Revolusi Terhadap Diri Sendiri
Tersebut riwayat bahwa usai pertempuran di Badar –dikenal dengan Perang Badar (624)– nabi bersabda, ”Kita baru melaksanakan perjuangan kecil menuju perjuangan besar”. Para prajurit heran, kenapa perang yang baru terjadi itu disebut perjuangan kecil; bukankah terjadi pada bulan puasa, ketika para prajurit sedang berpuasa di gurun; bukankah jumlah orang yang terlibat (sekitar 1000 orang kafir dan 313 Muslim) terbilang besar? Bukankah Perang Badar adalah saat yang kritis bagi Muslim mengingat jika kalah bukan hanya kaum Muslim yang habis namun juga seluruh penyembah Allah akan musnah? Hal tersebut terungkap dari doa Muhammad SAW: “…..Ya Allah, jika kami kalah maka tidak akan ada lagi orang yang menyembahmu…..”
Muhammad SAW menjawab dengan singkat namun padat, ”Perjuangan melawan hawa nafsu”.
Dari riwayat tersebut di atas dapatlah disimak, bahwa musuh bukan hanya ada yang jauh namun juga ada yang dekat dengan diri, bahkan bercokol dalam diri. Agaknya Muhammad jauh-jauh waktu sudah memperingatkan bahwa ada suatu perjuangan, atau revolusi, terhebat karena ada musuh yang terdekat. Musuh yang tak dapat dihindar dengan lari atau sembunyi, musuh yang terus hidup selama orang yang bersangkutan hidup, musuh yang tak kenal lelah, libur, cuti, istirahat atau hal semacam itu, kecuali orang yang bersangkutan tidur. Musuh yang lazim disebut nafsu. Artinya musuh tersebut adalah bagian dari diri sendiri. Akibatnya, orang harus memusuhi atau melawan dirinya sendiri. Bagaimana ini?
Coba kita kembali mengingat kisah penciptaan manusia. Manusia bukan makhluk ruhani belaka, manusia adalah juga makhluk jasadi. Ada darah, keringat, tulang dan daging. Unsur-unsur tersebut berakibat manusia memiliki apa yang disebut kebutuhan, keinginan atau nafsu tersebut tadi, yang dapatlah didefinisikan dengan “suatu dorongan atau kecenderungan untuk mendapat sesuatu guna membangkitkan rasa cukup atau kenyang –lazim disebut puas– atau guna mempertahankan hidup selama mungkin.”
Nafsu beragam jenisnya, namun nafsu perut dan nafsu bawah perut umumnya dinilai sebagai nafsu yang paling dasar, atau asal muasal nafsu yang lain semisal nafsu kaya, nafsu kuasa atau nafsu tenar, mengingat bahwa hal tersebut terkait dengan kelangsungan hidup. Jika perut tidak diisi maka lapar yang muncul, jika terus dibiarkan maka terhentilah hidup seseorang. Demikian pula dengan bawah perut, jika diabaikan maka terputuslah pelanjut hidup.
Tuhan memberi nafsu dan juga (tentu saja) akal kepada manusia, dengan maksud ada langkah maju yang membedakan manusia dengan tumbuhan dan binatang. Sebagai contoh, coba lihat sarang burung. Sejak burung ada, bentuk sarang atau rumahnya tak mengalami perubahan, dalam arti lebih baik, lebih nyaman, lebih mewah atau hal semacam itu. Adapun manusia mampu membuat perubahan tempat mukimnya. Berawal dari mukim di gua atau di atas pohon hingga apartemen atau istana. Dengan demikian manusia diarahkan menjadi makhluk yang dinamis. Dengan nafsu manusia terdorong untuk maju, dengan akal manusia mencari cara untuk maju.
Namun akal dan nafsu mengandung kerawanan jika tak dilengkapi dengan pemberian lain yaitu pedoman yang berfungsi mengarahkan manusia ke arah perkenan Tuhan. Karena akal dan nafsu cenderung berebut pengaruh untuk memegang kendali terhadap manusia. Kelak terbukti bahwa nafsu cenderung lebih sering menang. Ada pun pedoman yang dimaksud lazim disebut agama atau wahyu. Pedoman tersebut bukanlah untuk membunuh nafsu dan akal, namun mengendalikan atau mengelolanya supaya terhindar dari kekacauan.
Akal, nafsu dan agama adalah anugerah kepada manusia sebagai makhluk yang dilantik sebagai apa yang disebut “wakil”, khalifah atau “mandataris” Tuhan. Pelaksana kehendak Tuhan di alam yang telah ditentukan, yaitu alam dunia. Tuhan –dengan sifat rahimnya – berbagi wewenang kepada manusia hanya sekedar untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Tentu saja dapat difahami jika wewenang tersebut terbatas, anggaplah semacam fasilitas.
Fasilitas lainnya adalah dunia atau alam beserta isinya. Manusia diizinkan memakai, menikmati, dan jangan lupa, melestarikan alam supaya pelaksanaan kehendak Tuhan dapat berlangsung awet. Dunia pun memiliki keterbatasan. Nah, melaksanakan kehendak Tuhan lazim disebut dengan ibadah atau ibadat. Ibadat dapat didefinisikan sebagai segala perilaku –perbuatan, perkataan, pemikiran dan sebagainya– yang berdasar pada kehendak tuhan dengan niat hanya meraih perkenannya. Kitab suci menyatakan firman, ”Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku…..”
Bahaya nafsu mungkin kurang disimak ketika manusia pertama belum mengenal perilaku yang membangkitkannya oleh makhluk yang lazim disebut setan. Penciptaan manusia dinilai oleh setan akan mengurangi atau menggeser keunggulannya di antara makhluk. Sebagian besar kita mungkin tak tahu bahwa pada awalnya atau tepatnya sebelum manusia dicipta, setan adalah makhluk Tuhan yang setia.
Kesetiaan yang sangat kepada Tuhan mendapat penghargaan berupa posisi sebagai “guru” Malaikat. Setanlah yang mengajar malaikat cara beribadat. Hal tersebut telah berlangsung lama, mungkin jutaan tahun. Ketika tahu bahwa Tuhan menciptakan makhluk berikut, yang ternyata adalah yang terakhir, yaitu manusia, setan menilai akan ada semacam persaingan meraih ridha Tuhan atau kasih Tuhan.
Kecemasan tersebut kelak (dinilai) terbukti ketika Tuhan memerintahkan malaikat dan setan untuk sujud kepada manusia. Tentu saja sujud yang dimaksud bukanlah menyembah, namun menghormati atau mengagumi kuasa Tuhan yang mampu menciptakan manusia dengan berbagai fasilitasnya, yaitu antara lain akal dan nafsu. Ketika itu belum ada perintah ibadat, syariat atau agama untuk manusia. Manusia dibiarkan dahulu mengenal lingkungannya, mempelajari ciptaan Tuhan. Dalam kitab suci tuhan mengisahkan bahwa manusia pertama tersebut diajar menyebut nama-nama, ini mungkin mudah difahami jika kita hubungkan dengan kehidupan kita sehari-hari. Bagi yang memiliki anak, anak diajar menyebut nama-nama atau kata-kata selain belajar yang lain semisal berjalan. Belajar berjalan dimaksud supaya si anak mengenal lingkungan sekitar. Hukum, kewajiban atau agama belum dibebankan kepadanya.
Peraturan atau syari’at pertama diberikan berupa kebolehan sekaligus larangan. “Semua boleh kamu makan (nikmati) kecuali satu pohon…..,” demikian firman Tuhan. Inilah awal perkenalan manusia dengan agama, yang kelak mengalami perubahan dalam arti penyempurnaan hingga muncul agama terakhir yang kita kenal dengan Islam. Tuhan menilai tiba waktunya manusia diberi pedoman, apa pun istilahnya semisal syari’at, peraturan, hukum atau agama: ini boleh, ini tak boleh. Tuhan ingin melaksanakan semacam uji coba apakah akal dan nafsu dapat dikendalikan oleh manusia berdasar agama, dan seberapa jauh dapat dikendalikan.
Setan –sebagai akibat dari penolakannya sujud kepada manusia– dinilai menyalahi disiplin Tuhan. Dia dihukum sebagai makhluk terkutuk. Namun mengingat pengabdiannya pada masa lalu, Tuhan memberi peluang untuk mengganggu manusia supaya menyimpang dari jalan Tuhan. Bahkan tersebut dalam riwayat, Tuhan masih memberi kesempatan dia mendapat ampunan-Nya, dengan (sejumlah) syarat. Namun hingga kini setan tidak berniat memenuhi syarat tersebut.
Kebencian setan kepada insan sesungguhnya memiliki dasar yang relatif lemah. Manusia tidak minta diciptakan, bahkan mungkin manusia tidak faham kenapa malaikat dan setan diperintah sujud kepadanya. Jika ingin dongkol, ya silahkan hanya dongkol kepada Tuhan. Manusia jangan dibawa-bawa. Namun karena setan tahu bahwa Tuhan tak mungkin dilawan, maka target permusuhan diarahkan kepada manusia. Setan menilai bahwa ada keunggulan manusia adalah sekaligus kelemahannya. Apakah itu? Jawabnya, ya nafsu tersebut tadi.
Usaha pertama setan memanfaatkan nafsu untuk menjerumuskan manusia terbukti sukses. Pelanggaran pertama dalam sejarah manusia terjadi: pohon terlarang ternyata didekati dan buahnya dinikmati. Akibat dari pelanggaran tersebut manusia mengenal semacam noda atau cacat yang lazim disebut dosa. Dari situ setan dapat menilai bahwa pelanggaran berikut akan berpeluang terjadi, dan kelak terbukti banyak terjadi.
Agaknya Tuhan tidak membiarkan setan menjadi pemenang dengan mudah dalam permusuhan ini. Kelak dari manusia tampil orang-orang yang dipilih membimbing umat manusia untuk tetap setia pada Tuhan, lazim disebut nabi. Agama demi agama, ajaran demi ajaran sambung bersambung diperkenalkan kepada manusia. Namun yang menyimpang tetap ada, dengan demikian masalahnya bukanlah apakah ada manusia yang menyimpang atau tidak, tetapi berapakah yang menyimpang.
Agama diharapkan akan memperkecil jumlah penyimpangan. Dalam agama, selain peraturan juga terdapat pengampunan bagi yang (telanjur) bersalah. Hal tersebut telah diberi sejak manusia pertama. Begitu sadar telah bersalah, manusia minta ampun, dan Tuhan memberi ampun. Dalam Islam, cara mohon ampun cukup beragam: paling ringan adalah mengucapkan permohonan ampun dengan singkat (lazim disebut istighfar), hingga melaksanakan sesuatu untuk menetralkan atau mengurangi sejumlah kerugian atau kerusakan akibat kesalahan (lazim disebut penebusan).
Mengingat perbuatan untuk menetralkan akibat kesalahan, atau mengendalikan nafsu (dan akal) guna mencegah kerugian atau kerusakan tersebut terjadi pada atau dalam diri selama hidup, tegasnya memiliki tingkat kesukaran paling tinggi, agaknya itulah termasuk yang dimaksud oleh nabi perjuangan melawan nafsu adalah perjuangan besar. Berjuang melawan diri sendiri, revolusi terhadap diri sendiri. Inilah awal revolusi, atau revolusi harus berawal dari diri sendiri. Revolusi dalam Islam. Istilahnya ibda bi nafsika (mulailah dari diri sendiri). Dalam kitab suci tersebut perintah “jagalah dirimu dan keluargamu dari neraka…..” yang sesungguhnya mengacu dari konsep ibda bi nafsika.
Lawan dalam diri sendiri mendapat penegasan lagi dari sabda rasul, “Sesungguhnya pada dirimu terdapat unsur jahiliyyah”. Walau nasihat tersebut ketika itu ditujukan kepada Abu Dzar al-Ghiffariy namun hal tersebut mencakup kepada seluruh manusia. Jahiliyyah adalah istilah lain untuk menyebut sisi buruk atau salah pada manusia.
Revolusi yang dikehendaki oleh Islam adalah perbaikan dari waktu ke waktu. Nabi bersabda,”Sebaik-baik manusia adalah memiliki hari kini lebih baik dari pada hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari kini…..” Dan revolusi yang dikehendaki adalah revolusi yang sedamai mungkin, revolusi dengan perang adalah pilihan akhir, mengingat Islam (dan semua agama) ingin ada kedamaian. Namun nafsu ingin peperangan, minimal dalam diri manusia mendorong harus ada perang. Tentu saja perang tersebut akan lebih meriah dengan kehadiran setan yang mengipas-ngipasi nafsu.
Dalam kitab suci, Tuhan menjelaskan bahwa manusia dihiasi oleh beberapa keinginan antara lain anak lelaki, sawah ladang, kendaraan, emas berpikul-pikul. Namun buntut dari ayat tersebut menjelaskan bahwa ada pahala dan ampunan yang besar. Ini menjelaskan bahwa tuhan tidak melarang manusia memiliki dunia, namun hal tersebut haruslah dinilai sebagai amanat Tuhan yang harus diperlakukan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dan jika manusia melaksanakan itu, tersedia anugerah yang lebih utama dibanding dunia yaitu pahala dan ampunan yang besar.
Sejak masa awal Islam ada usaha-usaha untuk membunuh nafsu. Tersebut riwayat bahwa beberapa Muslim bertekad tidak kawin, puasa terus menerus, shalat terus menerus. Nabi mencoba meletakkan perkara sesuai dengan tempatnya. Menjadi orang suci dalam Islam bukan berarti membenci atau menjauhi dunia, bukan berarti membunuh nafsu. Namun mengendalikan.
Puasa misalnya, adalah contoh jitu latihan atau didikan dasar untuk itu. Walau demikian, faham anti duniawi sempat tampil cukup menonjol dalam sejarah Muslim. Sejumlah orang menempuh hidup berdasar faham tersebut lazim disebut shufiy, dan cara menempuhnya lazim disebut tashawuf. Abu Hamid al-Ghazaliy (1058-1111) sering dituding sebagai pengobar semangat hidup demikian. Siapapun pengobarnya, akibatnya bagi dunia Muslim adalah kelesuan untuk maju. Revolusi diambil alih oleh kaum non Muslim Barat, dan revolusi yang mereka kobarkan berdasar faham sekuler. Agama berkuasa hanya di ruang privat. Dan bencana kemanusiaan pun muncul silih berganti
0 komentar: