudah dipraktikkan berabad-abad tidak dapat dianggap sebagai apokripal atau penemuan di belakang hari. Hanya bagian dari suatu kitab keagamaan itu yang diberi peran demikian penting dan diingat-ingat dalam hati serta dibaca dengan khidmat, yang pasti berguna serta bermanfaat bagi para pengabdi dan membantu dia dalam meraih suatu ilmu yang lebih dalam dari alam semesta ini dan lebih mengenal Dzat Ilahi. Ini menunjukkan bahwa Kuntap Sukt adalah bukan suatu koleksi teka-teki tanpa makna ataupun tambahan di bagian bawah dari Weda.

Dicatat dalam Shatpath Brahmana bahwa “mantera itu dibagi 21 adalah perut. Ada 20 cairan (Kuntap) dalam usus, perut sendiri adalah yang ke-21. Jadi mantera yang dibagi 21 dikenal sebagai perut” (Shatpath Brahmana 12:2,1,126). Kesaksian dari buku kuno semacam Shatpath Brahmana sudah cukup sebagai bukti keaslian dari mantera ini. Bahkan kini jumlah seluruh mantera ini adalah 147 yang merupakan kelipatan dari 21. Morris Bloomfield dalam tafsirnya tentang Atharwa Weda menulis:

“Yang berwenang dari kaum Brahmana setuju mencantumkan apa yang disebut hymne Kuntap ke dalam kepustakaan jenis ini, dan stanza pembukaan 20:127, tidak menyisakan keraguan akan keasliannya….Jumlah seluruhnya dari stanza hymne Kuntap dikutip dalam Brahmana menunjukkan    pada essensinya kerusakan teks yang sama seperti dalam versi Atharwa. Shankhayana Shraut Sutar 12:14, memperagakan mereka seluruhnya” (halaman 689). Prof Maxmuller juga memperbincangkan   hal ini dalam ‘History of Sanskrit Literature’ halaman 493).

Sejumlah cendikiawan berpendapat bahwa mantera ini tidak mengandung makna yang jelas dan agak membingungkan. Pandit Raja Ram Bhashya misalnya, menulis:

 “Sepuluh sukta ini dikenal sebagai Kuntap Sukt. Kuntap adalah cairan di perut yang jumlahnya 20.   Sukta ini mengandung masalah yang berbeda-beda, kebanyakan darinya adalah hanya teka-teki,   Teks maupun maknanya membingungkan dan dalam beberapa kasus teks itu mutlak tidak   berarti apa-apa”.(halaman 991).


Begitu pula M.Bloomfield berkata:  “Teks dari syair kedua itu adalah sangat rusak; perubahan bentuk dalam edisinya menjadi dasar    terjemahan kami”. (halaman 691). Dengan sikap yang sama, Prof. Griffith menulis tentang mantera ini sebagai berikut:


“Bagian dari kitab ini yang membawa nama Kuntap adalah suatu koleksi nyanyi pujian yang aneh    dan bermacam ragam, rumus-rumus pengorbanan, kantata, teka-teki dan campur-baur” (‘Hymns of the Atharva Veda’, halaman 443 dan catatan kaki).

Mantera-mantera ini dianggap sebagai teka-teki hanya karena mereka itu nubuatan dan suatu ramalan perlu harus sebagai misteri dan suatu rahasia sebab kalau tidak ini akan bisa dirusak melalui bias dan prasangka dari suatu kaum. Bila ini benar-benar telah digenapi, maka makna dari ramalan itu akan menjadi sangat jelas. Jadi, kenyataan sebenarnya adalah tafsiran yang benar dari suatu nubuatan. Ketika menerjemahkan mantera-mantera dari Kuntap Sukt ini, kita telah menunjukkan, betapa tepatnya mereka diterapkan ke dalam kehidupan Nabi Suci. Tak ada misteri dalam maknanya dan segala sesuatu menjadi jelas dan terang. Dan dari segenap pribadi keagamaan serta para Nabi, Muhammad adalah satu-satunya Nabi yang sejarah kehidupannya dengan sangat rinci adalah tepat dan terjaga tanpa  bisa dibantah lagi. Ada bukti-bukti sejarah  bagi semua fakta dalam kehidupan Nabi Suci. Dan karena itu jika seseorang mencoba untuk menerapkan nubuatan ini kedalam kehidupan beberapa pribadi suci yang lain, maka dia juga harus membuktikan dengan bukti-bukti sejarah bahwa perkara ini terjadi dalam masa hidupnya; dan ini seperti yang dilakukan penelitian modern, selanjutnya adalah mustahil.

Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa mantera ini disebut Kuntap? Jika Kuntap berarti cairan perut, dengan cara bagaimana nama ini bisa diterapkan ke dalam mantera-mantera ini? Tak seorangpun mufasir Weda yang telah mendiskusikan hal ini dan mencoba memecahkan teka-teki ini. Kami berikan tiga alasan untuk nama ini seperti di bawah ini:

(a). Kata Kuntap terdiri dari dua akar kata kun dan tap. Kun berarti dosa dan penderitaan, serta tap berarti mengkonsumsi. Jadi Kuntap berarti ‘pengguna dosa dan penderitaan’. Kumpulan dari semua mantera ini dimana disebutkan pengobatan atas penderitaan dunia, itu disebut Kuntap Sukt. Suatu nubuatan yang sama diketemukan dalam Farvardin Yasht, diungkapkan oleh Nabi Zarathustra. Quran Suci juga mengatakan:

“Ia (Nabi) menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka berbuat jahat, dan menghalalkan    kepada mereka barang-barang yang baik, dan mengharamkan kepada mereka barang-barang yang kotor, dan menyingkirkan dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka”.(7:157).

(b). Kata Kuntap menurut Brahmana Grantha yang otentik berarti cairan di dalam perut atau perut itu sendiri. Jadi, mantera ini diberi nama demikian karena mereka mengandung suatu nubuatan tentang rumah pertama untuk ibadah kepada Ilahi di Mekkah, pusar atau titik tengah dari bumi ini; sebagaimana al-Quran menyatakan:

 “Sesungguhnya rumah permulaan yang ditetapkan bagi manusia ialah Rumah yang ada di Bakkah, yang diberkahi dan pimpinan bagi sekalian bangsa” (Q.S. 3:95).

Tepat seperti manusia yang memperoleh pemeliharaannya dari perut, begitu pula, pemeliharaan spiritual yang diberikan kepada dunia ini dari Mekkah atau Bakkah, rumah pertama dari Cahaya Ilahi.

(c). Kata Qurani Bakka dan Kuntap dalam Weda itu tidak hanya sinonim, melainkan kata Kuntap itu sekedar bentuk kebalikan dari kata Arab Bakka. Ratusan kata-kata dalam bahasa Sanskerta itu dipinjam dari bahasa Arab  dan digunakan sebaliknya dari bahasa asalnya. Di bawah ini kami kutipkan beberapa :


 

Bahasa Arab
 
Bahasa Sanskerta
Artinya:
Ras
Shir
Kepala
Um
Ma
Ibu
Luj
Jal
Air
Dab
Pad
Kaki
Siraj
Surya
Matahari 
Nahar
Ahan
Siang hari
Qat
Tak
Potong
Qinob
Bang
Daun Bhang
Shanah
Anash
Bahu
Kitab
Pustak
Kitab
Masa
Sam, Sayam
Senja
Rumman
Anaram
Buah beri.
Geam
Megh
Awan
Tallah
Latta
Terbaring
Mubashra 
Shambra
Hujan pertama

Dalam cahaya penerang di atas, kami bisa katakan dengan pasti bahwa kata Kuntap juga suatu perubahan bentuk dari Bakkatun. Kata bakkatun mengandung tiga abjad. K, B, T dan huruf ini sama dengan yang terdapat dalam kata Kuntap yang punya K, T, P dan B Arab berubah menjadi P dalam sanskerta.

Adalah suatu kenyataan yang aneh bahwa dalam semua nubuatan kata Bakka digunakan sebagai ganti Mekkah. Quran Suci menempatkan Bakka rumah pertama dan terakhir dari ibadah kepada Ilahi. Di samping Weda, Nabi Daud juga merujuk Rumah Tuhan dengan nama yang sama. Dalam Mazmur kita dapati:

”Ya Rajaku dan Allahku!
Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu,
Yang terus-menerus memuji-muji engkau, Sela.
Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!
Apabila melintasi lembah Bakka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air;
Bahkan hujan pada awal musim menyelubunginya dengan berkat.
Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion”(Mazmur 84:5-8).

Kesimpulan berikut ini bisa ditarik dari Mazmur: Rumah Tuhan dimana Daud merujuknya tiada lain adalah satu yang di Bakka, karena kanisah suci di Yerusalem  belum dibangun pada saat itu dan Tuhan tinggal di Sion (satu tenda). Nabi Daud sedang menunggu perintah Ilahi untuk menyerbu Palestina, dan dalam rangka mencari rahmat dari rumah Tuhan yang dibangun oleh Bapa Ibrahim, dia datang ke lembah Baca. Nama lembah Baca, yang dalam bahasa Ibrani ditulis dan diucapkan sebagai Bacah, akhir huruf h menunjukkan bahwa itu adalah tempat terkenal. Penghuni lembah ini akan selalu memuji Tuhan mereka. Dan dunia mengetahui betapa kaum Muslimin berdoa dan mengagungkan Tuhannya. Setiap Muslim sujud di hadapan Tuhannya dan memuji-Nya paling tidak lima kali sehari. Kata-kata ini juga bisa berarti bahwa rumah Tuhan di Bakka tidak akan pernah musnah dan Tuhan akan selalu dipuji di dalamnya, sedangkan Yerusalem lebih dari sekali telah
dihancurkan.

‘Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau’, jelas merujuk kepada Nabi, yang, meskipun seorang anak yatim, lemah dan tak berkawan, bisa mengalahkan musuh-musuhnya dengan berkah Tuhan dan mengambil kekuatan dari-Nya.

Di padang pasir Mekkah sumur (Zamzam) adalah tanda-bukti lain dari rahmat Tuhan di tanah ini.
Seorang yang diberkahi dan ‘yang semakin dan semakin kuat’, adalah terjemah dari kata-kata al-Quran (Q.S. 3:95). ‘Hendak menghadap Allah di Sion’, merujuk kepada ibadah haji tahunan di Mekkah. Kita telah mebicarakan panjang lebar apa yang dimaksudkan dengan Sion ini, dalam nubuat keenam dari Isaiah.

Jadi baik Weda maupun Mazmur membenarkan fakta bahwa Nabi Muhammad, pembimbing dunia dan juru selamat umat manusia akan muncul di Bakkah.

Weda menyanyikan pujian Nabi dalam istilah berikut:

Dia adalah narashansah atau seorang yang terpuji (Muhammad). Dia adalah pangeran perdamaian atau imigran, yang diselamatkan meskipun di tengah kepungan musuh-musuhnya (Mantra 1).
Dia adalah Resi yang mengendarai unta, dimana keretanya menyentuh langit (Mantra 2).
Dia adalah Mamah Rishi yang dianugerahi seratus koin emas, sepuluh kalung, tigaratus kuda pacu yang baik dan sepuluh ribu sapi (Mantra3).
Dia dan para pengikutnya selalu khusu’ dalam salatnya, bahkan di medan pertempuran mereka sujud di hadapan Tuhannya (Mantra 4).
Dia dikaruniai pejuang yang tangguh yang bertempur dengan gagah-berani di medan perang dan hidup penuh kedamaian dengan umatnya (Mantra 5).
Dia memberi kebijaksanaan kepada dunia yakni Quran Suci (Mantra 6).
Dia adalah Raja dunia, sebaik-baik manusia dan pembimbing bagi seluruh umat manusia (Mantra 7).
Dia menjamin tempat tinggal yang aman bagi umatnya, memberikan perlindungan kepada semua orang serta menyebar-luaskan perdamaian di dunia (Mantra 8).
Rakyat berkembang dengan bahagia dan makmur di bawah pemerintahannya, dan dari kedalaman
degradasi mereka meningkat ke ketinggian kejayaan (Mantra 9-10).
Dia diminta bangun dan memperingatkan dunia (Mantra 11).
Dia luar-biasa pemurah dan sangat dermawan (Mantra 12).
Para pengikutnya diselamatkan dari kebencian dan perampokan oleh setan (Mantra 13).

Dalam mantera terakhir, Resi telah memohonkan dia agar menerima doanya (Resi) dan telah mohon perlindungan dari segala cedera dan kejahatan.

PERANG AHZAB DIGAMBARKAN DALAM WEDA
(Atharwa Weda 20:21:6)

“Inilah minuman kami, soma yang kuat mengilhami, yang menggairahkanmu dalam berperang   dengan Vritra, Dewa pahlawan. Berapa lama engkau memotong dengan pedang demi penyanyi   dengan barisan rumput sepuluh ribu Vritra, engkau bertahan dalam keperkasaanmu”- (Griffith).

“Pangeran dari orang-orang  tulus! minuman suci ini, tindakan keberanian ini dan nyanyian yang

terilham menyenangkan kamu di medan perang. Ketika kauberikan kemenangan tanpa bertempur atas sepuluh ribu lawan dari dia yang selalu memuji, selalu mengagungkan”. (Komentator Hindu).

Nubuatan dari Weda ini menggambarkan pertempuran yang terkenal dari Nabi Suci yang disebut dalam sejarah Islam sebagai Perang Ahzab atau Perang Gabungan. Kata-kata dalam mantera ini secara mencolok memperkuat fakta sejarah yang diberikan dalam Quran Suci.

Hal pertama yang pantas dicatat adalah bahwa Tuhan menyatakan dalam mantera ini sebagai Satpati. Sat berarti pencinta ketulusan atau orang yang penuh ketulusan, dan pati berarti tuan atau pangeran. Karena itu, Satpati berarti Pangeran ketulusan. Para sahabat Nabi Suci Muhammad terkenal akan ketulusannya. Dalam surat yang menyebut adanya Perang Ahzab ini, para sahabat Nabi dikatakan sebagai:

“Di antara kaum mukmin ada orang yang setia kepada perjanjian yang mereka buat dengan Allah”. (Q.S.33:23).

Dan kemudian,

“Agar Allah mengganjar orang-orang tulus oleh ketulusan mereka” (Q.S. 33:24).

Al-Quran menyebut mereka orang-orang tulus dan Weda juga menyebut Pangeran mereka sebagai Pangeran dari orang-orang tulus.

Hal kedua dari mantera itu adalah bahwa Tuhan sangat ridla dengan nyanyian yang gagah-berani serta terilham dari para sahabat Nabi. Mereka hanya berjumlah tigaribu dengan sember daya yang kurang mencukupi sedangkan musuh-musuhnya bersenjata lengkap serta lebih dari tiga kali jumlah mereka; namun para sahabat Nabi tidak sedikitpun menunjukkan kegelisahan, mereka malahan senang mendapati bahwa ramalan Nabi Suci telah tergenapi. Dalam kata-kata Quran Suci:

“Dan pada waktu kaum mukmin melihat pasukan gabungan, mereka berkata: Inilah apa yang di janjikan oleh Allah dan Utusan-Nya kepada kami, dan benarlah firman Allah dan Utusan-Nya. Dan ini hanya menambah iman dan keberserahan-diri mereka” (Q.S. 33:22).

Kata-kata para sahabat yang gagah-berani dan terilham ini memuaskan Tuhannya dan Dia mengaruniai mereka suatu kemenangan tanpa pertempuran fisik.

Nabi Ahmad

Kata-kata dalam mantera, ‘seorang yang selalu memuji’, menunjukkan bahwa nubuatan ini dimaksudkan untuk Nabi Ahmad, s.a.w. Kata Sanskrit Karu, yang digunakan dalam mantera, telah diterjemahkan oleh Professor Griffith sebagai ‘Penyanyi’ dan Pandit Raja Ram dari Kolese D.A.V. Lahore, menerjemahkannya sebagai ‘Stota’ yang berarti dia yang selalu memuji atau Ahmad, yakni nama kedua dari Nabi Muhammad, yang adalah pahlawan dalam Perang Ahzab.

Gelar lain dari Nabi yang diberikan dalam mantera ini, yakni Brihashmate. Kata ini berasal dari akar kata Brhi yang berarti rumput suci yang dihamparkan di kuil ibadah.37 karena itu, lelaki dengan rumput suci secara kiasan berarti ‘abid’ atau seorang yang mengagungkan Tuhannya.

Sepuluh ribu lawan

Masalah pokoknya adalah lawan yang berjumlah sepuluh ribu. Musuh Nabi dalam perang Ahzab itu berjumlah sepuluh ribu, dan kaum Muslimin hanya tiga ribu orang. Mantera ini khusus menyebutkan keberanian dari para sahabat Nabi. Dan tak ada bukti yang lebih besar atas keperkasaan dan keberanian mereka daripada kenyataan bahwa disamping kekurangan dalam jumlah maupun sumber daya yang tidak mencukupi, dalam melihat musuhnya mereka tidak kehilangan akal ataupun menunjukkan sedikitpun kecemasan kecuali berseru:

“Inilah apa yang dijanjikan oleh Allah dan Utusan-Nya kepada kami” (QS.33:22).

Ini memberi mereka kebahagiaan yang terbesar dalam menyimak tanda-bukti kebenaran yang lain dari Nabi mereka yang telah menubuatkan peperangan ini jauh sebelum ini benar-benar terjadi.

Tersebut adanya di dalam mantera ini tentang keperkasaan dan keberanian dari para pejuang, kekuatan lawan-lawannya dan jumlah mereka yang besar, tetapi kekalahan dan kemunduran mereka digambarkan hanya karena pujian Ahmad. Kata-kata terakhir dari mantera ‘aprati ni barhayah’ berarti bahwa kekalahan ditimpakan kepada musuh tanpa pertempuran fisik. Baik Pandit Khem Karan maupun Prof. Raja Ram telah menerjemahkan kata-kata ini sebagai ‘anda mengalahkannya tanpa benar-benar berkelahi’.

Adalah suatu kenyataan yang umum diketahui, bahwa dibanding dengan musuhnya, mereka itu sangat kecil dalam jumlah dan terkendala oleh pelbagai jalan yang memungkinkan, dan karena keadaan inilah maka mereka lebih senang bertahan dengan membentengi diri mereka di Madinah. Sebaliknya, musuhnya telah mengumpulkan kekuatan yang luar biasa besar, dan  bahkan penduduk non-Muslim di Madinah sendiri telah memihak mereka. Dengan mengabaikan semua keuntungan ini musuh berbalik lari tanpa perlawanan dan kemenangan bagi kaum Muslimin. Semua ini dipenuhi melalui pertolongan Ilahi, karena adalah diluar kekuatan manusia untuk membawakan kemenangan semacam itu. Begitu pula, Weda telah menubuatkan jauh hari sebelum pertempuran ini terjadi.

Dewa yang dirujuk dalam amntera ini dinamai Indra. Dia juga dituju dalam mantera 1 hingga 8 dari Sukta yang sama. Indra ini dalam Rig Weda digambarkan sebagai ‘Pemegang senjata petir’ dan Dewa dari petir serta angin badai. Betapa terang dan jelas kata-kata dari mantera ini, ‘Wahai Indra, engkau telah menyebabkan sepuluh ribu lawan kalah tanpa benar-benar berkelahi’. Kata-kata ramalan dari Resi Weda ini tidak bisa diterapkan kepada peristiwa lain dengan demikian tepat seperti perang al-Ahzab. Musuh tiba dengan membusungkan dada serta pamer, sadar akan kekuatannya dan yakin akan keberhasilannya.

Kaum Muslimin juga cukup sadar atas kedudukan mereka yang lemah; mereka memutuskan untuk tinggal di kota, dan suatu parit digali sebagai sarana perlindungan terhadap serbuan dari musuh yang begitu kuat. Tetapi Tangan Tuhan bergerak dan Indra yang perkasa menyebabkan musuh beterbangan takut mati akibat petir dan angin badai.

Dengan sepatah kata, nubuatan dalam Weda ini terinci dalam sepuluh fakta berikut :

Ini berkaitan dengan suatu pertempuran.

Tuhan akan memberikan kemenangan kepada orang-orang yang benar-benar beriman.

Orang yang benar-benar beriman akan bergembira dan mengucapkan kata-kata keberanian serta kekuatan yang terilham.

Tuhan akan meridlai mereka atas keberaniannya.

Panglima dari pertempuran ini kelak adalah seorang yang selalu memuji Tuhan (Ahmad).

Musuh akan berjumlah sepuluh ribu orang.

Tidak terjadi pertempuran fisik.

Musuh akan lari karena pertolongan Ilahi, sebagaimana al-Quran telah berkata:

“Dan Allah mencukupi kaum mukmin dalam pertempuran. Dan Allah senantiasa Yang Maha-kuat, Yang Maha-perkasa” (Q.S. 33:25).
 

Kata-kata al-Quran Kuat, Perkasa berarti tepat seperti arti dari Indra.

Tangan Tuhan telah menampakkan Diri-Nya melalui angin badai yang besar. Dalam kata-kata al-Quran:

“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah kepada kamu, tatkala pasukan  gabungan besar mendekati kamu, maka Kami turunkan kepada mereka angin puyuh dan pasukan  yang kamu tak melihatnya. Dan Allah senantiasa Yang Maha-melihat apa yang kamu lakukan” (Q.S. 33:9).

Angin dan hujan menerpa tenda musuh tanpa ampun. Angin puyuh meningkat menjadi badai. Api padam, tenda tertiup rubuh, bejana makanan dan perlengkapan lain porak-poranda. Jadi, musuh lari lintang-pukang meninggalkan padang itu untuk kaum Muslimin dan meneguhkan kebenaran dakwah Ilahi Nabi Muhammad s.a.w.

Nabi bertempur dalam peperangan yang lain.

Mantera 7 hingga 11 dalam Atharwa Weda, mengikuti satu yang berkaitan dengan perang Ahzab, juga perlu dipertimbangkan. Selama perang ini seluruh lawan-lawan  Islam telah bergabung bersama. Kaum Yahudi bersekutu dengan Nabi Suci, dan ketika musuh siap siaga ke Medinah mereka terikat untuk melawan serbuan itu. Bukannya demikian mereka malahan berfihak kepada pasukan penyerbu dan diam­diam mengadakan perjanjian dengan kaum Quraisy untuk menyerang kaum Muslimin dari dalam. Jadi, dari sekutu mereka berbalik menjadi musuh. Karena itu ketika pasukan yang bersiaga itu melarikan diri dan kaum Yahudi kembali ke bentengnya, maka mereka dikepung oleh Nabi Suci, dan tetap dikepung selama duapuluh lima hari. Tidak disebutkan benteng dalam mantera yang menyangkut perang Ahzab ini, tetapi di sini kita dapati: (Atharwa Weda 20:21:6).

“Engkau pergi dari pertempuran ke pertempuran tanpa gentar menghancurkan kastil ke kastil di sini     dengan kekuatan. Engkau Indra, dengan temanmu yang membuat musuh tunduk menebas dari jauh Namuchi yang licik dan penuh tipu daya” – (Griffith).

“Engkau berangkat dari satu pertempuran ke peperangan yang lain dengan gagah-berani     menghancurkan benteng demi benteng di sini dengan keberanian dan kekuatanmu. Engkau, wahai Indra, dengan kawanmu yang berdoa kepada tuhan, telah menebas dari jauh Namuchi yang licik     dan pengkhianat” (Para komentator Hindu).

Nabi baru saja menyelesaikan satu pertempuran ketika dia diminta untuk berjuang di medan yang lain. Ini adalah tanda-bukti atas keberaniannya dan para sahabatnya. Tentunya, dalam pertempuran pertama, mereka tidak menghancurkan kastil, tetapi pada medan yang satu lagi, mereka menghancurkan benteng demi benteng dan menebarkan kegentaran di hati musuh-musuh mereka.

Dalam kata-kata Quran Suci:

“Dan Ia menghalau sebagian kaum Ahli Kitab yang membantu mereka dari benteng-benteng mereka,   dan Ia memasukkan rasa takut dalam hati mereka; sebagian kamu bunuh, dan sebagian lagi kamu   tawan” (Q.S. 33:26).

Tepat seperti mantera 6 dari Sukta ini yang cocok diterapkan untuk perang Ahzab, begitu pula, peristiwa yang dikisahkan dalam mantera berikutnya juga mempunyai kesamaan berkaitan dengan peristiwa dalam kehidupan Nabi dan berhubungan dengan periode tepat setelah perang yang disebut di atas. Inilah sebabnya mengapa Nabi dikatakan pergi dari pertempuran ke peperangan. Usaha yang sungguh-sungguh dari kaum Muslimin ini, tak diragukan lagi, merupakan tanda-bukti kegagah-beranian  dan daya tahan mereka. Nabi menghancurkan benteng-benteng Quraiza, Qainuq’a dan Nadir. Lagi, kata-kata dalam mantera (Namya yat Indra sakhya) dengan kawanmu yang tunduk berdoa kepada Tuhan, wahai Indra, dengan indahnya cocok bagi Nabi Suci Muhammad yang selalu berdoa kepada Tuhannya. Musuh-musuh Nabi dalam mantera ini disebut sebagai orang-orang yang terbaring jauh atau yang terbuang oleh Tuhan. Alkitab juga mengandung kesaksian atas hal ini dan menyatakan bahwa orang-orang ini ditolak Tuhan (Yeremia 6:30). Lagi, musuh-musuh kaum Muslim ini, kaum Yahudi, digambarkan dalam mantera ini sebagai ‘pengkhianat dan licik’. Orang-orang ini adalah sekutu dari kaum Muslimin dan dengan syarat perjanjian, yang mereka buat dengan Nabi, terikat untuk berjuang melawan musuh yang menyerang Madinah. Tetapi mereka terbukti berkhianat dan penuh tipu-daya serta meninggalkan sekutunya pada jam sebelas. Kata  Sanskerta mayinam berasal dari maya yang berarti suatu hal yang kelihatan indah padahal sesungguhnya tak ada harganya. Alkitab juga menggambarkan orang-orang ini sebagai perak yang ditolak (Yeremia 6:30).

Weda telah menyebut orang-orang ini Nemuchi. Arti daripada kata ini sebagaimana disebutkan dalam tata­bahasa Panini adalah, ‘seorang yang menahan hujan’. Arti lain dari kata ini adalah ‘patut dihukum’. Umat Yahudi berpendapat bahwa mereka satu-satunya penerima wahyu Ilahi dan hujan atau pancuran air wahyu Ilahi tidak akan jatuh ke umat lain. Indra atau Tuhan Yang-perkasa menebas orang-orang ini dan karena itu menunjukkan bahwa tak seorangpun bisa menahan wahyu Ilahi; ini tidak dapat dibatasi hanya khusus untuk Yahudi atau Arya saja tetapi adalah hadiah Tuhan yang bisa dikaruniakan kepada siapapun yang Ia sukai.

Kata ini, sebagai telah kami katakan, juga berarti bisa dihukum. Kaum Yahudi bisa dihukum di mata Tuhan tidak hanya karena kejahatan mereka melainkan juga karena tipu daya dan pengkhianatan terhadap Nabi Suci Muhammad, pemberi manfaat bagi seluruh umat manusia. Begitulah, mereka dihukum atas pengkhianatannya dan dihukum mati, dan pengadilan ini diumumkan oleh seorang pemimpin mereka sendiri. Kata namuchi, karenanya, cocok diterapkan kepada kaum Yahudi.

Dalam Rig Weda serta kitab lain semacam Namuchi berarti ruh jahat yang menahan awan dari membawa hujan turun ke bumi, dan kemudian Indra, menyembelih ruh jahat ini, membebaskan awan. Nyaris semua bangsa di dunia berpendapat bahwa wahyu Ilahi itu terbatas kepada lingkungan khusus saja, dan, karenanya membatasi awan hujan Samawi itu bagi dirinya sendiri Tetapi dunia berhutang budi kepada Nabi Islam yang telah menyembelih Namuchi ini dan mengumumkan bahwa pancuran dari hujan spiritual ini telah jatuh kepada segala bangsa dan tidak dibatasi kepada suatu kasta atau kelompok. Quran Suci berkata:

“Dan Allah menurunkan air dari langit, dan dengan ini Ia menghidupkan bumi setealh matinya.   Sesungguhnya dalam ini adalah pertanda bagi kaum yang mendengar” (Q.S. 16:65).

Dengan air dari langit jelas diartikan wahyu Ilahi. Tepat seperti hujan yang memberikan kehidupan fisik kepada bumi, begitu pula wahyu memberikan kehidupan ruhani kepada orang-orang yang menderita kematian akibat kejahatan mereka. Jadi, risalah universal dari Nabi memberikan kehidupan kepada segala bangsa di dunia  karena Nabi telah menyingkirkan Namuchi, ruh kejahatan.

Kekalahan musuh dalam penaklukan Mekkah.

Nubuatan berkenaan dengan peperangan oleh Nabi Suci berakhir dengan ramalan atas penaklukan
Mekkah. Di dalam Sukta yang sama dari Atharwa Weda, kita dapati:
(Atharwa Weda 20:21:9).

“Dengan semua keretamu yang rodanya melaju cepat, wahai Indra, engkau yang terkenal sampai    jauh telah melengserkan dua kali sepuluh raja manusia, dengan enampuluh ribu dan sembilanpuluh sembilan pengikut yang datang dengan senjatanya untuk bertempur bersama Sushrava yang tak   berkawan” – (Griffith).

“Wahai Indra, engkau telah mengalahkan duapuluh raja dan enampuluh ribu sembilanpuluh sembilan lelaki dengan keretamu yang melaju cepat yang datang untuk bertempur demi dia yang terpuji atau anak yatim yang tenar sampai jauh (Muhammad)” – (Para komentator Hindu).

Kita telah menyatakan dalam halaman yang lalu bahwa penduduk Mekkah pada saat datangnya Nabi itu hampir berjumlah enampuluh ribu orang. Mekkah pada saat itu mempunyai semacam pemerintahan yang demokratis. Setiap kabilah mempunyai pemimpinnya sendiri dan karena itu ada duapuluh kepala kabilah yang memerintah penduduk, Quraish adalah pimpinan tertinggi dan penjaga Ka’bah. Jadi, pada satu fihak, ada enampuluhribu orang dengan duapuluh pimpinan besar, dan di fihak lain ada seorang abandhu, atau hanya seorang laki-laki yang tak berdaya. Tetapi seorang lelaki ini (Muhammad) terkenal sangat jauh dan dipuji oleh banyak orang. Ini bukanlah pertempuran antara dua raja, melainkan antara seorang lelaki dengan segerombolan lawan; dan dunia telah menyaksikan betapa orang yang tak berdaya ini mengalahkan musuh-musuhnya dan betapa Tangan Tuhan bergerak seperti kereta yang melaju cepat untuk menggilas lawan-lawannya. Hanya satu fakta ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang nabi dari Tuhan dan bahwa Tangan Ilahi senantiasa di belakangnya, yang dalam waktu yang sangat pendek telah mengangkatnya dari keadaan tak berdaya kepada ketinggian kekuasaan dan kejayaan.

Nubuatan yang sama juga terdapat dalam Rig Weda, 1:53:9, sebagai ramalan dari Resi Angiras, putera dari Resi Savya. Kata sushrava berarti ‘pantas dipuji atau benar-benar terpuji’, yang adalah serupa dengan nama Nabi Muhammad s.a.w.


Suatu kesaksian gabungan dari tiga Weda.

Nubuatan berikut ini diberikan oleh tiga Weda, Rig Weda (8:96:13-15), Atharwa Weda (20:137:7-9) dan Sama Weda (3:10:1). Kesaksian gabungan dari Weda ini menunjukkan bahwa ini benar-benar sesuatu yang besar sehingga nubuatan ini merujuknya. Dan pada waktu yang sama ini selain jelas juga terang di samping keagungannya.

(Atharwa Weda 20:137: 7-8-9)

7. “Tetesan hitam masuk ke dada Ansumati, maju bersama sepuluh ribu di sekelilingnya. Indra dengan kekuatannya mencarinya ketika itu menahan nafas; si hati-pahlawan meletakkan senjatanya ke samping” (Atharwa Weda 20:137:7)

8. “Aku melihat tetesan di jarak kejauhan bergerak di lengkung tepi sungai Ansumati, seperti awan hitam yang tercelup ke air. Pahlawan, aku kirim kau berangkat. Pergilah berjuang dalam peperangan” (Atharwa Weda 20:137:8).

9. “Dan kemudian tetesan di dada Ansumati, bersinar dengan cahaya, memakai tubuhnya yang cocok; dan Indra, dengan Brihaspati yang membantunya, menaklukkan kaum yang tak bertuhan yang datang melawannya. (Atharwa Weda 20:137:9).

Terjemahan bahasa Inggris dari mufasir Hindu

“Krisna Chandra (rembulan hitam) menyelam di Anusmati (haud-i-Kauthar). Indra dilindungi dengan sepuluh ribu orang yang gagah-berani di sekelilingnya. Pejuang yang berani telah meletakkan senjatanya dan menyanyikan kemenangan”.

“Saya melihat rembulan bergerak di kejauhan, di tepi sungai Ansumati, seperti awan gelap yang terbenam di dalam air. Pahlawan, saya kirim kau berangkat. Pergilah, berjuanglah dalam peperangan”.

“Dan kemudian di dada Anusumati (haud-i-Kauthar) rembulan hitam memakaikan jasad nyatanya bersinar dengan cahaya, dan Indra, dengan bantuan Brihaspati, menaklukkan suku-suku yang tak bertuhan yang datang melawannya”.

Sesuai dengan sudut pandang agama Hindu, sebagaimana disajikan oleh Syna Acharya, mufasir Weda, rembulan menjadi benar-benar hitam sewaktu malam terakhir dari satu bulan dan kemudian setelah terbenam di dalam sungai imaginer Ansumati, dia kembali bersinar lagi dan timbul sebagai bulan baru.

Tetapi dalam cahaya Gita, mantera ini berarti bahwa bila kata-kata Ilahi dirusakkan, Krisna Chandra datang ke dunia ini dalam pribadi seorang yang baru dan memberikan sinar baru bagi dunia. Demikianlah, kita temukan Krisna memberi nasihat Arjuna dalam Gita: (4:1-8).

“Hukum yang tak berubah ini, pertama Aku wahyukan ke Vivasvan  (Matahari atau Jibril). Vivasvan
mewahyukannya kepada Manu dan Manu menceriterakan kepada Ikshvaku.
Raj Rishi mengenal benar kerajaan yang diserahkan dari seorang kepada yang lain dan yang sekarang menjadi suatu negeri yang sudah hancur.
Ini adalah hukum tua yang sama yang kuajarkan kepadamu hari ini. Engkau adalah temanku dan abdiku. Ini semuanya adalah rahasia.
Arjuna berkata: “Tuanku! Engkau dilahirkan dalam abad ini dan Vivasvat sudah lahir jauh hari sebelumnya; bagaimana saya tahu bahwa engkau berbicara seperti ini juga sebelumnya?”
Sri Krisna berkata: “Wahai Arjuna! Engkau dan aku mempunyai beberapa kelahiran, Aku mengetahui semuanya tetapi engkau tidak mengetahui”.
Jiwa yang abadi, Tuhan dari segala ciptaan membabarkan Dirinya dalam pribadi seseorang tanpa pernah dilahirkan.
Wahai Arjuna! di saat agama rusak dan hujatan kepada Tuhan merajalela, Aku ungkapkan diriku dan menjadikan kekuatanKu tergelar di dunia.
Aku nampak di setiap abad untuk menjaga mereka yang salih, memerangi pembuat kejahatan dan
memegang teguh agama”.

Dengan satu kata, pada waktu rembulan menjadi gelap atau ketika agama kehilangan cahaya dan
kekuatannya serta dunia ini mengalami kerusakan, maka seorang nabi baru akan muncul dengan cahaya Ilahi yang sama dengan yang diberikan kepada para pendahulunya.

Dalam Weda pula rembulan (dan menurut beberapa orang matahari juga) digambarkan sebagai Sahasr shringo vrikhbho yah smudrat udachrat, ‘seekor banteng dengan seribu tanduk yang muncul dari laut’.

Nubuat ini menyajikan suatu tanda-bukti yang terang atas kebenaran Nabi Suci. Rembulan ruhani telah menjadi hitam dan ada kegelapan di seluruh penjuru dunia. Tak ada satu agamapun yang menyinarkan cahayanya yang asli. Di India, orang-orang menyebut rembulan itu sebagai Krisna atau si hitam. Karena itu, pada saat semacam itu, ketika dunia gelap dan murung, Nabi Muhammad muncul seperti matahari dengan seribu pendar dan pancaran cahayanya. Weda berkata bahwa matahari ini akan bersinar selamanya, dia akan terjaga dari kegelapan dan bersinar terang di alam semesta ini demikian agung seperti kuasa yang menang berderap maju di padang. Pada penaklukan Mekkah, Nabi muncul dengan para sahabatnya seperti matahari dengan seribu lidah cahaya, dan dalam kata-kata mantera, dia dengan beraninya meletakkan senjatanya dan memberi maaf serta pengampunan kepada musuhnya yang paling sengit. Hal itu adalah suatu nubuatan yang pantas dicatat, yang digenapi dalam kehidupan Nabi kata demi kata.

Quran Suci juga menyatakan:

“Dan Kami telah membuat malam dan siang sebagai dua pertanda, dan Kami lenyapkan pertanda malam, dan Kami tampakkan pertanda siang, sehingga kamu dapat mencari karunia Tuhan kamu, dan agar kamu tahu bilangan tahun dan perhitungan. Dan Kami menjelaskan segala sesuatu sejelas-jelasnya”.(Q.S.17:12).

Tanda siang adalah matahari dan tanda malam adalah rembulan. Tuhan membuat tanda malam berlalu atau rembulan kehilangan cahaya serta terangnya. Ilmu modern telah menunjukkan bahwa rembulan seperti matahari juga memiliki cahayanya sendiri, tetapi secara perlahan dia mendingin dan menjadi gelap.

Kata-kata dalam al-Quran tidak saja merujuk kepada dunia fisik serta siang hari dan malamnya, melainkan juga dunia ruhani. Pertama, rembulan biasa memberikan cahayanya ke bumi tetapi karena pendinginannya maka dia menjadi gelap sehingga dijadikan pertanda malam hari. Malam di sini berarti kegelapan jahiliyah dan kekafiran, serta berlalunya malam menunjukkan bahwa kebodohan akan lenyap dan cahaya Islam akan menggantikan tempatnya. Pad berlalunya malam Nabi muncul ke langit dunia seperti matahari yang bersinar sedemikian sehingga dengan cahayanya manusia akan mencari karunia Ilahi.

Rembulan sebagai motto bangsa Arab.

Di negeri Arab sebelum Islam, rembulan adalah lambang nasional dan motto bangsa Arab. Bab dari Quran Suci yang meramalkan berakhirnya kaum Mekkah, juga diberi judul ‘al-Qmar’, ‘Rembulan’, dan dimulai dengan kata-kata:

“Sa’at sudah dekat dan rembulan terbelah” (Q.S. 54:1).

Karena itu, rembulan mewakili kekuasaan bangsa Arab penyembah berhala, dan bahwa dia terbelah dua menunjukkan surutnya kekuasaan itu melalui instrumen Nabi Suci. Peristiwa ini terjadi pada perang Badar. Karena itu, al-Quran telah menggabungkan dua fakta ini, menunjukkan bahwa menjadi gelapnya rembulan sebagaimana digambarkan dalam Weda dan kembali bersinarnya itu sama dengan munculnya Nabi Suci Muhammad dan penyingkiran kekuasaan lawan-lawannya.

Suatu fakta yang aneh bahwa mantera Weda setelah menyebutkan menjadi gelapnya rembulan, lalu berkata “Para pahlawan, aku kirimkan engkau keluar. Pergilah, berjuanglah dalam pertempuran’. Jelas, rupanya seperti tak ada hubungan antara dua fakta ini, tetapi dalam kenyataannya ini adalah suatu bukti lain dari fakta-fakta yang  telah kami ceriterakan di atas. Kaum Muslimin diminta keluar dari kota Medinah dan memerangi orang-orang kafir:

“(Perang) diizinkan kepada orang-orang yang diperangi” (Q.S. 22:39).

Jadi para pahlawan Muslim diminta pergi keluar dan berperang. Mereka diberi julukan ‘pemberani, karena mereka sangat sedikit jumlahnya dan tanpa persediaan yang memadai untuk bertempur  toh bisa mengalahkan kekuatan lawan yang jauh lebih besar dan perkasa. Dalam perang Badar serta peperangan lain yang mengikutinya para sahabat Nabi dengan gagah-berani telah berjuang melawan musuh­musuhnya, dan pada pertempuran yang menentukan, yakni penaklukan Mekkah, beliau sekali lagi menggenapi nubuatan Weda ‘Indra maju dengan sepuluh ribu orang di sekitarnya’. Nabi Suci memiliki sepuluh ribu sahabat bersamanya ketika beliau maju menuju Mekkah dan menaklukkannya. Tetapi beliau tak membunuh lawannya seorangpun, namun, sebagaimana dikatakan Weda, ‘pahlawan yang lembut hati itu meletakkan senjatanya ke samping’. Beliau menaklukkan kota tanpa pertumpahan darah. Fakta sejarah yang benar-benar terjadi ini diperkuat oleh mantera Weda yang hanya benar pada masa Nabi Suci dan tak ada seorang Nabi atau Resi lainpun  yang mengalaminya. Hanya Nabi Islam yang perkasa dan welas-asih yang memenuhi ramalan Weda ini. Kata-kata terakhir dari mantera, ‘Indra, dengan pertolongan Brihaspati (Tuhan dari dunia) menaklukkan suku-suku yang tak bertuhan yang datang melawan dia’, juga cocok untuk Nabi Muhammad, yang dengan pertolongan serta rahmat Ilahi mengalahkan para musuhnya.


MUHAMMAD DENGAN SEPULUH RIBU SAHABATNYA
(Rig Weda 5:27:1).

“Pemilik wahana, yang tulus dan pencinta kebenaran, sangat bijaksana, gagah-perkasa dan dermawan, Mamah (Muhammad) telah menghadiahi aku dengan kata-katanya. Putera dari Yang Maha-kuasa, memiliki semua asma yang baik-baik, rahmat bagi seluruh alam, telah menjadi tenar dengan sepuluh ribu (sahabatnya)”.

Setiap kata dari nubuatan ini menyatakan kebenaran dari Nabi Suci Muhammad. Beliau adalah penuh ketulusan dan pencinta kebenaran. Dari sejak kecilnya beliau dikenal akan kejujuran dan ketulusannya.

Orang-orang memenggilnya Al-Amin, pemegang amanah atau orang yang terpercaya. Ketika Abu Bakar mengetahui bahwa Muhammad mendakwahkan diri atas kenabiannya, maka dia langsung mempercayainya, karena dia tahu benar bahwa Muhammad itu tak pernah berdusta. Begitu pula, fakta yang tak terhitung jumlahnya yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sejarah menunjukkan akan kebijaksanaan Nabi yang luar biasa. Begitu gagah-perkasanya beliau, sehingga selama perang Ahzab, Nabi dengan sekali pukulan palunya, bisa memecahkan batu besar yang orang lain tidak mampu. Beliau begitu dermawan sehingga menghadiahkan segalanya kepada para pengikutnya dan dirinya sendiri tidak punya apa-apa. Apapun juga kekayaan atau rampasan perang datang, langsung dibagikannya ke masyarakat, Nabi sendiri tidak mengambil sedikitpun buat dirinya. “Rahmat bagi semesta alam” adalah julukan khusus dari Nabi Suci, dan begitu pula, beliau adalah satu-satunya Nabi yang terkenal dengan sepuluh ribu sahabatnya.

Semua gelar ini jelas cocok untuk Nabi, tetapi gelar pertama yakni ‘pemilik wahana’ perlu sedikit komentar. Jelas bahwa Nabi tidak memiliki atribut ini, tetapi bila kita mengambil makna yang sejati dari kata ini,kami akan menemukan bahwa ini juga sesuai dengan Nabi Suci. Kata ‘anaswanta’ (pemilik wahana) digunakan pada beberapa peristiwa dalam kitab Hindu. Misalnya, Indra dikatakan menaiki kereta (Rig Weda 1:127:7). Kemudian dia dikatakan memecahkan suatu wahana cakrawala. (38) Begitu pula, matahari itu dikatakan mengendarai wahana yang ditarik oleh kuda, dan anaknya di lahirkan di wahana (Rig Weda 10:85:10). Semua kutipan ini menunjukkan bahwa kata ini digunakan dalam arti kiasan. Ini tidak berarti memuat dalam wahana dalam arti harfiah, Swami Dayanand juga telah menggambarkannya, tetapi ini berarti, yang mulia, terhormat dan berwibawa. Jadi, ‘pemilik wahana’ juga merupakan gelar dari Nabi Muhammad dan, dengan mengambil maknanya yang sesungguhnya, sangat tepat buat dia.

Ka’bah dari kaum Muslim

Atharwa Weda berisi Sukta yang panjang dalam pujian kepada Ka’bah. Namun, agar bisa memahami nubuatan ini dengan jelas, tiga fakta hendaknya di simpan dalam ingatan.

Mantera ini diberi judul sebagai Purush Medha, yang berarti ‘pengurbanan manusia’. Pada masa-masa awal seorang pribadi yang besar dikurbankan, dan mantera ini dibacakan pada peristiwa penyerahan kurban persis untuk mengingat peristiwa itu. ‘Atharwa Resi’ yang di rujuk dalam mantera ini adalah Nabi Ismail. Kami telah memperbincangkan hal ini cukup panjang dalam nubuatan Ibrahim. Menurut penelitian kami, Ibrahim dan Brahmaji adalah dua nama dari pribadi yang sama. Puteranya yang sulung dikenal sebagai Atharwa atau Ismail dan yang lebih muda dinamai Angira atau Ishak. Mantera ini mengacu kepada Ismail yang dikurbankan. Ini adalah suatu perkara nyata, suatu pengurbanan baik bapak maupun puteranya. Puteranya ini dalam usianya yang lanjut adalah satu-satunya harapan Ibrahim, putera keduanya belum dilahirkan sampai terjadinya peristiwa ini. Dengan mengabaikan hal ini, dia memutuskan untuk mengurbankan puteranya, setelah melihat dirinya berbuat demikian dalam rukyah. Karena itu, ini adalah suatu pengurbanan besar baginya di samping pengurbanan puteranya.

Dengan menyimpan fakta-fakta ini dalam ingatan maka arti dari mantera ini akan menjadi lebih jelas:

“Maka setelah dua-duanya berserah diri, dan ia (Ibrahim) menelungkupkan dia di atas dahinya.
Dan Kami menyeru kepadanya: wahai Ibrahim, Sesungguhnya engkau telah memenuhi impian (dikau). Demikianlah Kami mengganjar orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. 37:103-105).

Dalam Atharwa Weda kami dapati: (Atharwa Weda 10:2:26)

“Atharwa menjahit kepala dan hatinya bersama-sama, kesalehan bergerak di dahinya”.

Nabi Ibrahim melihat dalam mimpi bahwa dia mengurbankan puteranya, Ismail. Dia meminta pandangan puteranya akan masalah ini, dan puteranya menjawab: 

“Wahai ayahku! kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada engkau; insya Allah     engkau akan menemukan aku golongan orang yang sabar” (Q.S.37:102).

Jadi, Ismail dengan gembira menaati permintaan ayahnya, dan inilah apa yang dikatakan Weda bahwa Atharwa atau Ismail telah menjahit kepalanya dengan hatinya, dengan perkataan lain, setuju untuk meletakkan kepalanya.
Dalam mantera berikutnya, dikatakan: (Atharwa Weda 10:2:27).

“Kepala Atharwa adalah suatu tempat dimana tinggal para dewa. Ini tertutup dari segala penjuru, hati   dan perlengkapan yang menjaganya”

Tempat dimana Ibrahim mengurbankan puteranya adalah tempat duduk para malaikat dan ruhul kudus. Ini dibentengi dengan baik dan dijaga, sehingga musuh tak akan pernah bisa menaklukkannya. Kata pranah, dalam mantera, berarti malaikat, dengan kepala yang dimaksudkan adalah Ismail dan dengan hati, yang dituju adalah Ibrahim. Semua atribut yang menonjol ini hanya terdapat dalam Ka’bah kaum Muslimin dan tak ada dalam bangunan keagamaan yang lain. Ka’bah adalah tempat dimana para malaikat tinggal dan yang dilindungi dari musuh, tak ada kekuatan yang membencinya yang pernah bisa mengalahkannya, para malaikat dan Tuhanlah penjaganya.

BEBERAPA ATRIBUT LAIN DARI KA’BAH
(Atharwa Weda 10:2:28)

“Apakah itu dibangun tinggi, dindingnya bergaris lurus atau tidak, tetapi Tuhan kelihatan di setiap sudutnya. Dia yang mengenal Rumah Tuhan, akan mengetahuinya karena Tuhan diingat di sana”

Ka’bah itu bukanlah suatu bangunan yang indah atau dihias-hias, - tidak, bahkan ini tidak dibangun dengan metodologi atau ketepatan. Dindingnya tidak paralel satu sama lain. Jika panjang salah satu dindingnya adalah 26 kaki, maka panjang yang satunya lagi 25 kaki dan begitu pula lebarnya yang sebelah 22 kaki dan di sebalah lainnya 20kaki. Ini bukan suatu kuil emas atau perak  tetapi suatu bangunan yang sangat sederhana dari batu-bata biasa; tetapi meskipun demikian ini dianggap suci oleh jutaan orang yang menemukan dalam setiap inci dari bangunan ini manifestasi dari Tuhan serta rahmatnya yang tak terhingga. Tuhan selalu diingat di sini dan dia yang pergi ke Ka’bah merasa benar betapa dekat dia kepada Tuhan. Weda benar ketika menggambarkannya sebagai suatu bangunan tanpa dinding yang lurus tetapi di mana Tuhan terlihat dan dipuja.

Dalam mantera yang berikutnya kita dapati: (Atharwa Weda 10:2:29)

“Dia yang mengenal Rumah Tuhan yang suci ini, yang penuh dengan kehidupan, Tuhan dan Brahma   (Nabi dari Tuhan) menghadiahi dia penglihatan mendalam, kehidupan dan anak-anak”.

Ka’bah dari kaum Muslimin dipenuhi dengan kehidupan ruhani dan menjadi sumber utama spiritualitas. Telah ditulis dalam Taurat Musa bahwa Ibrahim mendapat kabar gembira atas anaknya yang besar dan keturunannya yang banyak. Bahkan hingga kini para pengikut Ibrahim lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan kaum lain. Inilah tepatnya apa yang dikatakan oleh mantera Weda, ‘dia yang menghubungkan dirinya dengan Rumah Tuhan, yakni Ka’bah kaum Muslimin, akan diberi penglihatan mendalam, kehidupan serta keturunan yang besar”.

Mantera yang berikut ini juga memberi makna yang sama: (Atharwa Weda 10:2:30)

“Dia yang mengenal Rumah suci ini, spiritualitas dan penglihatan mendalam tidak akan
meninggalkannya sebelum usia tua, karena Tuhan diingat dalam Rumah ini”.

Bila seseorang sekali telah diberi penglihatan mendalam yang benar dan dia menyusuri jejak-langkah Nabi Suci dan mempelajari apa arti Ka’bah itu, ruhaninya akan meningkat dari hari ke hari dan dia tak akan terpisahkan dari ilham dan petunjuk Ilahi.

SUATU GAMBARAN DARI KA’BAH 

(Atharwa Weda 10:2:31)

“Tempat tinggal para malaikat ini mempunyai delapan lingkaran dan sembilan pintu. Bangunan ini    tak terkalahkan, di sana ada kehidupan abadi di dalamnya dan ini berkilauan dengan cahaya Ilahi”.

Weda telah memberikan gambaran yang benar tentang Ka’bah. Sesungguhnya, Rumah Tuhan mempunyai sembilan pintu. 1 Bab Ibrahim, 2. Bab-al-Vida, 3. Bab-al-Safa, 4 bab Ali, 5. Bab Abbas, 6. Bab al-Nabi, 7. Bab al-Salam, 8. Bab al-Ziarat, 9. Bab al-Haram. Delapan lingkaran adalah garis alami yang mengitari wilayah itu di antara perbukitan yang mengitarinya, namanya adalah: 1. Jabl Khalij, 2. Jabl Kaikan, 3. Jabl Hindi, 4. Jabl Lala, 5. Jabl Kada, 6. Jabl Abu Hadida, 7. Jabl Abi Qabes, 8. Jabl Umar. Lagi, Ka’bah adalah tempat tinggal para malaikat dan tetap selalu tak terkalahkan.

(Atharwa Weda 10:2:32)

“Ruh Yang Unggul yang pantas disembah tinggal di Rumah yang dibangun di atas tiga pilar dan tiga kuda-kuda kayu serta ini adalah pusat dari kehidupan abadi. Manusia ilahiyah mengenal ini baik­baik”. Ka’bah tidak ada berhala ataupun benda obyek sesembahan yang lain. Ini adalah suatu bangunan biasa tegak di atas tiga pilar dengan tiga kuda-kuda kayu di atasnya, namun demikian ini adalah pusat dari kehidupan abadi dan suatu tambang ruhani. Ruh Yang Maha-tinggi terlihat dan terasakan di sini bagi manusia ilahiyah yang memiliki kedalaman penglihatan.

(Atharwa Weda 10:2:33)

“Brahma atau Ibrahim tinggal di hunian ini yang disinari oleh cahaya langit dan diselimuti dengan berkah Ilahi. Ini adalah tempat yang memberi kehidupan (ruhani) kepada orang-orang dan tak bisa ditaklukkan”.

Semua mantera dari Atharwa Weda di atas telah memberi gambaran tentang Ka’bah dan memuji tempat ibadah yang suci ini. Setiap mantera memberi gelar yang baru yang merupakan kualitas karakteristik sejati dari Rumah Tuhan ini. Untuk menyimpulkan seluruh perkara ini, maka Ka’bah adalah suatu memorial yang memperingati suatu pengurbanan yang besar; ini selalu bebas dari pemerintahan, para penghuninya mendapatkan makanan yang berlimpah, dinding-dindingnya tidak dibangun lurus, ini adalah tempat yang penuh dengan kehidupan spiritual, ini memiliki sembilan pintu dan delapan lingkaran, ada tiga pilar dan tiga kuda-kuda di atasnya, dan ini adalah tempat dimana Ibrahim datang dari tanah yang jauh, membuatnya jadi tempat tinggal untuk sementara lalu membangun Rumah Tuhan di sana.

Jadi, mantera-mantera ini tepat sesuai dengan gambaran al-Quran mengenai Ka’bah: 



“Sesungguhnya rumah permulaan yang ditetapkan bagi manusia ialah Rumah yang ada di Bakkah, yang diberkahi dan pimpinan bagi sekalian bangsa.  Di dalamnya terdapat tanda bukti yang terang, (yaitu) Tempat Ibrahim; dan barangsiapa    Memasuki itu ia akan aman”. (Q.S. 3:95-96).


NUBUATAN TENTANG NABI DALAM SAMA WEDA.

Sama Weda adalah satu dari empat Weda, dan menurut para Brahmana Sama Weda, kitab ini lebih unggul dalam penghormatan dibanding Weda yang lain. Kata Sama dalam kepustakaan keagamaan berarti ketenangan, ketenteraman, berbicara lembut seperti dengung lebah dan juga suatu nyanyian.

‘Gitishu sama akhya’ ‘lagu-lagu itu disebut sebagai Sama’. Ciri lain dari Weda ini yalah bahwa manteranya khusus cocok untuk dinyanyikan dengan berirama dan nyaman terdengar. Kedudukannya yang tinggi di antara kitab-kitab agama Hindu jelas dari kutipan berikut ini:

“Yajur Weda adalah kepala Brahma, Rig Weda adalah anggota badan bagian kanan, Sama Weda anggota badan bagian kiri, Upanishad itu jiwanya dan Atharwa Weda ekornya” – (Taitreya Aranyaka 2:9,10 ).
‘Yajur Weda adalah perutnya dan sama Weda adalah kepalanya” – (Kaushitki Brahmana 6:11).
“Rig Weda itu cahaya, Yajur Weda kekuatan dan Sama Weda adalah kemasyhuran” – (Shatpath Brahmana 12:3.4.9).
“Rig Weda adalah bumi, Sama Weda atmosfir dan Yajur Weda adalah langit” – (Taitreya Upanishad).
“Sama Weda adalah pori-pori dan Atharwa Weda adalah mulut” – (Atharwa Weda 10:7.20).
“Sama Weda itu sesungguhnya adalah suami dari Rig Weda” – (Shatpath 8:3.1.5).
“Sama Weda adalah inti-sari dari semua Weda” – (Shatpath 12:8.3.23).
“Dunia ini dicipta dari Brahma, Waisya dicipta dari mantera Rig Weda, Ksatrya diciptakan dari Yajur Weda dan Brahmana diciptakan dari Sama Weda” – (Taitreya Brahmana).
“Sama Weda tidak dinyanyikan oleh Om melainkan oleh Hin – (Shatpath 1:4.1).
“Yajur Weda adalah tulangnya, Sama Weda kulitnya dan Yajur Weda hatinya” – (Atharwa Weda 9:6.2).

Sama Weda juga menceriterakan banyak nubuatan mengenai kedatangan Nabi Suci Muhammad. Kita petik hanya satu di antaranya. Ramalan ini terdapat dalam Sama Weda, 2:6.8.

“Ahmad memperoleh hukum-hukum agama dari Tuhannya. Hukum ini penuh dengan kebijaksanaan. Aku menerima cahaya dari-Nya tepat seperti dari matahari”.

Nubuatan ini memperkuat kebenaran berikut ini:
Nama Nabi Ahmad dengan jelas disebutkan.
Nabi juga dikatakan telah dianugerahi Hukum oleh Tuhannya.
Dia juga dikatakan telah dikaruniai kebijaksanaan bersamaan dengan itu.
Resi diterangi melalui Hukum dari Nabi seperti halnya pelbagai obyek yang diterangi oleh cahaya matahari.

Sina Acharya, seorang mufasir tua dari Weda, dan para penerjemah Arya lainnya telah membuat kesalahan dalam menerjemahkan mantera ini. Mereka tidak mampu memahami nama Arab Ahmed, dan mengambilnya sebagai Ahm at hi, jadi menerjemahkan mantera itu sebagai: “Saya sendiri telah
memperoleh kebijaksanaan sejati dari Bapaku, sehingga saya seperti matahari”. Terjemahan ini terbuka untuk dua keberatan.

Pertama, resi dari mantera ini adalah Vatsah Kanvah termasuk dalam keluarga Kanv dan pengakuannya sebagai satu-satunya orang yang memperoleh kebijaksanaan sejati dari Bapa jelas bertentangan dengan Weda Dharma. Telah disebutkan dalam Weda akan adanya seratus satu resi seperti Vatsah, dan tidak ada bukti untuk menunjang pengakuan Vatsah ini bahwa dia adalah satu-satunya penerima kebijaksanaan Bapa.

Kedua, dewa dalam mantera ini adalah Indra, dan Vatsah Kanvah bukanlah satu-satunya putera dan pewarisnya. Tidak ada bukti sejarah untuk kenyataan bahwa Vatsah sendiri yang menjadi pewaris dan penerus Indra. Jadi Resi tidak dapat membuat pernyataan palsu.

Betapapun, Quran Suci telah memecahkan teka-teki ini dengan firman-Nya:

“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai Saksi, dan pengemban kabar baik, dan sebagai juru ingat. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai    Matahari yang menerangi” (Q.S. 33:45-46).

Jadi, Nabi adalah pembawa kabar baik dan Matahari yang memberikan cahaya (ruhani) kepada  dunia. Di tempat lain al-Quran berkata: 

“Maha Berkah Dia Yang membuat bintang-bintang di langit, dan di sana Ia membuat pula    matahari dan bulan yang menerangi” (Q.S. 25:61).

Ada dua macam bintang dan planet di angkasa ini. Bintang yang memiliki cahaya sendiri dan mereka yang menerima cahaya melalui planet lain. Rembulan dan bintang pada waktu malam menerima cahaya dari matahari dan dengan cara itu memberi saksi akan kehadirannya. Begitu pula Nabi Muhammad adalah matahari dan nabi-nabi yang lain adalah seperti rembulan dan bintang-bintang yeng menerima cahaya dari beliau dan menyinari bumi dari masa ke masa. Resi Vatsah berkata bahwa dia itu seperti matahari, adalah cara lain untuk menyatakan bahwa dia menerima cahaya dari Ahmad Nabi Islam, yang tentang kedatangannya telah dia ramalkan. Nabi Muhammad memiliki cahayanya sendiri dan yang lain memetik cahaya mereka dari beliau.

KEDATANGAN NABI SUCI MUHAMMAD SEBAGAIMANA DIRAMALKAN DALAM GAYATRI MANTRA, INDUK DARI WEDA DAN KAUM HINDU.

