Revolusi Terhadap Sesama Umat Islam
Manusia tidak sendiri, menurut perkiraan pada tahun 2000 jumlah manusia adalah 6.000.000.000 (enam milyar) jiwa. Sekitar 1/6 dari itu adalah kaum Muslim. Walau bukan jumlah mayoritas di kolong langit ini, namun jumlah sedemikian bukanlah sedikit. Sulit mengelolanya: mayoritas kaum Muslim adalah terbelakang. Kemiskinan, kebodohan, kebejatan begitu setia menempel sejak sekitar abad ke-19. Penulis mencoba membahas, walau sekilas, beberapa masalah kaum Muslim.
1. Keterbelakangan
Keterbelakangan sebagaimana tersebut di atas, sebagai akibat konflik yang panjang dan kejam dengan umat lain, kaum Muslim kehilangan capaian kemanusiaannya. Berbagai pusat intelektual semisal madrasah, universitas, pustaka, masjid rusak tinggal puing. Para inteleknya banyak yang ditangkap dan atau dibunuh. Tak terhitung buku-buku yang juga dimusnahkan semisal di Baghdad dan Qurthubah.
Kemiskinan juga mengiringi akibat konflik. Pusat-pusat perekonomian semisal perdagangan dan pertanian juga dirusak atau ditinggalkan. Orang dipaksa untuk mahir memegang pedang dibanding memegang timbangan sebagaimana dipaksa mahir memegang pedang dibanding memegang pena.
Keterbelakangan tersebut terlestarikan, sengaja maupun tidak, oleh para elit yang tidak amanat terhadap kekayaan dan kekuasaan. Mereka sesungguhnya adalah hasil dari revolusi yang konon untuk mengusir penjajah asing atau kafir, namun yang muncul bukanlah masyarakat adil dan makmur, bukanlah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, tetapi para elit yang berjarak atau tidak memihak rakyat dengan perilaku selingkuhnya semisal korupsi, kolusi dan nepotisme.
Inilah contoh kebejatan yang penulis maksud. Mereka bukan melaksanakan nilai-nilai Islam namun justru melaksanakan nilai-nilai non Islam, terkadang warisan penjajah, semisal sekulerisme, kapitalisme, komunisme, hedonisme dan isme-isme entah apa lagi. Untuk melestarikan perselingkuhan tersebut mereka tak segan-segan menjadi antek imperialis: para aktivis Muslim ditangkap, dibunuh, diusir atau diekstradisi kepada imperialis. Indonesia adalah contoh yang jitu terhadap perilaku jahiliyah tersebut. Akibatnya, negeri yang kaya sumber alam, letak strategis serta luas ini tidak terkelola dengan becus. Dekat dengan azab Illahi dan jauh dari berkah Illahi
2. Perpecahan
Kaum Muslim terjebak dalam pengkotak-kotakan atau penggolong-golongan berdasar apa yang disebut mazhab atau sekte dalam memperlakukan agamanya. Perpecahan tersebut bahkan pernah menampilkan konflik yang berdarah-darah. Sekadar contoh adalah ‘Iraq, sejak dijajah Amerika pada 2003 negeri tersebut terjerumus dalam perang saudara antara Suni dan Syi’ah: saling membom masjid dan tentu saja saling bunuh. Perbedaan yang sesungguhnya berawal dari masalah politik kemudian merambah ke bidang agama. Perang Teluk I (1980-1988) antara ‘Iraq dengan Iran sungguh menguras potensi kaum Muslim secara konyol. Konflik tersebut selain perbedaan antara Suni dengan Syi’ah –mengingat ‘Iraq mayoritas Syi’ah namun sekian lama dikuasai oleh Suni– juga karena perbedaan bangsa. ‘Iraq sangat menonjol identitas Arabnya dan Iran menonjol karena identitas Persianya. Konflik berdasar bangsa tersebut sesungguhnya juga terbilang lama, pada abad ke-7 pasukan Muslim Arab menyerbu Kekaisaran Sassanida. Persia sepenuhnya takluk: mayoritas rakyatnya menjadi Muslim dan budaya Arab mendominasi. Hingga kini Iran masih memakai huruf Arab dan menyerap banyak istilah Arab, namun ciri Persianya tetap bertahan. Iran tidak mengalami Arabisasi yang nyaris total sebagaimana tetangganya, ‘Iraq.
Di ‘Iraq, selain perbedaan antara Arab Suni dengan Arab Syi’ah juga terdapat perbedaan yang menjurus konflik antara Arab dengan Kurdi. Walau sama-sama Suni, hal tersebut tidak menjamin persatuan. Sekian lama ‘Iraq di bawah dominasi Arab dinilai menzhalimi Kurdi. Kurdi menilai rezim Arab menguras sumber daya minyak di wilayah Kurdistan dan mereka cuma sedikit kebagian rezeki tersebut.
3. Cinta dunia takut mati
Inilah peringatan jitu oleh nabi menjelang wafat. Faham hedonisme dan materialisme sungguh mempesona mayoritas kaum Muslim, nilai-nilai yang memuja duniawi menjadi ukuran kehormatan atau kemuliaan. Mereka berusaha meraih nikmat duniawi, apa pun caranya. Sadar tak sadar, kaum Muslim menjadikan dunia sebagai tujuan akhir atau segalanya, bukan lagi hanya sebagai fasilitas atau jembatan menuju akhirat.
Dunia Arab misalnya, mendapat limpahan minyak sehingga ada yang dijuluki negara petro dollar. Namun nikmat tersebut membuat para elit dan rakyatnya bernafsi-nafsi atau berfoya-foya. Mereka terkesan lupa bahwa kaum Muslim di belahan dunia lain masih terperangkap dalam kemiskinan. Ada juga yang mengalami penindasan dari non Muslim yaitu Palestina. Entah hingga kapan mereka berjuang sendiri dengan batu, darah, keringat, tulang dan dagingnya melawan mesin perang zionis nan canggih.
Sumber daya bangsa Arab sungguh besar dibanding Israel, namun beberapa kali perang selalu menghasilkan kekalahan bagi Arab. Rakyat Palestina dipaksa berjuang sendiri, jika ada bantuan jelas tidak sebanding dengan kemampuan. Sesungguhnya beberapa negara Arab petro dollar mampu membantu melebihi jumlah yang sekarang, termasuk nyawa, namun cinta dunialah yang merintangi.
4. Faham sesat
Indonesia adalah contoh yang jitu. Berbagai kelompok atau pendapat sesat sejak lama menghiasi perilaku kaum Muslim terhadap agamanya. Ada kelompok Islam Jama’ah, Ahmadiyyah, Inkar Sunnah, Jaringan Islam Liberal, Paramadina selain pendapat individu-individu.
Muncul tafsir laa ilaha illa Llah adalah tiada tuhan selain Tuhan, muncul pendapat muslimat boleh jodoh dengan lelaki non Muslim, muncul pendapat Iblis akan masuk surga karena hanya mau sujud kepada Allah, bukan kepada manusia, muncul pendapat bahwa 95% ajaran Islam bersifat relatif, muncul pula komentar bahwa al-Qur’an adalah kitab suci paling porno di dunia, dan berbagai ragam pendapat sesat lain, yang pasti masih berkelanjutan.
Mereka justru lebih berbahaya dibanding non Muslim, non Muslim lebih mudah diketahui antara lain dari nama pribadi, daerah asal atau saat dia ke rumah ibadatnya. Namun yang berlatar belakang Muslim sulit diketahui berfihak siapa atau mana, atau maunya apa, di antara mereka ada yang dikenal luas sebagai pakar agama Islam dengan titel kiyahi haji atau memakai nama-nama Arab. Mereka dapat saja shalat bersama kita, berpuasa bersama kita atau berhaji bersama kita, namun akan melawan jika kita ingin menampilkan nilai-nilai Islam bukan hanya di ruang privat.
Beberapa kelompok Muslim bahkan ada yang mendapat bantuan non Muslim untuk merusak akidah, ritual dan moral kaum Muslim. Ahmadiyyah percaya bahwa ada nabi setelah Muhammad, Inkar Sunnah menolak hadits walau shahih, Islam Jama’ah menolak ilmu agama yang tidak diriwayatkan oleh imam mereka. Paramadina menolak fakta bahwa sebutan Masjid al-Aqsha dalam Surah al-Isra’ ayat 1 bukan di al-Quddus al-Syarif (Yerussalem) namun somewhere in Sidrat al-Muntaha. Padahal Masjid al-Aqsha memang di Yerussalem.
Begitu banyak faham sesat di Indonesia sesungguhnya tak lepas dari belum tuntasnya da’wah Islam. Da’wah terabaikan karena konflik yang panjang dan kejam melawan imperialis. Hal tersebut terkait dengan apa yang dibahas dalam nomor 1. Akibat kerusakan aset dan kelangkaan ulama, umat kehilangan panutan atau tuntunan. Tercampurlah Islam dengan berbagai faham non Islam, antara lain yang dikenal dengan istilah Kejawen.
Revolusi terhadap seumat atau seagama termasuk revolusi melawan musuh yang terhebat adalah musuh yang terdekat. Sulit dideteksi karena kesamaan identitas dengan kita. Sejarah membuktikan bahwa revolusi intern mendapat tantangan berat dari intern pula, fihak ekstern hanya bermain di belakang layar. Mereka ikut campur langsung jika menilai bahwa revolusi tersebut mengancam langsung kepentingan mereka.
Gerakan Wahhabi atau Muwwahid misalnya, gerakan ini sesungguhnya tidak mengenalkan sesuatu yang baru bagi kaum Muslim. Mereka hanya mengajak kembali kepada kitab dan sunnah, lain tidak. Namun yang tampil dahulu melawan Wahhabi adalah Muslim juga yaitu Kerajaan Turki ‘Utsmaniyyah. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (1703-1792) berniat melaksanakan koreksi terhadap intern Muslim termasuk pemerintah ‘Utsmaniyyah. Gabungan pasukan Turki dan Mesir sempat menumpas gerakan tersebut namun tidak tuntas. Pada pertengahan abad ke-19 Wahhabi muncul lagi dan pada abad ke-20 membentuk Kerajaan Arab Saudi.
Gerakan Mahdi muncul di Sudan. Seorang ulama bernama Muhammad bin Ahmad juga menilai bahwa kaum Muslim sedang bobrok dan dia bertekad untuk menatanya. Gerakannya mendapat tantangan dari Mesir, ketika itu Mesir berada di bawah protektorat Inggris, istilah halus dari penjajahan. Mesir tak mampu melawan sendirian. Setelah berperang selama sekitar 15 tahun gabungan pasukan Mesir dan Inggris menumpas revolusi tersebut.
Tarikat Sanusiyyah tampil di Libya, tarikat adalah semacam jalan atau metoda dalam tasawuf. Tasawuf adalah beragama dengan cara mengerahkan segenap potensi ruhani atau batin mendekat kepada Tuhan, melepaskan rasa terikat kepada dunia. Kelompok ini mencoba membangkitkan rasa beragama yang mungkin dinilai berkurang dengan latihan ruhani tertentu. Kegiatan tarikat tersebut akhirnya berbenturan keras dengan imperialis Italia. Setelah berperang selama sekitar 20 tahun Revolusi Sanusiyyah dapat ditumpas namun fahamnya tidak. Pimpinan revolusi terhadap Italia adalah ‘Umar Mukhtar.
Indonesia agaknya tak mau ketinggalan, faham Wahhabi muncul dalam gerakan yang disebut Paderi atau Pidari di Minangkabau. Mereka bertekad membawa kembali kaum Muslim kepada kitab dan sunnah. Tantangan datang dari kaum yang disebut kaum adat semisal datuk dan penghulu. Karena tak mampu melawan Paderi sendirian, mereka minta bantuan kolonial Belanda. Setelah berperang selama sekitar 30 tahun –termasuk 16 tahun keterlibatan Belanda– gerakan Paderi dapat ditumpas namun fahamnya tetap hidup dan menjelma dengan nama lain.
Muhammadiyah adalah gerakan da’wah terhadap kalangan seumat yang juga berfaham Wahhabi, dan juga mendapat tantangan dari kaum Muslim. Lahir di jantung Kejawen yaitu Yogyakarta pada 1912. Berbeda dengan Paderi, Muhammadiyah menempuh cara damai dan hal itu mungkin berakibat organisasi tersebut masih bertahan dan berkembang dengan berbagai asetnya. Muhammadiyah menempuh cara demikian karena tahu bahwa saat itu mustahil mengobarkan perang karena kolonialisme Belanda telah kuat mencengkeram Nusantara, dan lagi pula Belanda saat itu mencoba menata ulang hubungannya dengan Nusantara ke arah yang lebih manusiawi walau tidak atau belum berniat melepas Nusantara. Suasana demikian memungkinkan Muhammadiyah menata da’wah yang sempat terabaikan akibat konflik bersenjata dengan kolonial.
Revolusi terhadap kalangan seumat antara lain mencakup:
Menuntun kaum Muslim kembali kepada kitab dan sunnah. Buang segala faham yang non Islam apalagi yang bertentangan dengan Islam. Da’wah harus kembali digiatkan, bukan hanya da’wah dengan bicara (da’wah bil lisaan) namun juga da’wah dengan bekerja (da’wah bil haal). Kampanye pelaksanaan syari’at Islam di ruang publik harus berdasar konsep yang lugas namun disampaikan dengan simpatik. Proposalnya harus disebar luaskan, dengan demikian publik diperkenankan untuk menguji proposal tersebut. Dengan demikian para pengusung syari’at Islam juga dituntut menguasai masalahnya atau produk yang mereka “jual”. Fahami betul falsafah iklan yang baik adalah mutu barang itu sendiri. Mereka harus mengenal mutu syari’at Islam.
Memperbaiki mutu duniawi umat, kaum Muslim harus menguasai ilmu, termasuk teknologi, dan mengislamkannya. Ilmu harus diyakini sebagai anugerah Tuhan sebagaimana iman atau agama, keduanya harus sejalan untuk membuahkan amal. Pelajaran ilmu alam perlu diberi corak agama, sehingga fenomena alam dinilai sebagai bagian dari kuasa Tuhan, pemanfaatannya harus sesuai dengan hukum Tuhan yang bekerja dalam alam. Sebagai contoh, jika hutan ditebang sembarangan maka hukum Tuhan yang ada ialah banjir, longsor atau kering. Bencana yang ada hendaklah dikaitkan dengan akibat pengabaian manusia terhadap hukum Tuhan tersebut.
Mempelajari alam hendaklah juga dengan kesadaran bahwa alam adalah tanda atau ayat Tuhan pula, yaitu ayat tak tertulis. Dalam kitab suci tersebut bahwa apa yang ada dalam alam adalah tanda-tanda Tuhan.
Menguasai teknologi memiliki tujuan untuk mengurangi ketergantungan kaum Muslim terhadap non Muslim. Kaum Muslim harus menyadari bahwa non Muslim memiliki potensi sebagai musuh, dan memang ada yang menjadi musuh. Terhadap non Muslim yang relatif simpatik, Islam mengajarkan untuk tidak segan-segan mengambil atau belajar yang bermanfaat dari mereka. Nabi menjelaskan bahwa ilmu atau hikmat adalah milik mu’min yang tercecer, karena itu kaum Muslim dituntut untuk memungutnya walau dari non Muslim. Nabi menjelaskan pula bahwa “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, hadits tersebut memiliki makna yang dalam yaitu “carilah ilmu walau jauh dan non Muslim”. Hingga kini hadits tersebut masih relevan mengingat Cina termasuk negeri yang maju teknologinya dan pesat pertumbuhan ekonominya, dan hingga detik ini masih dikenal sebagai (mayoritas) non Muslim.
Mewujudkan ukhuwwah Islamiyyah dengan kembali membentuk khilafah sedunia, semacam Pax Islamica, guna menghimpun potensi umat ke arah rahmatan lil ‘alamin. Sekaligus juga mempertahankan hak kaum Muslim. Jangan sampai ada Muslim yang teraniaya tanpa ada pembelaan. Sejak khilafah runtuh pada 1924, darah kaum Muslim lebih banyak tertumpah dan kaum Muslim lebih terpecah-belah. Secara berangsur, faham nasionalisme perlu diganti dengan internasionalisme. Dengan demikian dunia dapat dibagi menjadi 2 saja yaitu dunia Muslim dan dunia non Muslim. Hal tersebut pernah terjadi. Jika Muslim ditanya identitasnya, dengan mudah dia lebih menyebut agamanya. Kaum Muslim jika bermusafir atau menetap di suatu negeri Muslim cukup melapor kepada pejabat setempat setingkat RT / RW. Tidak perlu pakai paspor, visa atau hal semacamnya karena dunia Muslim sudah menjadi 1satu, yaitu negara berdasar Islam
Membebaskan kaum Muslim yang tertindas oleh non Muslim dengan dana, metoda dan senjata. Perlu propaganda bahwa menuntut keadilan bukanlah terorisme. Jika pun ada terorisme perlu propaganda bahwa hal tersebut adalah reaksi, bukan aksi. Tegasnya reaksi terhadap kezhaliman. Namun perlawanan bersenjata diusahakan sebagai pilihan akhir guna mengurangi korban
Jaringan antara organisasi yang bersifat sosial dengan kelompok perlawanan harus terjalin seerat sekaligus serahasia mungkin. Dengan demikian kelompok perlawanan –selain mengusahakan sendiri dana– juga secara rutin memungkinkan menerima dana dari organisasi sosial.
0 komentar: