Recent Posts

Rabu, 05 Oktober 2011

0 komentar

BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W.

KATA PENGANTAR:
SUATU PENEMUAN REVOLUSIONER

Buku kecil ini telah menemukan dari kepustakaan Buddhist suatu rahasia mendalam yang akan merombak pandangan keagamaan dari sepertiga penduduk dunia yang memeluk keimanan kepada Gautama Buddha. Ini adalah nubuatan dalam bahasa seterang mungkin mengenai kedatangan dari Guru besar dunia, digambarkan sebagai Maitreya Buddha, yang berarti “Rahmat kepada seluruh bangsa-bangsa”, suatu terjemahan harfiah dari gambaran al-Quran atas Nabi Suci Muhammad sebagai Rahmatan-lil-‘alamien. Al-Quran mengklaim bahwa kedatangan Nabi Suci telah diramalkan oleh setiap Guru agama dunia dan dimasukkan dalam masing-masing Kitab sucinya. Nubuatan dalam Injil telah diketemukan yang menekankan tergenapinya dalam pemunculan diri Nabi Suci. Nubuatan dalam Weda, Kitab suci agama Hindu, juga telah membawa ke tempat terang penemuan terpenuhinya kedatangan Nabi Suci secara ajaib.

Penemuan kini tentang nubuatan yang sama dari Buddha, memberikan nyaris setiap gambaran yang menonjol dari tata aturan Nabi Suci, yang membubuhkan segel penutup atas pembenaran dari klaim al-Quran. Pengarangnya, Maulana Abdul Haque Vidyarthi yang adalah seorang pakar Sanskerta yang besar, melakukan perjalanan panjang untuk melengkapi penelitiannya, mendalami arsip dari British Museum di London dan perpustakaan Buddhist di Ceylon untuk mencari tahu Kitab-kitab asli yang sangat langka. Kitab ini, di samping mengusung persamaan yang kuat antara ajaran Islam dan Buddha, masih harus menempuh perjalanan panjang  dalam membawa umat Muslim dan Buddha lebih erat di dunia.

Muhammad Yakub Khan Editor The Civil and Military Gazette Lahore, December 22, 1955.

BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN MUHAMMAD

Sekarang sampailah kita kepada agama Buddha, yang mempunyai lebih banyak pemeluk dibanding setiap agama lain di dunia. Jumlah penganutnya adalah sepertiga dari penduduk bumi. Karena itu, adalah benar­benar tidak adil pada fihak Tuhan bila Dia meninggalkan begitu besar komunitas tanpa seorang saksi. Jika memang benar bagi bangsa Yahudi, bahwa bila mereka percaya kepada Tuhan dan para rasul-Nya, lalu mengapa kaum Hindu dan Buddha tidak memiliki nabi-nabi di antara mereka sehingga mereka bisa beriman kepada Tuhan dan Utusan-Nya serta mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana dicantumkan dalam al-Quran. Beberapa ulama Muslim mengira bahwa Quran Suci hanya menyebutkan para nabi Bani Israil. Ini adalah benar-benar kesalah-fahaman. Yakinlah bahwa ada nabi-nabi yang tidak termasuk dalam Rumah Israil. Ini dinyatakan dengan kata-kata yang jelas:

“Dan (Kami telah mengutus) para Utusan, yang sebelumnya telah Kami kisahkan kepada engkau, dan para Utusan yang tak Kami kisahkan kepada engkau”. (Q.S. 4:164).



Pada akhir ayat ini, Tuhan Sendiri menekankan:

“Para Utusan, mereka mengemban kabar baik dan memberi peringatan, agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) para Utusan. Dan allah itu senantiasa Yang Maha-perkasa, yang Maha-bijaksana” (Q.S. 4:165).

Manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan ini adalah bahwa perlu juga dalam hal bangsa-bangsa lain sebagaimana dalam hal bangsa Yahudi. Dinyatakan dalam al-Quran bahwa Hud telah dikirim ke kaum Ad. Bangsa ini tinggal di gurun Al-Ahqaf yang memanjang dari Oman sampai Hadramaut, di Arabia selatan.

Nabi saleh dikirim ke kaum Tsamud. Ini tidak hanya para nabi yang disebutkan dalam al-Quran yang sama sekali tak terdapat dalam Alkitab. Dia juga menyebutkan nabi-nabi non-Israil yang bersamaan waktunya dengan Musa dan kepada siapa Musa pergi mencari ilmu. Dia tinggal di pertemuan kedua Sungai Nil yakni di Khartoum. Lagi pula, al-Quran juga membicarakan Darius, Raja Persia, yang disebut Dzulqarnain, atau seorang yang bertanduk dua, berdasarkan rukyah Nabi Daniel. Ada juga surat dalam Quran Suci yang mengandung nama Luqman (al-Quran surat 31). Luqman adalah seorang Ethiopia dan meskipun demikian dia adalah seorang nabi, meski mufassir berbeda masalah identitasnya, beberapa mengatakan bahwa dia seorang Yunani, yang lain menyatakan bahwa dia termasuk kaum ‘Ad, namun tetap yang lain menyatakan bahwa dia seorang Ethiopia. Sebagai tambahan atas hal ini dalam surat berjudul “Para Nabi” (al-Anbiyya) dinyatakan:

“Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar. Dan mereka Kami masukkan    dalam rahmat Kami, sesungguhnya mereka golongan orang yang saleh” (Q.S. 21:85-86).

Di sini, setelah menyatakan penderitaan, cobaan dan kesukaran yang datang menimpa Ayub dari Tuhan, dikatakan bahwa dia menghadapkan diri kepada Tuhan bagaikan bayi ketika dipukul oleh ibunya. Sang bayi menangis namun lari kepada ibunya minta perlindungan. Demikianlah maka para Nabiyullah lari kepada Tuhan untuk mohon perlindungan bahkan ketika tahu dari Tuhanlah suatu cobaan tertentu itu datang menimpa mereka. Ismail dan ibunya, misalnya, hidup dalam kesunyian mutlak di tanah yang asing di bawah perintah Tuhan yang diberikan kepada Ibrahim, namun mereka tidak pernah mengeluh kepada Tuhan dan tetap bersabar serta penuh yakin kepada-Nya seperti saat-saat sebelumnya. Terlebih lagi, Ismail dalam pengabdiannya kepada Tuhan menyerahkan sepenuh hidup dan pengorbanannya. Dan Idris, nabi Tuhan yang lain, menyerahkan seluruh hidupnya, yakni tigaratus tahun, dalam mempelajari jalan-jalan Tuhan. Setelah ini Tuhan menyebut seorang nabi yang membawa nama Dzulkifli yang jelas bukan dari ras Israil. Adalah suatu pemutar-balikan sejarah para nabi yang mengatakan bahwa dia seorang nabi Israili. Kisah Dzulkifli sebagaimana diberikan oleh Ibnu Abbas tidak ada sebutannya dalam tradisi Yahudi dan Kristiani serta Kitab-kitab suci mereka. Di sisi lain, Mujahid mengira bahwa Dzulkifli adalah nama lain dari Ilyas, dan Abu-Musa Asy’ari berkata bahwa Dzulkifli bukanlah seorang nabi. Tetapi Hasan mengatakan kepada kita bahwa dia adalah seorang nabi karena dia telah disebutkan dalam surat ‘Para Nabi’ (Al-Anbiyya). Kedua, dia telah digabungkan dengan Ismail dan Idris dan mereka itu diakui adalah nabi, yang menunjukkan bahwa dia seorang nabi juga. Ketiga, Tuhan Sendiri berfirman:

“Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar” (Q.S. 21:85).

Rahmat ini (rahmatina) adalah nama lain dari kenabian. Ke empat, Dzulkifli begitu pun Ismail dan Idris adalah teladan kesabaran; yakni keteguhan hati mereka inilah yang menunjukkan bahwa mereka itu nabi.

Tak seorangpun dari kita tanpa kesulitan. Kita harus merasakan kesedihan dan penderitaan serta tunduk kepada nasib yang kurang beruntung. Tetapi hanya ketika kehilangan ini diderita dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan maka hal ini baru menjadi punya nilai spiritual. Terlebih lagi, kesucian didapat oleh dia yang berduka tidak untuk dirinya sendiri melainkan demi derita orang-orang lain dan yang mengabdikan kehidupannya demi kesejahteraan orang lain, tidak pernah mempedulikan kepentingan dirinya sendiri. Penuh kehormatanlah dia yang mencintai umat manusia dan menunjukkan kasih-sayangnya dengan tindak pertolongan serta kedermawanan. Tak diragukan lagi, dia adalah benar-benar sedih tetapi tak pernah mengeluh. Kata Arab sabar yang, memberi arti berlainan tergantung penggunaannya, dalam terminologi teologi Islam ini berarti:

Menghindari berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kebijaksanaan dan hukum.
Tidak menjerit dan menangis pada waktu kesulitan. Dalam medan perang atau waktu agresi, sabar berarti keberanian dan ketegaran, sebagaimana Quran Suci telah berkata:
“Keberanian sejati itu adalah mereka yang berdiri teguh dan berlaku sabar di bawah sakit dan kesulitan kesabaran mereka hanyalah demi Tuhan, dan tidak memperagakan keberaniannya”.

Kebranian sejati terletak dalam kesabaran serta ketegaran dalam menahan nafsu, dan berdiri tanpa takut untuk menyokong kebaikan dan mencegah kejahatan. Jika seseorang itu sabar dalam pengertian yang benar, dia bertindak sebagai pembaharu dan pemimpin dari komunitas yang lebih besar dan tetap bertambah demikian bila dia kelihatan tidak hanya mencari makan untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk memberi makan orang-orang yang menderita kelaparan. Sesungguhnya dia adalah putera langit yang terilham.

Buddha meninggalkan mahkota dan istana serta segala kesenangan hidup demi orang-orang yang terlantar dan mengalami kesulitan untuk membawa mereka keluar dari penderitaan dan kesedihan. Meskipun dia seorang pangeran, dia tidak pernah menangisi rasa sakit dan kesukarannya sendiri melainkan tetap sabar dalam menghadapinya. Dia menahan marahnya terhadap musuh-musuhnya dan mengajari para pengikutnya moral yang tinggi. Dia teguh dalam kebenaran bila kehormatan bahkan kehidupan dalam bahaya. Orang-orang mempercayai kejujurannya. Ada kisah yang diceriterakan oleh Ibnu Abbas bahwa ada seorang nabi yang Tuhan memberinya kerajaan. Tiada berapa lama, Dia mewahyukan kepadanya:

“Aku akan mematikan engkau segera, karena itu serahkanlah kerajaan itu kepada orang lain, yang akan menjadi pewarismu, dia harus menyembah Tuhan pada waktu malam dan menjalani puasa sepanjang hari. Dia tidak boleh marah selagi mengadili orang”.

Atas pariwara sebagai nabi, seorang lelaki menyerahkan dirinya mengaku bahwa dia adalah orang yang dimaksud. Setan datang mencobainya dengan keras tetapi dia terbukti sempurna dan bersyukur kepada Tuhan. Sesuai dengan itu, Tuhan berkenan kepadanya dan memberi nama Dzulkifli (Razi jilid 6 halaman 136). Perawi yang lain Mujahid menceriterakan kisah ini untuk Ilyas. Dari kisah ini bila kita hilangkan namanya, jelaslah bahwa kisah ini hanya punya sedikit sekali perbedaan dengan riwayat Buddha, yang meninggalkan kerajaannya dan menjalani praktek hidup bertapa yang keras. Mara (setan) mencobainya tetapi dia tetap teguh dalam menolak bisikan jahat dari setan. Dia menghilangkan kecemburuan dan kemarahan, meskipun musuh-musuhnya membencinya dengan sengit. Mereka yang telah mempelajari riwayat hidup Buddha, kenal benar bahwa dia memiliki semua sifat moral yang tinggi. Sekarang, menyimpulkan bahwa Buddha adalah seorang yang terilham.

Quran Suci berulang-ulang berfirman:

“Dan bagi tiap-tiap umat ada Utusan. Maka apabila Utusan mereka datang, perkara akan diputuskan antara mereka dengan adil, dan mereka tak akan dianiaya” (Q.S.10:47).

Orang-orang dari Timur Jauh, Cina, Jepang, dan Tibet, membentuk sejumlah besar mayoritas populasi dunia. Bagaimana ini bisa masuk di akal untuk mengira bahwa sejumlah besar umat semacam itu tidak mendapatkan juru ingat atau utusan yang dikirimkan kepada mereka, dan kemudian mereka bisa menegakkan suatu agama yang mengaku mempunyai penganut yang lebih besar dari umat lain. Pada hari pengadilan ketika hukum pembalasan Ilahi akan mengadili di antara umat sesuai dengan kitab wahyunya masing-masing, jika tidak ada kitab atau hukum yang pernah diturunkan kepada suatu umat tertentu melalui utusan-Nya, lalu atas dasar apa mereka akan diadili? Hendaknya dicatat bahwa umat Buddha bukanlah suku terasing melainkan bangsa yang beradab. Dinyatakan dalam Quran Suci:

“Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami, Kami pasti akan memimpin mereka di jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah itu menyertai orang yang berbuat baik”. (Q.S. 29:69).

Dan siapakah yang mengingkari bahwa Buddha berjuang keras untuk mengenal jalan yang lurus dan menderita dirinya demi mencari cahaya ruhani. Perkara revolusioner pertama dalam kehidupan gautama yalah bahwa dia mendapat julukan ‘Buddha’ yang berarti ‘seorang yang tercerahkan’. Dia duduk di bawah satu Pohon tertentu (belakangan disebut pohon ilmu). Dia memutuskan bahwa dia tak akan berdiri sebelum menerima pencahayaan. Dia memiliki kemauan baja; sehingga dia lebih disukai dengan gelar ‘Buddha’ (seorang yang mendapat pencerahan) dari langit. Dia langsung kembali kepada para pertapa yang mengutuknya dan kini mereka berlari menemuinya dan memanggilnya “Saudara”. Untuk itu, dia menjawab:

“Wahai pertapa, jangan tujukan seorang yang sempurna sebagai ‘Saudara’, seorang yang sempurna adalah Buddha(yang tercerahkan) yang suci dan utama”.

Dan tertulis dalam Quran Suci:  

“Apakah orang yang telah mati, lalu Kami hidupkan lagi, dan kepadanya Kami beri cahaya yang dengan itu dia berjalan di antara manusia” (Q.S. 6:123).

Buddha telah bangkit dari kematiannya menuju hidup; dia sekarang telah membawa cahaya dengan mana dia menunjukkan jalan kepada orang-orang lain.

Suatu hari setelah enam tahun dengan bertapa menahan diri yang sangat ketat yang telah menurunkan dirinya hingga berubah tinggal tulang, dia diserang penyakit keras dan jatuh pingsan. Maka dia tiba pada kesimpulan bahwa dia harus menggunakan suatu ‘jalan tengah’(majjhima pad), langkah antara penolakan diri dari seorang pertapa dengan keinginan sensual, dan inilah jalan yang lurus.”jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” (Q.S. 1:5, 4:69). Dikatakan dalam Quran Suci: “Dan tiada suatu umat, melainkan telah berlalu di kalangan mereka seseorang juru ingat” (Q.S. 35:24).Alasan yang diberikan adalah: “agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) para Utusan” (Q.S. 4:165). Jika tak seorangpun juru ingat telah datang di kalangan bangsa India, maka alasan mereka pada hari pengadilan terhadap Tuhan adalah bahwa Dia tidak mengirim utusan seorangpun kepada mereka sehingga mereka bisa beriman kepada rasul-Nya dan beriman kepada-Nya. Adalah masuk akal untuk berpendapat bahwa suatu komunitas yang besar semacam itu tersisih dari “Rahmat bagi segala bangsa” s.a.w., bahwa dia tidak membenarkan Buddha atau ‘cahaya Asia’, maupun Buddha menubuatkan “demi kehendak dari segala bangsa” (Kejadian 49:10, Yesaya 2:2, 11:10, 42:1,4). Dalam ayat yang dikutip di atas, disebutkan tiga nabi besar – Ismail, Idris dan Dzulkifli dalam satu kategori yang sama dan dinyatakan bahwa mereka itu sabar dalam segala keadaan. Ismail telah menyerahkan dirinya dalam ketaatan kepada Tuhan. Idris (Henokh) membaktikan seluruh hidupnya dalam mempelajari sifat-sifat Tuhan dan berjalan bersamanya selama tigaratus tahun (Enokh dalam bahasa Ibrani berarti ‘seorang yang sangat berbakti’, Kejadian 5:22-24). Yang ketiga adalah Dzulkifli, kifl berarti ‘dua kali, dua­kelipatan pahalanya’. Karena itu, Dzulkifli berarti, ‘Seorang yang telah diberi pahala dua kali lipat’. Ada juga ayat lain yang menerangi arti dari kata sifat ini. Bahwa ahli Kitab bila mereka percaya kepada Nabi Suci, maka mereka akan dihadiahi Tuhan pahala dua kali:

“Dan apabila dibacakan kepada mereka, mereka berkata: Kami beriman kepadanya; sesungguhnya itu Kebenaran dari Tuhan kami. Sesungguhnya sebelum itu kami orang yang berserah diri.   Mereka akan diberi ganjaran lipat dua, karena mereka sabar, dan menolak kejahatan dengan   kebaikan, dan membelanjakan sebagian yang Kami rezekikan kepada mereka” (Q.S. 28:53-54).

 Alasan untuk memberikan pahala dua kali lipat diberikan dengan kata-kata: “Karena mereka menolak kejahatan dengan kebaikan”.

Orang-orang yang disebutkan dalam ayat-ayat ini adalah “ahli kitab”, yang beriman kepada kitab-kitab suci mereka maupun kepada Nabi Suci s.a.w. Jelaslah bahwa Buddha atau Dzulkifli adalah salah-satu dari mereka, dia beriman kepada kitabnya sendiri dan meramalkan datangnya Maitreya Buddha yang mirip dirinya. Karena itu, Tuhan menghadiahi dia dengan pahala berlipat dua sesuai dengan gelarnya yakni ‘Dzulkifli’.

Sebagai penutup, boleh saya katakan bahwa Islam meletakkan landasan universalisme. Ini terbukti tidak saja yang terbesar melainkan juga tenaga yang mempersatukan elemen kemanusiaan yang berbenturan. Untuk pertama kalinya diumumkan bahwa kepada setiap bangsa itu dikirim seorang utusan dan Nabi Suci kita yalah yang membenarkan semua nabi. Sekarang buku berjudul “Muhammad dalam Kitab-kitab Suci Dunia” adalah suatu bukti tercatat, yang diterbitkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, mengenai fakta skriptural yang besar yang diperkuat dalam al-Quran bahwa semua nabi, mereka yang muncul sebelum Nabi Suci Muhammad s.a.w. telah meramalkan kedatangannya yang diberkahi.

 BUDDHA DAN MUHAMMAD S.A.W.

“Boleh jadi engkau akan membunuh dirimu karena duka-cita, karena mereka tak mau beriman” (Q.S. 26:3).

Buddha, sebagaimana telah kami ceriterakan, adalah putera seorang Raja. Sketsa hidupnya secara singkat berisi tujuh perkara: Pada masa mudanya suatu kali dia melihat seorang tua, seorang sakit dan seorang mati. Melihat tiga bencana dalam kehidupan manusia ini, dia sangat sedih sehingga memutuskan untuk mencari tahu penyebab dari kesedihan ini serta cara untuk menghindarinya. Karena itu dia mengasingkan diri untuk menyelamatkan manusia dari kekacauan yang menakutkan ini.

Lalu dia membuang pakaian kerajaannya, berpisah dari isteri dan puteranya, meninggalkan istana dan menjalani hidup kependetaan, menarik diri dari segala keinginan duniawi. Dia mengabdikan dirinya semata­mata untuk menemukan penyebab dari kesakitan dan kesusahan yang meraja-lela di antara umat manusia. Dia mengunjungi banyak Resi dan muni (para wali dalam agama Hindu) dan mengadakan diskusi bersama mereka selama enam tahun.

Tidak puas dengan mereka lalu dirinya sendiri menjalankan banyak praktik yang keras dalam Hindu Yogi tanpa ahasil. Tetapi simpatinya kepada penderitaan umat manusia serta hasratnya yang kuat untuk menyelamatkan kemanusiaan telah menarik turun kepemurah dan pengasih-Nya Tuhan, dan akhirnya di bawah pohon Bo dia menerima rahmat Ilahi dan cahaya yang menjadikannya memperoleh gelar “Cahaya Asia” (Ashvghosha, Kion I verg 3).

Mereka yang mempelajari kehidupan Nabi Suci kita akan mengetahui betapa beliau sangat terkejut melihat orang-orang yang terbenam dalam kebobrokan moral serta upacara mesum. Beliau demikian gelisah memikirkan mereka dan seringkali bangun pada waktu malam serta hatinya membubung tinggi; dia sering meninggalkan rumahnya dan pergi ke gua di Bukit Hira. Kesunyianlah sesungguhnya yang menjadi hasrat dalam dirinya. Di sini dalam gua ini dia sering tinggal semalam suntuk, merenungkan nasib murung dari umatnya, berdoa dan menangis di hadapan Tuhan Yang Maha-kuasa untuk menciptakan bangsa yang beradab kelaur dari kaum yang liar itu. Seorang sufi zaman ini telah mnggambarkannya dengan kata-kata berikut ini:

“Saya tak tahu betapa besar kegelisahan, kesedihan  dan kedukaan yang meliputi fikirannya, dan yang menariknya ke gua yang sunyi itu dengan prihatin dan susah hati. Tiada ketakutan sedikitpun terhadap kegelapan dalam fikirannya ataupun kegentaran terhadap kesunyian, tidak takut mati, tidak khawatir terhadap reptil berbisa. Dia menangis penuh kesakitan demi perbaikan umatnya. Bermohon kepada Tuhan siang dan malam telah menjadi hasratnya. Karena itu mengingat kerendah-hatiannya, doa dan kesungguhan permohonannya, maka Tuhan Yang Maha-pengasih telah menganugerahkan kepadanya rahmat bagi dunia yang gelap mencekam”.

Di gua ini kata-kata Tuhan yang diucapkan kepadanya akhirnya menjadi kekuatan yang memberi kehidupan kepada dunia. Karena itu Bukit Hira disebut Bukit Cahaya (Jabal an-Nur).. Demikianlah Nabi Suci dipanggil untuk mengemban tugas berat ini, yakni reformasi dari seluruh umat manusia; dan sesuai dengan nubuat dari Sakyamuni Gautama,  Muhammad adalah Maitreya Buddha yang dihormati oleh sekitarnya.

ANEKDOT KEDUA

Buddha meskipun seorang pangeran, meninggalkan kerajaannya dan menjalani kehidupan seorang pertapa. Muhammad bukanlah seorang pangeran atau raja, tetapi kaum Quraish mencoba memenangkan hatinya dengan godaan dan mendatanginya secara  langsung:

“Jika ambisimu untuk memiliki kekayaan maka kami akan timbunkan kekayaan seberapapun kamu ingini; jika kamu menghendaki kehormatan, kami akan bersiap untuk berikrar mengakui kamu     sebagai raja dan tuan kami; jika engkau senang kepada kecantikan, kami akan menyerahkan ke tanganmu gadis-gadis yang tercantik sesuai pilihanmu”.

Tetapi beliau menjawab:

“Saya tidak menginginkan kekayaan ataupun kekuasaan politik. Saya telah ditunjuk Tuhan sebagai juru-ingat kepada umat manusia, serta menyampaikan risalah­ Nya kepadamu. Bila kalian menerimanya, maka engkau akan mendapatkan kebahagiaan besar dalam kehidupan ini maupun di akhirat nanti; bila kalian menolak firman Tuhan, sesungguhnya Tuhan akan memutuskan antara aku dengan kalian”.

Beliau diancam dengan pembunuhan, dan bahkan Abu Talib, pamannya dan pendukung tunggalnya, menyatakan kepadanya bahwa dia tak sanggup lagi menghadapi persatuan perlawanan dari Quraish. Namun nabi bergeming; katanya:

“Wahai paman, meskipun mereka menaruh matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan     kiriku supaya aku membatalkan dakwahku ini; aku takkan berbuat demikian; aku takkan pernah     menyerah hingga Tuhan memperkenankannya dengan kemenangan atau aku binasa dalam  usahaku” (Ibnu Hisham, halaman 15, “Spirit of Islam”, oleh Amir Ali, halaman 186).

Setelah berbilang tahun penderitaan yang paling berat demi kebaikan dari umat itu sendiri yang mendapat kesenangan dengan menimpakan kepadanya siksaan yang paling kejam, di saat beliau mendaki ke puncak kemuliaan kerajaan, beliau tetap hidup dengan makanannya yang sederhana dan memakai busana yang sama bersahajanya. Memang berat untuk meninggalkan mahkota Raja, dan menjalani hidup sebagai pertapa, tetapi lebih berat lagi bila mendapatkan kewenangan sebagai raja dan pada waktu yang sama menjalani kehidupan seorang pertapa. Meskipun penguasa negara, beberapa malam beliau tidur tanpa makanan dan beberapa hari hidup hanya dari sekedar kurma semata. Beliau senantiasa tidur di atas hambal yang kasar dari daun kurma.

Tak ada istana yang dibangun buat dirinya dan dia tak punya mahkota yang bertatahkan intan dan mutiara. Ketika isteri-isterinya datang untuk meminta sedikit barang bagus dengan hiasannya, dengan dingin dikatakan kepada mereka bahwa bila mereka menginginkan benda-benda tersebut maka mereka tidak layak hidup di rumah nabi (Q.S. 33:28). Beliau menambal sepatunya sendiri, memerah susu kambing, menyalakan api di pediangan isteri-isterinya, dan melayani beberapa janda yang kekurangan.

ANEKDOT KE TIGA

Kembali kepada pokok acara, Gautama Buddha ditetapkan dengan Ilmu Ilahi, dan dia menghangatkan diri di bawah Pohon Bo dengan Cahaya Ilahi, yang merubah hidupnya secara total. Untuk merayakan hal ini maka kaum Buddhis melakukan jamaah dan pertemuannya di bawah bayangan pohon Bo.

Teosofis juga telah mengikuti jalan ini. Di antara umat Hindu pohon seperti Bo dan pipal dianggap suci, karena dipercaya bahwa para dewata beristirahat di bawahnya (Atharwa Weda 5:135:1; Rig Weda 1:164:20,22).

Dalam buku-buku Metafisika Yunani dan “Buku Orang Mati” Mesir Kuno pohon Sidrah dipandang sebagai puncak  yang terpuji, ilmu dan kendali universal. Menurut kata Homer seorang yang makan buah pohon Sidrah tidak pernah akan kembali ke dunia ini melainkan mencapai kesempurnaan ruhani kedamaian dan ketenteraman. (2)

Quran Suci mewahyukan bahwa Nabi Muhammad  telah mencapai tujuan ini :

“Dan sesungguhnya ia melihat Dia di landasan yang lain,
Di sisi pohon Sidrah yang paling jauh.
Di sisinya adalah Taman yang Kekal.
Tatkala apa yang menutupi pohon Sidrah;
Penglihatan tak membalik ke arah lain, dan tak pula melebihi batas.
Sesungguhnya ia melihat sebagian tanda-bukti Tuhannya Yang Maha-besar” (Q.S. 53:13-18).

Ayat-ayat dalam wahyu Ilahi ini berbicara tentang mi’raj Nabi Muhammad. Dan apa yang diperoleh Buddha di bawah pohon Bo adalah mi’rajnya. Karena itu:

‘Segera setelah pencerahannya maka Brahma sang kepala dewata datang mengunjungi Buddha Gautama di bawah pohon Bo” (“Majjhima Nikaya” oleh Silchara, halaman 151).

Dan mi’rajnya Musa itu disebutkan dalam Quran Suci pada pertemuan dua laut yakni ilmu manusiawi dan Ilmu Ilahi. Kaum Buddhis salah menilai pohon Bo sebagai akhir tujuan.

Peningkatan dan peninggian ini secara kiasan disamakan dengan pohon yang tinggi, yang oleh kaum Buddhis dan Hindu dianggapnya pohon itu Bo atau pipal (ashvatha).

Menurut al-Quran ini berarti bahwa Nabi Suci melihat tanda-bukti dan argumen akan adanya Tuhan, pencapaian semacam itu diluar kemampuan ilmu manusiawi.

Pohon ini, yang oleh kaum Hindu dan Buddhis yang memberhalakannya karena terbaliknya penglihatan ‘dalam’ mereka lalu diturunkan menjadi sesembahan, sesungguhnya berarti pohon ruhani yakni wahyu Tuhan dan Ilmu Ilahi.

ANEKDOT KE EMPAT

Buddha menguak tabir kebenaran keagamaan yang banyak tersembunyi, yang dirahasiakan oleh para ulama Hindu. Dia mengkritik dengan sangat Kitab Weda. Dia mengakhiri segala jenis eksploatasi dalam bidang keagamaan dan kepercayaan, serta meletakkan landasan persamaan dan persaudaraan.

Dhammapad berisi kata-kata: “Tumhehi Kiccan atappan akkatara Tathagata. (Engkau sendiri yang harus mengendalikan dirimu; Tathagata hanyalah guru-gurumu) “. Tentangnya dia mengumumkan: “Aku adalah seorang guru manusia”.

Bhiksu Narada menulis tentang Buddha bahwa dia tak pernah mengaku sebagai inkarnasi Wisnu, sebagaimana umat Hindu cenderung mempercayainya, ataupun dia seorang juru-selamat yang menyelamatkan orang lain dengan penyelamatan oleh pribadinya. (“Buddhism, in a nutshell” oleh Bhikku Narada.).

Sungguh disayangkan bahwa sekte Buddhis Mahayana telah jauh menyeleweng sehingga mereka percaya bahwa Buddha itu Tuhan Yang Maha-kuasa. Padahal kenyataannya, seperti halnya Buddha, banyak risalah yang diusung oleh Muhammad, dimaksudkan untuk memperbarui agama-agama sebelumnya. Ahli hukum dan para pendeta Kristen dan Yahudi, dan pandit di kalangan Hindu dan Buddha telah menambah dan merubah  dengan penemuan baru dalam kitab-kitab mereka. Quran Suci mengkaji kembali semuanya dengan dalil, logika dan rujukan, jadi dengan demikian telah membunyikan lonceng kematian bagi monopoli para pendeta atau pastur, dan membuatnya wajib bagi setiap orang, baik lelaki maupun perempuan, untuk mereguk pengetahuan kebenaran agama.

ADEGAN KE LIMA DALAM KARAKTER BUDDHISTIS

Riwayat hidup Buddha mengungkapkan anekdot menyedihkan tentang perpisahannya dengan yang akrab dan yang paling dicintai, sekali untuk selamanya. Perkawinan adalah suatu ikatan keagamaan dan hukum di antara suami dengan isteri. Jika tidak ada kesalahan, maka pembatalan atas perjanjian ini jelas diluar hukum. Sikap mental Buddha berubah. Dia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalani kerahiban, namun isteri dan anaknya tidak ada hal yang salah sehingga ditinggalkan. Tak ada bangsa yang bisa bertahan dengan mengikuti jejak langkah Buddha ini. Betapa pun, kaum Buddhis harus menikah, meskipun bertentangan dengan teladan yang digelar oleh Buddha dan harus berkumpul dengan para isteri dan anak-anaknya hingga akhir hayatnya. Di sini tidak ada analogi antara Buddha dan Nabi Muhammad. Memang, perpisahan sementara harus diikuti oleh orang yang tulus dalam mengabdi kepada Tuhan. Tetapi Nabi Muhammad juga hidup di tengah isteri dan anak-anaknya, menyampaikan risalah tentang cinta Ilahi, yang, sesungguhnya, adalah pelajaran yang paling bisa dipraktikkan oleh manusia. Contoh yang dilakukan oleh Buddha semasa hidupnya sendiri kelihatannya tidak bisa dipraktikkan bagi umat secara umum. Sebaliknya, karakter ideal dari Nabi Muhammad bisa diikuti oleh semua orang. Meskipun hidupnya menunjukkan sekilas perpisahannya dengan isteri dan anak-anaknya, di kala minum sedalam-dalamnya saat memuja dan menyembah Tuhannya. Menurut suatu riwayat,  beliau langsung meninggalkan isterinya seketika setelah mendengar panggilan salat. Ini bukanlah suatu tugas yang mudah, hanya ahli jiwa yang bisa menghayati arti pentingnya. Seorang laki-laki yang sedang bercengkerama dengan isterinya, menikmati keakraban pasangan yang lembut penuh daya tarik dengan penuh canda dan tawa, harus menarik diri mendengar panggilan. Ikatan cinta terputus di kala mendengar seruan . Beliau mengabdikan diri sepenuhnya kepada panggilan dan Tuhan. Ini adalah saat dimana beliau bangkit untuk berubah demi mengungkapkan kecintaanya kepada Tuhan, dan seketika melepaskan seluruh kesenangan duniawi, dan menghadap Tuhan lima kali sehari. Dalam berbuat demikian, beliau bersabda:

“Sesungguhnya memang ada kecintaan dan kehangatan kepada isteri dan anak-anak, tetapi ketenteraman hati itu terletak dalam pengabdian kepada Tuhan”. Adalah kilatan kecintaan kepada Tuhan ini yang mendorongnya dari isterinya bahkan di waktu malam hari. Sebagai hasilnya, beliau selalu ditemukan bersujud di hadapan Tuhan bahkan sebelum tengah malam.

Seorang laki-laki yang menyelinap pergi dari keluarganya, ke dalam pengasingan di rimba, tidak dapat mencapai ketinggian tempat berpijak seperti ini yang penuh pujaan setiap hari.

PELAJARAN KEENAM DARI KARAKTER BUDDHA

Upacara agama dan segala jenis sembahyang yang tidak ada pengaruhnya terhadap kehidupan moral dan spiritual bagi manusia itu tidak ada gunanya. Mereka yang dalam pencarian terhadap kebebasan abadi serta puncak kebenaran harus menjaga diri mereka terhadap nafsu mementingkan diri sendiri dan emosi pribadi. Sesuai dengan itu, Buddha berkata:

“Bukannya kebajikan orang lain, atau dosa mereka atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuat, tetapi  adalah perbuatan salahnya sendiri serta kelalaiaannya yang harus diperhatikan oleh orang yang bijak.  Bagaikan sekuntum bunga yang indah, penuh warna-warni tetapi tanpa  harumnya, memang bagus  tetapi tak berbuah; begitulah kata-kata dari dia yang tidak diikuti dengan perbuatan yang sama”.

Menurut Nabi Muhammad dan al-Quran, menjaga diri dari kejahatan atau menyelamatkan diri dari dosa adalah tujuan utama dari ibadah. Al-Quran berkata:



“Sesungguhnya salat itu menjaga (diri) seseorang dari perbuatan keji dan munkar” (Q.S. 29:45).



Seperti dalam perintah untuk berpuasa dikatakan:



“Wahai orang yang beriman, puasa diwajibkan kepadamu, sebagaimana diwajibkan kepada orang­orang sebelum kamu, supaya kamu bisa menjaga diri dari kejahatan” (Q.S. 2:183).



Seorang yang  beribadah kepada Tuhan demi keserakahan atau kekikiran telah dirujuk dalam ayat ini:

“Tahukan engkau orang yang mengambil keinginan rendahnya sebagai tuhan?” (Q.S. 25:43)

Tidak hanya sekedar menyembah patung yang dikutuk, melainkan juga mengikuti hawa-nafsunya dengan membabi-buta, sama juga, terkutuk.

Banyak orang yang menganggap dirinya hamba Tuhan Yang Esa sesungguhnya menundukkan diri dalam penyerahan kepada berhala mereka yang terbesar, yakni hawa nafsunya. Nabi Muhammad dari buaian hingga ke liang kubur melewati keadaan yang sulit, suatu kesulitan yang jarang bisa ditemui dalam kehidupan seorang yang sendirian. Keadaan yatim piatu adalah kondisi yang sangat tidak berdaya, sedangkan mengemban tugas sebagai raja adalah puncak dari kekuasaan. Dari seorang yang yatim piatu, dia merambat naik ke puncak kemuliaan kerajaan, tetapi dia tidak membawa sedikitpun perubahan dalam cara hidupnya. Dia hidup persis sama sederhananya dalam jenis makanannya, sama sederhananya dalam berpakaian serta dalam segala hal yang khusus dia menjalani hidup yang sama sederhananya dengan ketika dia menjalani hidupnya dalam keadaan yatim-piatu. Meskipun dia penguasa dari Negara, perabot rumahnya terdiri dari satu hambal yang kasar dari daun kurma sebagai tempat tidurnya dan satu bejana air dari tanah. Dia tidak malu-malu untuk bekerja, dia menjahit sepatunya dan menambal pakaiannya sendiri.

Ketika masjid Madinah sedang dibangun, beliau bekerja seperti pekerja yang lain. Ini adalah adegan pertapa dari segala keinginan duniawi dan keserakahan, yang tersisih dari kehidupan Nabi Muhammad.

Buddha, juga menganggap keserakahan duniawi itu sebagai menipu, menjauh darinya berarti menuntun kepada keselamatan akhir.

Quran Suci mengatakan: 

“Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia; tetapi sesuatu yang kekal, (yakni) perbuatan baik, itu menurut Tuhan dikau baik sekali ganjarannya, dan baik sekali harapannya” (Q.S. 18:46).

Jadi Quran Suci tidak mengajarkan doa untuk memohon emas yang tak terbatas, kekayaan atau panjang umur, seperti yang kita temui dalam Weda.

Sebaliknya, Quran Suci mengajarkan semacam permohonan untuk membantu seseorang agar bisa mencapai tingkat tertinggi dari ketulusan, kebebasan dari dosa, serta kebaikan.

ANEKDOT KE TUJUH

Keselamatan (nirwana) adalah tingkat kesucian seseorang dimana dikenal sebagai kedamaian dan ketenteraman jiwa. Menghilangkan benturan kecil-kecilan dalam kehidupan dan mengurbankan segalanya untuk memperoleh kedamaian abadi adalah sesuatu yang sulit dipikul. Hingga keinginan nafsu rendah, sebagai suatu akibat dari keserakahan dan kekikiran, dihapuskan dari dalam, maka tak seorangpun dapat selamat dari api neraka. Quran Suci, dalam mendiskusikan berbagai tahap dari jiwa manusia telah berbicara mengenai ketenteraman dan kedamaian jiwa:

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat memuaskan   di hati. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke Taman-Ku” (Q.S. 89:27-30).

Menurut fraseologi Buddhis status ini disebut kedamaian sempurna, ketulusan, harmoni, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Buddha telah meramalkan kedatangan seorang Buddha seperti dia, karena itu, dianggap cocok untuk menunjukkan beberapa persamaan di antara Buddha dengan Nabi Muhammad.

KITAB SUCI AGAMA BUDDHA

“Maka celaka sekali orang yang menulis Kitab dengan tangan mereka, lalu berkata: Ini dari Allah”.  (Q.S. 2:79).

Adalah suatu fakta yang dikenal umum bahwa Buddha tidak meninggalkan kitab atau naskah suci
sesudahnya. Seperti ditulis Ward:

“Buddha (seperti juga Yesus) tidak meninggalkan karya tulis sepeninggalnya, tetapi segera sesudah kematiannya, menurut tradisi Buddhistis ortodoks, suatu konsili besar dari 500 rahib datang bersama-sama di Rajagaha dan Upali dan Ananda  mengulangi masing-masing Vinya dan Dhamma…. tak disebutkan di sini pembuatan Abhi Dhamma divisi ke tiga yang, bersama Vinya dan Dhamma, melengkapi kanon Buddhis” (Ward, “Outline of Buddhism”, halaman 15).
Ini terjadi demikian  meskipun apa yang dinasihatkan Buddha kepada para muridnya adalah:
Pelajarilah apa yang telah dikatakan, peganglah erat-erat, dan hayatilah dia” (Majjihma, 3:199)”.

Meskipun demikian penganut Buddhis percaya bahwa para murid Buddha telah menghafal dalam ingatan apa yang dikatakannya, dan sebelum ajarannya ditulis mereka adalah para perawi yang jujur.

Meskipun para muridnya gagal untuk menghafal semua kata-katanya, pastilah mereka ingat akan
maknanya. Namun dalam waktu singkat riwayat ini mengalami banyak perubahan.
Rhys Davids menulis tentang hal ini:

“Selanjutnya, fakta bahwa ajaran ini tidak disimpan dalam tulisan hingga berabad-abad setelah     wafatnya sang guru, teatpi terdapat hanya dalam tradisi lisan, membuatnya sangat sulit untuk     menentukan yang manakah ajarannya yang asli itu. Tetapi tidak ada disebutkan dalam Pitaka     orang-orang yang mengulanginya itu” (Rhys Davids, “Sakia” hal.360, 384, 389).

”Dalam seluruh Pitaka ada elemen dari ajaran yang sangat awal bercampur dengan hal-hal yang jelas masuk dari abad-abad belakangan….Tetapi kata-kata dari Buddha telah turun kepada kita dalam bahasa Pali, dan dalam bentuk  bahasa Pali yang sempurna, yang barangkali bahkan belum ada ketika saat inskripsi Asoka dibuat. Jadi kata-kata Buddha dalam Teks bahasa Pali adalah terjemahan dari bahasa lain serta ungkapan yang biasa dipergunakannya”. (Rhys Davids, “Outline of Buddhism” hal. 20).

Untuk koreksi dari kitab-kitab ini konsili yang sewaktu-waktu diadakan tidak ada gunanya akibat terpecahnya peringkat umat Buddha yang menimbulkan timbulnya pelbagai sekte dan usulan agar diterbitkan kitab yang terpisah serta berbeda. Di zaman modern, agama Buddha dianggap terdiri dari tiga bagian. Dalam terminologi keagamaan tiga bagian ini digambarkan sebagai tiga Keranjang (Tripitaka) nama-nama mereka adalah:

1. Vinya Pitaka,
2. Sutta Pitaka,
3. Abhidhamma Pitaka.

Sebagian dari yang kedua dari ini, Sutta Pitaka, dikenal sebagai Dhamma Pada. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Pali. Sejarah menceriterakan kepada kita bahwa bahasa yang digunakan Buddha tidak sampai kepada kita. Bahasa Pali itu datang belakangan; dan ini tidak pernah jadi bahasa lisan maupun tertulis pada saat pilar-pilar Ashoka diukir dengan ajaran serta doktrin Buddha. Maka kaum Buddhis mengakui bahwa kata-kata asli dari Buddha tidak pernah sampai kepada mereka tanpa perubahan. Seorang otoritas tentang keaslian seperti Mrs. Rhys Davids menulis:

“Dalam Pitaka Buddha tidak terdapat penyebutan seorangpun dari orang-orang yang menghafal  Pitaka dalam ingatan atau semacam yang mengulang-ulangi”.

Kitab-kitab suci yang ada kini tidak pernah disetujui sebagai yang otentik secara keseluruhan oleh umat Buddhis permulaan. Dalam konsili Rajgaha, seorang Eklesias seperti Puran menolak bersetuju terhadap otentisitas dari kitab itu sebagai yang asli. Puran sebaliknya lebih menyukai copynya sendiri. (4)

SEKTE SEKTE BUDDHA

Ada dua sekte besar di antara kaum Buddhis; 1. Mahayana, dan 2. Hinayana. Dikatakan bahwa yang pertama itu sangat jauh dari ajaran asli Buddha. Menurut Pali Pitaka Mahayana adalah khayalan yang tak berdasar dan sudah dirubah-rubah. Umat yang termasuk dalam sekte ini percaya bahwa Buddha bukanlah suatu entitas manusiawi. Mereka lebih mempercayai dia sebagai manusia super.

“Sakya Muni tidak pernah berinkarnasi di dunia; dia hanya menurunkan bayangannya dan Buddha sendiri adalah Tuhan Yang Maha-kuasa, abadi dan hidup selamanya”. (3)

Sebaliknya sekte Hinayana tidak mempercayai Tuhan dan wahyu-Nya (“Buddhism” oleh Bhikku Narada). Dia selanjutnya menulis bahwa Buddha adalah seorang manusia. Dia dilahirkan, hidup dan meninggal, dan seterusnya. Buddha sendiri telah mengumumkan:

“Menggantungkan keselamatan kepada yang lain itu negatif tetapi menggantungkan kepada diri sendiri itu positif”. Lagi, diriwayatkan dia telah berkata: “Jadilah kepulauan dirimu sendiri, dan jadilah pelabuhanmu sendiri.  Janganlah mencari perlindungan di bawah orang lain” (Parinibhan Sutta).

Sebagai kenyataan, bahasa Pali dimana Kitab-kitab suci ini ditulis, adalah penanggung-jawab tunggal dari terciptanya sekte-sekte di kalangan Buddhis ini. Tata-bahasa Pali adalah begitu membingungkan sehingga setiap cendikiawan bisa meramunya sesuai dengan pandanagannya sendiri. Untuk merinci dan membetulkan ajaran Buddha serta merawatnya dari perubahan maka tiga konsili berturutan dalam masa satu abad telah diselenggarakan. Namun adalah suatu kenyataan yang diakui bahwa kitab-kitab suci ini ditulis jauh belakangan sesudah Buddha. Keith berkata bahwa Sutta Pitaka ditulis 200 tahun sesudah Ashoka wafat dan satu dari seksinya dilengkapi pada abad kedua Masehi. (5) Sekte Buddhis yang berbeda-beda menarik otoritasnya untuk kepercayaannya masing-masing dari berbagai kitab serta naskah suci. Setiap sekte mempercayai bahwa naskahnyalah  yang paling otentik. Tetapi pakar penyusun “Sacred Books of the east” menulis:

“Seluruh MSS India secara perbandingan adalah modern dan seseorang barangkali telah menyerahkan  lebih banyak MSS India daripada yang lain. Mr. A.Burnel, belakangan telah mengungkapkan  keyakinannya bahwa tak ada MS yang ditulis seribu tahun yang lalu yang masih ada di India, dan  adalah nyaris mustahil untuk menemukan satu yang ditulis limaratus tahun yang lalu, karena  sebagian besar MSS yang meng-klaim berasal dari masa itu adalah hanya copy dari MSS yang tua  dimana tanggalnya juga diulangi lagi oleh yang meng-copy”.  (“Sacred Books of the East”, jilid 10 halaman 29).

Tiga konsili yang dilangsungkan dengan sukses setelah setiap abad telah mengeluarkan fatwa bahwa telah terjadi penambahan dan penghapusan dari Kitab-kitab suci tersebut.
Beberapa bagian dari Pitaka telah ditambahkan kepadanya setelah konvensi ke tiga pada 242 s.M. (6)

Buddha dikatakan telah mengumumkan, bahwa: “Sepeninggalku lima perkara akan hilang berturutan”. Dari sini, satu dari ajarannya akan hilang, karena itu kaum Buddhis percaya bahwa saatnya akan tiba dimana seorang Raja Buddhis akan mengumumkan bahwa barangsiapa ingat akan empat baris ajarannya maka dia akan mendapat hadiah seribu keping perak dalam peti emas di punggung seekor gajah. Namun tak seorang pun di kota bisa memenangkan piala itu bahkan setelah itu diumumkan berulang-kali.

Dalam sebuah buku berjudul, “What is Buddhism” yang baru-baru ini diterbitkan oleh Buddhi Mission London (pada halaman 176) dinyatakan: Tanya: Tetapi apakah anda bahkan tidak menganggap kitab suci anda sendiri itu sebagai bisa dipercaya?

Jawab: “Sudah pasti tidak. Kecenderungan dari penelitian modern itu menunjukkan bahwa kitab suci Buddhis, sebagaimana Alkitab Kristen terdiri dari penulisan yang bermacam ragam, disusun oleh pengarang yang berlainan dalam abad yang berbeda-beda, jadi tak satupun, atau satu bagian darinya bisa dipercaya sebagai kata-kata pribadi Yang Tercerahkan sendiri”.

BUDDHA SEBAGAI PEMBAHARU AGAMA WEDA

Umumnya dianggap bahwa Buddha itu tidak percaya kepada Tuhan ataupun dalam jiwa dan bahwa penolakannya atas adanya jiwa terdapat dalam “Vishudhi mag” (Bab 16).

Tetapi para filsuf Buddha tidak pernah berhasil dalam memecahkan masalah ini. Mereka menduga bahwa ada nasib buruk; ada perbuatan jahat, tetapi bukan pelakunya; ada keselamatan, tetapi bukan pencarinya; ada jalan tetapi tak seorangpun mengikutinya. Dengan perkataan lain, ada kesusahan, penderitaan, amal dan keselamatan, tetapi jiwa yang merasakan itu semua tidak ada. Perbuatan terjadi tanpa pelaku, yakni jiwa. Kebenaran dan keselamatan ada dan harus dicapai, tetapi yang meraih tujuan ini bukanlah suatu entitas atau benda substantif. Bagaimana bisa Buddha tidak mempercayai perasaan masing-masing orang dan kepercayaan umum dari semua agama. Sebagai fakta, penolakan terhadap jiwa dan Tuhan sebagai bagian dari Buddha adalah sama nilainya dengan mengingkari konsepsi Tuhan dan jiwa dalam agama Hindu. Dalam agama Weda jiwa itu dianggap sebagai kepingan Tuhan dan tak berubah serta segala sesuatu dipercaya sebagai Tuhan.

Di mata kaum Brahmana, Buddha adalah seorang ateis. Kini beberapa aliran filosofi Buddha juga bersifat ateis, tetapi apakah Gautama Sakyamuni Buddha sendiri seorang ateis itu sangat diragukan dan penolakannya terhadap dewa-dewi yang populer pasti tidak menjadikannya demikian.

Dalam inskripsi Rupnath (221 s.M.) Ashoka berjasa dengan mengatakan bahwa dewa-dewi yang sepanjang masa ini dipandang benar dalam Jambudvipa tidak boleh ditolak. (7)

Di mata para hakim Athena Socrates adalah seorang ateis, meskipun dia bahkan tak pernah menolak dewa-dewi Yunani, tetapi sekedar meng-klaim haknya untuk mempercayai sesuatu.

Buddha tidak percaya akan konsepsi jiwa dan Tuhan yang seperti ini. Menurutnya, jiwa itu lebih bisa berubah daripada jasad material dan dia hidup serta mati di setiap saat. Ini seperti suatu kaleidoscope. Ketika dia terpecah, maka berbagai bentuk dan gambar yang tak terhitung terlihat di dalamnya. Suatu gambar, sekali dibuat di dalamnya, tak akan pernah terlihat lagi, tidak peduli betapa sering anda memutarnya. Maka jiwa kini dan fikiran dan yang di masa depan tidak dapat seperti yang lama. Nama serta gambar-gambar itu semuanya variabel yang selalu menjalani perubahan setiap saat.

Buddha juga membuang doktrin inkarnasi dimana manusia dan binatang dipercaya sebagai Tuhan. Karena inilah maka disangka bahwa Buddha itu mengingkari adanya Tuhan dan jiwa. Sesungguhnya ini bukannya pengingkaran tetapi suatu penolakan terhadap kepercayaan Weda bahwa segalanya itu Tuhan dan dia ber- inkarnasi dalam segala sesuatu dan bahwa jiwa itu subyek yang bisa dipindah-pindahkan.

Di samping ini Buddha menentang upacara penyerahan kurban bakaran, yang berarti bahwa seseorang itu bisa mencapai tujuan duniawi maupun agamawi dengan hanya sekedar menyerahkan kurban ini di hadapan Tuhan tanpa berbuat kebajikan sedikitpun. Dengan kepercayaan semacam ini dalam pandangan, maka kaum Hindu ingin menenangkan dewa-dewi.
Buddha mengangkat suara melawan upacara barbar ini dan menentang ide ini dengan sangat keras.

Buddha tidak percaya kepada ajaran Weda yang tidak masuk akal begitu juga asal-usulnya yang Ilahiyah. Catatannya sendiri tentang Weda adalah bahwa karena sejarah dan saat dikumpulkannya Weda itu salah dan mereka jauh dari perasaan serta tanda-bukti Ilahi, maka mereka tidak mungkin merupakan sabda Ilahi (Buddha Shastra Adhyay 2 Sutar 1).

Weda ini mencurigakan dan jauh dari kebenaran, adalah seperti rumput-rumputan, langka dari semua kenyataan, nilai atau kebenaran.(8) Buddha melawan pengurbanan Weda, dan mengumumkan dengan tegas bahwa ajaran Weda itu tiada lain kecuali tidak masuk akal dan pembodohan (“Buddha” oleh Oldenberg, hal. 172). Dan lagi: dengan membaca Weda, memberi hadiah kepada pendeta, berkurban untuk dewata, dan praktek yang lama serta latihan ibadah lainnya tidak bisa menyucikan seseorang atau mengeluarkan dia dari takhayul. (9) Tetapi Buddha tidak bisa dipersalahkan akan penolakan ini, bahkan Dayananda menulis dalam Satyarth Prakash:

“Melihat perbuatan jahat dari Popes (pendeta Hindu) ini, Buddhisme dan Jainisme yang sangat marah membunyikan lonceng kematian terhadap kitab-kitab agama Hindu serta Weda” (“Satyarth Prakash” bab 11).

BUDDHISME DAN UTUSAN YANG MEMBENARKAN

Quran Suci telah membenarkan banyak prinsip agama Buddha. Doktrin pertumbuhan berangsur-angsur baik fisik maupun segi spiritual dan kemungkinan perubahan jiwa serta penolakan atas asal-usul diakui adalah merupakan prinsip Islam. Quran Suci mengatakan:

“Dan mereka bertanya kepada engkau tentang Ruh. Katakanlah: Ruh itu dari perintah Tuhanku, dan  kamu tak diberi ilmu (tentang itu)  kecuali hanya sedikit” (Q.S. 17:85).

Tiga hal perlu dipertimbangkan dalam ayat ini:
Ruh itu adalah perintah.
Ini adalah perintah Tuhan (Rabb).
Ruh itu ilmu.

Arti pertama bahwa ruh adalah perintah, yang datang mewujud oleh perintah Tuhan dan ada dengan perintah Ilahi. Arti kedua yalah bahwa ini merupakan perintah Tuhan (Rabb). Istilah Arab ‘Rabb’ berarti Dia yang menciptakan sesuatu dan secara berangsur membuatnya maju dan ber-evolusi setelah melalui bermacam tahapan. Ketiga, Buddha mengambil ruh sebagai ilmu. Maka Nabi Suci dan Buddha saling membenarkan dalam konsepsi mereka tentang ruh. Tidak hanya Buddha, melainkan juga semua Nabiyullah menentang filosofi Hindu ini berhadapan mata dengan mata dalam kepercayaan ini.

Klaim Buddha adalah bahwa dia seorang guru perbaikan moral serta perbuatan baik. Dia percaya bahwa tujuan ini tidak dapat dicapai dengan pengurbanan binatang  dan melakukan upacara atau resital puji-pujian. Dan bahwa tak seorang pendeta atau pandit pun yang dapat menjadi perantara dosa dari umat manusia. Sebaliknya, dia percaya bahwa setiap individu itu memanggul salibnya sendiri. Dan ini sungguh seirama dengan semangat Islam.

Klaim Buddha sebagai pembaharu dari ajaran Weda sesuai dengan konsepsi Islam, bahwa di saat
kesalahan merayap kedalam dasar-dasar suatu agama, maka seorang pembaharu harus datang untuk membetulkannya. Buddha juga telah dipersalahkan karena mengkonsumsi babi. Tetapi kita dapati dalam istilah eksplisit di “Outline of Buddhism” beberapa pakar modern menyatakan bahwa Gautama tidak makan babi. (10) tetapi semacam umbi yang sangat digemari oleh babi.

Kitab agama Buddha hanya berceritera banyak tentang hal ini, bahwa Buddha meninggal seperti “Shushk”. Shushk berarti ‘kering’, Sukar mardva berarti ‘selembut daging seekor babi, dan nama ini diberikan untuk umbi-umbian itu’.

NUBUATAN TENTANG  “CAHAYA YANG NAMPAK”  OLEH ”CAHAYA ASIA”

Dr. Paul Carus menulis dalam ‘The Dharma’ :

“Buddhisme dengan benar disebut sebagai agama pencerahan, karena rencana dasar keimanannya   dibimbing oleh kebijaksanaan, dilukiskan oleh cahaya yang bersinar di jalan kita, menjadikan kita bisa meyakini dan meneguhkan langkah-langkah kita. Pendengar kata, segera setelah mencocokkan, biasanya diriwayatkan lalu berikutnya mengucapkan pengakuan ”.
“Bagus sekali, wahai Tuan! ini bagus sekali!”
“Ketika seseorang membangkitkan apa yang telah dibuang ke bawah atau mengungkapkan apa yang    tersembunyi, atau memberi-tahu dia jalan kepada dia yang tersesat, atau memegang lampu dalam    kegelapan sehingga mereka yang punya mata bisa melihat obyek, bahkan demikianlah ajaran ini telah dibuat jelas oleh Tuan dalam peragaan yang bersegi banyak. Dan aku, bahkan aku, mencari    perlindungan kepada Tuan, ajarannya dan tatanannya. Mudah-mudahan Tuan menerima, sebagai murid biasa, dari hari ini hingga sepanjang hidup saya, aku yang telah mencari pelindungan (kepadanya)”.

Karena Buddha berarti cahaya dan tanda awal dari Buddhisme adalah lampu yang berarti petunjuk, maka kita dapati pada prasasti dan patung kuno terukir lampu yang menyala. Demikianlah di cadas Qandhara ada sebuah patung dimana seorang guru ditunjukkan sedang memegang lampu dan seorang murid dengan tangan berlipat penuh penghormatan, melihat kepadanya. Ini mengungkapkan kenyataan bahwa para pengikut Buddhisme telah mengukir tanda-bukti dari Dia yang Dijanjikan yang kedatangannya digambarkan di tabut batu, yang bertindak sebagai lampu petunjuk demi keturunannya, sesuai dengan ajaran Buddha.

Jelas bahwa cahaya yang dipancarkan Buddha di dunia sekarang tiada lagi dalam agama Buddha, karena kita telah membuktikannya di bawah judul ‘Kitab-kitab suci agama Buddha’. Bagi kaum Buddhis yang menyembah cahaya, apa yang harus dipertimbangkan adalah, apakah dunia ini memerlukan Cahaya lain setelah satu yang telah menampakkan dirinya dalam pribadi Buddha. Bila tidak, lalu mengapa umat sebelum Buddha memerlukannya. Dunia memerlukan cahaya setelah Buddha pada saat lenyapnya cahaya (ajaran)nya, tepat seperti yang terjadi sebelumnya. Dalam patung-patung yang kita rujuk di atas, guru memegang lampu bukanlah Buddha sendiri melainkan suatu potret bayangan dari seseorang yang lain. Murid dengan tangan terlipat yang melihat kepada gurunya dengan penuh penghormatan sesungguhnya adalah wakil dari agama Buddha.

Tidakkah perasaan yang timbul di hati pengabdi Buddha pada saat lampu yang bersinar itu diukir pada patung patung itu meminta para penganut Buddha untuk mencari tahu dari lampu yang bersinar ini siapakah yang meminjamkan kepadanya setelah Buddha sendiri memperoleh cahayanya? Dalam kitab mereka sebagaimana juga yang diukir di bebatuan di sana ada cahaya dari mana mereka bisa mengenal cahaya yang datang atau lampu yang bercahaya. Dengan mengingat nubuatan ini dalam pandangan, maka Quran Suci berkata:

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu tanda bukti dari Tuhan kamu, dan telah  Kami turunkan kepada kamu cahaya yang terang” (Q.S. 4:175).



Untuk penjelasan lebih lanjut dari lampu petunjuk ini dikatakan:



“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan tiang yang di atasnya  terdapat satu lampu, lampu berada dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang gemerlapan, yang  dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkahi, bukan kepunyaan Timur dan bukan kepunyaan Barat, minyak itu menerangi walaupun tak tersentuh api, cahaya di atas cahaya. Allah memimpin orang yang Ia kehendaki kepada cahaya-Nya. Dan Allah mengemukakan banyak perumpamaan kepada manusia, Dan Allah itu Yang Maha-tahu akan segala sesuatu” (Q.S. 24:35).

Ayat ini merujuk kepada cahaya tersebut, lampu petunjuk yang pada suatu saat menyinari benua India dan sinarnya mencapai Cina dan Jepang serta dinamakan Cahaya Asia.

Namun pada masa yang lain ini akan terbit di atas batas Timur dan Barat  serta menyinari bagaikan pilar cahaya tertinggi untuk seluruh dunia. Ini akan dicerahkan dengan minyak wahyu yang disucikan, yang tidak tersentuh oleh api dunia; cahaya itu jauh lebih benderang dan dinampakkan dari luasnya populasi Muslim dari Sri Lanka, Indonesia, Burma, Thailand dan Cina. Mereka mengenal cahaya ini berdasarkan cahaya yang diberikan oleh Buddha. Dan cahaya di atas cahaya ini yalah Muhammad s.a.w. Perumpamaan tentang Buddha ini dengan cantiknya telah digelar oleh Isa Almasih dalam perumpamaan “Sepuluh Gadis” dan dia juga meramalkan bahwa nubuatan ini akan digenapi setelah dia; vide perumpamaan sepuluh gadis:

“Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka. Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia! Gadis-gadis itupun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu; Tidak, nanti tidak cukup untuk kami  dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ”. (Matius 25: 1-9).

“Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap-sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu! Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, aku tidak mengenal kamu. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya Anak manusia akan datang” (Matius 24: 10-13).

Kata-kata “Anak Manusia” dalam perumpamaan ini oleh gadis-gadis yang bijaksana diartikan sebagai orang-orang yang mengenal pengantin yang berhubungan  dengan Nabi Yang Dijanjikan (Muhammad) dan beriman kepadanya. Secara kiasan lampu mewakili wahyu Ilahi, dalam cahaya mana seorang manusia menelusuri. Daud dalam Mazmurnya berkata:

“FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku: (Mazmur 119:105). Samuel berkata:     “Karena  Engkaulah pelitaku, ya Tuhan, dan Tuhan menyinari kegelapanku”(II Samuel 22:29). Dan Tuhan berkata kepada Daud:     “Aku akan menyediakan sebuah pelita bagi orang yang Kuurapi” (Mazmur 132:17). Yang agaknya seirama dengan ini adalah kata-kata Buddha:     “Seperti lampu yang menyala di kegelapan tanpa pamrih untuk dirinya sendiri, diri yang bersinar  demikianlah menyala lampu Tathagata tanpa bayangan perasaan pribadi”. Maka al-Quran berkata: “Meskipun api dunia tidak menyentuhnya” dan lagi dikatakan dalam Quran Suci



“Mereka (para nabi itu) adalah orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah  petunjuk mereka. Katakanlah: Untuk ini, aku tak minta ganjaran kepada kamu. Sesungguhnya  itu tiada lain hanya Juru-ingat bagi sekalian bangsa” (Q.S.6:91).

Sesungguhnya, nabi itu di sini dinyatakan bahwa dia sekarang adalah sebagai wakil dari semua nabi yang telah berlalu sebelumnya. Penafsiran dari perumpamaan dalam Alkitab itu jadinya berjalan sebagai berikut: pengantin telah dikawinkan dengan segenap bangsa-bangsa di dunia, tetpi lima dari mereka ini akibat daya cahaya ‘dalam’ mereka, maka bisa mengenalinya dan memasuki rumah perdamaian bersamanya.

Tetapi bagi mereka yang jahil, cahaya ‘dalam’ mereka padam pada saat kedatangan sang pengantin; mereka tetap berada di luar. Bahkan hingga hari ini mereka tidak dapat bergabung dengan sang pengantin, meski mereka telah disediakan obor dan lampu yang masih tetap ada berupa kitab mereka, tetapi pandangan ‘dalam’ mereka telah hilang. Mata mereka kehilangan pandangan; inilah sebabnya mereka tidak dapat menangkap cahaya yang nampak.

Dalam Kitab-kitab suci kata-kata lampu dan obor digunakan secara kiasan baik berupa cahaya spiritual (wahyu) maupun penglihatan ‘dalam’ dari hati nurani. Di antara Bani Israil menyalakan lampu atau lilin dalam Kanisah adalah populer. Tentang hal ini Alkitab berkata:

“Haruslah kauperintahkan kepada orang Israel, supaya mereka membawa kepadamu minyak zaitun tumbuk yang murni untuk lampu, supaya orang dapat memasang lampu agar tetap menyala. Di  dalam Kemah Pertemuan di depan tabir yang menutupi tabut hukum, haruslah Harun dan anak-anak-nya mengaturnya dari petang sampai pagi di hadapan Tuhan. Itulah suatu ketetapan yang berlaku untuk selama-lamanya bagi orang Israel turun-temurun” (Keluaran 27: 20-21, Lewi 24:2-4 ).

Catat, kata-kata Alkitab yang kita kutip di atas, ‘minyak zaitun tumbuk yang murni untuk lampu’ dan bandingkanlah dengan kata-kata Quran Suci. Ini adalah lampu yang dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkahi, tidak di Timur ataupun Barat, suatu hukum bagi segala bangsa di dunia dan ini memberikan secara terus-menerus untuk selamanya dan selama-lamanya, nubuatan mana terdapat dalam lampu simbolis dari Buddha dan lampu minyak zaitun dari Bani Israil.

Ini mendorong orang untuk membayangkan mengapa Tuhan menekankan penyalaan lampu di tempat­tempat ibadah? Ini dengan begitu ketatnya diikuti sehingga dalam gereja Katolik Roma lampu-lampu dinyalakan siang dan malam terus menerus. Tetapi bisa ditanyakan apa maksud sebenarnya dalam menyalakan lampu minyak zaitun. Di mana saja orang berdiam, dia menyalakan lampu. Ini suatu fakta nyata, suatu hal yang sangat cerdas. Meskipun tidak ada perintah bagi Bani Israel untuk berdoa di waktu malam, namun tetap ada fatwa untuk menyalakan lampu pada waktu malam. Dan sesungguhnya, hal ini dinyatakan dalam Alkitab tentang dinyalakannya lampu dari Buddha mengandung arti yang sama juga dengan pastur Katolik yang mengunjungi gerejanya pada waktu malam dalam mendambakan Dia yang Dijanjikan (Nabi Muhammad, utusan Tuhan). Quran Suci merujuk hal itu:

“Demi langit yang datang pada waktu malam!
Dan apakah yang membuat engkau tahu apakah yang datang pada waktu malam itu?
(Yaitu) bintang yang mempunyai sinar tembus”.(Q.S. 86: 1-3).

Alasannya yalah bahwa Nabi Suci muncul ketika kegelapan total menyebar ke seluruh bumi, sebagaimana Yesus berkata:  “Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat    yang tidak kamu duga” (Matius 24:44).



Dan lagi dikatakan dalam al-Quran: 



“Allah Yang Maha-pemurah! Demi Kitab yang terang! Sesungguhnya Kami menurunkan itu pada malam yang diberkahi” (Q.S. 44:1-3).



Dan lagi:

“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai Saksi, dan pengemban kabar baik, dan sebagai juru ingat. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai matahari yang menerangi (lampu yang dijanjikan oleh para Nabi)”  (Q.S. 33:45-46).

RAHMAT KEPADA SELURUH BANGSA BANGSA SUATU NUBUATAN YANG TERKENAL DARI BUDDHA

Buddha telah meramalkan kedatangan seorang “Maitreya” dan nubuatan itu begitu tenar sehingga beberapa misionaris Kristen, pandit Hindu dan propagandis Teosofi telah berusaha menerapkannya kepada pembaharunya masing-masing. Ini mendorong kepada keotentikan dari nubuatan tersebut.

Meskipun kaum Kristen tidak percaya kepada kenabian Buddha, mereka juga berusaha untuk menisbahkan ramalan ini kepada Kristus. Pundit Hindu mengira bahwa ini adalah ramalan untuk Shankara Acharya, dan kaum Teosofi mencoba sebisa  mungkin untuk menggunakannya bagi seorang Krisna Murti; tetapi mereka semua telah gagal dalam tanda-tandanya.

Nyaris semua kitab Buddhis berisi nubuatan ini.

Dalam Chakkavatti Sinhnad Suttanta (D III:76):

“Akan muncul di dunia seorang Buddha bernama Maitreya (seorang yang pemurah dan pengasih). Seorang yang suci, seorang yang utama, seorang yang tercerahkan, diberkahi dengan kebijaksanaan dalam tingkah-lakunya, beruntung, mengenal alam semesta; manusia pengendara yang tak tertandingi dari orang-orang yang dijinakkan hatinya, tuan dari para malaikat dan manusia, Buddha yang diberkahi bahkan seperti saya yang sekarang dibangkitkan di dunia, seorang Buddha yang dianugerahi dengan kualitas yang sama seperti ini. Apa yang disadarinya berkat ilmu supernatural­nya sendiri, akan disiarkannya ke alam semesta ini, dengan para malaikatnya, sahabatnya, dan kepala malaikat serta ras ahli filsafat dan Brahmin, pangeran dan awam, bahkan seperti saya sekarang, setelah mengenal semua pengetahuan ini, menerbitkan yang sama bagi sesama. Dia akan mengajarkan agamanya, terpuji asal-usulnya, terpuji pada puncaknya, terpuji pada tujuannya, dalam semangat maupun tulisan. Dia akan memproklamirkan kehidupan keagamaan, sempurna seluruhnya, dan murni sepenuhnya; bahkan seperti saya yang kini mengajarkan agamaku dan kehidupan serupa yang saya umumkan. Dia akan memimpin masyarakat pendeta berjumlah ribuan, bahkan saya kini hanya memimpin masyarakat pendeta sejumlah ratusan”.

“Ada cukup alasan untuk perbandingan antara Metteyya dengan ide barat tentang Almasih. Ide itu tentunya, tidak persis sama, tetapi ada beberapa hal yang sama. Zaman Metteyya digambarkan sebagai Abad Emas dimana raja, menteri dan rakyat akan bersaing satu sama lain dalam menjaga tatanan ketulusan dan kemenangan dari kebenaran” (11)

Nama pribadi dari Buddha yang akan datang, diberikan dalam sajak, dan di tempat lain, sebagai Ajita, Yang tak-terkalahkan! Inti-sari yang dirujuk adalah satu baris dalam dialog ke 26 dari Digha yang mencatat suatu nubuatan, yang diucapkan melalui mulut Buddha bahwa Metteyya akan mempunyai ribuan pengikut sedangkan Buddha sendiri hanya ratusan. (“Encyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I, hal 414).

Ada suatu alasan untuk percaya bahwa Maitreya (Buddha masa depan) misalnya, yang kedudukan ajarannya ditegakkan dengan lebih baik, haruslah aslinya mengambil dari pendahulunya. Dan ada tulisan yang patut dicatat serta otentik, semacam seperti Sanskrit-Tibetan Lexicon (Mahavyutpatti) dan catatan Tiongkok yang mendorong kita untuk percaya bahwa Maitreya ini bisa mempertahankan posisinya. Dalam satu hal, hendaknya diperhatikan akan peran “Bodhisattva yang Baik”, penolong dan Ilahiyah, yang sangat terhormat (paramarya) pemberi keamanan (abhayamdada) dan sebagainya. (Ibid. jilid 2 hal.258).

“Di antara nubuatan yang diucapkan oleh Buddha adalah satu yang berkenaan dengan masa depan agama yang dia tegakkan dan puncak kemerosotannya serta lenyapnya dari muka bumi. Deklarasi ini terdapat dalam Anagatvansha (Kisah dari Peristiwa mendatang) dan diberikan di Kapilavastu dalam tanggapannya terhadap satu pertanyaan oleh Sariputta. Sejarah dari Buddha Maitreya di masa depan (Pali Metteyya) digambarkan, lalu sesudah jeda yang panjang sepeninggalnya terjadilah lima pelenyapan pencapaian, ketika para muridnya akan bangkit bahkan lebih tinggi derajatnya dalam kesucian dari metode dimana pengetahuan tentang rumus dan jalan keselamatan akan hilang, dari pelajaran, ketika teks suci itu sendiri akan dilupakan, dari simbol, jubah kependetaan, mangkuk, dan sebagainya.
  ……..Kemudian mereka akan menangis, berkata: Sejak sekarang dan selanjutnya kita akan dalam
  kegelapan”. (“Encyclopaedia of Religion and Ethics” jilid 2,  halaman 885).


“Om manipadme”, (Yah, 10 mutiara dalam teratai, Amien) yang kini adalah doa yang paling suci dari kaum Buddhis Tibet. .. Dalam gambar Tibet modern Maitreya digambarkan di singgasana teratai, (“Encyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid 8 halaman 143).

“Maitreya, nama dari Bodhisatva yang adalah Buddha selanjutnya di masa depan. Teori tentang Buddha yang hadir berkali-kali mungkin tidak primitif, tetapi ini jelas, timbul sebelum kedekatan dengan kanun Pali, sebagaimana Metteyya disebut dua kali dalam Digha Nikaya, no.26, dan kepercayaan ini menjadi mapan di semua aliran”.(“Encyclopaedia Britannica” art. “Maitreya”).

“Maitreya nama dari Buddha masa depan, dalam satu dari karyanya termasuk dalam kanun Pali
Digha Nikaya …..patung-patung Maitreya terdapat dalam kuil-kuil Buddha, dari semua sekte, pada saat ini, dan kepercayaan terhadap kedatangannya di masa depan adalah merata di kalangan umat Buddhis”. (12)

“Maitreya, Buddha kemudian hari, beberapa menyebutnya Buddha Almasih”…

“Suatu kuil Lama di Peking berisi satu ukiran kayu dari orang suci setinggi 70 kaki. Di Urga Mongolia, sebuah ukiran emas setinggi 33 kaki, dalam rumah-rumah dan toko-toko , Patungnya mewakili rahmat” (“Crolier Encyclopaedia”, jilid 7).

“Maitreya akan datang untuk menegakkan kebenaran yang hilang dengan segenap kesuciannya”  (13)

KEMASYHURAN RAMALAN INI

Di antara Kepustakaan Buddhis belakangan.

Ada suatu kitab tentang agama Buddha yang berjilid-jilid dan otentik, “Milinda Prashna”. Ini berisi pertanyaan dari Raja Milinda. Raja ini dilahirkan 500 tahun setelah Buddha. Dia menyodorkan beberapa pertanyaan terhadap seorang Misionaris Buddhis Nagsena, dan setelah puas dirinya dengan jawabannya, dia mengumpulkan ini dalam sebuah kitab. Kitab ini diterbitkan oleh Buddhis Colombo pada tahun 1877, dengan biaya yang luar biasa besarnya. Ini diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh T.W.Rhys Davids. Setelah tiga tahun, pada tahun 1880 teks Pali ditransliterasikan ke huruf Latin oleh V.Treckner dari Edinburg, yang telah saya kaji di British Museum Oriental Library, London.

Kata-kata asli dalam bahasa Pali dari ramalan itu terdapat pada halaman 159 dimulai dari baris keenam.

“Bhante Nagsena, Bhasitam P. etam Bhagvata Tatha gattassa kho Ananda na evam hoti, aham Bhikku sangham paraharissam iti va ti, mamuddesko Bhikku sangho iti va ti, Puna ca Metteyyassa bhagvato sabbavagunanam paridi payamanena evam bhanitam, so anek asahassam Bhikkusangham pariharissiti seytha pi aham etarhi anekasatam Bhikkusangham pariharamiti. Bhasitam. Petam Maharaja Bhagvata Tathagatassa kho Ananda na evam hoti, aham Bhikkusangham pariharamu eti va, mamuddesiko Bhikkusangho ti vati, Metteyyassa pi bhagvato sabhava gunani paridi paymanena bhagvata Bhanitam. So anek asahassam Bhikkusangham pariharissiti seyatha pi aham etarahi anekasatam Bhikkusangham pariharamiti”.

Terjemahan bahasa Inggris dari naskah ini oleh T.W.Rhys davids dalam “Sacred Books of the East” berbunyi sebagai berikut:

“Yang terhormat Nagsena; telah dikatakan oleh dia yang diberkati. Sekarang Tathagata tidak memikirkan Ananda, yakni, dia yang harus memimpin persaudaraan, atau bahwa perintahnya itu bergantung kepadanya.Tetapi sebaliknya, ketika menggambarkan kemuliaan akhlak dan sifat dari Maitreya, dia yang diberkati, berkata sebagai berikut: “Dia akan menjadi pemimpin suatu persaudaraan yang berjumlah beberapa ribu sedangkan saya sekarang pemimpin dari persaudaraan yang terdiri dari beberapa ratus jumlahnya”. (Terjemahan ini ketika saya bandingkan dengan baris-baris dalam bahasa Pali saya dapati tidak lengkap. Dalam aslinya kata-kata ini diulang dua kali). “Raja Milinda berkata bahwa ada pertentangan dalam kata-kata Buddha. Suatu kali dia berkata bahwa tidak diperlukan lagi Tathagata atau Buddha, dan pada kali yang lain dia berkata bahwa Maitreya dengan sifat semacam dan semacam ini akan datang. Bhikku nagsena menjawab bahwa tidak ada kontradiksi. Dikatakan bahwa, saya tidak saja Buddha kepada siapa bergantung kepemimpinan dan tatanan. Setelah saya ada Buddha Maitreya lain dengan sifat mulia semacam dan semacam itu akan tiba. Saya sekarang adalah pimpinan dari rausan, sedangkan dia akan menjadi pimpinan ribuan”. (“Sacred Books of the East”, jilid 35 halaman 225). Tidak saja sepanjang zaman Raja Milinda, tetapi misionaris Buddha juga selalu mengumumkan dengan penuh penekanan bahwa Maitreya Buddhisatva akan datang.Bahkan pada dewasa ini, seorang pendeta Burma, Ledi Sayadow, mempropagandakan bahwa kedatangan Buddha Maitreya sudah sangat dekat.

Dalam hubungan ini dia mendeklarasikan bahwa Maitreya Yang Diberkati telah meninggalkan langit Tushita dan sekarang dia menjadi seorang anak muda pada tahun 1914 . (“Coming World Teacher” oleh Pavri, halaman 52).

Rujukan yang sama atas nubuatan ini dapat diketemukan dalam buku-buku suci Buddhisme dengan
bermacam-ragam bahasa misalnya Burma, Cina, dan Sinhala dengan sedikit perubahan  verbal.

‘Metteya’ apakah itu artinya?

Istilah “Maitreya” diketemukan di semua buku tentang Buddhisme dengan sedikit perbedaan pengucapan. Dalam Sinhali dia adalah Maitri, dalam Siami dialah Phrae, Bayampaspa dalam Tibetan Chamra atau Po dalam Mgon, dalam bahasa Pali dia adalah Metteya, dalam Sanskrit Maitreya, dalam Burma Aremideia, dalam bahasa Cina Mei-ta-li-ye atau Mili Pusa atau Tzushih. Nama kedua dalam bahasa Tibet adalah Mahitreja, di Jepang Miroku, di Mongolia kita dapati Maidari. (14)
Setelah kita saksikan di pelbagai negeri yang berbeda pengucapannya sedikit berlainan mengikuti logat masing-masing, artinya juga sedikit berubah sebagaimana kita perlihatkan  di bawah ini:

Maitreya dalam bahasa Sanskerta berarti mencintai dengan penuh kehangatan, dan penyayang, pemurah. (15)
“Ini juga nama dari Buddhisatva seorang yang diberkahi yang akan datang yang adalah Buddha ke lima dari dunia ini”. (16)
Ini berasal dari Maitai yang berarti persaudaraan, kemauan baik.
(“Buddhism”, oleh Monier Williams, halaman 128).
“Ini berarti kualitas dari persahabatan, pemurah, kasih yang hangat, persaudaraan antar bangsa, simpati, penuh perhatian kepada yang lain” (“Pali Dictionary”, oleh William Steade).
“Dia yang namanya adalah kebaikan” (“The Gospel of Buddha”, oleh Paul Carus, hal. 218).
“Kasih-sayang universal atau pemurah” (“Essence of Buddhism”, halaman 101, 105).

Nabi Muhammad layak bergelar Maitreya.

Menurut ramalan Buddha ini, nama Maitreya perlu dipertimbangkan. Rujukan di atas nampak menunjukkan bahwa kata maitreya berarti penuh kasih-sayang atau sahabat baik. Quran Suci telah menggambarkan Nabi Muhammad seperti itu, dan untuk memperkuat hal ini bisa ditemui dalam kehidupannya:

“Dan tiada Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi sekalian bangsa” (Q.S. 21:107).
“Jadi dengan rahmat Allah itulah engkau bertindak lemah-lembut terhadap mereka. Dan sekiranya engkau kasar (dan) kejam, niscaya mereka akan bubar dari sekeliling engkau” (Q.S. 3:158).
“Dan ( Muhammad adalah) rahmat bagi orang yang beriman di antara kamu” (Q.S. 9:61).
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Utusan dari kalangan kamu sendiri, pedih terasa olehnya kamu jatuh dalam kesengsaraan, sangat cemas terhadap kamu, kepada kaum mukmin ia belas kasih” (Q.S. 9:128).

Ini adalah gembaran yang sebenarnya dari hati yang sedih, tidak saja terhadap para pengikutnya sendiri, tidak kepada kabilah atau negerinya, melainkan kepada seluruh kemanusiaan. Dia sedih demi beban yang mesti dipikul oleh semuanya, dan dia solider demi kesejahteraan semuanya. Tetapi ada suatu hubungan khusus yang diberikan kepada para pengikutnya; kepada mereka ini, sebagai tambahan, dia penuh kasih sayang dan rahmat. Inilah sebabnya, mengapa Nabi Muhammad itu terbukti sebagai Maitreya yang dijanjikan, karena rahmat, kebaikan dan kasih-sayangnya yang melimpah.

Alasan lain dia sebagai Maitreya yang Dijanjikan.

Bagi orang biasa, apa yang dibaca, diulangi atau difikirkan itu adalah perkara yang mengawang dan kabur serta habislah sampai di sini. Bagi seorang siswa pemikir, apa yang diulang-ulang adalah suatu kekuatan besar, suatu daya tenaga yang bisa mengendalikan daya-daya yang lain.
Seorang penulis terkenal, yang berbicara tentang pemikiran universal, berkata:
Dia berfikir, dan jumlahnya berkembang menjadi bentuk; dia berkehendak, dan dunia menjadi terpecah; dia mencinta, maka lahirlah jiwa.

Seperti dalam fikiran Universal, begitu pula fikiran manusia yang luhur; perbedaan itu tidak satu macam, melainkan dalam tingkatan. Ada pepatah Latin “Lex orandi, lex credendi”. Cara terbaik untuk menemukan dasar keimanan dari seseorang yalah menelaah kata-kata yang digunakannya ketika berdoa. Adalah dengan cara yang tepat sama bahwa fikiran nabi itu membidik kata-kata pujian yang sama seperti pancuran, ketika kata pujian Tuhan diulang-ulangi dalam komunikasi dengan Tuhannya. Seorang pencinta sejati akan selalu mengulang-ulangi nama kecintaannya.

Tidak ada kitab agama atau kitab suci lain dimana nama Tuhan Yang Maha-pemurah dan Maha-pengasih begitu seringnya disebut kecuali dalam Quran Suci. Kaum Kristiani meng-klaim bahwa Tuhan itu kasih. Tetapi dalam kualitas pengutamaan Tuhan, bahkan gambaran Tuhan semacam ini sulit disebutkan bahkan oleh Yesus sendiri.
Nabi Suci Muhammad telah menggambarkan manifestasi rahmat Ilahi ini adalah tujuan penciptaan
manusia:

“Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhan dikau; dan untuk itulah Ia menciptakan mereka”.  (Q.S. 11:119).

Nabi Suci telah menggambarkan rahmat sebagai batu landasan dari seluruh kepercayaan agama. Dia menyebutkan semua ikatan perkawinan dan hubungan darah sebagai sarana manifestasi rahmat Ilahi.(Q.S. 30:21). Wahyu Ilahi, adanya malaikat, kedatangannya utusan, semuanya adalah perwujudan rahmat-Nya. (Q.S. 55: 1-2, 40:7, 6:148, 7:156). Dia menekankan, bahwa argumen dan penalaran adalah rahmat Tuhan. (Q.S. 16:125).

Keadilan, persamaan dan kewargaan adalah berdasarkan rahmat Ilahi, dia mengaku.
Di dalam peperangan maupun perang salib, yang merupakan kejahatan terburuk dari setan, dia
menetapkan rambu-rambu, sehingga merubah peristiwa itu menjadi rahmat yang lengkap.
Asal-usul penciptaan, ikhtiar di bumi dan hidup sesudah mati, dia nisbahkan semuanya itu menjadi rahmat Ilahi. Bahkan pada saat-saat yang penuh duka-cita dalam hidup manusia dia tidak membiarkan manusia melupakan kemurahan dan kasih-sayang Tuhan.

Dia mengajarkan agar manusia tidak mengeluh kepada Tuhan bahkan karena kematian dari seorang yang dekat dan tersayang , tetapi harus membacakan doa untuk rahmat dan kasih-sayang-Nya.

Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad adalah perwujudan dari maitreya, utusan yang baik hati, pengasih-penyayang, dan karenanya menggenapi nubuatan dari Buddha.

“Berdakwahlah ke jalan Tuhan dikau dengan bijaksana dan nasehat yang baik, dan berbantahlah  dengan mereka dengan cara yang amat baik”. (Q.S. 16:125).

“Dan jika kamu memberi hukuman, maka berilah mereka hukuman yang sepadan dengan hukuman  yang ditimpakan kepada kamu. Tetapi jika kamu bersabar, niscaya ini lebih baik bagi orang yang  bersabar” (Q.S. 16:126).

“Dan bersabarlah, dan kesabaran dikau tiada lain hanyalah karena (pertolongan) Allah; dan janganlah  engkau berduka cita akan mereka, dan jangan pula engkau merasa kuatir akan apa yang mereka  rencanakan” (Q.S. 16:127). “Sesungguhnya Allah itu menyertai orang yang bertaqwa dan mereka yang berbuat baik” (QS.16:128) “Ia menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Ia kehendaki. Dan barangsiapa diberi hikmah, dia itu sebenarnya diberi banyak kebaikan. Dan tak seorang pun akan ingat, kecuali orang yang   mempunyai akal” (Q.S. 2:269).

Kitab Maitreya (Muhammad) akan merupakan Kebenaran yang sempurna.

Buddha  dengan jelas meramalkan:

“Kecintaan kepada Kebenaran dalam tingkat tinggi akan diumumkannya, baik dalam semangat   maupun dalam tulisannya”. (“Sacred Books of the East”, jilid 4, halaman 74).  “Wahyunya akan lebih elok. Mereka yang mendengarkannya tidak akan mengenal bosan dalam menyimaknya, mereka ingin mendengar lebih lagi darinya”. (T.W.Rhys Davids, “Buddhism” halaman  183).

“Maitreya akan menerbitkan Pengetahuan Langitnya sendiri atas alam semesta ini….

Sepenuhnya sempurna dan seluruhnya murni” (Chakkavatti Sinhnad Suttanta D.III :76).

Quran Suci disebut ‘kebenaran yang sempurna’ karena:

Dia diturunkan oleh Tuhan, Tuhan yang Sejati. Ini diwahyukan pada saat yang paling dibutuhkan (diturunkan pada saat yang benar). Kepalsuan tidak dapat menemukan jalan ke dalamnya, atau bisa berbuat demikian. Kitab ini kebal terhadap penggantian dan perubahan; (Q.S. 41:42).
Semua nabi telah meramalkan kedatangan dari seorang nabi ke seluruh bangsa-bangsa yang akan
membuktikan kebenaran dari semua nabi serta kitab suci keagamaan (Q.S. 3:80).
Di masa depan tidak ada nubuatan semacam itu yang tetap belum tergenapi (Q.S. 41:42).
Kitab ini datang dari Kebenaran Yang-sempurna dan membimbing ke tujuan yang sama.

PERAGAAN KEBENARAN

Bangsa-bangsa sebelumnya hanya percaya kepada kitabnya masing-masing. Meskipun Yahudi dan Kristen mengikuti kitab yang sama, namun mereka menolak kebenaran yang utuh dan ketulusan:

“Dan kaum Yahudi berkata, kaum Nasrani tak menganut sesuatu (yang baik); dan kaum Nasrani  berkata: kaum Yahudi tak menganut sesuatu (yang baik); padahal mereka membaca Kitab (yang  sama)” (Q.S. 2:113).

Mereka tidak percaya akan adanya kehormatan dalam seseorang yang diluar batas negeri atau kaumnya.

Quran Suci telah diturunkan dan ini membawa besertanya  kabar baik:      

“Dan tiada satu umat, melainkan telah berlalu di kalangan mereka seorang juru-ingat” (Q.S. 35:24).      

“Dan sesungguhnya telah Kami bangkitkan bagi tiap-tiap umat seorang Utusan, sabdanya:

Mengabdilah kepada Allah dan jauhkanlah diri kamu dari setan” (Q.S. 16:36).

Kebenaran ini telah ditolak sebelum kedatangan Islam. Tetapi apakah dunia masa kini juga masih mengingkari dan menolak kebenaran universal ini? Tidak, kaum Brahma Samaj dan Teosofis, di antara umat Hindu, Unionis dan Rasionalis, di kalangan Kristen, mengumumkan tidak tertandinginya dan memuji kebenaran Quran Suci.

Para penentang Islam yang besar-besar meleleh di hadapan kebenaran-Nya. Sesungguhnya, transformasi yang diusung oleh Quran Suci sungguh tak ada tandingannya dalam sejarah dunia.

ISLAM YANG BENAR DAN KRISTEN SEJATI

Islam dan Kristen sebagaimana diajarkan oleh Kristus sendiri adalah agama bersaudara, hanya dipisahkan oleh para biarawan sepeninggal Yesus. Disini adalah keselarasan yang diberikan oleh J.F.Rutherford Pendiri dari Watch Tower Society ( Bala Keselamatan):

“Pada masa awal Kristiani Setan melakukan kerjanya demi maksud untuk membingungkan manusia berkenaan dengan pertanyaan yang penting ini. Para biarawan sepanjang waktu berperan sebagai wakil Tuhan di bumi. Setan mencengkeram fikiran dari para biarawan ini dan menyuntikkan dalam kepalanya doktrin, doktrin mana oleh para biarawan telah diajarkan kepada orang-orang mengenai Yesus dan pengurbanannya. Doktrin ini telah membuat kebingungan besar. Para rasul telah mengajarkan kebenaran, tetapi tidak lama setelah kematian mereka maka setan menemukan beberapa biarawan yang dengan khayalannya sendiri merasa bisa mengajarkan yang lebih hebat daripada para rasul yang terilham.

Doktrin trinitas pertama-tama diperkenalkan dalam gereja Kristen oleh seorang biarawan dari Antioch bernama Theopilus. Doktrin semacam itu yang diajarkan oleh sang biarawan, dan yang sejak itu diikuti oleh orang-orang lain, secara singkat adalah, bahwa ada tiga tuhan dalam satu, fikirnya, Tuhan bapa, tuhan anak, dan Tuhan ruhul kudus, ketiga-tiganya dalam kekuatan, substansi dan keabadian Kredo dari Church of England ditulis dengan kata-kata:

“Ada Satu Tuhan yang hidup dan benar….dan dalam kesatuan Ketuhanan ini ada tiga pribadi dalam   substansi, kekuasaan, dan keabadian, Bapa, Firman, dan Ruhul Kudus”.

Suatu Konsili dari para imam telah dilangsungkan di Nice, pada tahun 325 M., konsili mana membenarkan doktrin trinitas, dan belakangan konsili yang sama di Konstantinopel, mengkonfirmasi keilahian dari Ruhul Kudus dan keesaan Tuhan, mendeklarasikan doktrin trinitas sebagai kesatuan dalam doktrin gereja. Para biarawan sejak itu selalu berpegang kepada doktrin yang melecehkan Tuhan dan tidak masuk akal ini. Demi membantu para agennya agar doktrin ini tetap lekat di kepalanya maka setan harus mengadakan satu obyek yang kelihatan untuk melambangkannya. Segitiga mistis diciptakan sebagai simbol, yang bisa di dapati di makam mereka yang dikubur pada masa itu. Juga ada usaha untuk membuktikannya dengan membuat tiga kepala atau wajah di satu leher, matanya menjadi satu bagian dari masing-masing wajah.Juga suatu kombinasi dari segitiga dan lingkaran, dan kadang-kadang tumbuhan berdaun tiga juga digunakan demi maksud yang sama. Bila anda bertanya kepada seorang biarawan apa yang dimaksud dengan trinitas maka dia akan berkata: “Ini suatu misteri”. Dia tidak tahu, dan tak seorangpun tahu, karena ini palsu. Tidak pernah ada doktrin di zaman kemajuan yang lebih menipu dibandingkan dengan trinitas ini. Ini hanaya bisa berasal dari satu pemikiran, dan itu adalah fikiran Setan atau Iblis. Maksudnya adalah dan ini menghasilkan kekacauan dalam fikiran manusia serta menghancurkan filsafat sejati dari jaminan pengurbanan yang besar. Jika Yesus di bumi ini adalah Tuhan, dia melebihi lelaki yang sempurna dan karenanya tidak bisa menjadi harga yang tepat berkaitan dengan pembebasan manusia dari dosa. Karena itu adalah logis mengikuti pandangan bahwa mengalirnya darah Yesus tidak bisa membentuk dasar rekonsiliasi manusia dengan Tuhan. Jika Yesus itu satu bagian dari trinitas, maka adalah mustahil bagi trinitas atau bagian darinya untuk menyediakan harga pembebasan dari dosa bagi seorang laki-laki yang sempurna itu, karena ini tidak ada hubungannya yang tepat. Siapakah yang berminat untuk mebuat kekacauan semacam ini? Setan sang Iblis.

Untuk mengusung kebalauan ini dia menggunakan orang-orang yang berpamrih pribadi dan ambisius. Dia membujuk mereka untuk membuat dua yang lain yang sederajat dengan Tuhan dan menyembah makhluk lebih dari Sang Pencipta. Paulus meletakkan ini dengan kata-katanya:

“Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Alllah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya fikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh…..       “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya”. (Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, 1:21-22, 25).

Adalah suatu fakta yang bisa dicatat bahwa dalam sistim gereja maka nama Yesus telah dibuat lebih utama dibandingkan dengan Jehovah Tuhan. Para imam telah membujuk orang-orang agar menyembah Maria sebagai ibunya Yesus dan beribadah kepadanya, jadi memberi kehormatan kepada perempuan sederajat dengan Tuhan. Nama Maria dan Yesus lebih sering disebut-sebut dalam sistem gerejawi dibandingkan dengan Jehovah Tuhan. Penyembahan berhala serta obyek-obyek yang kasat mata juga telah diresapkan oleh para imam. Seluruh skema dan tujuan dari dalang di balik ini adalah untuk meminimalisir nama Jehovah dan membawa-Nya ke dalam hujatan, dan ejekan, serta pencemaran nama.

Adalah mustahil untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dari rencana Tuhan untuk rekonsiliasi manusia dengan Tuhannya hingga hubungan antara Yesus dengan Tuhan itu dimengerti. Karenanya adalah mutlak penting bahawa doktrin palsu bernama trinitas ini harus disingkirkan dan digusur dari fikiran manusia hingga cahaya kebenaran bisa menyinari jiwanya.

Tiada lain hanya ada Tuhan Yang-esa, Pencipta langit dan bumi serta Pemberi nafas kepada segenap ciptaan”.

 (J.F. Rutherford, “Reconciliation”, halaman 100-103).

SELURUH AL-QURAN DI SIMPAN DALAM INGATAN

Wahyu dan penglihatan ‘dalam’ Buddha kita puji dama nubuatannya mengenai Quran Suci. Berabad-abad sebelumnya, dia telah menggambarkan Kitab  Suci itu sebagai kumpulan dari kebajikan yang menonjol. Quran Suci ditulis dalam fikiran umat sebagai kebajikan yang tak tertandingi, karena tidak ada Alkitab maupun Kitab keagamaan atau naskah suci yang lain yang tetap di simpan dalam ingatan umat. Tak diragukan lagi ada bebarapa tulisan yang disenangi orang dan dihargai lebih dari hidup mereka sendiri, dan mereka menyimpan isinya dalam ingatan. Tetapi kesinambungan dimana Quran Suci selalu diingat dalam ingatan tak ada contohnya dimanapun. Tak ada naskah suci, tulisan atau kitab dimana begitu banyak orang mengabdikan dirinya untuk menghafalkannya, selain Quran Suci. Kitab suci agama melewati perubahan tak terduga dan abad-abad yang gelap menimpanya, sehingga isinya sendiri dan kehadirannya dicurigai. Dalam kegalauan seperti inilah maka Weda berkembang dari satu menjadi empat kitab,  dan kemudian dari empat menjadi sebanyak 1131, ada suatu ayat dalam Maha Bhashya yang menerangkan bahwa ada seratus dan satu bait Yajur Weda, seribu Sama Weda, duapuluh satu macam Rig Weda dan sembilan Atharwa Weda. Pada hari-hari ini kita bisa melihat selusin Weda yang diterbitkan, sesungguhnya, yang bisa menerangkan perubahannya.

Versi Masorah dan Septuagint dari Perjanjian Lama, edisi resmi yang berbeda dari Saduki dan Farisi, kepustakaan apokripal yang dipercaya sebagai bagian dari naskah suci yang terilham, dipakai oleh satu sekte dan ditolak oleh sekte yang lain, versi yang berbeda-beda dari Alkitab apokripal, membuktikan kredibilitas fakta bahwa tidak ada kitab suci keagamaan yang tidak tersentuh atau terjaga dengan rapi atau tersimpan dalam ingatan dalam masa kehidupan nabi kepada siapa itu diwahyukan.

Sampai sedemikian besar dan luas kebenaran yang telah diajarkan oleh Weda, Zend Avesta, dan Alkitab suci begitu pula dari Buddha sendiri, tidak dijaga oleh misionarisnya, sebagaimana telah kita buktikan di bawah judul “Kitab-kitab suci Buddhis”.

Mengenai Quran Suci Sir William Muir berdiri saksi sebagai berikut:

“Tetapi ada alasan yang baik untuk percaya bahwa banyak copy yang terpisah-pisah, merangkum  di antaranya seluruh al-Quran atau nyaris seluruhnya, yang sudah ada sejak masa-hidupnya Nabi  yang ditulis oleh para pengikutnya” (“Life of Mahomet”, Introduction, halaman 18).

Ada hadist sahih yang menyatakan bahwa Abu Bakar telah membangun satu masjid kecil di rumahnya. Dan dalam masjid inilah dia biasa membaca Quran Suci.

“Dia sangat suka menghafalkannya. Tidak hanya laki-laki, tetapi kaum perempuan juga berlomba   dalam hal ini. Di antara mereka adalah Aisyah, Hafsah, Ummi Salmah dan Ummi Warqah, yang   telah hafal seluruh al-Quran dalam hatinya” (Ibn-I-Jarir Tabri).

AL-QURAN DIWAHYUKAN DAN DITULIS BERSAMAAN

Gautama Buddha telah meramalkan mengenai Maitreya yang dijanjikan dimana risalahnya akan diterbitkan. Di antara semua Kitab suci dari langit dan Alkitab, adalah Quran Suci sendiri yang dijadikan tulisan sejak kitab ini turun kepada Nabi. Selanjutnya ini di simpan dalam ingatan, dimana Nabi melakukannya  dengan dibacakan kepada mereka yang di sekitarnya.

Karena alasan ini sejarah wahyu Quran Suci  jauh lebih lengkap daripada kasus Kitab suci yang lain. Dalam hadist sahih kita, saat turunnya ayat, tempat dimana itu diwahyukan, dan latar-belakang dari setiap ayat semua tercatat dengan rinci. Setiap copy antik dari Quran Suci memiliki sejarah di belakangnya, yang tidak hancur sampai sekarang, dan rantai ingatan itu menuju langsung kepada Nabi Suci.

Karena banyaknya manusia yang menyimpan wahyu dalam ingatan inilah maka kritikus yang sangat benci seperti Sir William Muir terpaksa mengakui ketepatan dan kesempurnaan dari Quran Suci dalam kata-kata berikut ini:

“Barangkali di dunia ini tidak ada karya lain yang bisa bertahan selama dua belas abad dengan teks yang demikian murni” Dia selanjutnya mengutip catatan dari von Hammer : “Kami memegang al-Quran ini dengan keyakinan penuh sebagai kata-kata Muhammad, sebagaimana kaum Muslim memegangnya sebagai firman Tuhan”.

Sebagai fakta nyata kaum Orientalis terdorong untuk percaya sedemikian karena fakta yang tak terbantah. Al-Quran tesimpan dengan aman dan terjaga mulai sejak periode yang paling awal. Sudah dijelaskan bahwa wahyu itu perlu disimpan dalam penjagaan. Copy-nya di kirim ke pelbagai negara dan bermacam bangsa. Negara yang diberi amanat, menyebarkannya ke Timur maupun Barat dalam jangka waktu yang sangat singkat, dan karena itu copy dari Quran Suci juga segera tersebar ke seluruh dunia.

Dan adalah suatu fakta yang diakui bahwa terdapat banyak golongan di antara Muslim masa kini dan semuanya mereka beriman dan mengikuti al-Quran yang sama. Tak ada satu titik koma ataupun satu huruf dari Kitab itu telah dirubah. Dan ini adalah sesungguhnya apa yang diramalkan oleh Buddha serta juga para nabi yang lain. Para nabi terdahulu telah meramalkan bahwa wahyu dari nabi yang dijanjikan itu akan dijamin terjaga dan aman. Dan adalah atribut al-Quran ini yang membuktikan kebenaran Nabi Suci sebagai yang terakhir dari galaksi.

Dalam al-Quran Tuhan menyatakan diri-Nya sebagai Penjaga dari Kitab ini (Q.S. 15:9) dan menyatakan ini sebagai wahyu kenabian yang terakhir, dan dengan kemuliaannya Islam akan berdiri sebagai agama yang terakhir.

Basant Kummar Bose menulis dalam “Muhammadanism”, Calcutta, 1931, halaman 4:     “Maka tak ada kesempatan bagi setiap orang yang mau merubah atau penipu yang berpura-pura saleh dalam al-Quran, yang membedakannya dari nyaris semua karya agama lain dari zaman kuno….       Adalah sungguh aneh bahwa pribadi yang buta-huruf ini bisa menyusun kitab yang terbaik dalam       bahasa”.

Charles Francis Potter menulis dalam “The Faiths Men Live”:      “Kitab ini lebih banyak dibaca orang dibanding kitab lain di dunia. Alkitab Kristen mungkin suatu buku yang paling laku. Tetapi hampir 250 juta pengikut Nabi Muhammad membaca dan mengaji ruku’ yang panjang dari al-Quran lima kali sehari, setiap hari seumur hidupnya, sejak mereka bisa berbicara”.

John William Draper menulis dalam “A History of the Intellectual Development in Europe” jilid I  halaman 343-344:       “Al-Quran berlimpah dalam anjuran moral yang mulia serta etika, komposisinya begitu beragam sehingga kita tidak bisa melewatkan satu halamanpun tanpa menemukan sebanyak mungkin yang bisa dipetik. Konstruksi yang beragam ini menghasilkan teks dan motto, serta aturan yang lengkap dalam dirinya, cocok untuk orang biasa dalam menghadapi setiap peristiwa kehidupan”.

Harry Gaylord Dorman menulis dalam “Towards Understanding Islam”: “(Quran) ini, adalah suatu wahyu tertulis dari Tuhan, yang diimlakkan kepada Muhammad oleh Jibril,  sempurna di setiap hurufnya. Ini adalah mukjizat yang senantiasa hadir, berdiri saksi bagi dirinya dan  Muhammad, nabi dari Tuhan. Kualitas mukjizatnya terdapat sebagian dalam style, begitu sempurna  dan luhur, sehingga baik manusia dan jin tak mungkin bisa menghasilkan satu surat saja meskipun  itu surat yang terpendek, dan sebagian isinya ajaran, nubuatan tentang masa depan, dan begitu  menakjubkan ketepatan informasinya dimana seorang buta-huruf seperti Muhammad mustahil bisa mengumpulkannya dengan kehendak sendiri”.

Paul Casanova mengemukakan dalam L.Enseignement de Arabian College de Ferance in Legon Doverture tanggal 26 April 1909: “Bilamana Muhammad ditanya tentang mukjizat, sebagai bukti otentisitas dakwahnya, dia mengutip   komposisi al-Quran  dan kemuliaannya yang tak tertandingi; sebagai bukti bahwa ini berasal dari   Tuhan. Dan sesungguhnya, bahkan bagi mereka yang non-Muslim, tidak ada yang lebih   menakjubkan daripada bahasanya, dimana dengan ruang lingkup yang melimpah dan irama yang   memukau dengan lagu yang sederhana, telah merampas pujian dari orang-orang primitif itu yang   sangat menyukai keelokan. Melimpahnya silabus dengan irama yang agung dan suatu ritme yang   mengesankan, telah menimbulkan banyak detik-detik yang bisa merubah pandangan orang yang   paling benci dan paling  skeptis”.

James A. Michener menyatakan dalam ‘Islam the Misunderstood Religion”, Reader’s Digest, May 1955:  “Al-Quran kemungkinan adalah kitab yang paling sering dibaca orang di dunia ini. Sesungguhnya   yang paling sering dihafal, dan mungkin yang paling berpengaruh dalam kehidupan sehari- hari dari   umat yang beriman kepadanya. Tidak sepanjang seperti Perjanjian Baru, ditulis dalam style yang   luhur, ini bukan sajak dan bukan pula prosa, namun dia memiliki kemampuan untuk membangkitkan   para pendengarnya dalam kegairahan iman. Al-Quran diturunkan kepada Muhammad antara tahun   610 dan 632 di kota Mekkah dan Madinah. Para penulis yang salih menuliskannya dalam “helaian   kertas, kulit kayu dan daun atau kulit binatang”.

Sebagai penutup kata-kata yang transparan dari Buddha:  “Wahyu-Nya akan lebih elok. Mereka yang mendengarkannya tak akan bosan-bosannya dalam    mendengarkan, mereka bahkan menyukai untuk mendengarnya lagi lebih lanjut” (T.W. Rhys Davids, halaman 183).



Dan inilah penutup oleh Laura Vaccia Vaglieri:

“Secara keseluruhan kita dapati di dalamnya suatu kumpulan kebijaksanaan yang bisa digunakan oleh orang-orang yang paling cerdas, filosof yang paling besar dan politisi yang paling ahli,….Tetapi di sini ada bukti Ketuhanan dalam al-Quran, adalah suatu fakta bahwa dia telah dijaga tanpa tersentuh melintasi abad-abad sejak turunyya Wahyu hingga hari ini….Dibaca dan dibaca lagi oleh dunia Muslim, Kitab ini tidak menimbulkan dalam diri orang-orang beriman kelelahan sedikitpun, bahkan,  dengan mengulang-ulanginya maka semakin dicintai dari hari ke hari. Ini menimbulkan perasaan  mendalam, rasa takut dan hormat kepada seseorang yang membaca atau mendengarkannya….

Karena  itu, tanpa sarana kekerasan atau senjata maupun melalui tekanan misionaris yang membujuk, yang  menyebabkan terpancarnya islam secara besar-besaran dan cepat; tetapi di atas semuanya melalui  fakta bahwa Kitab ini, yang disajikan oleh kaum Muslimin untuk menaklukkan dengan kebebasan  untuk  menerima ataukah menolaknya, ini adalah Kitab Tuhan, kata Kebenaran, mukjizat terbesar  yang ditunjukkan Muhammad kepada mereka yang dalam keraguan dan mereka yang tetap  berkepala-batu” (”Apologize de L Islamisme”, halaman 57-59).

IDENTIFIKASI MAITREYA OLEH BUDDHA.

Mengenai identifikasi dari Maitreya yang Dijanjikan, Buddha telah memberikan wacana terinci dengan tulisannya sendiri. Dia berkata bahwa Dia Yang Dijanjikan itu kelak adalah:

Kasih sayang kepada segenap ciptaan.
Utusan perdamaian, seorang pembuat perdamaian.
Seorang yang tidurnya tak terganggu.
Seorang pemikir mendalam, seorang laki-laki yang bijaksana.
Seorang yang tidak akan dirasuki mimpi buruk.
Akan dibawah penjagaan langsung oleh para malaikat.
Pencinta yang sangat dari umat manusia.
Racun tidak dapat mencederainya.
Di bawah lindungan Allah dalam peperangan.
Selamat dari kerugian akibat api dan air.
Yang paling sukses di dunia dan setelah wafatnya dekat dengan Tuhannya.

Maitreya sebagai pengajar moral:

Amanah
Dihormati.
Lemah-lembut dalam bicara.
Berwibawa, terhormat.
Tidak sombong.
Tidak pernah menipu seseorang.
Tidak pernah meremehkan orang lain.
Menahan marahnya.
Tidak merasa senang atas kerugian orang lain.
Kasih-sayang kepada sesama makhluk seperti seorang ibu.
Gabungan dari perencanaan yang baik.
Suatu contoh bagi yang lain dalam perbuatan maupun kata-kata.
(Dhamma pad, Matteya Sutta, 151)

Sekarang marilah kita lihat sejauh mana Nabi Suci Muhammad cocok dengan kriteria yang ditetapkan oleh Buddha ini:

1.  Kasih-sayang kepada segenap ciptaan: Karena kebaikan budi Nabi Muhammad inilah, maka dia ditetapkan Tuhan “sebagai rahmat bagi sekalian bangsa” (Q.S. 21:107).

Kasih sayang dan penuh perhatian terhadap sesama makhluk ini mempunyai arti berbeda dari titik pandang bermacam ragam agama. Umumnya, dipercaya oleh umat Hindu dan Buddha bahwa menyembelih binatang itu bertentangan dengan kasih-sayang, atau perhatian terhadap makhluk. Sebagai kenyataan, maka umat Muslim, Kristen, Yahudi dan bahkan macam-macam sekte Hindu dan Buddha berbeda pendapat mengenai konsep vegetarian. Dalam hal ini kata-kata Buddha sendiri kiranya boleh dikutip:

“Di manakah kasih-sayang orang itu, yang percaya, bahwa dengan menyembelih binatang bisa menghapuskan dosanya? Dapatkah satu dosa baru menghilangkan dosa lama? Bisakah darah makhluk tak berdosa membersihkan manusia dari dosa-dosanya?” Kata-kata Buddha ini hanya ingin menunjukkan bahwa menganggap kurban binatang itu sebagai penghapus dosa adalah blunder besar. Pada zamannya, para Brahmana menurut Weda suka membakar hidup-hidup ratusan hewan sebagai kurban untuk para dewata. Mereka percaya bahwa tindakan ini bisa membebaskannya dari dosa dan perbuatan jahat mereka. Mereka senang menikmati adu binatang. Sering-kali mereka menggelar acara itu secara besar-besaran hanya untuk merusak panenan dan buah-buahan rakyat miskin. Buddha menyaksikan semua kekejaman terhadap binatang ini dan mengeraskan suaranya terhadap pemborosan yang tak masuk akal ini.

Apa yang kita yakini sebagai rahmat dan penuh perhatian terhadap binatang adalah dengan tidak mencederai dan menganiaya mereka. Dan penggunaan terbaik untuk mereka harus dimanfaatkan sesuai dengan maksud penciptaannya, dan dengan berbuat demikian kita tidak boleh melampaui batas. Binatang yang sakit, kurang sehat, lemah dan kurus-kering, tidak boleh digunakan untuk bekerja. Perawatan harus diberikan dengan memberi makanan yang pantas. Inilah bagaiamana kita memperlakukan binatang dan menggunakan mereka apa yang kiranya cocok. Mengumbar mereka kemana-mana atau menyembahnya atau menjadikan jumlah mereka jauh melebihi batas sehingga membuat cemas manusia jelas juga melawan ajaran Islam dan akal sehat.

Islam bukanlah agama pertapa. Ini lebih dekat kepada ilmu. Menurut Islam, binatang itu diciptakan demi kemaslahatan kta, sebagaimana Quran Suci secara eksplisit berfirman:

“Dan sesungguhnya dalam hal ternak, terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberi kamu minum dari  apa yang ada di dalam perutnya, dan mengenai (ternak) itu banyak sekali faedahnya bagi kamu, dan  sebagian kamu makan” (Q.S. 23:21).

Tidak diragukan lagi fakta bahwa kita mengumpulkan banyak sekali ilmu dari binatang. Mereka memberi banyak sekali keuntungan kepada kita dengan memberikan kulit, tulang, wol, jeroan, dan sebagainya. Banyak kebutuhan kita tergantung kepada barang-barang ini. Dan ada beberapa hewan, yang tidak ada gunya kecuali dagingnya. Dalam segala hal itu, penyembelihan sungguh diperlukan.

Bukanlah berlebihan untuk mengatakan bahwa perhatian dan kasih-sayang yang bersemayam di hati Nabi Muhammad untuk satwa ini tak ada duanya dalam sejarah. Bahkan Almasih dan Buddha tidak bisa menandinginya. Dalam kitab hadist kita dan kisah hidup Nabi Suci, banyak ditulis tentang hal ini. Suatu ringkasan atas hal ini mungkin menarik untuk disimak: Suatu kali Nabi pergi ke kebun, dan melihat seekor unta yang kelaparan. Belia memanggil tuannya dan bersabda: ‘Apakah engkau tidak takut kepada Tuhan, sehingga memperlakukan binatang yang malang seperti ini?’ Suatu kali Nabi dalam perjalanan. Seseorang membawa sebutir telur. Segera seekor gagak datang dan kelihatan menunjukkan kesedihannya karena itu. Maka rasulullah s.a.w. berkata: “Siapakah yang menyakiti burung yang malang itu dengan mengambil telurnya/” Orang itu menjawab: ‘Wahai Nabi, sayalah yang telah melakukannya”. Nabi kemudian memerintahkan agar telur itu diletakkan kembali ke sarangnya.

c. Nabi dengan keras melarang memotong daging dari binatang yang masih hidup, yang umum dilakukan orang.

d. Ia melarang menyakiti binatang dengan api. Dia melarang mendorong-dorong binatang untuk beradu satu sama lain. Seorang pelacur melihat seekor anjing sedemikian haus sehingga dia menjulurkan lidahnya ke bumi yang basah. Dia sangat menaruh kasihan kepada makhluk yang malang itu, dan memberinya air untuk memuaskan dahaganya yang sangat. Nabi, setelah mendengar anekdot tersebut, bersabda bahwa pintu surga dibukakan baginya. Seorang perempuan mengikat seekor kucing hingga kehausan dan kelaparan dan akhirnya mati. Mendengar hal ini Nabi mengatakan bahwa perempuan jahat itu akan membukakan jalannya sendiri ke neraka. Anas bin Malik, seorang sahabat Nabi, berkata: bahwa para sahabat Nabi suka melepas pelana dari unta mereka segera setelah mereka berhenti dalam perjalanan, kemudian mereka akan mendirikan salat sehingga binatang itu ditinggalkan bebas untuk mencari makanannya dan beristirahat.

Muhammad sebagai pembuat perdamaian. Nama ini sendiri adalah agamanya “Islam” yang berarti “damai”. Nabi telah disebut pertama sebagai pembuat perdamaian. “dan aku adalah permulaan orang pembuat perdamaian” (Q.S. 6:164). Sifat beliau ini tidak sekedar dibenarkan oleh makna kamus saja. Agama Islam itu, semua dan seluruhnya, sebagai risalah, adalah suatu peraturan dan petunjuk bagi perdamaian dan ketenteraman. Tidak ada satupun fatwa, yang tidak menyadari perdamaian. Seorang yang tidur tanpa terganggu. Al-Quran menyatakan Nabi yang bersabda: “Katakanlah: Sesungguhnya salatku dan pengurbananku dan hidupku dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan sarwa sekalian alam” (Q.S. 6:163). Betapa tenteram, nyaman dan damainya yang bersemayam di hati Nabi karena hidup dan matinya adalah demi Allah semata-mata! Hadist meriwayatkan, bahwa Nabi biasa salat sebelum berangkat tidur. Dia biasa memuji Tuhan, dan bersyukur kepada-Nya pada jam-jam itu. Beliau tak pernah tidur tanpa sebelumnya membaca al-Quran. Dan ketika menjelang lelap, beliau biasa berdoa: “Wahai Tuhan, saya mati dan hidup demi asma-Mu”. Dan ketika terbangun dari lelapnya, beliau biasa berdoa: “Segala puji bagi Allah, Dia, yang telah memberiku kehidupan sesudah kematianku”. Ini menunjukkan betapa tak terganggu dan damainya tidur yang dinikmati oleh Nabi, dengan seluruh penyerahan dirinya kepada Tuhan. Mengenai para Nabi yang lain beliau mengatakan bahwa mata mereka terpejam tetapi hatinya jaga. Sedangkan mengenai dirinya, beliau katakan bahwa matanye terpejam, tetapi hatinya selalu sibuk dalam berkomunikasi dengan Allah (H.R.Muslim, bab “Salat-ul-lail”).

Kebijaksanaan dari nabi Suci. Kehidupan Nabi memberi suatu anekdot yang menunjukkan kebijaksanaannya yang tidak ada bandingannya.Saat itu adalah ketika kaum Quraish sedang bergotong royong untuk memperbaiki Ka’bah. Bermacam kabilah dan semuanya saling iri satu sama lain dan setiap suku ingin menaikkan Hajar Aswad ke dinding Ka’bah. Persaingan ini nyaris menimbulkan pertumpahan darah. Kemudian datanglah Nabi yang menggelar kainnya, meminta tiap kepala kabilah untuk memegang masing-masing ujungnya, mengangkatnya dan semuanya berperan serta dalam melaksanakan tugas yang suci dan terhormat itu.

Dalam rapat-rapat perang dan dalam menasihati delegasinya ketika mendiskusikan perkara yang Penting, dia bekerja secara ajaib dalam memberikan pandangannya sebagai hakim yang paling adil dan Penasihat yang terbaik. Karena sifat Nabi yang seperti inilah maka partikel pasir yang bertebaran di tanah Arab itu bisa di semen menjadi satu dinding yang kokoh dan solid. Kebal terhadap mimpi buruk.Di sini kita faham, mimpi buruk berarti impian yang timbul dari emosi yang berlebihan atau kekenyangan. Dalam Quran Suci, dikatakan tentang Nabi Muhammad:

“Sesungguhnya Allah telah memenuhi ru’ya Rasul-Nya dengan benar” (Q.S. 48:27).