Bagi kaum Hindu, Gayatri mantra mengusung banyak sekali makna suci yang sama seperti kalimah suci (kalimat syahadat) bagi kaum Muslimin. Mantera (ayat-ayat suci) ini, juga disebut Sawitri, induk dari semua Weda, sama seperti Surat al-Fatihah (surat pembukaan dari Quran Suci) yang telah disebut Umm-al Quran (induk atau basis dari al-Quran) oleh kaum Muslimin. Dalam bahasa perumpamaan, Gayatri mantra itu seperti ratu yang tak terperikan cantiknya; dan bayangannya adalah dia turun dari langit, dan karena itu, berisi kehangatan dan rahmat dari seluruh dewa-dewi di langit. Dalam Gayatri mantra, hanya ada sepuluh kata-kata, dan duapuluh empat silabus (kata singkatan); dan karena itu suatu triplet, maka setiap baris berisi delapan silabus. Gayatri mantra, secara kiasan, telah dipandang dan dianggap sebagai pasangan Brahma – Brahma yang sama kepada siapa, menurut kepercayaan Hindu, seluruh keempat Weda telah diwahyukan. Meskipun Weda itu empat jilid besar, namun Gayatri mantra adalah induk dari semuanya; dan jika mantra ini, di satu sisi, merupakan induk dari Weda, ini juga, di sisi lain, induk dari semua kaum Hindu juga, yang merupakan suatu nama gabungan dari tiga komunitas, Brahmana, Ksatrya dan Waisya. Gayatri mantra diketemukan nyaris di semua Weda. Ini telah dinyanyikan dalam Upanishad yang otentik serta banyak Sastra yang lain – dinyanyikan dengan alasan bahwa ini adalah sebuah lagu suci dan tanpa lagu itu seorang Hindu tidak dapat disebut sebagai penganut agama Hindu. Seperti halnya baptis dalam agama Kristen, dan Kalimah Syahadat bagi seorang Muslim, begitu pula Gayatri mantra dalam agama Hindu. Adalah ayat ini yang pertama sekali dibacakan oleh seorang guru ruhani pada waktu mengalungi seorang anak kecil Hindu dengan benang suci. Setiap hari, pagi dan petang, pada saat matahari terbit dan terbenam, Gayatri mantra dibacakan dalam sembahyang, dan ketika itu dibacakan, semua anggauta tubuh yang berbeda-beda itu disentuh dengan berurutan – hidung, telinga, mata, mulut, kepala, telapak tangan, masing-masing jari secara terpisah, lengan dan pusar, serta berdoa kepada dewata untuk keselamatan dan perlindungan dari anggauta tubuh itu. Di samping sembahyang harian, ini juga dibaca dan dilagukan dalam upacara perkawinan, festival serta pawai umum. Pembacaan Gayatri mantra membawa dalam dirinya pengaruh kebaikan dan manfaat yang tak terhitung. Ini tidak saja menjadi jaminan bagi seorang Hindu akan kesejahteraan dan kesehatan dari semua anggauta tetapi juga membasuh semua dosa. Betapapun menakutkannya dosa seorang Hindu yang telah dilakukannya, dia tidak perlu sakit karena cemas atau ketakutan; cukup membaca Gayatri mantra dengan tasbih 3.000 kali, dan akan puas serta gembira bahwa dosanya telah diampuni dan dimaafkan. Dosa yang sama juga bisa dihapuskan bahkan dengan cara membacakannya setiap hari. Gayatri mantra, seperti anda dengar, telah turun dari langit; tetapi keajaibannya yalah bahwa ini juga mengandung tenaga yang membawa pembacanya ke langit tinggi. Karena Gayatri itu bersumber dari mulut Brahma, dan ibu dari kaum Brahmana, Ksatrya dan Waisya. Kewajibannya hanyalah memberi makan dan susu kepada mereka; karena tak ada ibu yang wajib menyusui keturunan orang-orang lain. (39) Dan karena itu adalah hal yang murni dan suci, bangsa-bangsa yang tidak bersih tidak bisa menuntut akan hal itu. Setiap orang, perseorangan maupun kaum, harus menyimpan barangnya dalam penjagaan yang aman; dan ini tidak menjadikan yang lain bisa mengambil manfaat yang tidak perlu untuk menuntut hak milik orang lain.

Semua faktor ini tergabung dalam menegakkan pentingnya, agung dan unggulnya Gayatri mantra. Bangsa­bangsa selain Hindu barangkali tidak bisa memahami dan mengagumi kenapa suatu triplet yang terdiri dari tiga baris bisa menjadi isteri seseorang dan induk dari bangsa-bangsa yang demikian besar serta ibu dari berjilid-jilid Weda yang besar. Dan karena alasan inilah maka saya telah mengangkat pena sehingga saya bisa memahami setidaknya sesuatu bagi diri saya sendiri, dan juga membuat yang lain bisa memahaminya.

Pengetahuan atas arti penting dari Gayatri Mantra itu tidak diperlukan.

Mereka berkata bahwa sekedar membaca lisan Gayatri mantra maka semua kehendak dan keinginan hati akan terpenuhi dan terlaksana. Karena itu, tidaklah penting untuk mengenal arti penting dan maknanya. Ini hanya sekedar masalah kepercayaan dan dogma, dan karena itu, apa perlunya memasuki perbincangan tentang itu. Ini adalah dari dewata, dan sesuatu yang indah; sehingga bodoh dan tak ada gunanya menimbang dan memeriksa keindahannya dalam neraca hukum dan logika. Bukankah suatu keajaiban kecil di mata bahwa mantera ini pada saat yang sama bisa berpengaruh, baik sebagai racun maupun obat sekaligus? Di mana bagi kaum Brahmana, Ksatrya dan Waisya ini merupakan obat yang menguasai, suatu risalah tentang anugerah dan kebahagiaan, tetapi bagi kaum Sudra pandangan terkutuk terhadapnya mendapat sanksi kematian dan kehinaan. Orang-orang yang berusaha menyelami dan mencermatinya dengan sarana pisau tajam hukum logika dan bahasa, dicambuk dengan keras bahwa mereka telah terasing dari kebaikan serta berkah di dua dunia. Alasannya jelas yalah bahwa dalam mencari jalan untuk memahami maknanya yang benar, maka labirin hukum bahasa akan menimbulkan kekacauan sedemikian luasnya sehingga akan sangat sulit untuk memperoleh pengertiannya yang tepat. Apa yang mau dikata bagi kita, sedangkan pandit dengan kemampuan dan enersi yang besar saja, dalam permainan ini, telah terjebak dalam kebingungan dan putus asa. Bahasa dari mantra ini tak begitu sulit, tetapi kata-katanya telah disusun keluar dari takaran sedemikian rupa sehingga fikiran, alih-alih menapak lebih lanjut untuk memahami artinya, malah lebih senang bergerak mundur. Pastilah lebih mudah untuk menyusun mantera sesuai dengan selera dan kecenderungan kita, atau bahkan menciptakan Gayatri baru dalam bahasa Hindi, Urdu atau Inggris, tetapi pasti sulit dan berat untuk menerjemahkan makna tersembunyi dari Gayatri yang nyata, diwahyukan dan dari langit.

Arti harfiah dari Gayatri (Rig Weda 3:62:10)

That Savitur Varenyam Bhargo Devasya Dhi Mahi Dhiyo Yo Nah Prachodyat

Arti harfiahnya adalah:  “Matahari itu, yang benderang dan murni, kebijaksanaan tuhan yang besar –    semoga dia mempertajam dan menghaluskan kecerdasan kami.

Dalam terjemahan ini kami tidak akan menambah sedikitpun dari pendapat sendiri. Teks dari Gayatri telah dikutip dari Rig Weda, mandal 3, Sukt 62, mantra 10 : dan terjemahnya juga, bukannya dari kita melainkan dari para pandit sendiri.

KEKABURAN DALAM PENERJEMAHAN

.Kesulitan pertama: Orang, tempat atau benda yang dirujuk oleh kata depan yang demonstratif tat (itu), atau, dengan perkataan lain, obyek utamanya, tidak dapat diyakinkan. Matahari adalah obyek langsung dari sembahyang dan pemujaan dari mantra sehingga kata depan yang demonstratif tat, yang menunjuk obyek yang sangat jauh, karena itu, tidak dapat digunakan untuk matahari. Dalam bahasa Arab dan Inggris definite article menunjuk dengan jelas kepada noun yang khusus dari kalimat itu: ‘Alif lam’ dalam bahasa Arab, dan ‘the’ dalam bahasa Inggris, ditempatkan sebelumnya dan dilekatkan kepada kata bendanya. Namun, dalam Weda, tidak ada huruf besar maupun definite article. Misalnya, kata benda agni tidak mempunyai huruf besar ataupun definite article yang melekat sebelumnya padanya; sehingga orang tidak dapat mengatakan apakah agni itu dewa ataukah resi, api ataukah panas alami. Latihlah akal sehat anda dan ketemukan sendiri apakah itu api biasa ataukah dewa agni yang dimaksudkan. Dalam ayat yang didiskusikan sulit jadinya untuk mengetahui particular noun ataukah pribadi yang dimaksudkan di sini. Dalam bahasa sanskerta, katakerja untuk laki-laki dan perempuan bentuk atau rupanya sama saja. Anda bisa, dalam menerjemahkannya, menganggapnya sebagai lelaki atau perempuan. Misalnya, makan makanan, bisa bagi seorang laki-laki, dan juga bisa bagi seorang perempuan. Di-klaim sebagai kecanggihan bahasa Sanskerta bahwa satu kalimat dalam bahasa ini bisa memiliki limapuluh arti yang berbeda. Dalam kenyataannya, ini bukan suatu kualitas yang baik, karena ini jelas bertentangan dengan prinsip keelokan serta kemurnian dari bahasa itu yang dengan sarana mana kita dapat sampai kepada maksud yang benar dan tepat dari si pembicara.

SIAPAKAH YANG DITUJU DALAM DOA ITU?

Mengingat kebingungan ini dalam pergelaran kita, orang pasti akan tergoda untuk bertanya:  Kepada siapakah doa itu ditujukan dalam mantera tersebut? Kepada Matahari, atau Cahaya Matahari, atau kebijaksanaan dan kecerdasannya?

Tetapi kepada Gayatri mantra para pandit telah memulainya dengan empat kata yang tidak ada dalam Weda : Om bhur bhavah svaha. Kata Om, sebagaimana bisa dicatat, tidak diketemukan dimanapun dalam Rig Weda. Empat kata-kata ini mereka rubah dan selipkan sebelum pembacaan Gayatri mantra demi alasan bahwa ini semoga pada akhirnya bisa menghasilkan beberapa kepentingan. Beberapa pandit, demi menjadikan Matahari sebagai obyek utamanya, dari istilah tat, mereka tambahkan supaya cocok kata tasya sesudahnya. Dalam hal ini, istilah tat kelihatannya jadi berlebihan dan mubasir. Fikiran yang disebut di atas berasal dari orang-orang yang  menggeluti kepercayaan Suraj Bhagwan, Tuhan-matahari. Tetapi ada juga orang-orang lain yang berpandangan bahwa doa di atas tidak ditujukan kepada Matahari, meskipun dewa dalam mantra, menurut peraturan, adalah dewa yang dituju dan didambakan. Alasan yang ditambahkan oleh orang-orang yang berpandangan bahwa doa itu tidak ditujukan kepada Matahari melainkan kepada Cahaya Matahari, juga layak untuk dipertimbangkan, karena doa kepada kekuasaan dan gelar seseorang sesungguhnya berarti permohonan kepada tuannya. Ini hanyalah setengah kebenaran. Ketika anda memuji kepada suatu rumah, suatu kerajinan atau seekor kuda, ini sesungguhnya memuji pemilik dan tuannya. Tetapi setelah pujian itu, doa atau permohonan selalu harus ditujukan kepada tuannya. Ketika anda memuji suatu rumah, atau keterampilan, atau kuda, sesudahnya tak mungkin anda berkata: Wahai rumah Panditji, saya mohon kepadamu untuk masuk; atau biarkanlah saya keluar; dan itu akan menjadi kebaikan yang besar dari anda; wahai kuda Panditji, perbolehkan saya menunggangi punggung mu. Namun sungguh patut disayangkan bahwa para pandit tidak mau mendengarkan kata-kata bijak ini, dan puas dengan dengan mantera semacam ini dan itu, permohonan ditujukan, tidak kepada tuannya melainkan kepada atributnya. Mereka mengutip mantera berikut ini:

PEEPVANSAM SARASVATAH ASTNAM YO VISHV DARASHTAH –BHAKSHI MAHI PRAJAM ISHAM.

yakni, Montok dan menonjol dengan indah payudara Saraswati, dalam pemandangan dan   penglihatan dari semuanya; kami menyeru dan bermohon kepada mereka untuk menganugerahi kami   anak-anak serta roti (Rig Weda 7:96:6).

Mantera ini seolah-olah tidak anggun atau berbudaya. Tetapi bacalah peragaan kita atas itu per  bagian  Para pandit berbantah bahwa permohonan dalam mantera ini tidak ditujukan kepada dewi Saraswati,  tetapi kepada kemontokan dadanya. Doa itu, meskipun tidak secara langsung, pada akhirnya telah  tertuju kepada sang dewi melalui saluran tersebut.

Tekanan penuh dari Gayatri mantra itu pada baris terakhirnya, yang berharap semoga bisa mempertajam dan  menghaluskan  kecerdasan kita. Beberapa orang menerjemahkannya sebagai: itu bisa menyucikan fikiran kita; yang mana, tentunya, suatu doa atau aspirasi yang cukup bagus. Doa apa yang bisa lebih bermanfaat dan terpuji kecuali kebijaksanaan dan kecerdasan seseorang itu bisa ditinggikan dan diperhalus? Di beberapa tempat dalam Weda doa yang sama juga terdapat. “Sam nah shishihi bhurijoriv Khohvram”. Ini berarti: “Pertajamlah kecerdasanku seperti mata pisau cukur”. Beberapa pandit, setelah gelisah dan bingung oleh kendala dimana hukum bahasa telah dibuang dalam memahami Gayatri mantra, telah mengusulkan bahwa apapun juga caranya terjemah dari mantera itu dibuat baik dan bisa disetujui, ini harus dilakukan, dan bahwa Weda tidak terikat pada suatu hukum, dan bahwa banyak contoh dalam Weda dimana jumlah jamak telah digunakan untuk tunggal, dan sebaliknya, dan bahwa kalimat serta mantera (ayat) seringkali tidak lengkap, yang seharusnya, dengan pertolongan seni dan keahlian anda, bisa diterjemahkan dengan lengkap dan sepenuhnya.

 
LUKISAN PENA TENTANG MATAHARI YANG MEMBERI CAHAYA (SIRAJ-AL MUNIRA)DALAM GAYATRI

Istilah Gayatri berasal dari akar kata bahasa sanskrit gayi yang berarti bernyanyi. Karena itu, arti Gayatri adalah mengagungkan pemilik dari sifat-sifat mulia; menyanyikan pujian kepada yang patut dipuji. Karena itu, Gayatri adalah nyanyian pujaan dalam mengenang seseorang. Membalikkan istilah Gayatri menjadi trigaya, arti berikut ini juga bisa disajikan: Ini dengan tiga kaki; yakni untuk mengatakan, ini memiliki tiga baris. Dalam dua baris pertama ada pujian kepadanya,untuk kehormatan siapa mantera ini disusun. Arti ketiga dari Gayatri yang saya fahami, adalah bahwa malam itu telah dibagi dalam empat periode, dan saat untuk menyanyikan Gayatri atau waktu untuk bersembahyang sesudah Gayatri dinyanyikan, adalah periode ke tiga yang berlangsung sesudah tengah malam; yakni untuk dikatakan, sepertiga bagian malam yang berlangsung sejak tengah malam. Trigay jatuh pada pertengahan darinya, tepat seperti dalam Quran Suci:

“Wahai orang yang berselimut! Bangunlah untuk bersalat malam, kecuali sebagian kecil.     Separonya, atau kurangilah itu sedikit. Atau tambahlah itu, dan bacalah Quran secara santai” (Q.S. 73:1-4).

Gayatri, sebagai fakta nyata, adalah pujian, pujaan, dari manusia Ilahiyah yang biasa selalu bangun pada tengah malam, dan berdiri serta menyanyikan doa kepada Tuhan yang Maha-tinggi, serta membaca Quran Suci dengan sikap santai, hingga fajar subuh. Karena itu, Gayatri menunjuk dan mengarahkan perhatian kaum Hindu kepada Orang Besar ini, Nabi Suci dari Arabia. Nama yang lain dari Gayatri adalah Sawitri yang adalah gender perempuan dari Savitur, suatu nama dari matahari. Tetapi dengan mengabaikan fakta bahwa ada semacam persamaan atau nama – kemiripan antara Savitur dengan Matahari, ada pula suatu perbedaan di antara keduanya, yang akan kami sebutkan secepatnya belakangan. Gayatri adalah pasangan Brahma; tetapi pasangan Brahma itu adalah kesayangannya. Karena itu, dalam arti kiasan, suatu kata atau pembicaraan yang disajikan Brahma dalam doanya, yang mana maksud dan tujuannya, atau kabar gembira tentang terkabulnya, telah diberikan dalam Gayatri. Gayatri adalah ibu kaum Arya, yakni kaum Brahmana, Ksatrya dan Waisya. Penyembahan ibu itu jelas lebih penting dan perlu daripada penyembahan Bharatmata. Penyembahan berarti membayar ketaatan yang tak terbatas dan melakukan apa yang dikatakan. Hidupmu tergantung kepada kepatuhanmu kepada ibumu. Ketika dia memberikan kamu payudaranya, dan engkau tidak mau menyusu, di sini terletak kepastian akan kematianmu. Setelah ini, ingat pula untuk seumur hidupmu bahwa Yang Maha- tinggi telah menciptakanmu; dan sepanjang engkau tak dapat menjaga terhadap hal itu dan melindungi dirimu, maka ibumulah yang memelihara dan membesarkanmu. Juga simpanlah dalam fikiranmu dan ingatlah bahwa segenap hewan, anak manusia, seperti halnya engkau seringkali, lebih membutuhkan perlindungan ibu; karena itu, ketemu dan wajiblah bagi seorang anak itu, agar seumur hidupnya, selalu berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada ibunya. Tetapi bagaimana bisa Gayatri ini menjadi ibumu? Ini karena dia telah menimbang dan menyediakan bagimu kehidupan ruhani. Pelajaran spiritual pertama yang kaubaca adalah, dan makanan ruhani pertama yang engkau nikmati dari tangan gurumu yalah, sesungguhnya Gayatri ini, dan karena itu benar-benar Gayatri ini adalah guru ruhanimu. Gayatri adalah induk dari Weda. Weda itu berjilid-jilid, besar dan panjang-lebar, masing-masing memiliki sejumlah manuskrip. Rig Weda mempunyai 21 MSS; Yajur Weda, 101; Sama weda, 1000; dan Atharwa Weda, 9 (maha bhashya). Dari ini, dua manuskrip Rig Weda yang berbeda, delapan dari Yajur Weda dan beberapa banyak lagi yang baik-baik dari Sama Weda, serta dua dari Atharwa Weda, bisa didapati bahkan sampai kini. Di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak suci dan kerusakan, ketidak cocokan satu sama lain dan variannya, serta banyak kesulitan dalam memahami arti penting yang sebenarnya. Karena itu, agar supaya selamat dari segala bencana dan penderitaan, adalah masuk akal serta bijaksana bila kita minta perlindungan di bawah sayap ibu. Inilah ibumu, yakni Gayatri. Dia adalah kehendak baik yang seluas­luasnya seperti cara setiap ibu kepada puteranya. Kini, pasanglah telingamu sepenuhnya dan dengarkanlah dengan penuh perhatian risalah dimana induk dari Weda, ibumu sendiri, wahyu Brahma dan puteri langit, yang mengusungnya untukmu:

Huruf pertama dari Gayatri adalah tat yang berarti itu yang sekarang masih sangat jauh, atau masa dan zaman di mana kedatangannya masih jauh dan lama.
 

Huruf kedua yakni Savitur yang berarti Matahari. Yang memberi gerak, dan yang mempercepat kehidupan, adalah atributnya. Tetapi ada suatu perbedaan di antara Suraj (Matahari) dan Savitur. Matahari adalah yang terbit dan tetap bisa dipandang mata hingga terbenam, sedangkan Savita itu adalah yang belum pernah terbit sehingga belum terlihat di mata (Nirukt 12:12); maka yang mendambakan untuk melihatnya, apapun yang kita nyanyikan pada malam yang senyap, adalah Gayatri; yakni untuk dikatakan, Gayatri mempunyai hubungan dengan pendatang pada waktu malam yang sunyi; dan untuk alasan inilah maka Quran Suci telah menamai dia Al-Tariq; dan, karena itu, jika huruf Gayatri dibalik sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam Nirukt (7:12), maka ini menjadi Al-Tariq, dimana huruf gaf dalam Sanskerta telah berubah dalam huruf Arab menjadi qaf. Di satu sisi, arti Gayatri yalah bagian sepertiga malam sesudah tengah malam, dan pada segi yang lain, arti Tariq dalam bahasa Arab yalah “Yang datang pada waktu malam”.

Pengembara, musafir, tetapi istilah itu digunakan secara khusus bagi pendatang di waktu malam; dan itu pula alasannya mengapa sebuah bintang juga disebut Tariq, karena dia terbit di waktu malam. Pendeknya, kedua istilah Gayatri dan Savita yang digabungkan, menunjukkan Pendatang di waktu Malam; Nabi biasa selalu bangun di sebagian malam, dan menyanyikan pujian kepada Tuhan Yang Maha-tinggi. Gayatri, sebagaimana kita katakan, adalah Al-Tariq tidak saja secara harfiah melainkan juga dalam praktek. Dia, selalu dan selamanya, biasa terbangun dan bangkit dari tempat tidurnya pada sebagian malam serta berdiri hadir di hadapan Ilahi menyanyikan pujian-Nya.
 

Savita yakni bangun pada tengah malam, mempunyai dua atribut atau kualitas; pertama, seorang yang menghadiahkan gerak, dan lainnya, dia yang menggiatkan kehidupan. Di sini, jangan disesatkan atau ditipu oleh kata-kata yang menggiatkan kehidupan. Satu kehidupan yang telah dikaruniakan kepadamu, dan kelahiran kedua dimana juga disebut janam kedua, terjadi setelah membaca Gayatri, memahami arti penting yang sebenarnya, dan beramal perbuatan sesuai dengannya dengan penuh keimanan.
 

Bukankah aneh bahwa Matahari naik ke langit dan memberikan cahayanya sepanjang hari, tidak menciptakan kehidupan yang dibawakan oleh Savita dan diciptakannya? Savita tidak di bawah rengkuhan atau kendali terbit dan terbenam; dia adalah Matahari yang lain; dan di antara dua ini, ada, dengan mengabaikan kesamaan dalam nama, dalam artinya mengandung pertentangan dan benturan. Matahari ini adalah yang terbit dan terbenam, berputar terus memotong pendek hidup manusia setiap hari hingga dia mengakhirinya pada suatu hari; dalam bahasa Arab dan Ibrani dia disebut ‘seen’, yang berarti menggigit dengan gigi-giginya. Manusia serta binatang lain-lainnya menggigit dengan giginya, tetapi untuk benda­benda lain dipotong berkeping dengan pisau gergaji. Seen dalam realitasnya adalah sangat serupa halnya dengan memotong, atau gergaji yang menggunakan giginya dalam jenis yang berbeda. Tetapi Matahari yang tidak memotong, tetapi memberi kehidupan abadi, disebut Savita. Bila Matahari itu terbit dan muncul di ufuk dunia, maka dia takkan pernah terbenam atau tenggelam. Anda boleh menyebutnya Matahari yang abadi dan tiada akhir, Matahari dari tanah yang berhak disebut Negeri tanpa esok hari. Matahari ini tidak menjadikan hari ini ke besok pagi, maupun melakukan perampokan terhadap hidup kita. Dalam Quran Suci dia diberi nama Matahari Yang Memberikan-cahaya-Nya, sangat mungkin alasannya karena cahayanya itu tak henti-henti dan abadi. Tak ada nabi lagi sekarang yang akan datang sampai Hari Kebangkitan; karena, di hadapan Matahari ini, tidak diperlukan lagi cahaya yang lain.
 

Huruf ketiga dari Gayatri adalah Verenyam. Hubungan antara huruf ini dengan Savita jelas perlu. Ini adalah kunci yang melepas dan membuka nubuatan ini. Verenyam berarti Munira, yakni pemberi cahaya; dan arti Munira adalah Matahari yang memberikan cahaya-Nya. Dan keajaiabannya di sini adalah, bila anda membalik Verenyam, dia menjadi Munira; karena hubungan antara Arab dan Sanskerta itu adalah antara tangan kanan dengan tangan kiri; yang satu ditulis dari kanan ke kiri, yang lain dari kiri ke kanan dan bila anda membacanya dari kanan ke kiri, maka itu adalah bahasa Arab dan bila anda membacanya dari kiri ke kanan, maka itu adalah kata-kata Sanskrit. Gabungan antara Verenyam sesudah Savita itu tepat seperti Sirajam Munira dalam Quran Suci, yang berarti Matahari yang senantiasa bersinar.
 

Huruf ke empat dari Gayatri yalah bhargah yang dalam bahasa Arab adalah barokah, memberi pengertian  berkah dan kesucian. Di mana fungsi Matahari itu, di satu sisis, adalah memberi cahaya dan menerangi, juga kerjanya yang lain adalah penyingkiran segala yang memalukan dan mesum. Kuman­bakteri penyakit yang mematikan itu berkembang-biak dan marak dalam kegelapan, dan mempercepat kehancurannya dalam waktu singkat. Menafsirkan Ahimsa Parmodharma bahkan sebagai tidak membunuh kuman-bakteri ini, jelas tidak benar alias salah. Seluruh singa di rimba, harimau, serigala dan ular, digabung bersama-sama, tidak menyebabakan begitu luasnya kehancuran kepada kehidupan manusia dibandingkan dengan kuman-bakteri yang mematikan ini. Berdasarkan Sastra dan akal fikiran manusia dan kebijaksanaan, karenanya, hinsa (membunuh) itu bukanlah kejahatan; ini, sebaliknya, adalah tindakan terpuji dan kebajikan. Matahari yang besar, sepanjang hari, membunuh dan membinasakan segala macam kuman-bakteri yang mesum dan menjijikkan; dan bukannya kesucian serta kemurnian ini bisa diperoleh setelah melakukan dosa yang menakutkan dan tak berampun dengan sekedar membaca Gayatri di tempat tidur ayunan, untuk menyenang-nyenangkan diri dengan kepercayaan dan mengira bahwa dosanya telah dicuci dan dibersihkan. Agama yang benar itu, di samping menciptakan kebencian yang sangat dan perasaan tidak suka kepada dosa, juga membunuh dan menghancurkan kuman-bakteri dosa.
 

Huruf ke lima adalah devasya yang berarti satu dewa; dan dia adalah benar-benar sama dengan Matahari (Sirajam Munira) yang rahmat dan karunianya abadi serta tiada akhir, dan tidak terbatas atau terkungkung untuk zaman tertentu. Meskipun saat kedatangannya itu pada periode belakangan, namun dia adalah semacam dewa yang membersihkan dan menyingkirkan tidak saja  yang memalukan dan mesum pada zamannya yang akan datang namun juga menjawab dan membuang tuduhan yang mengotori dimana orang-orang  membebankannya terhadap orang yang baik dan tulus sejak dunia terkembang. Dia membersihkan dan membebaskan dari dosa semua nabi dan resi dari segenap agama dari perbuatan dosa yang dinisbahkan kepada mereka oleh orang-orang. Sungguh mengejutkan, Alkitab menuduh para nabinya sendiri dengan kelakuan mesum, dan menaruh tuduhan kepada mereka atas perbuatan bejat luar biasa yang bahkan orang biasa pun akan gemetar dan mengkeret untuk melakukannya; toh Alkitab lebih menyukai tuduhan semacam ini terhadap para nabi suci, Musa, Ibrahim, Luth, Nuh, Daud, Sulaiman, Harun, dan Yakub  alaihissalam. Namun, Quran Suci membersihkan dari dosa semua manusia suci ini dari semua tuduhan yang menjijikkan, dan wahyu kepada Nabi Suci mengumumkan mereka sebagai maksum,  bersih dan bebas dari dosa. Kaum Hindu percaya di satu sisi bahwa cahaya Weda itu menerangi Brahma; tetapi mereka juga menyatakan dalam tarikan nafas yang sama bahwa karena jatuh cinta dengan puteri kandungnya sendiri maka Brahma lari dan mengejarnya. Krisna yang suci diproklamasikan dan diakui sebagai avtar atau inkarnasi Tuhan; tetapi tentang dia umat Hindu juga mengakui bahwa dia sangat bernafsu dengan Radha, dan juga menikmati perzinaan dengan para gopis atau pemerah susu. Tetapi Nabi Suci Muhammad s.a.w. adalah yang menyucikan para dewa dan seorang  utusan suci yang mengembalikan kehormatan dari para pribadi suci di segala bangsa di dunia, dan membebaskan mereka dari segala prasangka atas kesenangan dan kelakuan yang membawa dosa. Lelaki yang jaya dan agung ini, sebutlah dia dewa atau malaikat yang mulia, tidak saja dirinya di atas dan bebas dari segala dosa melainkan juga yang menyucikan orang-orang lain.
 

Selanjutnya kita dapatkan kata-kata Dhi Mahi dalam Gayatri mantra. Ini adalah kebalikan dan sinonim dari Mahdi. Di sini, menyangkut artinya, terdapat perbedaan pendapat. Beberapa orang berkata bahwa arti dhi adalah meditasi, dan mengalih-bahasakan frasa ini sebagai kami bermeditasi, sedangkan yang lain berpendapat bahwa dhi berarti cendikia dan bijaksana, dan mahi berarti besar, sehingga, mereka berdalil, ini adalah kebijaksanaan yang besar; sedangkan pengertian Mahdi adalah pembebasan atau refleksi mendalam serta berfikir dalam kesunyian; dan kebijaksanaan serta bakat adalah nama untuk menciptakan dalam fikiran orang-orang suatu rasa takut akan konsekwensi dari perbuatan jahat, dan membimbing mereka ke jalan yang benar.
 

Kalimat terakhir dari Gayatri mantra dimulai dengan dhiyo yo nah yakni, kecerdasan dan fikiran kita semoga dia (prachodyat) menjadikannya tajam atau suci dan halus.

Setelah memberikan suatu peragaan secara harfiah dari mantera itu, sekarang kita melaju dengan melayangkan pandangan terhadap hal itu secara bersamaan.

Telah ditunjukkan bahwa Gayatri adalah induk dari Weda maupun kaum Hindu; dan memperhatikan serta menaati diktum dan perintah ibu adalah penting sekali bagi para puteranya. Adalah tidak bijak dan naif untuk menyatakan bahwa bahkan tanpa mengetahui arti yang sebenarnya dari Gayatri mantra, dan sekedar mengulang-ulanginya seperti burung kakaktua, maka semua karya dan janji akan terpenuhi, atau keselamatan dan pembebasan akan diperoleh. Dengan sekedar menggosok-gosok resep dokter, yakni selembar kertas itu, di kepala atau diperut, atau hanya sekedar mengulang-ulang nama obat, lalu yakin bahwa penyakitnya akan menyingkir; dan bila engkau tidak menggunakan obat itu sesuai dengan arahan dokter, maka itu tak ada manfaatnya sama sekali.Bila ada kebenarannya dalam klaim bahwa semua dosa dicuci bersih dan dihapuskan hanya dengan membaca Gayatri mantra, maka semua perampok dan bajingan serta para kriminal lainnya akan bisa lolos dari penangkapan dan penghukuman hanya dengan sekedar membaca mantera ini satu dan setengah baris saja. Karena itu, adalah penting bahwa kita harus mengetahui dan memahami arti dari Gayatri mantra, lalu beramal dengan mengikutinya. Adalah jelas sekali dari istilah Gayatri dan nama dewanya, Savita, bahwa matahari yang disebut dalam mantera ini adalah matahari yang terbit dan nampak pada waktu malam, dan bukannya matahari yang terbit dan terbenam setiap hari. Matahari yang dirujuk itu adalah suatu yang belum terbit maupun nampak pada zaman Weda. Matahari yang anda lihat serta tangkap setiap hari, telah diciptakan oleh Parmatma (Tuhan). Tanpa kehendak dan perintah dari Parmatma, matahari ini tidak dapat memberikan kebaikan ataupun keburukan. Jika ada manfaat atau keuntungan dalam menyembahnya, maka kaum Brahmana yang menyembah dan memujanya pasti akan bisa menimbun di rumahnya seluruh kekayaan di bumi; tetapi para pandit malahan orang-orang yang hidup dari penghasilan dan sedekah orang lain.

“Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada rembulan, dan sujudlah kepada Allah yang menciptakan itu, jika kamu mengabdi kepada-Nya” (Q.S. 41:37).

Kata bijak ini, atau kata yang yang mempertajam dan memperhalus akal kita, diajarkan olehnya, yang telah dibicarakan dan disebutkan dalam Gayatri mantra yakni, Savita Varenyam, atau Sirajam Munira s.a.w. Dalam Gayatri mantra tiada doa yang ditujukan kepada Matahari atau cahayanya, tetapi ini adalah suatu keinginan atau kehendak yang kuat untuk mendapatkan ketajaman dan kesucian nalar oleh Sirajam Munira tersebut; ini di susun dalam doa, bangun pada tengah malam, dan mengikuti teladannya yang mulia, demi ketajaman intelek serta  kebijaksanaan, dan penyucian karakter serta kelakuan. Sekarang anda barangkali akan mengajukan pertanyaan: Kapan Matahari Ruhani ini terbit? Siapakah dia? Dimanakah dia dilahirkan? Apa tanda-bukti yang disebut dalam Weda dan Sastra untuk memeriksa dan meyakini kejujurannya? Ini jelas suatu subyek yang sangat luas, tetapi saya akan mencoba untuk menjawabnya dalam beberapa patah kata-kata. Untuk menjawab pertanyaan pertama yang ingin tahu kapan saat munculnya Matahari Ruhani itu, telah dinyatakan bahwa dia datang pada waktu malam atau segera sesudahnya; yakni untuk menyatakan, bahwa itu bukanlah Matahari yang terbit pada waktu siang, tetapi ini adalah seorang yang menampakkan dirinya pada saat gelap pekat serta kebingungan. Di sini, dalam menunjang masalah itu, suatu ayat dari Rig Weda sebagaimana diterjemahkan oleh Professor Griffith:

Paling bijaksanalah Dia, yang, membuka paksa pintu-pintu Panis, membawa matahari kepada   kita yang memberi makan kepada banyak makhluk. Pendeta yang ceria, kawan umat manusia,   dan sahabat di rumah, melalui kegelapan malam yang sunyi dia menampakkan dirinya”. (Rig Weda 7:9:21).



Istilah Pani, dalam mantera ini, membutuhkan beberapa penjelasan. Ini adalah Bani Israil. Mereka telah mengunci wahyu Ilahi dan kenabian dalam rumah-rumah mereka. Yasak Acharya, pengarang Nirukt, mengatakan, bahwa ini adalah negeri riba yang sehari-hari hanya menujukan matanya kepada untung dan laba. Kaum Israil Baniya ini telah jatuh kepada kepercayaan bahwa seorang nabi tidak bisa muncul di luar empat dinding rumahnya atau negerinya. Tetapi Tuhan Pencipta mendobrak pintu mereka, dan membawa keluar sang Surya. Masing-masing dan setiap kata dari mantera ini membicarakan kejayaan dan keagungan dari Nabi Suci s.a.w. Ini, dalam kebenaran yang sesungguhnya, adalah Sirajam Munira yang muncul di Malam Yang Agung. Tetapi jika ada semacam orang yang kacau fikirannya dan kepala batu yang, bahkan setelah pernyataan yang jelas dan menonjol ini, tetap condong kepada pandangan yang salah bahwa ini bukanlah Nabi Suci Muhammad s.a.w. tetapi seorang resi atau muni yang tidak dikenal, maka silahkan dia membuka telinganya dan mendengarkan apa yang telah dikatakan Yesus Kristus dalam Injil, menyangkut peristiwa ini, meskipun faktanya Yesus tidak punya ilmu tentang ayat-ayat dalam Weda ini, tetapi berbicara setelah menerima pengetahuan langsung dari Tuhan yang Maha-tinggi.  Dia berkata:

 “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu bilamanakah tuan rumah itu pulang, menjelang   malam, atau tengah malam, atau larut malam, atau pagi-pagi buta, supaya ia kalau tiba-tiba datang jangan kamu didapatinya sedang tidur. Apa yang kukatakan kepada kamu, kukatakan kepada semua orang: berjaga-jagalah!” (Markus 13:35-37). Peringatan, berjaga-jagalah, dengan jelas menunjukkan bahwa dia datang sesudah tengah malam tepat seperti yang dinyatakan dalam perumpamaan Sepuluh Gadis, yang disebutkan dalam Alkitab menurut Markus 25:6:

 “Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia!”

Weda mengucapkan ramalan tentang dia yang datang pada tengah malam, Sirajam Munira, dan  Nabi Bani Israil yang terakhir memperkuat dan membenarkannya, kata demi kata. Isa a.s. telah memperingatkan tidak hanya kaumnya tetapi seluruh bangsa di dunia bahwa Dia yang Dijanjikan akan datang setelah dia (Isa) pada tengah malam, atau pada suatu saat ketika dunia sedang mendengkur dalam tidur nyenyak kelalaian.




 KOKOK AYAM JAGO SEBAGAI PENGUMUMAN ATAS KEDATANGAN SIRAJAM MUNIRA

Beberapa peristiwa sesungguhnya menakjubkan dan aneh. Kisah kehidupan lebah dengan ratunya sangat banyak persamaannya dengan kisah hidup dan karya Nabi Suci. Cinta, kesetiaan dan ketaatan yang lebah perlihatkan kepada ratunya, mengandung kemiripan yang dekat dengan kecintaan, kesetiaan serta ketaatan dari para Sahabat kepada Nabi Suci. Pemandangan dan kaca-mata yang aneh ini tidak diketemukan dalam kisah hidup nabi yang lain. Di manapun dalam buku ini saya telah berhubungan dan memperbincangkan topik ini secara rinci, menelusuri ratusan halaman, berdasarkan percobaan dan pengamatan atas orang-orang yang memelihara tawon. Saya telah menunjukkan dalam baris-baris yang telah lalu dengan merujuk kepada teks Alkitab bahwa kokok ayam jago adalah suatu tanda akan datangnya Dia Yang Agung Yang Dijanjikan. Apakah di sana, sesudah itu semuanya, yang mengungkapkan ayam jantan membangunkan di sepertiga malam dan mengingatkan orang-orang? Penyair dunia, menyebutnya seorang pendakwah dari matahari, yakni, dia memberikan kabar gembira atas kedatangan matahari. Ide para penyair itu barangkali tidak membutuhkan suatu penghormatan atau perhatian. Namun tepat ketika Alkitab telah menentukan bahwa saat berkokoknya ayam jago adalah waktu datangnya tuan dari rumah itu, Weda juga , telah mengakui dan membenarkan fakta ini, bahwa kokok ayam jantan adalah berita baik akan datangnya matahari. Seperti halnya mantera 16 dari Adhyay pertama Yajur Weda terbaca sebagai berikut:

Kukkto asi madhu jehva isham urjam avad (Yajur Weda 1: 16). Yakni,

“Engkau adalah ayam jantan dengan lidah manis; yang berkokok bagi kita menyerukan hujan dan benih”. Yakni untuk mengatakan, kokok ayam jago memberikan berita gembira akan saat ketika berkah dari langit akan dicurahkan ke bumi. Petrus yang dikatakan sebagai batu-karang dalam gereja Kristen, telah menolak Yesus tiga kali sebelum ayam jantan berkokok.(41) Ini untuk meramalkan dalam bahasa kiasan bahwa gereja Kristen, dalam tiga dari konferensi keagamaannya, akan mengingkari Yesus, dan membuang ajarannya yang sejati; dan kemudian melanjutkan dengan menolak dan menuduh Nabi Suci Muhammad yang kedatangannya oleh Yesus Kristus yang tidak diragukan lagi adalah seorang penginjil, dan membawa tanda bukti kebahagiaan (Injil) tentang kedatangan Nabi Suci dan pada akhirnya, persis seperti ketika Petrus menangis sedih dan bertaubat, dengan cara yang sama para pengikut Isa Almasih akan menyesal dan bertaubat, serta merubah keimanannya kepada Nabi Suci Muhammad, yang, sesungguhnya, adalah batu-karang dari semua agama di dunia.

Pertanyaan kedua adalah: Bila Sirajam Munira(Matahari Ruhani) itu akan muncul, dan siapakah dia dimana nubuatan ini akan digenapi? Sudah dijelaskan bahwa saat kedatangan Sirajam Munira, menurut Weda dan Alkitab, adalah sebentar sesudah lewat tengah malam, yakni, dia akan memunculkan dirinya pada Malam Yang Agung (Lailat al-Qadr). Namun waat tengah malam ini minta dipertimbangkan dengan hati-hati. Dalam Kitab Wahyu, satu hari itu dihitung dan berarti seribu tahun. Rujukan atas pengaruh ini telah dikutip dari Zend Avesta, Alkitab, Shastra Hindu dan Quran Suci di beberapa tempat dalam buku ini. (42) Nabi dilahirkan pada tahun 561 Masehi. Setelah 40 tahun beliau diangkat dalam kedudukan Sirajam Munira; karena itu, waktunya adalah 611 tahun sesudah Yesus; dan satu-satunya orang, pada saat itu, yang meng­klaim dirinya sebagai seorang nabi, adalah Muhammad s.a.w. Dia adalah laki-laki, yang bangun pada tengah malam, yang memperbarui dirinya ke gua yang gelap dan sempit serta menangis di hadapan Tuhan Yang Maha-tinggi, bermohon dengan sungguh-sungguh atas petunjuk-Nya guna mereformasi seluruh dunia

Pertanyaan ke tiga adalah: Di tempat mana lahir Dia Yang Dijanjikan dari semua agama di dunia? Mantera berikut dari Weda telah dikutip di atas ketika memberikan penjelasan atas Gayatri mantra (Rig Weda 7:96:6):

“Menonjol dengan indah serta montok payudara Saraswati dalam pandangan serta terlihat oleh   semuanya; kami menyeru dan memohon untuk memberi kita anak-anak yang berani serta roti”. Professor Griffith telah menerjemahkannya sebagai berikut: “Semoga kita menyenangi payudara Saraswati yang indah sempurna, yang montok dengan alurnya.   Semoga kita mendapatkan makanan dan keturunan”. (Rig Weda 7:96:6).

Di antara terjemahan kami dan satunya lagi yang diberikan oleh Professor Griffith hanya ada sedikit perbedaan; tetapi arti dan pesan keduanya sama. Suatu permohonan ditujukan kepada dada Saraswati, yang montok dengan susu, agar menganugerahkan kepada kita susu ruhani dan putera yang berani. Dalam Quran Suci, ini disebut Umm-al-Qura, yakni, ibu dari semua kota dan bangsa di dunia, yang mengairi dengan susu dari keesaan Ilahi serta kenabian. Dada yang montok penuh susu ini sedemikian besar dan lebar sehingga Weda berkata bahwa ini adalah Vishv darashtah, yakni, bisa ditangkap dan di pandang oleh seluruh dunia. Duduk di pangkuannya, segenap bangsa di dunia menyusu di dadanya, dan dia tidak menolaknya, memberikan susu kepada setiap orang di dunia, baik Arya maupun Sudra, entah putih ataukah berwarna, baik Timur maupun Barat. Betapapun, istilah sarasvatah perlu dengan hati-hati dipertimbangkan. Ini berarti sumber dari semua sungai dan mata-air yang merupakan arti yang tepat dan benar dari istilah Arab Quran. Qura berarti reservoir atau persediaan air bawah-tanah dari mana mengalir dan berkumpul semua air dari aliran serta mata-air sekitarnya. Istilah Sanskrit sarasvatah dan istilah al-Quran dalam bahasa Arab, jelas serupa, menunjukkan kenyataan bahwa dalam al-Quran wahy atau wahyu dari semua aliran keruhanian (Kitab-kitab Wahyu) itu telah dikumpulkan dan disusun.

RESUME

Gayatri itu summum bonum dari agama Hindu, dan inti-sari Weda sehingga tanpa itu seorang Hindu tidak bisa disebut seorang Hindu. Tetapi  para pandit mengemukakan, berdasarkan tata-bahasa Sanskerta, bahwa artinya tidak terjangkau.
Maka mereka menambahkan kepada teks aslinya empat kata, Om, Bhur, bhuvah, svaha, untuk
membuatnya bisa difahami. Kata-kata ini tidak terdapat dalam Rig Weda 3:62.10 dan dalam Yajur Weda 3:35 serta tidak ada ‘OM’ dalam Yajur Weda 36:3.
Gayatri, ketika dibalik, menjadi tri-gay yang kenyataannya adalah istilah Arab Tariq, yang berari “Dia Yang datang di waktu malam” dan ini di dalam Quran Suci, adalah nama dari Nabi Suci Muhammad.
Karena Savita itu adalah nama Matahari yang nampak pada tengah malam, karena itu ini tidak dapat diartikan sebagai matahari yang terbit di pagi hari; ini adalah matahari ruhani yang muncul pada saat kegelapan spiritual. Istilah Gayatri yang adakah tri-gay atau Tariq, dan Savita, matahari yang muncul pada waktu malam, keduanya saling memperkuat dan membenarkan satu sama lain.
Setelah Savita, datang istilah Varenyam yang, ketika dibalik, menjadi Munira dan Sirajam Munira adalah gelar dari Nabi Suci Muhammad.
Lalu, kita menemukan istilah bhargo, istilah Sanskrit yang dalam kata Arab adalah barokah yang berarti diberkati dan suci, serta, sekali lagi, adalah satu sifat dari Nabi Suci.

Savita adalah yang mengalirkan gerak serta membangkitkan kehidupan, yang adalah gelar lain dari Nabi Suci. Tentang beliau dikatakan dalam Quran Suci:

“Ia (Nabi Suci) mengajak kamu kepada apa yang memberi hidup kepada kamu”(Q.S. 9:24).

Dia disebut devta; Pangeran dari para dewa; yang paling suci dari orang-orang suci; yang  menjamin dan membenarkan kesucian dari semua nabi di dunia.
Dia yang membersihkan seluruh bangsa di dunia dari segala macam syirik, menegakkan mereka dengan teguh di batu-karang Keesaan Ilahi. Guru yang bijaksana, yang menarik dunia dari kutukan penyembahan berhala; penyembahan bintang, matahari, mengajarkan kepada mereka ilmu yang luhur serta merubah keimanan mereka sepenuhnya kepada Tuhan Yang Esa dan Sejati.
Baik Weda maupun Alkitab telah mengumumkan saat kedatangan Dia yang Dijanjikan dari segenap agama di dunia, yang akan berlangsung segera setelah tengah malam.
Resi Weda dan pengemban Injil, Yesus Kristus, telah mengkomunikasikan saat ini kepada dunia, tidak berdasarkan konsultasi bersama, melainkan setelah menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha-tinggi.
Weda dan Alkitab keduanya menyatakan kepada kita bahwa kokok dari ayam jantan adalah kabar gembira atas kedatangan Sirajam Munira ruhani itu.
Kedatangan Nabi Suci disebut Lailat al-Qadr di mana para malaikat dan ruh (yakni, kata Ilahi) akan turun hingga terbitnya waktu fajar pagi.
Setelah Yesus, pada habisnya tengah malam, yakni, setelah 611 tahun (satu hari berarti 1000 tahun), adalah saat yang diperkirakan dari datangnya Sirajam Munira.
Dalam Weda, Sarasvatah adalah aliran air dari mana dunia akan memperoleh suatu pancuran yang sangat besar dari susu spiritual. Tidak ada sungai Sarasvati di India. Ini hanya ada dalam khayalan para pandit.
Sesungguhnya Sarasvatah adalah sungai atau aliran dari mana terjun ke semua sungai di dunia. Dan ini adalah Quran Suci dimana Wahyu Ilahi dari segala bangsa dan agama telah dikumpulkan. Istilah Sarasvatah dan Quran, menurut leksikon, telah memiliki arti yang sama, yakni, dimana berkumpul air dari segenap hujan samawi. Dalam bahasa Arab, qara berarti persediaan air di bawah tanah, dan Quran berarti di mana terkumpul air dari segenap sungai.
Dari Sarasvatah ini Weda telah menyatakan suatu kualitas yang menonjol, Vishv darshtah, yakni, terlihat dan tertangkap oleh seluruh dunia. Tetapi sungai Sarasvati tidak kelihatan dan tertangkap oleh seorangpun.
Dalam kebaikannya, dalam Gayatri, induk dari Weda, ada pujian dan kabar gembira akan Sirajam Munira yang akan datang pada waktu malam, yakni ketika dunia dan bangsa-bangsa sedang meluncur dalam kegelapan. Dia datang pada waktu malam, dan membawa bersamanya suatu perbendaharaan yang sangat berharga yakni susu yang merupakan inti-sari dari semua Kitab Wahyu di dunia - Weda, Taurat, Zend Avesta dan Injil; yang mengungkapkan pelajaran yang demikian luhur tentang Keesaan Ilahi dan kenabian yang mencocokkan kaum Arya dan Israil kedalam persaudaraan yang hangat, dan yang mempersatukan seluruh agama di dunia ke dalam satu ikatan bersama. Dan ini, sebenarnya, adalah cahaya dari Sirajam Munira (Matahari Ruhani) yang mengusir dan menghilangkan segala jenis kegelapan;
Gayatri yang mempertajam penalaran manusia, dan menyucikan ras manusia dari kotoran serta karat dari saling memarahi dan bertengkar.

(Atharwa Weda 20:127:4)



--------------------------------------------------------------------------------

 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13

Ek shatam adhvaryo shakha, shasr vertama Sam Veda, ek vinshti dhava Richyam, navdha Atharvano
Veda. Ada 101 cabang dari Yajur Weda, 1000 dari samweda, 21 Rigweda, dan sembilan jenis
AtharwaWeda, yakni 1131. MahaBhashya dari Patanjli.
Abhinash Chnadra’s Rigvedic, India. Intro. h.VIII.
Trayam Brahm sanatnam. Manu 1:23, 2:76, 77, 118. 3:2.9:188.
Dyanand’s Satyarh Parkasha.
Mahatma Tilak’s “Arctic Home in the Vedas”.
Pt. Radha Krishnan’s Philosophy of the Upanishads, hal.16. Sacred Books of the East, jil.I. Introduction to
Upanishads, hal.xiii, Lectures by Raja Ram Mohan Roy.
Manduk Upanishad, 1.1.4-6. Chhandogya vii.1-2. Shatpath Br. X.3.5-12.


The Atharvaveda, XI:7.24.
Atharva Veda, XV:6.12.
Rig Veda, X:130,6.
Chhan, VII: 1-2.

14, 15

The Atharvaveda, XI:7.24.
Atharva Veda, XV:6.12.
Rig Veda, X:130,6.
Chhan, VII: 1-2.
Dicatat dalam Shatpath Br. Suatu tafsir yang sangat tua dan otentik dari Yajur Weda, bahwa Purana wajib
dibaca pada hari kesembilan dari Yagnya. XIII:4.3.13. XI:5.6.8. Shankhayana S.16. Lihat catatan pada
Shatpath Br. XIII:4.3.13.
Bhavishya Purana Prati Sarg Prev iii:3.3.5-6.
Bhavishya Puran Parv.III:1,4,21-23.
Ibid, hh.256,257.
Nareshu Ashansah Narashansah astvishyate yashya sah Munashuesh’u Parshansnih. Pt.Khem Karan
Bhasjy, hal.4, 451.
Dalam ketiga terjemah di atas, kata ini di ambil sebagai proper noun, seolah dia adalah nama beberapa
Raja atau otoritas penguasa. Tentang ini Prof.Griffith menulis: ‘Suatu hymne dalam pujian terhadap
kebebasan dan pemerintahan yang baik dari Kaurama, raja Rushamas’.
Tirmidhi dan Abu Dawud, Mishkat, bab ‘Mafakhira fa-la-Assabiyah’.
Mekkah pada saat itu adalah pusat niaga dari Arabia, karena itu penduduknya bisa meningkat menjadi
seratus ribu (Al-Mathal-al-kamil). Ini berarti bahwa penduduk tetapnya adalah enampuluh hingga tujuhpuluh ribu orang.

16, 17, 18

The Atharvaveda, XI:7.24.
Atharva Veda, XV:6.12.
Rig Veda, X:130,6.
Chhan, VII: 1-2.
Dicatat dalam Shatpath Br. Suatu tafsir yang sangat tua dan otentik dari Yajur Weda, bahwa Purana wajib
dibaca pada hari kesembilan dari Yagnya. XIII:4.3.13. XI:5.6.8. Shankhayana S.16. Lihat catatan pada
Shatpath Br. XIII:4.3.13.
Bhavishya Purana Prati Sarg Prev iii:3.3.5-6.
Bhavishya Puran Parv.III:1,4,21-23.
Ibid, hh.256,257.
Nareshu Ashansah Narashansah astvishyate yashya sah Munashuesh’u Parshansnih. Pt.Khem Karan
Bhasjy, hal.4, 451.
Dalam ketiga terjemah di atas, kata ini di ambil sebagai proper noun, seolah dia adalah nama beberapa
Raja atau otoritas penguasa. Tentang ini Prof.Griffith menulis: ‘Suatu hymne dalam pujian terhadap
kebebasan dan pemerintahan yang baik dari Kaurama, raja Rushamas’.
Tirmidhi dan Abu Dawud, Mishkat, bab ‘Mafakhira fa-la-Assabiyah’.
Mekkah pada saat itu adalah pusat niaga dari Arabia, karena itu penduduknya bisa meningkat menjadi
seratus ribu (Al-Mathal-al-kamil). Ini berarti bahwa penduduk tetapnya adalah enampuluh hingga tujuhpuluh
ribu orang.
Taitriya Brahmn 1:1.3.11; 1.2.1.6.
Sam Veda bag.II, 1.12.2; Rig Veda, 8:13.2; Yajur Weda, 34.20.
Suatu penyebutan tentang Kuts ada di beberapa tempat dalam Weda. Tetapi dalam pandangan para
cendikiawan, istilah ini menunjukkan pribadi yang berbeda-beda, dan tidak hanya seorang saja. Ini berarti
bahwa Kuts telah diberikan dalam Nirukt 3:11. Suatu sebutan tentang Kuts bersamaan dengan Atithigva
dan qyu, telah di adakan di beberapa tempat 1 53/10, 2 14/7, 8 53/2, 4 26/1. Dia juga disebut sebagai
teman Indra, Rigveda 1 51/6, 6 26/3 qtithigva, juga, telah disebutkan pada beberapa tempat dalam Weda;
tetapi ini bukan nama satu orang, melainkan nama dari pribadi yang berbeda-beda.
Kata Sanskrit rath digunakan bagi segala macam kereta dan kendaraan. Dalam Rig Weda, dikatakan
bahwa Matahari berjalan di atas sebuah rath emas.1:35.2.

19, 20, 21, 22

The Atharvaveda, XI:7.24.
Atharva Veda, XV:6.12.
Rig Veda, X:130,6.
Chhan, VII: 1-2.
Dicatat dalam Shatpath Br. Suatu tafsir yang sangat tua dan otentik dari Yajur Weda, bahwa Purana wajib
dibaca pada hari kesembilan dari Yagnya. XIII:4.3.13. XI:5.6.8. Shankhayana S.16. Lihat catatan pada
Shatpath Br. XIII:4.3.13.
Bhavishya Purana Prati Sarg Prev iii:3.3.5-6.
Bhavishya Puran Parv.III:1,4,21-23.
Ibid, hh.256,257.
Nareshu Ashansah Narashansah astvishyate yashya sah Munashuesh’u Parshansnih. Pt.Khem Karan
Bhasjy, hal.4, 451.
Dalam ketiga terjemah di atas, kata ini di ambil sebagai proper noun, seolah dia adalah nama beberapa
Raja atau otoritas penguasa. Tentang ini Prof.Griffith menulis: ‘Suatu hymne dalam pujian terhadap
kebebasan dan pemerintahan yang baik dari Kaurama, raja Rushamas’.
Tirmidhi dan Abu Dawud, Mishkat, bab ‘Mafakhira fa-la-Assabiyah’.
Mekkah pada saat itu adalah pusat niaga dari Arabia, karena itu penduduknya bisa meningkat menjadi
seratus ribu (Al-Mathal-al-kamil). Ini berarti bahwa penduduk tetapnya adalah enampuluh hingga tujuhpuluh
ribu orang.
Taitriya Brahmn 1:1.3.11; 1.2.1.6.
Sam Veda bag.II, 1.12.2; Rig Veda, 8:13.2; Yajur Weda, 34.20.
Suatu penyebutan tentang Kuts ada di beberapa tempat dalam Weda. Tetapi dalam pandangan para
cendikiawan, istilah ini menunjukkan pribadi yang berbeda-beda, dan tidak hanya seorang saja. Ini berarti
bahwa Kuts telah diberikan dalam Nirukt 3:11. Suatu sebutan tentang Kuts bersamaan dengan Atithigva
dan qyu, telah di adakan di beberapa tempat 1 53/10, 2 14/7, 8 53/2, 4 26/1. Dia juga disebut sebagai
teman Indra, Rigveda 1 51/6, 6 26/3 qtithigva, juga, telah disebutkan pada beberapa tempat dalam Weda;
tetapi ini bukan nama satu orang, melainkan nama dari pribadi yang berbeda-beda.
Kata Sanskrit rath digunakan bagi segala macam kereta dan kendaraan. Dalam Rig Weda, dikatakan
bahwa Matahari berjalan di atas sebuah rath emas.1:35.2.

 23, 24, 25, 26, 27

Nareshu Ashansah Narashansah astvishyate yashya sah Munashuesh’u Parshansnih. Pt.Khem Karan
Bhasjy, hal.4, 451.
Dalam ketiga terjemah di atas, kata ini di ambil sebagai proper noun, seolah dia adalah nama beberapa
Raja atau otoritas penguasa. Tentang ini Prof.Griffith menulis: ‘Suatu hymne dalam pujian terhadap
kebebasan dan pemerintahan yang baik dari Kaurama, raja Rushamas’.
Tirmidhi dan Abu Dawud, Mishkat, bab ‘Mafakhira fa-la-Assabiyah’.
Mekkah pada saat itu adalah pusat niaga dari Arabia, karena itu penduduknya bisa meningkat menjadi
seratus ribu (Al-Mathal-al-kamil). Ini berarti bahwa penduduk tetapnya adalah enampuluh hingga tujuhpuluh ribu orang.
Taitriya Brahmn 1:1.3.11; 1.2.1.6.
Sam Veda bag.II, 1.12.2; Rig Veda, 8:13.2; Yajur Weda, 34.20.
Suatu penyebutan tentang Kuts ada di beberapa tempat dalam Weda. Tetapi dalam pandangan para
cendikiawan, istilah ini menunjukkan pribadi yang berbeda-beda, dan tidak hanya seorang saja. Ini berarti
bahwa Kuts telah diberikan dalam Nirukt 3:11. Suatu sebutan tentang Kuts bersamaan dengan Atithigva
dan qyu, telah di adakan di beberapa tempat 1 53/10, 2 14/7, 8 53/2, 4 26/1. Dia juga disebut sebagai
teman Indra, Rigveda 1 51/6, 6 26/3 qtithigva, juga, telah disebutkan pada beberapa tempat dalam Weda;
tetapi ini bukan nama satu orang, melainkan nama dari pribadi yang berbeda-beda.
Kata Sanskrit rath digunakan bagi segala macam kereta dan kendaraan. Dalam Rig Weda, dikatakan
bahwa Matahari berjalan di atas sebuah rath emas.1:35.2.
Matius 9:16.17; Markus 2:22, Lukas 5:37.38.
Matius 19:24, Markus 10:25, Lukas 18:25.
Matius 16:23, Markus 8:33, Yohanes 14:9.
Lukas 13:24, Matius 7:13.
Rig Veda 1:126.3, 6:27.8.
Beberapa copy dari Atharva Veda berisi kata davirdarsh yang berisi duapuluh ekor unta yang indah atau
unta betina, tetapi di tempat lain kita dapati kata davirdash berarti duapuluh unta dengan betinanya. Kami memeriksa kedua copy tersebut di Kolese Deccan, Poona, dan lebih menyukai bacaan davirdash yang berarti dua unta betina yang indah. Pada saat hijrahnya ke Madinah, Nabi mempunyai dua unta betina, satu dikendarainya dan satu lagi ditunggangi Abu Bakar. Nabi memiliki dua unta betina yang dikenal sebagai Qaswa dan Asba.
Jumlah yang tepat dari para sahabat yang ikut ambil bagian dalam perang Badar adalah 313, tetapi
pecahan di bawah 100 biasanya dihilangkan.
Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6.
Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1.
Altindisches Leban, 131.
Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396.
St. Petersburg Dictionary.
‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’
(memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai  ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’

28

Rig Veda 1:126.3, 6:27.8.
Beberapa copy dari Atharva Veda berisi kata davirdarsh yang berisi duapuluh ekor unta yang indah atau
unta betina, tetapi di tempat lain kita dapati kata davirdash berarti duapuluh unta dengan betinanya. Kami memeriksa kedua copy tersebut di Kolese Deccan, Poona, dan lebih menyukai bacaan davirdash yang berarti dua unta betina yang indah. Pada saat hijrahnya ke Madinah, Nabi mempunyai dua unta betina, satu dikendarainya dan satu lagi ditunggangi Abu Bakar. Nabi memiliki dua unta betina yang dikenal sebagai Qaswa dan Asba.
Jumlah yang tepat dari para sahabat yang ikut ambil bagian dalam perang Badar adalah 313, tetapi
pecahan di bawah 100 biasanya dihilangkan.
Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6.
Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1.
Altindisches Leban, 131.
Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396.
St. Petersburg Dictionary.
‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’
(memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai  ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’
 
 30

Jumlah yang tepat dari para sahabat yang ikut ambil bagian dalam perang Badar adalah 313, tetapi
pecahan di bawah 100 biasanya dihilangkan.


 31

Rig Veda 1:126.3, 6:27.8.
Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6.
Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1.
Altindisches Leban, 131.


 32, 33, 34, 35

Rig Veda 1:126.3, 6:27.8.
Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6.
Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1.
Altindisches Leban, 131.
Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396.
St. Petersburg Dictionary.
‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’
(memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai  ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’


(Q.S. 15:88).

Atharva Veda, 20:21.6, Rig Veda, 1:53.6.
Ibid. 2:15.6, 4:30.11, 8:91.7, 10:75.6, 10:38.5.
Yajur Veda 3:35.36:3, Rig Veda, mandal 3, Sukt 62, mantra 10.
Rig Veda 8:4.16. Sam nah shishihi bhurijoriv Khahsvram.
Matius 26:34,75. Lukas 22:24.61, Markus 14:30.72.
Quran Suci 22:47,24. Manu 1:66.73; Farvardin 3:40:2.


 38,

Rig Veda 1:126.3, 6:27.8.
Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6.
Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1.
Altindisches Leban, 131.
Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396.
St. Petersburg Dictionary.
‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’
(memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai  ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’


(Q.S. 15:88).

Atharva Veda, 20:21.6, Rig Veda, 1:53.6.
Ibid. 2:15.6, 4:30.11, 8:91.7, 10:75.6, 10:38.5.
Yajur Veda 3:35.36:3, Rig Veda, mandal 3, Sukt 62, mantra 10.
Rig Veda 8:4.16. Sam nah shishihi bhurijoriv Khahsvram.
Matius 26:34,75. Lukas 22:24.61, Markus 14:30.72.
Quran Suci 22:47,24. Manu 1:66.73; Farvardin 3:40:2.

39

Rig Veda 1:126.3, 6:27.8.
Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6.
Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1.
Altindisches Leban, 131.
Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396.
St. Petersburg Dictionary.
‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’
(memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai  ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’


(Q.S. 15:88).

Atharva Veda, 20:21.6, Rig Veda, 1:53.6.
Ibid. 2:15.6, 4:30.11, 8:91.7, 10:75.6, 10:38.5.
Yajur Veda 3:35.36:3, Rig Veda, mandal 3, Sukt 62, mantra 10.
Rig Veda 8:4.16. Sam nah shishihi bhurijoriv Khahsvram.
Matius 26:34,75. Lukas 22:24.61, Markus 14:30.72.
Quran Suci 22:47,24. Manu 1:66.73; Farvardin 3:40:2.



 41, 42

Matius 26:34,75. Lukas 22:24.61, Markus 14:30.72.
Quran Suci 22:47,24. Manu 1:66.73; Farvardin 3:40:2.


0 komentar:

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Copyright © Design by Dadang Herdiana