Beliau melihat banyak ru’yah di masa mudanya dan itu benar terjadi seperti di siang hari. Mimpi buruk karena kekenyangan atau hasrat  dan emosi berlebihan tak mungkin terjadi pada para nabi. Menurut hadist dari Nabi kita:

“Ru’yah datang  dari Tuhan, sedangkan mimpi buruk datang dari Setan” (H.R. Bukhari). Dan dalam hadist lain dikatakan:  “Wahyu mulai turun kepadanya dengan ru’yah yang suci. Dia melihat  rukyah dan mereka terjadi dengan sebenarnya satu demi satu”. (H.R. Bukari. Malaikat akan menjaganya. Dikemukakan dalam segala kitab dan naskah suci, bahwa para nabi itu dijaga oleh malaikat. Dalam hal ini menarik untuk disebutkan, bahwa “Devdutta”, melihat kemuliaan yang menonjol dari Buddha, menyimpan dalam hatinya kecemburuan, dan karenanya kehilangan semua kekuatan pemikiran abstraksinya. Dia juga merencanakan skema jahat untuk  menghentikan tersiarnya hukum yang benar. Naik ke gunung dia gelindingkan sebuah batu untuk mencederai Buddha; batu itu terbelah menjadi dua, setiap belahan melewati sisinya, hanya satu kakinya yang terluka. Karena itu Buddha berkata kepada Devdutta:


“Wahai orang yang bodoh, betapa besarnya kerugian yang kamu timpakan pada dirimu sendiri,  dengan kejahatan serta niatmu untuk membunuh maka kamu telah menyebabkan darah Tatha­  gata mengalir”.

Bhikku (murid-murid Buddha) berkumpul untuk menjaganya, tetapi Buddha berkata kepada mereka:  “Ini, wahai Bhikku, adalah perkara yang mustahil, dan satu yang tak dapat terjadi pada   seseorang, yakni seseorang harus meninggalkan kehidupan Tathagata karena kekerasan”.  “Tathagata, wahai Bhikku, dikecualikan (dari kematian) karena sebab alami. Mereka ini, wahai Bhikku, adalah lima macam guru yang sekarang ini hidp di dunia. Dan ini, wahai Bhikku, adalah suatu perkara yang mustahil, bahawa seorang Tathagatha bisa disembelih oleh perbuatan seseorang selain dirinya sendiri. Para Tathagata, wahai Bhikku, dikecualikan (dari kematian) karena sebab (alami)”.

“Karena ini, wahai Bhikku, pergilah masing-masing ke biaranya, karena para Tathagata tidak membutuhkan perlindungan”.

Sekarang, kita tiba kepada Nabi Suci atau Maitreya Buddha.
Di Mekkah, satu-satunya  musuh Nabi hanyalah kaum Quraish. Di Madinah, kaum Yahudi adalah bangsa yang sangat berkuasa, dan sedikit saja bicara sudah menjadikan mereka musuh yang menakutkan. Begitu pula halnya dengan kaum Kristiani. Para kabilah lain di Arabia pada saat itu juga telah berhasil ditarik oleh Quraish agar memihak mereka.

Tak ada kebaikan ataupun kemurahan betapapun, yang diperlihatkan Nabi, bisa memuaskan kaum Yahudi, tak suatupun yang dapat merukunkan perasaan pahit yang mereka hidupkan, mereka segera saja menempatkan dirinya di jajaran musuh-musuh Islam.
Kaum Kristen juga lebih menyukai penyembah berhala dengan segala ikutannya yang jahat daripada ajaran Muhammad.
Dalam suasana yang mencekam ini diwahyukan dalam Quran Suci:

“Dan Allah akan melindungi engkau dari manusia” (Q.S. 5:67).

Bahwa beliau akan selalu di bawah perlindungan Ilahi di tengah bahaya yang tak terhitung yang mengancamnya  dari segala penjuru dan rencana jahat tak terhitung yang mengancam jiwanya.

Ketika ayat ini diwahyukan beliau memanggil penjaga rumahnya dan meminta dia pergi karena Tuhan telah menjanjikan perlindungan baginya. Ketika kita membaca Kitab-kitab Buddhis kita akan menemukan di sana dua atau tiga musuh dari Buddha dan ketika para Bhikku berkumpul untuk  menjaga dan melindunginya, maka dia berkata:

“Dan ini, wahai Bhikku, adalah perkara yang mustahil dan tak mungkin terjadi bahwa seorang  Tathagata itu bisa terbunuh……Karena itu, pergilah, wahai Bhikku, masing-masing ke  biaranya karena seorang Tathagata tidak perlu dilindungi”.

Begitu pula, meskipun para musuh Nabi Suci datang menyerbunya dalam jumlah ribuan adalah mustahil bagi mereka untuk memisahkan dia dari hidupnya dengan kekerasan. Apapun juga usaha yang dilakukan terhadapnya, dia akan diselamatkan oleh malaikat.

Pencinta umat manusia. Terutama, Nabi Suci berseru terhadap ketidak-adilan terhadap manusia dan mengajak manusia dengan kasih-sayang untuk berbuat adil kepada setiap jiwa manusia. Ketika teraniaya dan terancam oleh kekuatan yang luar-biasa besar, maka dia, sebagaimana Ibrahim, Krishna, Musa dan Daud selalu dilawan oleh kekuatan fisik, meskipun itu merupakan perang yang tak seimbang.

Tidak ada persamaannya dalam sejarah peperangan dimana seorang laki-laki bersama begitu sedikit sahabatnya melawan musuh yang berlipat dua, tiga, tidak, bahkan terkadang sepuluh kali lipat namun nyaris di setiap waktu dia selalu menang.

Dalam sepuluh tahun diai menaklukkan 1.000.000 mil persegi wilayah. Namun, dalam seluruh pertempuran ini hanya 150 musuh yang terbunuh dan 125 orang mukmin yang menyerahkan jiwanya baginya. Ini adalah contoh yang tiada tandingannya dalam sedikitnya darah yang tertumpah. Tidak pernah dalam sejarah peperangan bahwa seseorang dengan begitu sedikit pertumpahan darah bisa menguasai satu juta mil persegi dalam sepuluh tahun. Ini adalah mukjizat besar atas kecintaan kepada kemanusiaan yang dipunyai oleh Nabi Suci Maitreya. Akibat kemurahan yang berupa sangat sedikitnya hilangnya jiwa manusia ini yang telah membuat kabilah Arab yang gemar berperang  itu hilang kebenciannya.

Tak bisa dicederai oleh racun. Di luar racun yang sangat fatal bagi manusia, maka Setan mengatasi yang lain dalam effektifitasnya. Dia tidak hanya menyerang tubuh kita, melainkan juga merasuk dalam pribadi spiritual dan menjadi penyebab dari keterasingan dan keruntuhan yang paling dalam. Mengapa Nabi Suci tidak takut oleh tambahan racun dari Setan atau kejahatan bisa dijawab oleh dirinya. Nabi menyatakan bahwa setiap orang mempunyai setan dalam dirinya, tetapi setan itu telah masuk Islam dan tidak perlu ditakuti lagi. Karena itu Setan tak pernah mengganggunya untuk melakukan perbuatan jahat. Terhadap racun yang biasa, dikatakan bahwa banyak orang mencampuri makanannya dengan racun, namun itu tidak akan merugikan kesehatannya. Seringkali terjadi bahwa Nabi tahu bahwa makanannya dicampuri racun dan beliau seketika tidak mau memakannya. Suatu anekdot dari seorang perempuan Yahudi dengan kisah yang semacam itu tercatat dalam hadist. Selamat dalam pertempuran. Lihat nomor enam. Terlindung dari bahaya api dan air. Ada banyak kisah tentang  banyak nabi yang oleh musuhnya dimasukkan ke api atau atau dicoba ditenggelamkan dalam air tetapi api dan air itu tidak dapat mencederai mereka.

Sesungguhnya ini bukanlah suatu mukjizat yang mengagumkan. Banyak orang yang berjalan di api dan bahkan mereka bukan orang suci. Namun, tanda-bukti ini digenapi sebaik-baiknya dalam pribadi Nabi Suci dengan secara ini:

Dalam kehidupan beberapa nabi sendiri ketika bangsa-bangsa menulikan telinganya terhadap risalah Ilahi, badai api dan air datang menimpa mereka. Rahmat Nabi Suci tidak saja menyelamatkan dirinya dari setiap gangguan api atau air, tetapi juga seluruh bangsa dijaga keamanannya dari siksaan  semacam itu. Al-Quran merujuknya sebagai berikut:



“Dan tatkala mereka berkata: Ya Allah, jika ini sungguh-sungguh kebenaran dari Engkau, maka    hujanilah kami dengan batu dari langit, atau timpakanlah kepada kami siksaan yang pedih. Dan Allah tak akan menyiksa mereka selagi engkau berada ditengah-tengah mereka; dan Allah tak akan menyiksa mereka selagi mereka memohon ampun (Q.S. 8: 32-33).

Betapa agungnya keputusan Tuhan ini. Dalam perang Badar suatu hujan yeng lebat membuat  kerusakan besar terhadap musuh, sedangkan hujan yang sama terbukti menjadi rahmat yang besar  bagi Nabi dan para sahabatnya.

Keberhasilan sepenuhnya di dunia ini dan di akhirat. Tidak ada sukses yang lebih baik bagi seseorang yang terpenuhi di hadapan gigi para penentangnya. Ketika Nabi naik ke mimbar dengan missi sucinya maka tak ada teman ataupun seseorang yang bersimpati kepadanya. Jika kejayaan dari rancangannya, kekurangan dalam sarananya, dan demikian besar hasilnya adalah tiga ukuran yang memperlihatkan ke-genius-an seseorang, lalu siapa yang berani membandingkannya dalam kemanusiaan orang besar dalam sejarah modern yang bisa melebihi Muhammad? Tidak kurang dari suatu mukjizat bahwa seseorang yang tidak mempunyai teman ataupun simpatisan, yang pada saat wafatnya tak seorangpun musuhnya yang tersisa di jazirah itu. Dia menemukan bangsanya seluruhnya dalam penyembahan berhala. Beliau meleburnya menjadi kaum Muslimin, yang membenci tuhan palsu dan hanya berhasrat untuk Tuhan Yang-esa dan Ghaib. Dia merubah suatu kaum yang penuh kejahatan menjadi satu yang terpuji dan tulus. Seorang dapat memperkirakan kebesaran ruhani Nabi Suci di alam mendatang dengan keberhasilan yang dicapainya di dalam kehidupan ini.

Kata-kata Buddha bahwa: “Yang paling berhasil di dunia dan setelah wafatnya dekat kepada Tuhannya” (atau dia yang berangkat ke Brahma Loka).

Bandingkanlah kata-kata ini dengan ayat-ayat dari al-Quran:

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat memuaskan di hati Masuklah di antara hama-hamba-Ku, Dan masuklah ke Taman-Ku! (Q.S. 89:27-30).

Kata-kata terakhirnya adalah: “Subhana Rabbiyyal A’la”, “Maha-berkah Allah Yang Maha-tinggi”, Dan ruh dari Nabi besar itu terbang ke haribaan Sahabatnya Yang Maha-tinggi.

PENGAJAR AKHLAK DAN GABUNGAN MORAL YANG SUBLIM

“(Demi) tempat tinta, dan pena, dan apa yang mereka tulis!
Demi kenikmatan Tuhan dikau, engkau tidaklah gila.
Dan sesungguhnya engkau mendapat ganjaran yang tak ada putus-putusnya.
Dan sesungguhnya engkau mempunyai akhlak yang agung” (Q.S. 68:1-4).

Kebesaran Buddha adalah dalam cahaya yang bersinar dari akhlak yang diajarkannya kepada umat. Dia percaya bahwa penampakan mukjizat itu bukanlah suatu kriteria dari seorang pembaharu agama, seorang pengajar ataupun seorang nabi. Adalah moral dan akhlaknya yang membuktikan kebenaran atas ketulusannya. Bangsa-bangsa tidak dapat dibangun dengan penampakan mukjizat, melainkan dengan ajaran ruhani.

Kesucian akhlak Muhammad, sebagai pemilik dari moral yang sublim, tidak saja dipuji oleh Buddha, melainkan ini bisa ditaksir dari effektifitasnya terhadap umat yang hendak diperbaharui oleh nabi itu.

Bagi seorang pengajar, mungkin dia seorang pengajar yang elok tetapi mungkin hanya sedikit dari semua ajarannya yang bisa didaya-gunakan, atau bahwa semua fatwanya yang muluk-muluk itu tidak dapat dipraktekkan. Nabi dari Nazareth kelihatannya ajarannya sangat muluk, sehingga tidak ada pengaruhnya bagi para pengikutnya; tetapi Nabi Suci dengan keluhuran dari ajaran akhlaknya, telah berhasil dengan gemilang dalam meningkatkan umatnya kepada tujuan yang lebih tinggi dan sublim. Akhlak inilah yang merekatkan partikel pasir yang terpisah-pisah itu menjadi tembok yang kokoh. Kehidupan bangsa itu tergantung seberapa besar potensi individualnya. Kemampuan adalah bentuk luar dari kejujuran, yang berkaiatan dengan evolusi dari segenap kemampuan serta enersi yang diamanatkan kepadanya oleh Tuhan. Buddha menggambarkan yang dijanjikan sebagai gabungan dari duabelas kemuliaan akhlak, dan dalam kehormatan ini Nabi tidak terkalahkan maupun tertandingi.

Ketulusannya yang unik. Sesungguhnya manusia itu amanah. Dan umumnya, sampai dia dipaksa oleh kesesatan, panik atau ketakutan, dia akan selalu jujur.

Bagi semua nabi adalah yang menjadi tanda pertama dan terutama adalah di atas segala pamrih pribadi dan takut. Dan ini adalah perkara yang menggembirakan bahwa kebenaran dan ketulusan itu diterima oleh semua agama.

Buddha telah berkata: “Jangan berkata dusta, berkatalah yang benar, berbicara benar dengan bebas, Tanpa takut, dan penuh pengabdian”.

Jadi kebenaran dan ketulusan adalah akar kehidupan dari semua agama. Tetapi Muhammad, seorang tulus yang dijanjikan, menurut Buddha, adalah yang sangat jujur, karena dia adalah gabungan dari akhlak yang luhur.

Sebagai fakta nyata, dalam berbagai kitab suci seperti Weda, Zend Avesta, Taurat dan Perjanjian Baru juga, banyak ditekankan kepada berbicara benar, tetapi beberapa peristiwa yang dikecualikan telah diakui dalam berkata bohong, yang lebih disukai dibanding mengungkap kebenaran. Dan dusta semacam ini dilakukan pada saat:

Memuji Tuhan dengan berlebihan.
Mencari keuntungan pribadi demi kerugian agama yang lain.
Memuja para peramal, nabi dan orang-orang suci.
Karena pamrih pribadi dan karena ketakutan.

Para agamawan telah memberikan nama palsu terhadap dusta semacam itu. Sedangkan kehidupan Nabi Suci, pengutukannya yang heroik terhadap takhayul di negerinya, keberaniannya dalam menghadapi kemarahan para penyembah berhala, ketegarannya dalam menahan serangan mereka selama limabelas tahun di Mekkah, pengajarannya yang tiada henti, keterlibatannya dalam peperangan yang tak seimbang, ketabahannya dalam kemenangan, pengabdiannya yang utuh kepada prinsip hidup, semuanya menjadi saksi bahwa beliau dalam segala standar adalah seorang yang tulus.

Dan inilah kesaksian dari para musuhnya:

Cesar Roma menanyakan kepada Abu Sufyan di majelisnya.
“Apakah engkau telah temukan dia (Muhammad itu) telah berbohong sebelumnya?”
Abu Sufyan menjawab: “Tidak”.
Cesar berkata: “Jika ia berdusta tentang Tuhan, mengapa dia tidak berbuat demikian kepada kaumnya?”
Ketika Nabi Suci mendaki bukit dan menyeru kepada para pemimpin Quraish dan bertanya:
“Jika kukatakan kepadamu bahwa sepasukan besar datang dari balik bukit, akankah kalian percaya?”
Mereka serentak menjawab: “Ya, karena kami tidak pernah menemukan kamu berkata bohong sedikitpun juga”.

Seorang musuh besar Islam seperti Abu Jahal suatu hari berkata kepada nabi:

“Sesungguhnya mereka tak mendustakan engkau, tetapi orang-orang lalimlah yang mendustakan ayat-ayat Allah” (Q.S. 6:33).

Dalam perjanjian damai Hudaibyah nabi setuju bahwa seseorang dari Mekkah yang msuk Islam dan minta perlindungan kepada nabi, harus dikembalikan. Sebagai kenyataan, ini berarti mengirim orang Mekkah yang baru masuk Islam kembali ke neraka musuh setelah mereka minta perlindungan kepada kaum Muslimin. Tetapi nabi begitu tulus  dan jujur dalam memegang kata-katanya, sehingga dia mengikuti perjanjian itu dengan sangat ketat dan keras.

Sifat manusia itu terlihat bila dia sedang dalam keadaan lemah. Seorang yang mengatakan tentang akhlaknya dan tidak mengakui kelemahannya tidak bisa disebut jujur. Orang-orang telah memuja-muji para nabi dan peramal mereka sehingga meningkatkan derajat mereka persis dengan status yang sama sebagai Tuhan. Tetapi Nabi Muhammad secara eksplisit berkali-kali mengumumkan: “Katakanlah saya ini manusia biasa seperti kalian”.

Ada suatu peristiwa yang menyentuh bagaimana seorang buta telah menginterupsi pembicaraan Nabi Suci dengan beberapa kepala dari kabilah Quraish. Nabi Suci mengambil sikap kurang senang atas interupsi ini dimana beliau lalu menerima wahyu ini:

“Ia bermuka masam dan berpaling, Karena orang buta datang kepadanya. Dan apakah yang membuat engkau tahu, bahwa ia boleh jadi akan menyucikan dirinya? Atau ia mau ingat, sehingga Peringatan itu berguna bagi dia? Adapun orang yang menganggap dirinya tak memerlukan apa-apa, Kepadanya engkau menaruh perhatian. Dan tak ada cacat bagi engkau jika ia tak mau menyucikan dirinya. Adapun orang yang datang kepada engkau dengan usaha keras, Dan ia takut, Kepadanya engkau tak menaruh perhatian. (Q.S. 80: 1-10).

Kurang-perhatiannya nabi kepada yang memotong perkataan, sedangkan beliau belum selesai bicaranya, sesungguhnya adalah sangat alami.
Lagi, dia tidak meremehkan pemotong pembicaraan itu atas interupsinya; melainkan hanya kurang senang.
Pada setiap kesempatan, bila pilihan itu diserahkan kepada masing-masing orang, pastilah dia akan menjadi orang terakhir yang tidak setuju dengan tindakannya sendiri semacam itu.
Apa yang melebihi dalam kejujuran seseorang adalah bahwa beliau, tidak mau menyembunyikan suatu wahyu yang menunjukkan kurang perhatiannya terhadap orang buta itu, dan karena ini ditulis dalam al-Quran serta diulang-ulangi dan dibaca selama-lamanya. Buddha, ketika meramalkan bahwa Dia yang Dijanjikan itu sungguh jujur, berarti bahwa dia memang luar biasa dalam hal itu, sebagaimana telah kita tunjukkan.

Percaya diri. Kita hidup bekerja-sama dan tergantung satu sama lain.Tetapi, meminta pengurbanan orang lain, sedang kita sendiri tidak mau melakukannya, adalah bertentangan dengan percaya diri.

Suatu sifat yang menonjol dari karakter Nabi Suci Muhammad adalah kebaikannya kepada orang lain, tetapi dia tidak pernah mengharap kebaikan orang lain terhadapnya. Jika kebetulan ada seseorang yang berbuat baik kepadanya maka dia akan berterimakasih, bila tidak maka dia tidak cocok disebut orang yang percaya diri. Ada suatu perintah baginya dalam al-Quran:

“Dan janganlah memberi sesuatu untuk mencari keuntungan” (Q.S. 74:6).

Ini mencederai keduanya, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Seperti halnya bagi fihak penerima, bila dia menolak untuk membayar kembali atau membalas budi yang diberikan kepadanya, maka itu adalah penolakan terhadap rasa percaya diri dan memalukan di mata orang-orang lain. Percaya diri adalah bagian yang penting dari sikap yang baik.

Anekdot ini mengungkap betapa percaya dirinya Nabi Muhammad itu:

Abu Bakar adalah seorang kawan intim dan sahabat nabi di gua Bukit Tsur. Dia setia dan taat, dan selalu siap-sedia untuk apa pun dan segalanya bagi kawannya yang mulia. Meskipun demikian, ia dibayar kembali oleh Nabi ketika dia menghadiahkan seekora unta ketika Nabi hijrah ke Madinah. Tempat duduk yang dirasa paling nyaman dan cocok untuk masjid di Madinah, dibayar ongkosnya kepada pemiliknya, meskipun yang belakangan ingin memberikannya tanpa beaya.

Setiap kali nabi menerima hadiah maka biasanya dia membalasnya kembali. Raja Yaman suatu kali mengirim jubah sebagai hadiah kepada nabi, dan sebaliknya beliau juga menghadiahakan jubah lain untuk Raja tersebut. Sesuai dengan gambaran atas karakter Nabi ini maka beliau menolak zakat bagi dirinya, keluarga dan anak-anaknya. Sopan-santun dalam pembicaraan: Sopan santun dan lemah lembut adalah gambaran besar dari keturunan yang baik. Tuhan telah menggambarkan dia sebagai rahmat-Nya. Nabi adalah seorang yang sangat sopan, lemah-lembut dan dermawan. Al-Quran berkata:

“Jadi dengan rahmat Allah itulah engkau bertindak lemah-lembut terhadap mereka” (Q.S. 3:158).

Sepanjang hidupnya, nabi tidak pernah memaki orang. Dia tidak pernah memperlakukan orang dengan kata-kata kasar. Dia akan meyakinkan orang dengan paling sopan, lemah-lembut dan penuh kehangatan, dan dia menghentikan orang dari menggunakan bahasa yang kasar.

Orang Yahudi biasa mengata-ngatainya dengan kata-kata yang paling kasar tetapi nabi selalu menahan diri dari membalasnya, dan dia mengajarkan yang lain sesopan dan selemah-lembut dirinya.

Berjiwa ksatria dan berwibawa. Nabi itu kesatria dan wibawa sejak lahirnya maupun naluriahnya. Dia berasal dari kabilah yang menonjol yakni Quraish dan kekesatriaannya itu dibabarkan dalam moralnya yang sublim. Rumah dari Dia Yang Maha-suci di mekkah adalah di bawah penjagaan dari kabilah ini. Melintasi jazirah Arab para kafilah yang kaya-raya dirampok; tetapi kaum Quraish sangat berpengaruh dan terkemuka sehingga kafilah mereka tidak takut apa-apa. Kebal dari kebanggaan: Quran Suci menyeru kepada kaum Muslimin pada umumnya dan Nabi khususnya agar tidak berjalan dengan bangga hati di muka bumi:

 “Dan janganlah berjalan di bumi dengan bersorak-sorai” (Q.S. 17:37).

Dan lagi:



“Adapun hamba Tuhan Yang Maha-pemurah ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan   rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menegur mereka, mereka berkata: Damai!”. (Q.S. 25:63). 



Betapapun tingginya kedudukan Nabi yang diembannya di kalangan umatnya, namun dia tak pernah menyukai kebanggan ataupun pembedaan terhadap dirinya. Orang-orang Quraish yang paling dihormati biasa naik haji dan menginap di Muzdalifah, dimana orang lain tak boleh menikmati privilese ini. Tetapi Nabi sendiri, meskipun seorang Quraish, tidak pernah mau menerima pembedaan semacam itu   Bahkan sebelum dan sesudah pengakuan kenabiannya, dia selalu tinggal  bersama orang-orang kebanyakan, dan dia tidak senang akan suatu tempat khusus yang disediakan buatnya, atau suatu tenda khusus penahan panas matahari, sedangkan yang lain juga sama-sama menolak.


Para sahabatnya memberi persediaan kursi kepadanya tetapi beliau menyatakan bahwa siapa yang datang pertama dialah yang layak atas keistimewaan itu. Dia biasa berperan-serta dalam segala pekerjaan; yang sedang dikerjakan oleh yang lain-lain juga.

Ketika masjid di Madinah sedang dibangun, dia sendiri yang bekerja sebagai tukang biasa. Di samping itu beliau juga biasa menggali parit pada perang Uhud. Dan inilah kejadian yang dikutip Dalam hadist bahwa beliau terlihat penuh debu dalam peperangan ketika dia bekerja.

Dalam segala pekerjaan beliau satu peringkat dengan para sahabatnya. Dia tidak pernah memakai mahkota atau tempat duduk yang lebih tinggi, tetapi duduk bersama para sahabatnya di hambal yang sama, sedemikian sehingga seorang yang baru datang tidak dapat membedakan di antara mereka yang mana  Nabi itu dan seringkali menanyakannya: Siapakah di antara kalian yang bernama Muhammad?

Di atas segala tipu daya. Ada banyak peristiwa dimana aNabi memberikan suatu bukti atas kejujurannya yang mutlak. Suatu kejadian atau dua bisa dikutip di sini. Sebelum beliau diangkat sebagai nabi di Mekkah suatu kali Abdullah bin Abil’amsa menutup perjanjian dengan Nabi dan memintanya menunggu di suatu tempat serta menyelesaikan masalahnya. Namun dia lupa akan kata-katanya. Setelah tiga hari dia teringat akan hal itu, dia dapati Nabi, tepat dimana dia telah meninggalkannya. Nabi, waktu melihatnya, menyatakan bahwa beliau telah menunggu dia selama tiga hari terus-menerus. Dalam perang Badar, kaum Muslimin sangat sedikit jumlahnya dan mereka sangat membutuhkan pasukan. Dua dari sahabat nabi, Abu Hudzaifah dan Abu Hassal, ketika tiba dari Mekkah di tahan dalam perjalanan oleh musuh namun kemudian dibebaskan dengan syarat mereka tidak boleh ikut berperang di fihak Nabi. Mereka menceriterakan seluruh kisah kepada Nabi dan beliau menyatakan, Kita harus menepati janji, silahkan kalian pergi dan biarlah kata-kata itu dipenuhi; kita tidak membutuhkan sesuatu kecuali pertolongan Tuhan.

Bebas dari dipermalukan. Quran Suci menyatakan:

 “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain;   barangkali (kaum lain) itu lebih baik daripada mereka; dan jangan pula kaum perempuan yang   satu (memperolok-olok) kaum perempuan yang lain; barangkali (kaum perempuan lain) itu lebih   baik daripada mereka. Dan janganlah mencela orang-orang kamu sendiri, dan jangan pula saling   memanggil dengan nama ejekan. Buruk sekali nama jelek itu sesudah beriman; dan baranagsiapa   tak bertobat, mereka orang lalim” (Q.S. 49:11).

Bahkan para nabi lain tidak menyeru orang agar tidak merendahkan orang lain, tetapi hanyalah nabi

Islam ini yang mengajar kepada seluruh negeri agar tidak memandang rendah bangsa lain. Dia  memberi kepada seluruh umat manusia status persamaan sepenuhnya dan membunyikan lonceng  kematian kepada segala jenis perbedaan akibat kasta, iklim, warna kulit dan ras. Dia merekatkan seluruh kaum Muslmin sebagai saudara. Dia telah mengakui kedatangan semua juru ingat, rasul, dan  para nabi di pelbagai bangsa serta menyatakan bahwa semua negara adalah kreasi dari Tuhan Yang­esa.

Tidak dikuasai oleh rasa balas dendam. Ini adalah satu dari sifat nabi yang paling menonjol. Dalam masa dama begitu juga di saat peperangan, dia itu tahan uji dan sabar. Pada situasi biasa, manusia itu bisa tahan uji, tetapi membabarkan kualitas yang menonjol ini pada saat dia memiliki tongkat komando dan mahkota adalah lebih jarang. Kemudian yang sering adalah membalas kepada mereka yang dari tangannya dia mengalami penganiayaan ketika masa susah. Nabi mempunyai kisah yang lain untuk diceriterakan. Ketika beliau sedang meramu kekuasaan kerajaan yang besar sesudah penaklukan Mekkah, dia mengampuni semua musuh Islam yang terkalahkan. “Katakan, wahai orang-orang Mekkah, apakah yang kauharapkan dariku hari ini?” adalah kata-kata Nabi kepada kabilah yang dikalahkannya sesudah selama ini menganiaya dia. Dan dia memaafkan semuanya atas apa yang mereka perbuat terutama pada saat ketika dia dengan segenap sarana yang dimilikinya bisa membalas kepada mereka karena dialah yang memegang Pemerintahan. Hindun, isteri dari lawan Islam yang besar Abu Sufyan, yang demikian brutal karena merobek dada paman nabi, Hamzah dan mengunyah jantung, hati dan ginjalnya serta memotong buah zakarnya dan mengalungkannya, karena kebenciannya yang sangat. Pada waktu penaklukan Mekkah, dia muncul dengan tabir di hadapan nabi, tetapi dikenali karena tingkah-lakunya  yang menyakitkan. Tetapi Nabi tidak mau mengungkit peristiwa yang sangat menyedihkan dan menyiksa itu. Seketika itu juga Hindun menangis: “Nabi dari Tuhan Yang-benar, tendamu terlihat menjadi kediaman orang yang paling dicintai sekarang, meskipun sebelumnya sangat saya benci”. Nabi mengampuni dia. Umumnya dalam keadaan semacam itu, manusia akan bangkit marahnya dan tak ada lain yang menghalanginya untuk membalas apa yang telah dilakukan kepadanya sebelumnya. Orang Arab buas yang membunuh Hamzah adalah seorang Mekkah. Ketika Mekkah ditaklukkan keum Muslimin, dia lari untuk menyelamatkan jiwanya dan tiba di Taif. Namun di sana dia tidak dapat hidup tenteram. Akhirnya, dia datang kepada Nabi. Sesungguhnya, siapapun yang tidak dapat menemukan kedamaian di manapun juga, hanya bisa menemukannya di bawah bayangan Muhammad. Ada banyak kejadian seperti ini dalam sejarah Nabi yang paling sabar ini, yang tidak saja mengungkapkan betapa nabi itu bisa mengendalikan kemarahan dan amukannya, melainkan juga rahmatnya bisa mendinginkan kemarahan dan amuk orang-orang lain.

Sedih atas kesusahan orang lain. Mekkah adalah tempat kelahiran Nabi, tetapi penduduk Mekkah adalah musuhnya yang besar. Selama tiga tahun mereka mendiamkan beliau. Mereka memutuskan tak boleh ada sebutir biji-bijianpun makanan yang sampai ke tangan beliau. Setelah banyak penderitaan Nabi terpaksa meninggalkan Mekkah. Setelah beliau hijrah maka suatu  wabah kelaparan yang menakutkan menimpa kota itu, sedemikian rupa sehingga orang-orang terpaksa makan tulang dan bangkai. Maka datanglah Abu Sufyan ke hadapan beliau, dan berkata: “Wahai Muhammad! orang-orangmu akan binasa”. Seketika itu juga, Nabi mengangkat tangannya dan mendoakan agar  musuhnya dibebaskan dari penderitaan ini. Dalam perang Uhud Nabi dilempari batu sedemikian banyak sampai giginya berdarah-darah. Tetapi orang yang penyabar ini tidak membalas kutukan sedikitpun. Sebaliknya dia berdoa: “Wahai Tuhan! Ampunilah orang-orang ini karena mereka tidak tahu”. Berbeda dengan Raja-raja dunia yang lain, nabi tidak pernah senang dengan kesusahan orang lain, ataupun bangga atas kemenangan yang diperoleh.

Kasih-sayang kepada umat seperti seorang ibu. Semua filantropis mencintai kemanusiaan sepanjang hidupnya. Tetapi suatu kecintaan yang alami dan naluri seperti seorang ibu kepada anak-anaknya patut dipertimbangkan. Perlakuan para lawan nabi dan musuh Islam di Mekkah, bisa dibandingkan dengan anak yang nakal dan tidak patuh kepada ibunya. Betapa orang-orang Mekkah memperlakukan Nabi tak disembunyikan pada siapapun.

Namun cara dimana Nabi menunjukkan naluri cinta, kehangatan dan penuh perhatiannya demi kebaikan mereka adalah bukti yang jelas dari perasaannya yang penuh rahmat. Dia menaruh simpati yang sebesar-besarnya kepada fakir-miskin, budak yang hina. Suatu kisah bisa dikutip di sini. Zaid bin Harits adalah seorang budak, yang dibebaskan oleh Nabi. Ayah Zaid datang untuk membawanya pulang, tetapi cintanya kepada Nabi begitu kuat di hatinya sehingga dia lebih cinta dan simpati kepada Nabi di bandingkan bapaknya sendiri. Lagi, seseorang suatu kali muncul ke hadapan Nabi  dan berkata: Wahai Nabi yang paling ditinggikan Tuhan, berapa kali saya harus memaafkan seorang budak? Nabi lama berdiam diri. Dia mengulangi pertanyaannya namun Nabi tetap terdiam. Ketika dia bertanya untuk ke tiga kalinya, maka jawaban Nabi adalah: “Tujuhpuluh kali”.

Memaafkan suatu kesalahan dan apalagi itu adalah kesalahan seorang budak, dan di atas itu memaafkan tujuhpuluh kali sehari, sesungguhnya adalah sesuatu yang mustahil dicapai. Hanyalah jiwa yang seperti ibu, yang bisa memiliki begitu besar cinta dan kasih untuk melakukan ini semua. Nabi telah meletakkan semuanya ini dalam praktik. Anas yang adalah pembantu Nabi, mengatakan bahwa Nabi Suci dalam sepanjang hayatnya tidak pernah berteriak, apalagi mengatakan seperti ‘Cih’, kepadanya.

Selalu berfikir positif. Quran Suci mengatakan:

“(Yaitu) orang yang mengingat-ingat Allah sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring di atas lambung mereka, dan mereka merenungkan tentang terciptanya langit dan bumi: Tuhan kami, Engkau tak menciptakan itu sia-sia!” (Q.S. 3:190).

Dan lagi Dia memerintahkan Nabi agar berkata:

“Katakanlah: Sesungguhnya salatku dan pengurbananku dan hidupku dan matiku adalah untuk   Allah, Tuhan sarwa sekalian alam” (Q.S. 6:163).

Seorang yang ingat kepada Tuhan sewaktu duduk dan berdiri tak akan pernah lalai terhadap kewajibannya dan beramal salih kepada sesama manusia. Adalah kegelisahannya kepada perbaikan kemanusiaan yang memaksanya untuk bersujud dan bermohon dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan serta ber-rendah-hati dalam doanya. Di samping segala perlawanan, dia berdoa dan sangat gelisah serta cemas demi perbaikan dan ketulusan akan umatnya.

Suatu contoh-teladan bagi yang lain: Nabi Muhammad adalah satu-satunya nabi di seluruh galaksi, yang kehidupannya telah ditulis dalam rincian yang sangat ketat. Orang-orang bisa menemukan keselamatan dalam mengikuti jalan kehidupannya. Ini sesuai dengan perintah Quran Suci:

“Sesungguhnya dalam diri Rasulullah kamu mempunyai teladan yang baik bagi orang yang mendambakan Allah dan Hari Akhir, dan yang ingat sebanyak-banyaknya kepada Allah” (Q.S. 33:21).

NUBUATAN TENTANG MAITREYA YANG TERKENAL DI DUNIA

Jika nubuatan itu mengandung kesaksian baik dari kawan maupun lawan, ini merupakan bukti terbesar tentang penting dan keasliannya. Ini berbeda bila misalnya bila ada perselisihan pendapat atas asal­usulnya yang tepat. Keotentikan dari prognosis ini jelas dari fakta bahwa misionaris Kristen, Teosofi dan pakar Hindu telah mencoba melekatkannya kepada para orang suci dan nabinya sendiri. Tidak berapa lama yang lalu ketika saya di Madras dimana pusat Teosofi Adyar mengadakan suatu konferensi agama yang dihadiri oleh kaum Teosofi dari seluruh dunia. Pada peristiwa ini sejumlah besar kepustakaan telah diterbitkan dimana obyeknya adalah datangnya guru dunia, Maitreya, yang didiskusikan secara rinci. Maitreya yang dijanjikan telah disebutkan dalam buku-buku Kristen dan Teosofi dengan kata-kata berikut ini : “Maitreya Buddha yang ke lima belum datang. Yang belakangan ini adalah Kabbalistic Raja Almasih, utusan cahaya, Sosiosh juru-selamat Iran, yang akan datang dengan seekor kuda putih. Ini juga menjadi kedatangan Kristus yang kedua”. Lihat apokripa St. Yohanes. (“Isis Unveiled” oleh Madame Blavatsky, halaman 156).

“Kaum Buddhis menunggu kedatangan Maitreya Buddha di abad mendatang, demikian pula umat Hindu menunggu Kalki Avatar dari Wisnu yang akan datang dengan seekor kuda dengan pedang di tangan”. Avatara terakhir ini akan disebut Kalki. Dalam Bhagawat disebutkan bahwa Resi Maitreya, guru dunia masa kini yang disebut kawan Dwipayn Vyas Muni, yang akan menjadi guru terakhir dari Buddha yang dijanjikan. Pada saat Maitreya muncul untuk kedua kali dalam bentuk Almasih, dia menyeru kepada para muridnya untuk saling mencintai sama seperti dia mencintai mereka. Otoritas yang sama menulis selanjutnya bahwa Kalki Avatara dan Maitreya adalah dua Almasih, sebagaimana tulisnya: Dalam Wisnu Purana ditulis bahwa Resi Maitreya akan mengembangkan cahaya ruhani di abad kegelapan dan akan meletakkan landasan peradaban yang terbaik, berdasarkan persaudaraan, kasih­sayang dan harmoni. Namun, nabi ini bukanlah Kalki Avatara, yang akan datang belakangan, tetapi Maitreya ini telah didefinisikan sebagai pembimbing ruhani masa depan. Dalam buku lain dari kaum Teosofi “The Master of the Path” oleh Lead Beater halaman 51, “seseorang yang bernama Krishna Murti telah didefinisikan sebagai Dia Yang Dijanjikan dan telah ditulis bahwa: Pangeran Maitreya mengambil arah yang sama ketika dia mengunjungi Palestina, 2.000 tahun yang lalu”. Dalam “Buddha and Christ” oleh Jinarja Dass, halaman 8, telah ditulis: “Pada hari-hari itu ada dua di antara jutaan manusia yang berdiri sebagai menara di atas yang lain dalam kekuatan berkah dan cinta. Sumedha dan lainnya, di hari-hari belakangan kita kenal mereka sebagai Gautama Buddha dan Kristus”. Seorang orientalis yang terkenal di dunia, Prof. Max Muller menulis dalam “Chips from a German Workshop” jilid I halaman 452-453 : “Pernahkah kaum Buddhis mencoba mengetahui bahwa Buddha yang Dijanjikan itu tiada lebih daripada Maitreya yang diharapkan, guru Hukum, namun dia timbul sebagai utusan cinta (Almasih)”. “Maitreya, nama dari Budhisatva yang merupakan Buddha di masa depan. Agama Buddha berpegang bahwa kebenarannya secara berulang-ulang telah diajarkan oleh Buddha, yang muncul dalam suksesi dan doktrin setelah kemerosotan dan menghilangnya, akan sekali lagi terlaksana dan diajarkan oleh Buddha di masa depan. Suatu siklus dimana tiada Buddha yang muncul disebut kosong (Shunya). Tetapi dalam siklus ini ada lima, empat telah muncul, dan yang kelima adalah Maitreya. Teori Buddha yang datang kembali ini bukannya primitif, tetapi sudah pasti timbul sebelum kanon Pali, karena Metteya disebutkan dua kali di sana” (Digha Nikaya, No.26. Buddhavansha bab 2) dan kepercayaan itu menjadi mapan di semua aliran (E. Leuman,  “Maitreya Samiti”). “Ada satu makhluk , wahai saudaraku, yang lahir ke dunia demi kebaikan dan kemakmuran dari sebagian besar manusia, karena rahmat-Nya kepada dunia, demi kemaslahatan dan kebajikan dan kesejahteraan dewata dan manusia. Dan apakah makhluk itu? Seorang Tathagata, dan Arhat Buddha, Yang Utama”. (Digha Nikaya, 26). “Dia yang menaklukkan tidak akan ditaklukkan lagi” (Dhammapada). Edmund dan Pavri mendefinisikan Almasih Yang Dijanjikan yang disebutkan dalam Yohanes, sebagai Maitreya dan Almasih sebagai pribadi yang satu dan sama. (“Buddhist and Christian Gospels”, jilid II hal. 164; “The Coming of Christ”, hal. 106).

Beberapa penulis Hindu telah mencoba melekatkan nubuatan ini kepada orang suci mereka sendiri Shankaracharya. Ini adalah pribadi yang sama, yang melakukan segala macam kesulitan terhadap kaum Buddhis di India karena dia berpandangan bahwa Buddha itu menentang Weda (Telah kita sebutkan sebelumnya, pandangannya terhadap Weda). Dia membantai kaum Buddhis sedemikian besar jumlahnya hingga tak seorangpun yang tersisa di India, entah terbunuh atau melarikan diri dari India.

Betapapun dengan semuanya ini, adalah sungguh melukai hati bila Shankaracharya inidihubungkan dengan Maitreya Yang Dijanjikan. Juga klaim kaum Teosofi bahwa Krishna Murti adalah Maitreya setelah beberapa waktu mereka gagal mempropagandakannya, sekarang hanya menunggu akan datangnya Maitreya. Ini adalah pelajaran Tuhan kepada kaum Teosofi dan kepada mereka yang mengira bahwa nabi itu seorang yang dibuat oleh manusia atau rekaan orang belaka. Tuhan memenuhi nubuatan Buddha dalam pribadi Muhammad 1400 tahun yang lalu.

Mengenai klaim dari kawan-kawan Kristiani kita, bisa dicatat bahwa atribut Maitreya itu tidak bisa didapati dalam pribadi Kristus dan cukuplah kita mintakan  perhatian  terhadap buku Monier Williams tentang Buddhisme, dimana dia mengungkapkan hal yang paling memalukan dalam mengaitkan Messiah dan Buddha. Dalam suatu bab khusus dia menulis:

“Adalah rupanya suatu kenaifan, dalam menyimpulkan pelajaran ini; Siapakah yang akan kita   pilih sebagai pedoman kita, harapan kita, juru selamat kita. “Cahaya Asia” atau cahaya dunia? (Buddhism and Christianity).

“Buddha atau Kristus? Adalah sekedar suatu ejekan untuk mengajukan pertanyaan ini kepada    orang-orang yang rasional dan mau berfikir dalam abad ke sembilanbelas; kitab mana harus kita    peluk dalam hati kita pada jam terakhir, kitab yang memberi tahu kita tentang orang mati,    ketiadaan, Buddha yang menyerahkan kematiannya atau Kitab yang mengungkapkan kepada kita  tentang yang hidup, kehidupan abadi yang diberikan oleh Kristus “. (Monier Williams, hal.536-563). Sebagai kenyataan bab ini berjudul: Nubuatan tentang Maitreya yang dikenal luas di dunia.

Klaim dari kaum Kristen, Teosofi dan Hindu telah membuktikan bahwa nubuatan ini terkenal dalam istilah yang paling jelas tanpa kebingungan lagi dalam kitab-kitab agama Buddha. Suatu kesimpulan ringkas dari tema mereka ini bisa diberikan di bawah ini:

Kaum Buddhis, begitu pula Persia, Hindu dan Kristen, telah menunggu seorang yang dijanjikan.
Namanya adalah Maitreya.
Dia kelak akan benar-benar seorang Maitreya dalam arti maupun kata.
Dia adalah gabungan dari rahmat dan penuh kehangatan.
Dia akan menjadi pemilik pedang, yakni pedang kebenaran, dan dia akan mempertahankan diri,
sebagaimana kata Quran Suci:

“(Perang) diizinkan kepada orang-orang yang diperangi, karena mereka dianiaya. Dan sesungguhnya Allah itu kuasa untuk menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari rumah mereka tanpa alasan yang benar, kecuali hanya karena mereka berkata: Tuhan kami ialah Allah” (Q.S. 22:39-40).

Maitreya yang akan datang, Wishnu Avatara dan Sosiosh dengan seekor kuda putihnya merujuk kepada kehidupan yang murni serta paling sublim, yang akan dipimpin oleh orang yang dijanjikan itu. Ini juga menunjukkan tertekannya nafsu jahat dengan pribadi yang tulus. Sebagai kenyataan, para sejarawan mengungkapkan kuda nabi yang disebut Buraq yang berwarna putih. Teka-teki ini dengan indahnya telah ditafsirkan dalam Wahyu kepada St. Yohanes, yang terbaca:

“Lalu aku melihat sorga terbuka; sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama “Yang Setia dan Yang Benar”, Ia menghakimi dan berperang dengan adil” (Wahyu 19:11).

Pedang di tangan dan seekor kuda putih yang ditungganginya diikuti pernyataan bahwa bahwa Dia yang Dijanjikan itu adalah seorang yang jujur dan benar, dan ia akan mengadili dengan pertolongan kebenaran dan berjuang untuk penyebarannya. Setiap kata dalam wahyu ini membuktikan Muhammad sebagai dia yang dijanjikan seperti yang dirujuk di atas. Dia diakui terkenal sebagai yang terpercaya (Al-Ameen) dan yang benar (Siddiq) oleh para musuhnya. Wahyu kepada Santo Yohanes itu ditulis pada tahun 96 M. Setelah Almasih maka giliran Nabi Suci yang telah berperang dan berjihad untuk menyebarkan kebenaran. Dan tidak ada sesuatupun yang membingungkan tentang kuda putih yang dimilikinya untuk berkendaraan. Nama dari dua kudanya adalah “Luhuf” dan “Sanjah”. Adalah aneh bahwa tak seorangpun nabi Bani Israil yang boleh mengendarai kuda.

Tuhan melarang berdagang dengan Mesir yang terkenal akan perdagangan kudanya (Ulangan 17:16), dan hanya Sulaiman yang empunya kuda.

Para hakim dan pangeran Bani Israil biasanya menggunakan keledai dan bihar sebagai kendaraan.
Karena itu nubuatan tentang seorang penunggang kuda adalah Muhammad dan pengendara keledai adalah Kristus. Bahwa Maitreya adalah teman Viasji adalah terang dari nubuatan, yang telah diramalkan tentang Nabi Suci oleh Vyasji dalam Bhavishya Purana (didiskusikan dalam “Prophet Muhammad in Hindu Scriptures” di tempat lain dalam buku ini).
Maitreya adalah Buddha yang terakhir dan Nabi; sebagaimana juga telah dikatakan dalam al-Quran:

“Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel (penutup) para Nabi”. (Q.S. 33:40).

Maitreya akan menjadi utusan dari rahmat serta kasih-sayang ke seluruh lama semesta. Kedatangannya akan terjadi pada abad kegelapan (Kaliyuga). Dalam terminologi Hindu abad di dunia ini dibagi dalam empat abad (yugas). 1. Krutayuga, 2. Tretayuga, 3. Dwaparyuga, 4. Kaliyuga. Semua resi Hindu (utusan) muncul dalam ketiga abad pertama (periode) dan Muhammad muncul pada abad Kaliyuga.

SUMBER NUBUATAN TENTANG MAITREYA

Perkara lain yang menunjukkan keaslian akan pentingnya nubuatan ini tentang kedatangan Nabi Yang Dijanjikan terdapat dalam daftar sumber yang diberikan di bawah ini:

Nubuatan ini diberikan oleh murid Buddha yang terkenal dan terkemuka.
Disebutkannya adalah oleh percakapan Buddha sendiri.
Raja Buddhis membuat patung-patung dari Maitreya yang akan datang di pelbagai kota di Asia, semacam Kandhara, Gaya, Benares, di Provinsi Frontier, Deccan, Burma, Cina, Jepang, dan tempat-tempat yang terjauh di Asia Tengah. Beberapa dari patung ini setinggi 120 kaki.
Tidak saja Gautama Buddha melainkan juga semua Buddha yang terdahulu darinya mengharapkan kedatangan Dia yang Dijanjikan.
Dalam Kitab-kitab agama Buddha yang paling otentik dan standar, lukisanan sosok Dia yang Dijanjikan itu digambarkan dengan terang, supaya orang-orang tidak tertipu dalam mengenalinya.
Beberapa gambaran atas sifat-sifat khususnya yang menonjol juga telah diberikan.
Kualitas moralnya digambarkan dalam pujian yang ditulis dengan istilah yang jelas dan istimewa.
Masa kedatangannya telah disebutkan, tetapi tidak dalam istilah yang persis. Ada perbedaan pandangan tentang pertanyaan ini.
Maitreya, Dia yang Dijanjikan, telah digambarkan sebagai pembimbing dari seluruh umat manusia.
Disebutkan dalam istilah yang terbuka bahwa dia adalah akhir dari para nabi, bahwa tidak ada Buddha lagi yang muncul sesudahnya.
Dalam kepustakaan sejarah kaum Buddhis, disebutkan sebagai suatu fakta bahwa Dia Yang Dijanjikan ditunggu dimana-mana dengan sangat.
Nama “Maitreya” sendiri berhubungan dengan  seorang yang dikenal tanpa suatu keraguan.
Buddha menyebut Dia yang Dijanjikan adalah seorang Buddha dan digambarkan pelariannya itu sama dengan Buddha yang  Dijanjikan kelak.
Buddha menekankan nubuatan ini sedemikian kuatnya sehingga para muridnya semuanya lupa akan kesedihan atas kematiannya.
Kaum Buddhis sangat ingin tahu tentang Maitreya sehingga mereka menyangka setiap dan masing-masing pembaharu sebagai dia yang dijanjikan. Ada banyak kejadian semacam ini dalam sejarah kaum Buddhis.

Dalam Kitab-kitab suci agama Buddha disebutkan tidak saja tentang akhlaknya yang mulia dan patung­patung yang didirikan untuknya, melainkan juga tanda-bukti dan akhlak para muridnya, kaum mukmin dan para pengikutnya, yang diberikan secara rinci. Dia digambarkan sebagai gabungan dari akhlak semacam itu yang belum pernah ada pembaharu lain yang menyamainya.


TRADISI DARI MURID-MURID BUDDHA YANG TERKENAL

Ada suatu kitab berjudul “Anagat Vansha” (Sejarah dari peristiwa di masa depan). Yang berikut ini disalin dari “Journal of the Pali Textbook Society” tahun 1886 M. halaman 33 di Museum Library Colombo, Sri Lanka. Satu copy lagi dari ini terdapat di M.G.P.O. Hinayana Library, Rangoon.

Aham etrahi sumbudho Metteyo
capy hessati idheva bhaddake kappe
asamjate vassakotiye
Metteyo namena sambuddho
dvipaduttamo
Kattam bhavissati mama
ceayena rathaman panca
anatara dhanai.

Dalam kitab itu tertulis:

Puji kepada Dia yang Diberkahi, Buddha yang suci dan agung itu, yang saya telah mendengar pada suatu peristiwa tertentu. Yang Diberkahi tinggal di Kapilavastu dalam suatu gua di pohon beringin di tepi sungai Rohani. Kemudian seorang yang dihormati, Sariputta bertanya kepada Dia yang Diberkahi mengenai Penakluk di masa depan. Pahlawan yang akan mengikutimu adalah sebagai Buddha, apapun juga keadaannya. Peristiwa seutuhnya akan dipelajari. Nyatakanlah kepadaku. Engkau Yang-esa dan Melihat. Ketika dia mendengar pembicaraan para tetua. Yang Diberkahi memberikan jawaban:  Aku akan katakan kepadamu, Sariputta; berdoalah agar kaupasang telingamu karena aku akan bicara. Lingkaran kita adalah sesuatu yang membahagiakan. Tiga pemimpin telah hidup: Kaku-Sandha, Konagamana, dan pemimpin tambahan Kasapa. “Buddha yang utama adalah saya, tetapi setelahku Metteya akan datang, pada saat lingkaran yang bahagia ini berakhir. Sebelumnya,  kisah tentang tahun-tahun ini akan lenyap, kemudian Metteya disebut Yang Utama dan menjadi pemimpin dari seluruh umat manusia”. (“Buddhism in transition” diterjemahkan oleh Warren Pages, halaman 480-482).

Kisah ini berasal dari seorang murid besar Buddha dan sahabatnya. Kata-kata ini berbicara mengenai keagungan sang nabi. Dan karena inilah maka Dia yang Dijanjikan itu dipandang sebagai pendiri agama kemanusiaan.

KISAH DARI MURIDNYA YANG LAIN, ANANDA

Ananda adalah perawi yang lain dari nubuatan ini. Dia selalu menyukai rombongan Buddha. Kata-katanya dikutip dari “Milinda Prashnah”, suatu kitab dengan otoritas, yang telah lama merupakan kitab populer dalam bentuk bahasa Pali, telah diterjemahkan ke bahasa Sinhala, dan memiliki suatu posisi yang unik kedua hanya sesudah Pali Pitaka. Kitab ini diterbitkan di Colombo pada tahun 1877; ini mengungkapkan justru dalam Kata Pengantarnya bahwa kitab ini berisi percakapan antara Raja Milinda dengan seorang misionaris Buddha Nagsena, 500 tahun sesudah Buddha. Rev. T.W.Rhys Davids telah menerjemahkannya ke Bahasa Inggris. Mengenai otentisitasnya, dia menulis:

   Kitab ini telah datang ke rumahnya yang di selatan ini sebagai kitab dengan standar otoritas……

Prof. T.W.Rhys Davids menerjemahkan: Nagsena yang suci, telah dikatakan oleh dia yang diberkahi. Sekarang Tathagata tidak mengira Ananda adalah dia yang harus memimpin persaudaraan, atau bahwa pesan itu tergantung kepadanya. Tetapi sebaliknya ketika menggambarkan kemuliaan dan sifat dari Metteya, dia yang diberkahi, dia berkata demikian ini: - Dia akan menjadi pemimpin  suatu persaudaraan dari beberapa ribu orang jumlahnya seperti halnya saya sekarang yang menjadi pemimpin dari beberapa ratus orang jumlahnya. (T.W. Rhys Davids, “Milinda Prashnah” halaman 225).

Raja Milinda berkata kepada Nagsena, ujarnya: - Wahai Nagsena yang terhormat! Buddha yang diberkati telah meramalkan…Buddha tidak berfikir bahwa hanya dialah yang memimpin komunitas. Tetapi dengan mendefinisikan atribut dari Metteya, Buddha yang diberkati berkata: Dia akan memimpin seluruh kemanusiaan, sama seperti saya yang memimpin ratusan orang. (“Milinda Prashnah”, halaman 229).

WASIAT BUDDHA DI TEMPAT WAFATNYA

Dalam kitab yang terkenal dari agama Buddha, Maha pri Nibhan Sutta dan T.W.Rhys Davids, J.Eitel, Carlongen Newman telah menulis berdasarkan otoritas dari kitab-kitab Buddhis dalam bahasa Sanskrit dari bahasa  Cina yang paling berwenang; bahwa Buddha yang Diberkahi maju ke depan dengan suatu rombongan besar dari para pengikutnya ke tempat tinggal Malla yang ada di Koshinagar di seberang sungai Harinyvati. Setelah sampai dia berbicara kepada Ananda, ujarnya:

Bawakan aku sebuah bantal. Kepalanya harus menghadap ke utara di antara dua pohon cemara. Wahai Ananda, saya merasa lemah; saya ingin berbaring. Bantal dibawakan kepadanya, dan Buddha berbaring atasnya. Kemudian ketika dia kembali kesadarannya dan telah terbangun, beberapa tanda istimewa muncul di pepohonan dan di langit serta di bumi. Ananda menganggap hal ini menunjukkan hormat. Tetapi Buddha mengatakan tanda-tanda ini tidak ada kaitannya dengan penghormatan terhadap dirinya, tetapi penghormatan besar adalah kesadaran akan dirinya, ikatan kewajiban dan pengikut yang tulus. Buddha melanjutkan kata-katanya: “Wahai Ananda, jadi, bisakah engkau menghormati tuanmu?” Mendengar hal ini, air mata mengalir di pipi Ananda. Ini karena ia merasa bahwa ia masih belum apa-apa kecuali pencari kebenaran, dan dia masih begitu jauh dari tujuan yang sempurna: tetapi tuannya, tuannya yang baik hati, akan segera wafat. Kemudian Buddha bertanya kepada para muridnya: Saudara-saudaraku, dimanakah Ananda? Seseorang memanggil Ananda. Ananda menghampiri dan berkata kepada Tuan yang dihormatinya:  Kegelapan dan kegalauan sedang mencari kebijaksanaan. Orang-orang yang terbenam dalam dengan emosi, dan nafsu, dan buta, sangat mendambakan cahaya. Wahai engkau yang begitu sempurna, “pencetus cahaya kebijaksanaan”. Dengan kata-kata ini Ananda duduk di sampingnya, dan Buddha berkata: Ananda, hentikanlah; jangan bersedih hati atau berurai air mata seperti ini. Bukankah telah kuberitahukan berulang-kali kepadamu sebelum ini, bahwa adalah fitrah kita untuk berpisah dengan yang kita kasihi dan barang-barang yang disukai. Seorang yang tidak bijak akan mengira bahwa dirinya adalah segalanya, tetapi seorang yang sadar mengenal bahwa ego-nya itu bukanlah realitas. Dia menyadari khayalan alam semesta ini, dan yakin bahwa semuanya akan lenyap kecuali kebenaran dan ketulusan.

Saya menyerahkan diri jasmaniku ini yang berupa daging dan tulang. Ruh dari alam ini akan terus hadir. Saya telah memutuskan untuk mencari peristirahatan dan kedamaian, karena saya telah menyelesaikan karya risalah saya. Hanya inilah apa yang kucari sekarang. Wahai Ananda, engkau sangat dekat kepadaku karena pengabdian dan kecintaanmu yang takkan musnah. Apapun yang kaukerjakan itu sudah benar, teruslah berusaha dengan sekuat mungkin tenagamu. Hanya dengan demikian kemudian kamu akan menemukan pembebasan dari nafsu rendahmu, takhayul dan kebodohan. Kemudian Ananda menahan tangisnya dan bertanya siapakah yang kelak akan mengajar mereka setelah (Buddha) tiada. Untuk ini Gautama Buddha menjawab: Saya bukanlah satu-satunya Buddha yang datang ke dunia ini, ataupun saya bukanlah kereta yang terakhir. Pada saatnya yang tepat, Buddha yang lain akan bangkit – seorang yang suci, cahaya di atas cahaya, dan seorang yang akan menyebarkan kebijaksanaan dan ilmu. Dia akan mengetahui rahasia alam, dan akan dengan seluruh keagungannya, dia akan menjadi pemimpin yang mengungguli seluruh manusia dan menjadi pengajar umat manusia dan jin. Dia akan menggelar kebenaran Ilahi dengan cara yang sama seperti yang saya kerjakan. Dia akan menyiarkan agamanya dan ini dalam kenyataannya akan menjadi yang terbaik. Dia akan mencapai puncak kejayaan dan kemuliaan. Dia akan menikmati kehidupan bersama orang-orang yang tulus, seperti yang saya lakukan. Murid-muridnya akan berkali-lipat menjadi ribuan sedangkan saya hanya beberapa ratus. Ananda merasa tenteram dengan kata-kata ini lalu berkata: Doakan, Tuan, bagaimana kita bisa tahu akan hal itu? Untuk ini Buddha yang diberkahi berkata: Dia kelak adalah Maitreya yang seutuh-utuhnya. (“Gospel of Buddha” oleh Carus P. halaman 215-218).

Menarik kesimpulan dari kutipan ini yakni bahwa Buddha tidak hanya mengakui para Buddha sebelumnya, melainkan juga merujuk dalam istilah yang ditekankan akan kedatangan seorang Buddha yang belakangan, yang digambarkannya sebagai orang suci. Quran Suci berbicara tentang Nabi Muhammad dengan istilah yang tidak ke sana-sini sebagai:

“Dan Allah akan melindungi engkau dari manusia jahat” (Q.S. 5:67).

Lagi dia digambarkan sebagai seorang yang menampakkan cahayanya di tanah yang penuh kegalauan dan kegelapan. Karena kepemimpinannya yang diberikan ke segenap bangsa di dunia maka dia adalah segala cahaya; al-Quran mengungkapkannya: “Cahaya di atas cahaya” (Q.S. 24:35).

Kitab yang diusung olehnya dikatakan dalam al-Quran:

“Ini adalah ayat-ayat Kitab yang penuh Hikmah” (Q.S. 10:1).

Dia yang dijanjikan akan mengetahui semua rahasia alam itu dimanifestasikan dari al-Quran, dimana kitab ini menggambarkan nabi sebagai yang mengetahui rajhasia alam yang paling dalam. Lagi dia menyebutnya sebagai pembimbing seluruh umat manusia dan guru baik manusia maupun jin.

“Engkau hanyalah juru-ingat, dan tiap-tipa bangsa mempunyai seorang pemimpin” (Q.S. 13:7).



Ini adalah sifat beliau satu-satunya yakni menjadi pembimbing dari seluruh dunia sedangkan para nabi yang lain datang membimbing masing-masing kaumnya.  Sebagai nubuat, dikatakan bahwa beliau akan memperagakan kebenaran Ilahi seperti yang diajarkan olehnya. Al-Quran telah membenarkannya dengan kata-kata:



“Utusan dari Allah, yang membacakan halaman-halaman yang suci. Yang didalamnya berisi Kitab-kitab yang benar” (Q.S. 98: 2-3).



Bahwa semua  tujuan yang benar ini diperlukan sebagai petunjuk bagi manusia, baik yang sebelumnya  sudah diturunkan ataupun belum, semuanya ditemukan dalam Quran Suci.  Dia akan menyiarkan agamanya sebaik mungkin dari seluruh agama yang ada, kata Quran Suci:



“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku lengkapkan nikmat-Ku kepada kamu dan Aku pilihkan untuk kamu Islam sebagai agama” (Q.S. 5:3).



“Dia akan mencapai puncak kejayaannya”, dibenarkan oleh al-Quran:



“Boleh jadi Tuhan dikau akan menaikkan engkau pada kedudukan yang amat mulia” (Q.S. 17:79).



Seorang lelaki yang para lawannya berencana untuk menyingkirkannya dari kota sebagai orang yang tak berdaya telah ditingkatkan ke suatu kedudukan yang luhur dan berwibawa. Demikianlah para pakar yang besar dan terkemuka telah menulis tentang dia: “Yang paling sukses dari semua Nabi serta segenap pribadi keagamaan” (17).

Kata-kata Buddha : Bahwa dia akan memimpin kehidupan orang-orang tulus dipraktekkan seratus prosen oleh Nabi. Dia tidak saja memimpin kehidupannya sendiri yang paling tulus melainkan dia meramu ribuan umat menjadi bebas dari dosa.

Lagi bahwa dia akan menikmati persahabatan dengan ribuan pengikutnya serta muridnya telah jelas dari fakta historis bahwa pada saat penaklukan Mekkah, Nabi memimpin sepuluh ribu bangsa Arab. Dan segera setelah wafatnya jumlah itu berkembang menjadi lebih dari tujuhpuluh ribu. Betapa besar mukjizat semacam ini bagi seorang laki-laki, yang dilawan oleh berpuluh  ribu orang dan dia menjadi magnet bagi mereka semua, untuk memasukkannya menjadi mereka yang berniat baik dan kawan serta pengikutnya. Tidak ada kemungkinan sukses yang lebih baik dari ini. Jadi, dia telah memerintah mereka tidak saja secara fisik melainkan juga spiritual, karena kehangatan dan kecintaan kepadanya telah terpateri dalam hati mereka.

NUBUATAN DALAM NASKAH SUCI YANG LAIN

Sulit didapatkan satu Kitab agama Buddha yang tidak menyebutkan kedatangan Maitreya yang dijanjikan.

Sir Charles Eliot, mantan Dutabesar Britania Raya di Jepang, dalam bukunya “Japanese Buddhism”
menulis pada halaman 119-120:

“Maitreya itu khusus penting bagi sejarah ajaran karena ini berkaitan dengan sifat dan keadaan dari seorang Bodhisatva baik yang lebih lama maupun yang lebih baru”.
‘Dia disebutkan, dalam teks Pali dengan sedikit rincian – Seluruh aliran Buddhisme mengenalnya dan dia kerap kali disebut dalam kepustakaan Pali belakangan dan di dalam teks Buddhist Sanskrit sebagai “Lalit vistara” dan “Mahavastu”.

Lagi, cendikiawan terkemuka dari Madras, Pandit Kumar Swamy, dalam bukunya: “Buddha and the Gospel of Buddhism”, pada halaman 225 menulis:

“Buddha di masa depan hanyalah Boddhisatva Maitreya, penjelmaan dari kasih-sayang dan kebaikannya disebutkan”.

R.S. Hardy dalam bukunya “Manual of Buddhism” menulis:

“Selama Buddha menetap di Weluwana maka ayahnya Sudhodana, yang telah mendengar pencapaiannya menjadi Buddha, mengirim kepadanya seorang bangsawan – yang menyerahkan pesan ini atas nama raja: “Adalah kehendakku untuk melihatmu; maka datanglah ke mari; yang lain telah memperoleh manfaat dari Dharma, tetapi ayahmu atau kerabatmu yang lain, belum. Sekarang sudah tujuh tahun sejak terakhir aku melihatmu”. Setibanya di taman, Buddha duduk di atas sebuah singgasana – Pangeran Sakya itu berkata: “Siddharta (Buddha) ternyata lebih muda daripada kita-kita ini; dia itu kemenakan kita; kita pamannya dan kakeknya”. Karena itu mereka mengatakan kepada pangeran yang lebih muda itu untuk menyembahnya, sedangkan mereka duduk berjarak yang agak jauh. Buddha mengerti jalan fikiran mereka dan berkata: “Sanak-kerabatku tidak mau menghormati aku, tetapi aku akan mengatasi keengganan mereka” – Setelah Saryut menyembah Buddha. Kemudian Buddha meramalkan kepada mereka kedatangan Maitreya”.

Dalam kisah lain diriwayatkan:

“Suatu kali ayah dari Gautama Buddha mengungkapkan keinginannya untuk melihatnya. Dia mengirimkan beberapa utusan, yang berkata kepada Buddha; ayahmu ingin sekali melihatmu sebagai kembang Leli dari matahari itu; dan demikian pula ratu sangat mendambakanmu seperti malam pekat yang merindukan rembulan baru. Istananya berjarak 960 mil dari Kapilawastu. Buddha melakukan perjalanannya selama dua bulan, dengan berjalan kaki enambelas mil setiap hari. Seorang pengajar agama menyampaikan berita atas kedatangan Buddha kepada ayahnya. Lebih dari 500 pemuda dan pemudi mengelu-elukan dia dengan harum bunga-bungaan dan manisan. Orang-orang berkata bahwa mereka adalah sesepuh dan pamannya, dan bahwa dia adalah keponakannya. Maka mereka tidak suka untuk menghormatinya. Buddha yang membaca fikiran mereka; mengapa orang-orang yang dekat dan saya sayangi ini tidak mau menghormatiku, tetapi aku akan atasi penolakan mereka itu. Kemudian setelah itulah dia menceriterakan kepada mereka kedatangan dari Maitreya yang dijanjikan”. (“Manual of Buddhism”, oleh R.S. Hardy, halaman 203).

Kedatangan Maitreya juga disebutkan dalam Kitab-kitab suci Hindu. Ada suatu kitab terkenal bernama “Buddha charit” dari “Ashva ghosha”   dimana terbaca:

“Brahmin dan dewata yang lain dengan para pengawalnya dipanggil bersama-sama dari langit. Dan Maitreya yang diberkahi datang bersama para malaikat untuk menyegarkan kembali hukum Ilahi di bumi” (15:118).

Dalam kutipan ini peristiwanya telah diamati dalam suatu wahyu. Kaum Buddhis menangkap bahwa Maitreya, dia yang dijanjikan itu, berkaitan dengan langit Tushita. Tushita berarti ketenteraman sejati dan kepuasan. Ini mendorong kita untuk menarik kesimpulan, bahwa dia yang dijanjikan itu akan mencapai tingkat yang tertinggi dalam perdamaian, ketenteraman, dan kenikmatan. Quran Suci menyatakan tentang Nabi Suci:

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat memuaskan di hati. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke Taman-Ku!” (Q.S. 89: 27-30).

Ini tiada lain adalah istirahat dan tenteramnya fikiran yang membuatnya tetap bisa melayani bahkan ketika menghadapi cobaan yang paling berat di tangan para lawannya. Dia tak pernah mengeluh di hadapan Tuhan atas penderitaannya. Sebaliknya, dia berdoa dan bersujud di hadapan Tuhan malam dan siang. Dari sini kita dapat lebih membayangkan akan kedamaian fikirannya yang sudah sangat berkembang.

Kitab Sanskerta yang lain, naskah suci yang otoritatif dari sekte Buddhis Mahayana adalah Lalita vistara, yang mengungkapkan peristiwa kehidupan Buddha. Kaum Buddhis Cina sangat menghormati dan memiliki keyakinan kuat terhadap kitab ini. Ini berisi nubuatan tentang Maitreya dalam istilah yang sangat istimewa. (“Nidan prevritah”, Adhyay 26:8,10; Adhyay 5:39). Kitab Sanskrit yang lain yakni Sadhna Mala jilid I dan II, diterbitkan oleh Oriental Institute dari Baroda State (India) berbicara tentang jejak utama dari dia yang dijanjikan (Maitreya Sadhuam, halaman 50).

Dalam “Buddhist Philosophy in India and Ceylon” oleh Bridal Keith, ditulis: “Kedatangan Buddha yang dinamai Metteya, telah dikenal dalam kanun”. (“Digha Nikaya” 3:76, diterjemahkan oleh Sir Charles Eliot). Ada delapan baris tentang Maitreya dalam Ekottra berbahasa Cina (Bridal Keith’s “Buddhist Philosophy in India and Ceylon”).

PARA SAHABAT NABI DALAM PULUHAN RIBU

Seperti halnya Quran Suci yang telah diramalkan sebagai mukjizat dari Nabi yang terakhir, begitu pula pencapaian dari puluhan ribu sahabatnya adalah fakta yang sudah diperkirakan. Jika Quran Suci adalah mukjizatnya yang lisan, maka kumpulan sahabatnya adalah keajaiban spiritualnya yang tertinggi. Inilah sebabnya mengapa banyak nabi pendahulunya memanggil mereka orang-orang suci. Sebagai fakta nyata, ini adalah suatu kisah yang hidup dan suatu tanda yang menakjubkan atas kesuciannya yang luar-biasa. Buddha telah menyatakan bahwa Buddha Maitreya yang akan datang akan seperti dia. Ada banyak kemiripan antara Buddha dengan Nabi Muhammad. Persamaannya adalah kecintaannya akan budi-pekerti yang luhur dan kebenciannya kepada kejahatan; sebagaimana Quran Suci telah menyatakan:

“Tetapi kepada kamu, Allah telah menimbulkan kecintaan kepada iman, dan menampakkan indah (iman) itu di dalam hati kamu, dan kepada kamu, Ia telah menimbulkan benci kepada kekafiran, melanggar batas, dan mendurhaka. Demikian itulah orang-orang yang terpimpin pada jalan yang benar” (Q.S. 49:7).

Dan mereka dikatakan seperti bintang yang memberi petunjuk kepada umat: “Para sahabatku ibarat bintang; siapapun dari mereka yang kauikuti, engkau akan mengikuti arah yang benar” (Mishqat 27:12). Mereka juga disucikan dari dosa: “Seorang Utusan di antara mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan menyucikan mereka” (Q.S. 62:2).

Suatu kemiripan lainnya yang diramalkan oleh Buddha adalah bahwa Dia Yang Dijanjikan ini akan menjadi “Pemimpin dari kumpulan puluhan ribu orang, sama seperti dirinya yang menjadi kepala dari ratusan di antara mereka”. Kebesaran para sahabat Nabi Suci tidak hanya dalam jumlah melainkan juga dalam keluhuran yang sejati dari kemuliaan akhlak dan kesucian hidup. Le Comte de Bouillanvilliers berkata:

“Dan sejujurnya kita boleh katakan bahwa tak ada peristiwa sejarah yang patut dibanggakan, yang telah mengejutkan khayalan kita dengan keadaan yang lebih hidup, atau itu sendiri bisa lebih merupakan kejutan yang menyenangkan, bila dibandingkan dengan yang kita temukan dalam  kehidupan kaum Muslimin pada awalnya”.(18)

Ada beberapa ratus kaum Buddhis pada saat Buddha wafat tetapi dengan sangat cepat mereka telah kehilangan ajaran dari tuannya:   “Agama Buddha seluruhnya berubah dalam jangka pendek selama sepuluh tahun” (“Primitive Buddhism” oleh Elizabeth A. Reed, halaman 25).


Sebaliknya, para pengikut Nabi Suci menghayati seluruh risalah Ilahi dalam hatinya, dan melaksanakannya dalam praktik. Mereka mencintai risalah-Nya dan Utusan-Nya sedemikian besar sehingga mereka siap sedia untuk menyerahkan segalanya baginya. Dalam jumlah mereka ribuan tetapi dalam amal perbuatan mereka tak ada tandingannya, baik dalam pelayanan maupun kesucian, dan mereka adalah kunang-kunang dari cahaya Nabi Suci.

Dan jasa ini mengalir kepada Nabi Suci yang telah bisa menghasilkan kelas pengikut yang merupakan kesatuan dari ketulusan, kebenaran, kecintaan kepada Kebenaran Ilahi dan kehormatan.

Buddha benar ketika meramalkan tentang mereka:

“Bersiap-siaga dan berfikirlah sebaik-baiknya; berpegang tanganlah kalian, dia yang baik budi dan penuh rahmat kepada dunia ini (Rahmat-an-lil-alamien) akan berbicara, akan mencurahkan hujan   Hukum yang tiada henti dan menyegarkan bagi mereka yang menunggu pencerahan. Dan jika ini akan menyingkirkannya demi anak-anaknya, Buddhisatva di sini, berjuang untuk pencerahan”.

“Dan saat itu fikiran berikut muncul dalam jiwa Buddhisattva Maitreya….Kita tidak pernah melihat, begitu besarnya kerumunan, begitu besarnya jumlah Buddhisattva, kita tidak pernah mendengar  begitu besarnya kerumunan manusia yang setelah muncul dari celah bumi, telah berdiri hadir di  hadapan Tuhannya untuk menghormati, menghargai, mengagungkan dan menyembahnya serta  menyalaminya dengan pekik penuh kegembiraan. Kapankah mereka akan datang di sini dalam bentuk kumpulan yang sebesar itu? Semuanya adalah perukyah yang besar, bijaksana dan kuat ingatannya, yang tampak luarnya sedap dipandang, kapankah mereka akan datang?” (Saddharam Pundrik 14: 4, 6, 7).

H.G. Wells, menulis:

“Dapatkah seseorang yang tidak bersifat baik itu mempunyai teman? Karena mereka yang kenal     Muhammad beriman kepadanya dengan sebenar-benarnya. Khadijah bisa jadi beriman kepadanya sepanjang hari tetapi itu bisa dikatakan karena mencintainya. Abu Bakar adalah seorang saksi yang lebih baik, dan dia tak pernah goyah dalam pengabdiannya. Abu Bakar beriman kepada Nabi, dan adalah sulit bagi seseorang yang membaca sejarah masa itu untuk tidak percaya kepada Abu Bakar. Ali juga membahayakan jiwanya demi nabi dalam hari-harinya yang penuh kegelapan”. (“The Outline of History”, halaman 325).

PATUNG-PATUNG MAITREYA

Islam mengharamkan pembuatan patung para nabi. Dan kaum Muslimin khususnya tidak dapat mentolerir patung dari Nabi Muhammad. Tetapi adalah suatu fakta bahwa kita percaya Maitreya yang disebut dalam Kitab-kitab suci Buddhis adalah nabi Islam. Patung-patung Maitreya didirikan oleh kaum Buddhis di seluruh benua Asia, dan mereka mengerjakan itu semuanya semata karena kecintaan dan perhatian mereka kepadanya. Dalam Quran Suci, Tuhan, ketika menggambarkan anugerah-Nya kepada Sulaiman, mewahyukan berikut ini:

“Dan di antara jin ada yang bekerja di hadapan dia dengan izin Tuhannya. Dan barangsiapa di antara    mereka berpaling dari perintah Kami, Kami akan membuat dia merasakan siksaan yang    menghanguskan. Mereka bekerja untuk dia apa yang ia sukai, berupa kanisah-kanisah, dan patung­    patung, dan mangkuk-mangkuk (besar) seperti bak air dan periuk-periuk yang tetap. Berbuatlah    syukur, wahai keluarga Dawud! Dan sedikit sekali di antara hamba-Ku yang syukur”. (Q.S. 34:12-13)

Dalam ayat-ayat ini jinn itu tiada lain adalah orang-orang asing yang dipekerjakan Sulaiman dalam pemerintahannya dan dicatat dalam pelayanannya, lihat Tawarich; dan patung atau arca dari para malaikat juga disebutkan. (2 Tawarich 2:2-18, 3:10-13).

Mengenai arca atau patung yang dibuat untuk Sulaiman yang disebutkan dalam al-Quran beberapa mufasir berpendapat bahwa mereka adalah patung binatang  dan beberapa orang lagi berpendapat bahwa mereka adalah arca para malaikat dan orang-orang lain. Karena itu, para mufassir ini telah mengemukakan pandangannya bahwa, menurut Sulaiman, penegakan patung itu bukanlah dosa atau bertentangan dengan doktrin akidah. Mereka berpendapat, bahwa patung semacam itu hanya haram kalau digunakan untuk keperluan ibadah. Ibrahim adalah seorang mukmin yang teguh dalam keesaan Tuhan dan dia dengan keras menentang berhala. Al-Quran menceriterakan tentang dia:

“Tatkala ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: Arca-arca apakah ini, yang kamu setia menyembahnya?” (Q.S. 21:52).

Betapa pun, suatu bukti yang jelas atas kedatangan Maitreya yang dijanjikan bisa diberikan oleh adanya patung-patung ini. Mereka mendirikannya dengan tujuan mulia dan demi penghormatan kepadanya di negara seperti Afghanistan, Cina, India, Jepang, Sinkiang, Burma dan Sri Lanka. Mereka mengungkapkan kecintaan umat itu kepadanya. Pastilah mereka telah bersusah-payah dalam memahat patung-patung ini, dan ini selanjutnya mengungkapkan kecintaan mereka yang tulus kepada seorang yang mereka harapkan pada suatu masa. Ratusan dan ribuan kaum Buddhis tetap menunggu dia. Sebagai fakta nyata, adalah sungguh luar biasa dan raksasa, betapa kaum Buddhis memahat patungnya di perbukitan batu besar di celah gunung.Di sinilah bangsa Buddhis itu menunjukkan keunikannya dalam kebebasan dan pencapaiannya. Sesungguhnya, agama mereka itu satu dari yang miris dan mengecewakan. Dan inilah sebabnya mengapa tujuan mereka di dunia ini adalah penolakan terhadap segala keinginan tanpa meninggalkan sedikitpun kecintaan kepada sesuatu atau seseorang, cinta, yakni, dalam cita-rasa kata yang tepat.

Mereka, seperti yang mereka yakini, tidak punya harapan untuk pembebasan di dunia ini. Tujuan utama seorang Buddhis adalah penolakan terhadap pertimbangan dan membawa besertanya penindasan terhadap segala hasrat pribadi atau penindasan terhadap pribadinya itu sendiri.  Bagi seorang yang tujuan utamanya adalah harapan untuk memusnahkan dirinya, sungguh aneh bahwa dia masih hadir di dunia ini.

Kita telah mendengar bahwa hidup ini sia-sia kecuali harapan untuk hidup. Namun kaum Buddhis mengharapkan hidup dan berdegup kencang untuk suatu perkara, bahkan setelah tujuannya yang memamah habis semua harapan, dan meskipun ini adalah agama yang mengecewakan dan miris. Harapan ini adalah penantian terhadap Maitreya yang dijanjikan. Dan ini bisa menjadi jaminan klaim kaum Buddhis bahwa mereka hidup itu hanya untuk menunggu datangnya Maitreya. Harapan dan ramalan atas kedatangan Maitreya dalam fikiran kaum Buddhis adalah sedemikian mendalam sehingga setiap orang dari mereka siap untuk mengurbankan segalanya demi itu. Kecintaan mereka kepada Dia Yang Dijanjikan telah mengambil giliran yang tak akan musnah dan merasuk ke lubuk hatinya yang paling dalam. Ini jelas tidak saja dari kitab-kitabnya melainkan dari transformasi yang melelahkan bertahun-tahun dalam memahat batu menjadi patung, patung-patung yang indah dari nabi yang dijanjikan itu. Para pematung Buddhis agaknya benar-benar mencurahkan ekpsresinya yang utuh kepada perasaannya yang paling mendalam waktu memahat patung dari dia yang paling dicintai ini, sehingga mereka membuatnya dengan sebaik-baiknya, yang menambah keindahannya.

Demikianlah, fakta ini tidak dapat dilewati ataupun diremehkan, bahwa patung-patung dari Maitreya atau Dia yang Dijanjikan, seperti yang dibangun para pematung Buddhis, bukanlah sekedar batu atau mainan yang dipahat dari batu, tetapi memberi mereka bentuk dari seorang yang sungguh-sungguh dinantikan,; ratusan dan ribuan jiwa yang penuh perasaan pastilah telah mencurahkan citra dan rasanya. Suatu gambaran pendek dari kehangatan dan kasih-sayang ini bisa diberikan di bawah ini:

Kira-kira sepuluh mil di sebelah selatan Beijing ada kuil yang luar biasa besar di Peuansi. Dia mempunyai sebuah balai pertemuan yang besar dengan enam galeri. Pintu kuil itu menghadap ke utara. Di sini terdapat banyak patung, dan bagi setiap orang yang melalui pintu utama, yang paling menarik dari semua patung itu yakni Maitreya (“Chinese Buddhism”, halaman 254).

Tidak hanya di Beijing kita bisa menemukan patung-patung semacam itu, tetapi di seluruh negeri. Ada banyak kuil di mana terdapat Maitreya. Belum tentu apakah para sahabat Nabi mengetahui sesuatu tentang patung dan nubuatan Buddha ini; tetapi adalah fakta bahwa mereka semuanya pertama-tama memutuskan untuk menyiarkan cahaya Islam di Cina. Mereka diperintahkan oleh Nabi Suci “untuk mencari ilmu sejauh mungkin sampai ke Cina”. Sesungguhnya ini mendorong mereka untuk datang ke negeri itu dan karenanya mereka mencapai keberhasilan yang besar dalam menyiarkan Islam di sana.

CINTA HEUN TSANG KEPADA MAITREYA

Heun Tsang, seorang musafir Cina, dilahirkan pada tahun 608 M. Dia melakukan perjalanan dari Cina ke India pada saat dimana dia harus menyusuri rute yang nyaris tak bisa ditembus melalui gunung dan gurun. Sakit yang dideritanya dalam menjalani semua kesulitan dalam perjalanan itu dengan segala cobaan dan hambatan bisa dengan jelas dibayangkan. Dia berjalan kaki sepanjang dan seluas India. Namun mengapa dia mau menempuh segala duka-derita ini? Pastilah ada beberapa cita-cita yang besar. Dia mulai dari Nalanda, Bengal dan mencapai Kaputa. Ini adalah tempat yang penuh dengan kuil. Di pusat kuil-kuil ini ada satu patung raksasa yang dibuat dari sandal wood, yang sangat dihormati karena kebesarannya. Ini diyakini mengatasi hati umat. Dengan keyakinan ini namanya adalah Avlochit Eshvara yang meramalkan masa depan umat. Orang-orang datang dengan bunga-bungaan yang paling harum berwarna-warni yang menarik dan dengan sangat rendah hati mereka merebahkan diri mereka di hadapannya.

Dengan mengingat obyek dimana mereka mendatanginya untuk mohon pertolongan Ilahi, orang-orang melempar rangkaian kembang ke tangan patung itu. Jika rangkaian itu masuk ke tangan dan tetap di sana, maka orang yang menghadiahkannya diperkirakan akan berhasil dalam tujuannya. Sebaliknya, bila seorang makhluk yang malang  berdegup kencang hingga tak dapat mencapai tangan dari patung itu, dan tak bisa menempatkan rangkaian bunganya di sana, ini diperkirakan menunjukkan kemalangan, kekecewaan dan masa depan yang kabur dari peziarah itu. Peziarah Cina Heun Tsang muncul di hadapan patung, dan sebagian besar maksud tujuannya dalam perjalanan yang jauh dan panjang itu diungkapkannya dalam tangisnya yang terbit dari lubuk hatinya yang paling dalam, akankah saya bangkit lagi di dunia ini di antara dewa-dewa untuk melayani Maitreya yang diberkahi?  Dengan keinginan inilah dia melemparkan rangkaian bunganya ke tangan sang patung, berkata: “Bila hasratku terpenuhi, dewa akan menerima rangkaian kembangku” Dengan keberuntungannya yang besar patung itu menerima rangkaian bunganya”.
(“In the footsteps of Buddha” oleh Grousset French, halaman 174).

Dan dengan  tuntasnya keseluruhan perjalanan itu sang musafir melupakan semua kesakitan dan
penderitaannya di sepanjang jalan. Dia menemukan ketenteraman yang luar-biasa. Lagi, karena kecintaan dan perhatiannya kepada Maitreya yang mendorongnya ke Kuil Sarnath di Benares. Dia datang untuk melihat tempat yang disebut Bara Singa. Ini adalah tempat suci dimana Buddha
ditunjukkan suatu rukyah tentang Maitreya. Dan raja Ashoka membangun satu tugu untuk menghormati tempat suci tersebut  (“In the footsteps of Buddha” oleh Grousset F. halaman 154).

Suatu kali dia berkata: Saya sungguh-sungguh ingin memberikan hadiah dari perbuatan tulusku kepada beberapa orang lain, sedangkan sebaliknya saya bisa dibalas dengan dibangkitkan lagi secara baru di antara dewa pada saat Maitreya yang agung, dan karenanya mempunyai kesempatan untuk melayaninya, karena Maitreya adalah gabungan dari rahmat dan kasih. Dia selanjutnya berkata: Wahai, engkau yang diberkati, semua sujud dan sembahyangku adalah bagimu, dan engkau sendirilah, kepada siapa segenap ilmu itu dianugerahkan. Wahai Tathagata, saya begitu sungguh-sungguh ingin melihat wajahmu, yang penuh kasih, kebajikan dan simpati.
Saya ingin bangkit lagi setelah kematianku sebagai sahabatmu.

Dengan doa ini Heun Tsang menyerahkan jiwanya. (“In the footsteps of Buddha”, halaman 256).

Ini membawa penjelasan atas kasih yang mendalam yang berkobar di hati musafir Cina itu terhadap nabi yang dijanjikan dan yang mengurbankan seluruh jiwa-raganya demi cinta ini.

Seorang pengembara yang lain, Iching, mengungkapkan cintanya kepada Maitreya sebagai berikut ini:

Saya sungguh-sungguh tak mengharap sesuatu lagi dalam hidupku kecuali empat pemenuhan bagi Cina dan dunia Buddhis:
Ilmu dan Kitab-kitab suci.
Berkumpulnya segenap manusia di bawah satu pohon.
Bertemunya dengan Nabi yang Dijanjikan.
Pencapaian atas kesadaran-diri yang Sempurna.
(In the footsteps of Buddha” oleh Grousset F. halaman 273).

SEORANG PANGERAN CINA MENDAMBAKAN MAITREYA

Seorang pangeran Cina jatuh cinta dengan Maitreya yang tidak nampak. Dia berusaha mengungkapkan perasaan cintanya. Dia Yang-dijanjikan yang tercinta belum tiba dan tak kepada seorangpun dia bisa sujud di kakinya ataupun menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Dalam wasiatnya segera sebelum dia meninggal dunia, dia mengungkapkan cintanya kepada Nabi yang dijanjikan itu dengan kata-kata yang sangat memukau. Dia menyatakan hasratnya untuk membelanjakan seluruhnya kepada Maitreya yang sangat dicintainya. Dia menyatakan: Saya, abdi Buddha, Si-Shant, tinggal sebatang-kara setelah kematian kedua orang-tua saya. Sebelum memindahkan sebatang pohon, saya menaruh perhatian yang sangat besar kepada orang tua saya. Berkali-kali saya memohon ke Langit, tetapi tak ada tanda-tanda yang ditunjukkan sebagai balasan. Saya ingin memberikan diri saya kepada ruh yang murni dan suci, sehingga saya bisa lepas dari kesunyian ini. Saya ingin membelanjakan seluruh harta kekayaan yang diwariskan kepada saya, sehingga patung itu, bisa dipahat dengan segala daya. Di tengah mereka biarlah patung Maitreya diukir dan di belakangnya Kshiti Garbha (seorang Buddha kuno). (“In the footsteps of Buddha”, halaman 326-327). Kata-kata dari pangeran yang dikisahkan ini mengungkapkan dalamnya kecintaan dan perhatiannya kepada nabi yang dijanjikan. Dia mengurbankan seluruh harta bendanya untuk memberikan ekspresi kepada cintanya yang berurat­berakar itu dalam bentuk patung-patung.

FAHIAN DALAM PENCARIANNYA ATAS MAITREYA

Seorang musafir Cina terkenal yang lain, Fahian, mengatur perjalanannya dari Cina untuk mencari Maitreya. Dia mencapai India, dan kemudian melintasi  hutan serta gurun yang belum pernah dirambah orang sampai di Provinsi Frontier. Di sana dia melihat sebuah patung Maitreya di sebuah kuil kuno. Kaum Buddhis sungguh-sungguh tertarik akan kebenaran Dia yang Dijanjikan, dan sebabnya mengapa mereka sanggup menjalani cobaan dan kesulitan hidup dalam pengembaraannya ke negeri-negeri yang sangat jauh, ribuan mil dari rumah, lebih lanjut dikomentari oleh Sir Charles Elliot sebagai berikut:

“Peziarah Cina menyebut patung-patung dan situs yang berkaitan dengan Maitreya tetapi rupanya,   juga, penuh dengan suatu pengabdian pribadi kepadanya dan menganggap dia berwenang melindungi   keimanannya di saat menunggu penampakannya di bumi”.

Dan lagi dalam “Hinduism and Buddhism” dia menulis:

Setelah Avlochit dan Manjusri menurut akidah Buddha Maitreya adalah pribadi yang penting, bahkan disebut “Ajeeta” yang berarti mustahil ditaklukkan. Menurut kitab suci Pali Dia adalah satu-sanya yang Dijanjikan. Dia tidak satu peringkat dengan para Buddha yang lain, tetapi akan di atas semuanya. Mengenai sifatnya, semua Buddha adalah yang terpilih dari ras manusia. Namun, Maitreya adalah seorang yang diberi status istimewa karena kecintaannya kepada umat manusia. Dia yang Dijanjikan dianggap sedang berbaring untuk menunggu turunnya dari ketinggian.
Mengenai warnanya, wajahnya adalah keemasan.

Patungnya, tinggi dan sangat berkesan, telah dipilih sedemikian seolah mengungkapkan kebiasaan orang barat yang tidak seperti Buddha dimana kedua kakinya bersila. Patung-patungnya diketemukan mula pertama di Kandhara. Satu patung yang sangat terkenal ada di Udian Nagar (sekarang Provinsi Northwest, Pakistan) yang telah disebutkan oleh Fahian, musafir Cina, dalam buku harian perjalanannya. Ini adalah satu patung yang sangat tua.

Dia menulis: Saya melihat satu patung Maitreya yang luar biasa besarnya di India utara, setinggi kira-kira 120 kaki. Pada festival khusus cahaya bersinar darinya. Raja-raja sekitar menyerahkan kurban kepadanya.
Seorang pengembara Cina yang lain, Huen Tsang, menulis lebih lanjut dengan menggambarkan bahwa ini adalah karya seorang murid terkemuka Buddha, yang bernama Ananda. Aslinya ini adalah tugu yang dibangun di sana sebagai peresmian atas nubuatan Buddha bahwa dia akan digantikan oleh Maitreya dan dia ini kelak akan menjadi tuan dari Langit setelah memperoleh titel Buddha yang tercerahkan.
Kelihatannya Fahian salah di sini. Sesungguhnya patung tinggi itu terdapat di Udian Nagar, sedangkan tugu itu terdapat dekat Benares, seperti yang telah kita sebutkan di atas. Cinta, kehangatan, pengabdian, perasaan dan pengurbanan dari para pencinta Maitreya ini jelas bisa dibayangkan. Betapa tidak kenal lelahnya para pematung dan orang-orang yang gila agama ini yang memahat gunung-gunung raksasa untuk memberikan ekspresi atas cinta mereka yang mendalam terhadap Dia yang Dijanjikan. Ini bukanlah tugas yang mudah. Ini memerlukan segenap kecerdasan, kerja keras dan harta kekayaan. Untuk membikin sebuah patung berkilauan pada zaman itu, dari mana cahaya itu bisa bersinar pasti merupakan eksperimen dari nalar yang sangat cerdas.

Pengurbanan yang dilakukan oleh raja dan pangeran mengungkap cinta mereka terhadap laki-laki, atas mana dibayangkan patung yang akan dibuatnya. Sebagai fakta nyata, tak ada bangsa lain yang demikian bersungguh-sungguh dan penuh pengabdian dalam mempersiapkan kedatangan Dia yang Dijanjikan kecuali umat ini.

Dalam biara dan kuil di Cina ada ukiran di kayu dan dinding batu yang luar biasa dan mengagumkan. Nyaris semua kuil di Cina menghadap ke selatan, dan semuanya kelihatannya dibangun dengan suatu bentuk yang mirip. Di tengah dari kuil itu adalah satu patung yang mengagumkan, dimana orang-orang menyebutnya: Mi-li-fo, yang berarti “Buddha yang akan datang”. Patung itu rupanya dari seorang pribadi yang berani dan sangat tulus. Dadanya lebar dan terbuka. Ada senyum di wajahnya. Ini adalah wakil dari bayangan Maitreya yang mengagumkan, yang diungkap oleh kuil Buddhis di Cina.

Beberapa peramal Buddhis Cina berpendapat bahwa Dia yang Dijanjikan, yang dirujuk oleh patung yang mengagumkan itu, akan muncul 3,000 tahun setelah Buddha wafat, dan bahwa dia adalah benar-benar satu penjelmaannya yang asli. (“Chinese Buddhism”, oleh Edkins, halaman 240).

MAITREYA DI PULAU JAWA

Patung-patung di Jawa terkenal karena tingginya. Selanjutnya, mereka itu yang paling indah dan menarik. Ini terutama di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Yang terkenal diantara ini adalah tiang di kiri-kanan yang merupakan galeri dari setiap patung. Diriwayatkan bahwa ini dibangun pada tahun 850 M. Dalam bentuknya tidak ada sentuhan dari arsitektur Hindu. Ini benar-benar seni Buddhis. Pada galeri ke tiga, terlihat patung Maitreya, yang agaknya sedang mengajar para sahabatnya. Peziarah dan pengabdi mengelilinginya dan memberikan ungkapan cinta dan pengabdian. Di samping ini, di mana terdapat lima patung Buddha yang menarik, ada satu Maitreya, yang dibuat mengatasi yang lain.

Adalah suatu kebetulan yang mengagumkan bahwa gambaran fisik Maitreya yang dilukiskan dalam kitab Buddhis berbahasa Sanskerta “Lalit vistara” persis sama dengan potret Maitreya yang ada di galeri pertama dari candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi ini dibangun pada tahun 750 M.

MAITREYA DI CEYLON

Pada waktu merosotnya Buddhisme, Ceylon diperintah oleh seorang raja bernama Dhatusen. Dia membangun satu patung besar untuk mengenang Maitreya. Untuk rincian sepenuhnya silahkan melihat “Buddhism Primitive and Present in Magadha Ceylon”, oleh S.R. Compleston A.D.

Musafir Cina Fahian, menulis dalam catatan perjalanannya bahwa dia menemukan patrung Maitreya di banyak tempat di Ceylon, meskipun negeri itu dihuni oleh kaum ateis dan non-religius.

Ini mengungkap fakta, bahwa apapun keyakinan orang dalam agamanya, mereka dengan sungguh­sungguh menunggu nabi yang dijanjikan itu.

MAITREYA DI TIBET

Seperti negeri-negeri Buddhis lain, Tibet yang bergunung-gunung tidak lepas dari patung Maitreya.
Dalam bahasa Tibet atau dalam istilah keagamaan dari bangsa Tibet dalam kata ‘Champa’ yang menunjuk kepada kembang kuning yang harum. Dan ini disebutkan dalam kitab sucinya sebagai “Bardo”. Bangsa Tibet sangat berharap akan kedatangannya seperti umat dari negeri Buddhis lainnya. (“Tibetan Book of the Dead”, oleh Evens Wentz, halaman 101)

Karena itu atas perintah Dalai Lama, sebuah patung yang luar-biasa besar setinggi sekitar 80 kaki dibangun di Tibet mewakili Maitreya. Ini dilapis emas, sehingga semoga Maitreya bisa menerimanya dan segera datang ke dunia. (“Manual of Buddhism”, oleh S.R.Hardy).

Dalam “Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I, halaman 98-99, ditemui di sana, bahwa:

“Amita-bha, berarti cahaya yang tak ternilai. Di antara Buddha yang tak terhitung ada satu, yakni Amita-bha, Buddha dari terbenamnya matahari, dewa dari cahaya yang tak terbatas, yang bersyukur atas janji lamanya, dia telah memenangkan bagi dirinya kebahagian dalam mengendalikan alam semesta, di mana tiada lagi tujuan yang jahat. Orang-orang dari negeri itu,  sama dengan dewata kita. Tiada yang lain kecuali Boddhisatva dan hanya sedikit Arhat; dunia itu benar-benar tanah yang bahagia (suatu Sukhavati), atau seperti yang dikatakan Vishnupurana suatu Sukha. Meskipun Maitreya mempunyai suatu surga di tanah di mana Amita-bha memanggil orang-orang pilihannya, dan kepada siapa dia memberi mereka pertolongan dari dua Bodthisatva yang Besar. Amita-bha pada suatu saat nyaris berbeda dari Sakyamuni yang abadi (teratai dari hukum yang benar); datang dan dianggap sebagai Buddha yang setengah-abadi,  yang berinkarnasi di bawah munculnya bayangan Sakyamuni yang manusiawi”. (19).

MAITREYA DI ASIA TENGAH

Di samping India dan negeri yang disebut di atas, patung-patung Maitreya juga didapati sampai sejauh Asia Tengah. Sebagai fakta nyata, nubuatan atas kedatangan Dia yang Dijanjikan itu diukir di negeri yang kelak menjadi lapangan penyiaran Islam. Sir Charles Eliot menulis: “Suatu kuil Maitreya telah diketemukan di Turfan, Asia Tengah, dengan suatu inskripsi Cina yang menyatakan dia sebagai dewa yang aktif dan dermawan, yang menampakkan dirinya dalam banyak sifat mulia”. Inilah Muhammad.

BUDDHA YANG AKAN DATANG. SATU DAN TERAKHIR.

Dalam kepustakaan Pali dan Sanskerta tentang Buddhisme, ada perbedaan pendapat mengenai jumlah Buddha; ini antara enam hingga tigapuluh. Menurut suatu kitab Pali ada enam Buddha sebelum Gautama Buddha.

Buddha Maitreya mendatang yang dijanjikan hanyalah satu. Semuanya ini disebutkan dalam Maha Padan Sutta, Digha Nikaya (ii)2. Semua kitab suci ini sepakat bahwa Buddha mendatang atau Maitreya yang Dijanjikan, adalah satu dan hanya satu. Mungkin ada perbedaan pendapat tentang jumlah sesungguhnya dari Buddha yang datang sebelum Gautama Buddha, tetapi adalah suatu fakta yang mapan bahwa tidak akan ada Buddha lagi sesudah Maitreya.

Dalam bukunya “Manual of Buddhism”, Prof. R.S.Hardy menulis:
Dalam masa yang panjang  jahiliyah yang tak terobati, maka datang berturutan,  menurut Maha Bhadru Kalpa, dimana akan muncul lima Buddha:

Kaku Sandha.
Konagamna.
Kasyapa.
Gautama.
Maitreya.

Yang pertama dari empat ini telah muncul dan Maitreya akan menjadi Buddha yang akan datang yang bangkit untuk memberkahi dunia.(“Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I halaman 98).

Begitulah nubuatan ini merujuk hanya kepada satu yang Dijanjikan, yang namanya adalah Metteya atau Maitreya. Tidak ada alurnya kepada orang yang lain. Dan rujukan yang diberikan juga secara eksplisit nampak, bahwa dia yang kelak datang sebagai yang dijanjikan itu adalah Nabi terakhir atau Buddha yang terakhir.

KECINTAAN KAUM BUDDHIS KEPADA MAITREYA

Putera Adam di setiap abad dibimbing untuk mencintai Nabi dan pembaharunya, setelah umat melihat mereka teguh dalam amal perbuatannya, menderita kesakitan dan tidak tergoyahkan dalam membimbing umat ke arah yang benar. Bangsa-bangsa akhirnya tergerak untuk melihat itu semua. Mereka sangat menghormati dan mencintai mereka. Tetapi peran kaum Buddhis dalam cinta ini sungguh unik. Mereka sangat mencintai Maitreya yang akan datang, meskipun mereka tidak melihatnya dalam masa hidup mereka sendiri. Mereka menjadi pencinta yang mengabdi kepada dia yang Dijanjikan. Cinta meliputi hatinya bagi seorang yang belum akan tiba setelah beraabad-abad. Tak ada keraguan lagi bahwa bila seseorang itu melihat kawannya yang ganteng dan memikat maka dia bisa mabuk cinta habis-habisan; dan seorang filantropis mungkin dicintai oleh orang lain; tetapi kaum Buddhis mabuk cinta kepada dia yang belum nampak dan belum akrab dengannya. Memahat dan mereka model suatu patung yang indah dengan tangan mereka sendiri, dan kemudian jatuh cinta dengannya, sesungguhnya, merasuk dalam hati mereka dari ajaran Buddha. Kehidupan sejati dari seorang Buddhis yang saleh adalah teka-teki. Dia hidup di dunia, tetapi dia percaya bahwa semua keinginan duniawi itu tipu-daya, dan dia ingin kebal dari tipuan itu. Musnah dan musnah selamanya adalah puncak tujuan hidupnya. Supaya bisa hidup di dunia, maka ada kebutuhan untuk mencinta dan ketertarikan kepada barang-barang duniawi, tetapi baginya ini membawa siksaan yang besar. Di dunia yang gelap dan melenakan ini bagi kaum Buddhis ada satu cahaya yang berkilauan. Ini adalah kepercayaan kepada Maitreya. Dalam mendambakan dia, kaum Buddhis telah mengurbankan semuanya dan mencarinya dengan sekuat tenaga. Mereka membelah gunung-gunung dan batu cadas raksasa serta membentuknya menjadi patung. Mereka menyeberangi sungai dan hutan yang belum dirambah orang, dan mencarinya serta tanda-tanda buktinya, seperti pencinta yang mabuk. Mereka mengumumkan bahwa tujuannya tiada sesuatu kecuali melihat Maitreya. Dalam “The Law of Christ”, Jinarja Das menulis:

“Menurut tradisi Buddha, pahala utama dari amal perbuatan manusia adalah bahwa dia akan tetap ada pada zaman Dia yang Dijanjikan dan bergerak kesana-kemari seperti orang-orang lainnya. Pada waktu seorang Buddhis yang tulus dan saleh, ketika menyerahkan kembang, mereka mengungkapkan segenap hasrat dan keinginannya dalam satu kalimat tunggal ini: “wahai Buddha, semoga saya bisa muncul di bumi di antara manusia ketika Maitreya hidup di antara mereka”.(halaman 191).

“Musafir Cina, Huen Tsang, yang berangkat dari Cina dengan api cinta kepada Maitreya yang menyinari hatinya dengan sangat berkilauan, suatu kali jatuh sakit dalam perjalanannya. Dalam keputus­asaan akan kesembuhannya, dia memimpikan suatu rukyah dimana ada tiga dewa yang berdiri di hadapannya. Wajahnya sangat rupawan, badannya gagah, utuh dan berwibawa. Ketiganya berselimutkan pakaian yang bercahaya. Salah seorang darinya berkulit keemasan, satunya biru kehitaman, dan satu lagi putih keperakan. Mereka masing-masing adalah Manjushri, Avlochit Ishwara, dan Maitreya. Mereka semua menyerunya agar tetap hidup dan menyiarkan risalah kepada orang-orang yang tulus”. (“In the footstep of Buddha”, oleh Grousset, halaman 168).

Impian Huen Tsang ini mengungkapkan bahwa hatinya meluap dengan kecintaan kepada Maitreya sedemikian hingga  dia melihat gambarnya di mana saja dan kapan saja, baik sedang terjaga ataupun sedang tertidur.

KRISTUS DALAM WARNA BUDDHA

Ada beberapa pembela Kristen yang memajukan syi’arnya dengan merugikan fihak lain. Mereka
menyinarkan Kristen dengan menggelapkan agama-agama lain. Mereka mencari sumber-sumber Islam dan al-Quran dalam Kitab-kitab suci agama-agama lainnya. Mereka tidak menyadari bahwa di atas segalanya, moralitas adalah harta kita yang paling berharga. Mereka mestinya tahu bahwa sebagian besar khutbah di atas bukit adalah gema dari masa lalu. Buddha dan Yesus memberi resep yang sama ke dunia ini; banyak perumpamaan dari Isa Almasih adalah terjemahan dari perumpamaan dalam kepustakaan Buddhis. Kami percaya, bahwa Yesus tidak berhutang atas pencerahannya itu kepada kisah dan ceritera dari agama Buddha, semua ilmunya itu langsung datang dari Tuhan. Suatu studi yang cermat terhadap agama akan menjadikan manusia bisa mengapresiasi kebenaran al-Quran bahwa tak ada suatu bangsa yang ditinggalkan tanpa suatu risalah Ilahi. Tetapi orang-orang yang sezaman dengan para nabi itu tidak mencatat dengan lengkap kata-kata dari Tuannya. Generasi penerusnya diberi suatu agama yang tidak pernah diajarkan oleh Tuannya, yang bahkan tidak pernah terbayangkan oleh para pendirinya yang dihormati.

Di sini ada beberapa aspek kehidupan Kristus yang kita dapati diceritakan dalam kitab-kitab Jataka dari agama Buddha:

Maha Maya, dikatakan telah mengandungnya setelah suatu mimpi, dimana dia akan melahirkan Buddha yang akan datang, yang turun dari langit dan memasuki rahimnya.
Maya sendiri, menurut riwayat, wafat dan diusung ke langit Indra, dari mana Buddha sendiri akan turun belakanagan.
Ketika waktu semakin mendekat baginya untuk masuk dalam dunia rahim guna saat kelahirannya, para dewata sendiri mempersiapkan jalan baginya dengan alamat dan tanda bukti dari langit.
Gempa bumi dan mukjizat penyembuhan terjadi, bunga-bunga berkembang di luar musimnya, musik dari langit terdengar.
Sebelum kelahirannya juga ada nubuatan yang diucapkan mengenai dirinya.
Bahwa dia tidak menjadi raja dunia… dan menjadi Buddha yang dicerahkan sempurna, demi keselamatan umat manusia.
Dia juga, menurut kisah itu, di kandung dalam rahim ratu Maha Maya dan dia melahirkan seorang putera di Semak Lumbini, di bawah bayangan sebatang pohon Sal, satu cabang darinya menjulur kepadanya, sehingga dia bisa meraihnya dengan tangannya.
(“Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid 2 halaman 881).

Satu teks mengatakan, bahwa dikandungnya Sakya Muni itu bukanlah karena persetubuhan yang mandiri antara ayah dan bundanya. Ini di dalam Mahavastu, dimana dinyatakan keperawanan ibunda dari Buddha. Buddhisatva tidak melalui bentuk umum dari indung telur, kelahirannya melalui samping bundanya.

Seorang penulis Kristiani terkemuka berkata:

“Adalah benar bahwa banyak kata-kata yang diletakkan di mulut Almasih oleh para penginjil telah didapati dalam tulisan para filsuf Yunani dan legenda Cina. Adalah benar, untuk mengambil contoh yang paling mengejutkan dari setiap peristiwa dalam kehidupan Sakya Muni yang menyajikan kepada kita kemiripan yang paling mengejutkan dengan riwayat hidup Kristus; bahwa dia lahir dari ibunda yang perawan, bahwa kelahirannya dirayakan oleh putera-putera makhluk langit, bahwa dia digoda oleh setan dan kemudian berubah bentuk. Tidak perlu diperkirakan bahwa yang satu adalah salinan dari yang lain, ataupun bahwa rangkaian ceritera itu rekayasa iblis atau tipu-daya ataupun bahwa keduanya adalah ciptaan yang kabur dari bagian abad kegelapan. Faktor yang mempersatukannya bukanlah inkarnasi, atau kelahiran perawan, atau mukjizat dalam kenaikannya ke langit. Mengambil tempat duduk di sebelah kanan Tangan Tuhan. Faktor pemersatunya adalah kata-kata bijak dan risalahnya yang penuh kasih kepada sesama.

 Kisah keperawanan Maya (Ibunda Buddha) itu dicantumkan dalam ‘Mahavastu’”.

Kepala para dewa termasuk Indra (Jibril) menghadirinya dan anak lelaki itu diterima oleh empat malaikat Brahma. Seketika itu dia juga mengucapkan teriakan kemenangan.

BEBERAPA RUJUKAN PENTING DARI BERMACAM KITAB

“Maitreya akan menjadi cahaya yang terakhir dan sempurna” (“Saddharam Pundrik” bab 94).
“Dalam sejarah Buddhisme disebut ada 15 Buddha, yang paling akhir adalah Maitreya. (“Bartem and Yewasef” oleh E.W. Wallis Budge).

Spratt dalam “Pilgrimage of Buddhism”-nya, menulis:

“Kebangkitan Buddhisme itu rekayasa yang menyusup diam-diam dan dibangun di atas pasir. Agama Buddha telah terhapus dari muka bumi. Menurut ramalan, Maitreya akan muncul dan menyiarkan pembaharuan agamanya dari barat”.

“Maitreya akan menjadi nabi yang menghapus beberapa syariat dan doktrin dari agama kuno mengingat keadaan sekitarnya” (“Sacred Books of the East”, jilid 49).
“Buddhism”, oleh T.W.Rhys Davids, halaman 183; di sana tertulis:
“Keindahan Buddha Maitreya itu di atas segala pujian. Patungnya tidak berbeda dari kita”.
“Wahyunya akan lebih elok. Mereka yang mendengarnya tidak kenal bosan dalam mendengar; mereka ingin mendengar lebih lagi dari situ”.
Maitreya akan dikenal oleh semuanya kecuali oleh lima kelompok pendosa:
Mereka yang menyekutukan tuhan lain selain Tuhan.
Para pembuat kejahatan.
Pembunuh dari sahabat yang suci.
Orang-orang yang bugil dan penuh nafsu seksual.
Mereka yang menolak demokrasi.
“Ibunda Maitreya kelak seorang bangsawan dan rupawan. Dia adalah puteranya yang pertama” (Maha Vastu I:197, Lalit Vistar 25:5, 23:10).
Meskipun ada ratusan patung Maitreya, namun ini adalah suatu mukjizat, sebagaimana ditulis, bahwa dia sendiri sangat menentang patung dan peribadatan kepadanya. Tertulis di sana:

“Kebiasaan di dunia ini membentuk dari segumpal tanah liat, dan dengan roda menjadikannya patung porselen. Bagaimana bisa patung ini dibandingkan dengan tokoh yang dimaksud atau dilanjutkan oleh generasi penerus. Arhan tidak dapat memecahkan masalah ini, pergi ke surga para dewa, dan bertanya kepada Maitreya yang menjawabnya”. (“Chinese Buddhism”, oleh Rev. Joseph Edkins, halaman 80).

Ini dengan jelas menunjukkan, bahwa menurut nubuatan ini, tak seorangpun kecuali Nabi Muhammad yang akan menjadi Dia yang Dijanjikan. Dalam “Chinese Tripitaka”, Buddha, yang menjawab Sariputra, berkata:

“Setelah ini seorang raja yang tulus akan menggantikan, dan Maitreya akan menurunkan 300 remaja, yang lahir secara gaib di antara manusia. Mereka akan melingkupi Hukum dari 500 Arhats dan pergi di antara manusia untuk memerintah mereka, sehingga sekali lagi, kitab-kitab suci yang sudah ditarik ke langit akan disebar-luaskan lagi oleh Maitreya, di dunia”. Lagi Buddha berkata: “Atas alasan apa sehingga saya terus akan menampakkan diri saya kembali? Ketika manusia menjadi ingkar, tak bijak, bodoh, tak peduli, senang mengumbar nafsu seksual, dan pengecut, maka mereka terjun ke kemalangan hidup. Kemudian Aku, yang tahu arah dunia ini, akan mengumumkan: Aku begini dan begitu (dan Aku mempertimbangkan): bagaimana bisa Aku membuat mereka condong kepada pencerahan? Bagaimana bisa mereka ikut ambil bagian dalam menikmati Hukum Buddha”. (Saddharam Pundrik, 15:22, 23). Terjemahan kitab Buddhis “Jataka” dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam Harvard University Studies, jilid 3. Ini berbicara tentang Tanda-tanda atas kedatangan dari Dia yang Dijanjikan. Ini mengungkapkan, bahwa Maitreya itu tidak saja Dia yang Dijanjikan oleh Gautama Buddha melainkan bahwa seluruh duapuluh empat Buddha telah meramalkan kedatangannya. Sebagaimana Quran Suci telah menyatakan:

“Dan tatkala Allah membuat perjanjian melalui para Nabi: Sesungguhnya apa yang kami berikan kepada kamu berupa Kitab dan Kebijaksanaan – lalu Utusan datang kepada kamu, membenarkan apa yang ada pada kamu, seharusnya kamu beriman kepadanya dan membantu dia.: Apakah kamu membenarkan dan menerima perjanjian-Ku dalam (perkara) ini? Mereka berkata: Kami membenarkan. Ia berfirman: Maka saksikanlah dan Aku pun golongan yang menyaksikan bersama kamu”. (Q.S. 3:80).

Major Arhur Glyn Leonard menulis:

“Sesungguhnya Muhammad itu seorang yang luar biasa besar. Perbedaannya (yang nampak bagiku) antara orang besar yang lain dengan dirinya sangat besar. Type biasa dari orang besar, seorang John Knox, misalnya, adalah seorang patriot, pada dasarnya. Pertama dia berjasa bagi negaranya, baru demi Tuhan dan kemanusiaan. Seperti telah saya tunjukkan, bagi Muhammad, ini kebalikannya. Meskipun aslinya dia seorang bangsa Arab, tetapi beliau meletakkan Tuhan dan alam di atas segalanya.
Hal inilah yang membuat dia seorang humanis, ini yang menempatkan dirinya di depan zamannya.
Muhammad, tanpa sedikitpun keraguan, berdiri berabad-abad di depan zamannya.
Dan inilah arti sejati dari Maitreya ,“Rahmat bagi segenap bangsa-bangsa”.

“Buddha meramalkan kedatangan Muhammad s.a.w.” diselesaikan oleh pengarang Maulana Abdul Haque Vidiarthy pada tanggal 25 Maret 1954 di Paramaribo, Suriname, Amerika Selatan.

“Buddhist and Christian Gospels”, oleh Edmunds, jilid 2 halaman 160-161.
“Sacred Books of the East”, jilid IV halaman 13-14.
“Coming World Teacher”, oleh Pavri, halaman 23.
“The Master of Path”, oleh Lead Beater.
“Buddhism”, oleh Warren, halaman 481-482.

 Nubuatan ini ada dalam Kitab-kitab suci dari semua sekte Buddhis.

Muir’s “A Life of Muhammad” bab VII.
“Encyclopaedia Brittanica”, art. Lote-tree.
“Gadens Studies”, catatan kaki halaman 223.   Dan
“History of Pali literature” oleh B.C.Lall,Ph.D. Kata pengantar dan bab 1.
“Literary History of Sanskrit Buddhism”, oleh G.K.Nariman, halaman 5.
Karya berikut ini harus dirujuk untuk penjelasan lebih lanjut dari subyek yang di tangan.
Keith’s “Buddhist Philosophy”, halaman 31-32. “Dhammapad”, Pendahuluan, halaman 26.

G. Buhlat’s “Three new edicts of Ashoka”, Bombay, 1877, halaman 29.

“Sacred Books of the East”, jilid V. 25 halaman 172.
“Buddhism” oleh Rhys Davids, “Amgandha Sutta”, halaman 131.
“Outline of Buddhism”, halaman 58.
H.C.Warren,”Buddhism in transition”, Cambridge, 1896, halaman 481-486.
“Encyclopaedia Brittanica” edisi 11, art. “Maitreya”.
Maitreya, “Encyclopaedia of America”, jilid 18 halaman 135.
“Sanskrit-Chinese Dictionary”, oleh Eite I.E.J. bagian pertama halaman 92.
“Sanskrit-English Dictionary” oleh Monier Williams, “Buddhism”, oleh pengarang yang sama hal.181.
Ibid, hal.128. “Sanskrit English Dictionary”, oleh Monier Williams.
“Encyclopaedia Brittanica”, edisi 11, art. ‘Koran’.
Le Comte de Bouillainvilliers, “Le vil de Mohamet”, Amsterdam, 1731, halaman 134-144.
Dalam Vishnupurana diramalkan bahwa ‘Amitabha’ akan muncul pada tahun ke-8 manvantra.
“Encyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I halaman 98-99.

0 komentar:

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Copyright © Design by Dadang Herdiana