Si Congkak itu Akhirnya Bersujud
Menyaksikan Al-Turabi bersujud, Crane terhenyak sesaat. “Jika ia dapat bersujud kepada Tuhannya, artinya ia jauh lebih lebih baik dari saya, manusia congkak yang tak pernah menyembah Tuhan dengan penuh kerendahan hati seperti itu....”
Pepatah “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” sangat tepat dialamatkan kepada Robert Dickson Crane. Pria yang pernah menjadi penasihat Presiden Amerika Serikat ke-37 Richard Milhous Nixon ini sangat membenci Islam karena ketidaktahuannya.
Nyaris tak pernah ia memikirkan Islam. Menurutnya Islam hanya agama perusak yang primitif. Muslim yang baik harus membunuh orang Kristen dan non-muslim lainnya. “Saya sangat muak dan tidak pernah berhasrat mempelajari agama ini,” katanya mengenang. Bahkan kala itu ia menasihati Nixon untuk mengkambinghitamkan Islam sebagai sekutu komunis. “Islam adalah agama yang menjijikkan, dapat disamakan dengan komunisme,” katanya.
Robert Dickson Crane, jebolan Fakultas Hukum Harvard, adalah penasihat kebanggaan Presiden Richard Milhous Nixon. Richard Nixon ternyata tak jauh berbeda dengan pria kelahiran Cambridge, Massachusetts, AS, 26 Maret 1929, ini. Ia sangat membenci Islam.
Kakek yang Baik Hati
Namun sebuah perjamuan makan di Bahrain mengubah pandangan Crane tentang Islam. Musim panas tahun 1977, ia beserta istrinya berada di Bahrain. Di tengah suhu yang begitu panas, sang istri memintanya menemani melihat-lihat istana di Al-Muharraq, kota dagang tertua di dunia. Kota ini hanya terdiri dari lorong-lorong sempit, seperti sebuah jaringan jalan yang semrawut.
Kondisi jalan yang semrawut itu membuat Crane dan istrinya tersesat di tengah keramaian. Dalam kondisi bingung, tiba-tiba seorang kakek tua yang tengah memperhatikan keanehan gelagatnya dari kejauhan melintas di depannya, kemudian mengajak Crane dan istrinya ke rumahnya. Lokasinya tidak jauh.
Dengan senang hati tentu, Crane beserta istri memenuhi tawaran sang kakek. Kemudian tanpa rasa canggung mereka menghabiskan sisa hari mereka di sana.
Sang tuan rumah menjamu mereka dengan berbagai aneka macam hidangan lezat. “Sambil menikmati jamuan, kami berbicara tentang berbagai hal. Tapi alangkah kagetnya saya ketika ia mengatakan bahwa ia seorang muslim.”
Namun muslim yang ada di hadapannya itu sangat berbeda dengan umat Islam yang selama ini ia citrakan. Ia benar-benar orang baik.
Selama perbincangan, kakek itu tidak sedikit pun menyinggung perihal ajaran Islam. “Kami berbincang tentang banyak hal, mulai dari sejarah, isu terhangat, hal-hal penting di dunia, hingga peran Tuhan di dunia, tetapi bukan tentang Tuhan agama Islam,’’ kata Crane. Momen yang benar-benar membekas dalam dirinya.
Setelah perjamuan itu, Crane mulai tertarik pada ajaran Islam. Ia berpikir untuk mulai mempelajari agama Islam.
Kesimpulannya selama ini salah. Ia menyadari, Islam adalah agama yang mulia.
Shalat Jum’at
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1980, ia berkesempatan mengikuti sebuah konferensi tentang gerakan Islam di New Hampshire, Inggris. Seluruh pemikir besar gerakan Islam dunia hadir di sana. Lagi-lagi Islam kembali membuatnya kagum.
Ketika waktu makan siang tiba, Crane lebih memilih bergabung bersama para tamu asing muslim. Ia begitu ingin belajar sebanyak mungkin dari mereka. Tanpa banyak bertanya, Crane kemudian mengikuti langkah delegasi-delegasi muslim ini ke sebuah ruangan yang lantainya ditutupi permadani.
Semula ia mengira mereka akan makan siang. Namun, ia baru menyadari bahwa hari itu adalah hari Jum’at. Hari teragung bagi umat Islam. Mereka akan melakukan shalat Jum’at. “Saya pun binggung, khawatir menyinggung perasaan mereka bila keluar ruangan. Maka saya pun memutuskan untuk menunggu sambil duduk di bagian belakang ruangan,” kata Crane.
Kala itu, tokoh terkemuka gerakan Islam internasional Sudan, Hasan Al-Turabi, bertindak sebagai imam shalat. Menyaksikan Al-Turabi bersujud, Crane pun terhenyak sesaat. “Saya menyadari bahwa ia membungkuk kepada Allah SWT. Jika ia dapat bersujud kepada Tuhannya, artinya ia jauh lebih lebih baik dari saya, manusia congkak yang tak pernah menyembah Tuhan dengan penuh kerendahan hati seperti itu.” Ia merasa mendapatkan pencerahan dari pemandangan shalat Jum’at.
“Tuhan... begitu hinanya saya...,” rintihnya kala itu. Tak ingin menjadi manusia yang jauh lebih merugi, Crane memutuskan untuk bersujud kepada Tuhannya. Namun bukan tuhan yang selama ini ia sembah. Saat itu juga, Crane bersujud dan memutuskan untuk menjadi seorang muslim.
Setelah memeluk Islam, ia lebih banyak berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang mengkampanyekan Islam.
Berbagai posisi penting dalam pemerintahan Amerika Serikat yang ditempati Robert Dickson Crane ditanggalkan begitu saja. “Tak ada yang lebih mulia daripada berdakwah di jalan Allah SWT.” Subhanallah.
Nyaris tak pernah ia memikirkan Islam. Menurutnya Islam hanya agama perusak yang primitif. Muslim yang baik harus membunuh orang Kristen dan non-muslim lainnya. “Saya sangat muak dan tidak pernah berhasrat mempelajari agama ini,” katanya mengenang. Bahkan kala itu ia menasihati Nixon untuk mengkambinghitamkan Islam sebagai sekutu komunis. “Islam adalah agama yang menjijikkan, dapat disamakan dengan komunisme,” katanya.
Robert Dickson Crane, jebolan Fakultas Hukum Harvard, adalah penasihat kebanggaan Presiden Richard Milhous Nixon. Richard Nixon ternyata tak jauh berbeda dengan pria kelahiran Cambridge, Massachusetts, AS, 26 Maret 1929, ini. Ia sangat membenci Islam.
Kakek yang Baik Hati
Namun sebuah perjamuan makan di Bahrain mengubah pandangan Crane tentang Islam. Musim panas tahun 1977, ia beserta istrinya berada di Bahrain. Di tengah suhu yang begitu panas, sang istri memintanya menemani melihat-lihat istana di Al-Muharraq, kota dagang tertua di dunia. Kota ini hanya terdiri dari lorong-lorong sempit, seperti sebuah jaringan jalan yang semrawut.
Kondisi jalan yang semrawut itu membuat Crane dan istrinya tersesat di tengah keramaian. Dalam kondisi bingung, tiba-tiba seorang kakek tua yang tengah memperhatikan keanehan gelagatnya dari kejauhan melintas di depannya, kemudian mengajak Crane dan istrinya ke rumahnya. Lokasinya tidak jauh.
Dengan senang hati tentu, Crane beserta istri memenuhi tawaran sang kakek. Kemudian tanpa rasa canggung mereka menghabiskan sisa hari mereka di sana.
Sang tuan rumah menjamu mereka dengan berbagai aneka macam hidangan lezat. “Sambil menikmati jamuan, kami berbicara tentang berbagai hal. Tapi alangkah kagetnya saya ketika ia mengatakan bahwa ia seorang muslim.”
Namun muslim yang ada di hadapannya itu sangat berbeda dengan umat Islam yang selama ini ia citrakan. Ia benar-benar orang baik.
Selama perbincangan, kakek itu tidak sedikit pun menyinggung perihal ajaran Islam. “Kami berbincang tentang banyak hal, mulai dari sejarah, isu terhangat, hal-hal penting di dunia, hingga peran Tuhan di dunia, tetapi bukan tentang Tuhan agama Islam,’’ kata Crane. Momen yang benar-benar membekas dalam dirinya.
Setelah perjamuan itu, Crane mulai tertarik pada ajaran Islam. Ia berpikir untuk mulai mempelajari agama Islam.
Kesimpulannya selama ini salah. Ia menyadari, Islam adalah agama yang mulia.
Shalat Jum’at
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1980, ia berkesempatan mengikuti sebuah konferensi tentang gerakan Islam di New Hampshire, Inggris. Seluruh pemikir besar gerakan Islam dunia hadir di sana. Lagi-lagi Islam kembali membuatnya kagum.
Ketika waktu makan siang tiba, Crane lebih memilih bergabung bersama para tamu asing muslim. Ia begitu ingin belajar sebanyak mungkin dari mereka. Tanpa banyak bertanya, Crane kemudian mengikuti langkah delegasi-delegasi muslim ini ke sebuah ruangan yang lantainya ditutupi permadani.
Semula ia mengira mereka akan makan siang. Namun, ia baru menyadari bahwa hari itu adalah hari Jum’at. Hari teragung bagi umat Islam. Mereka akan melakukan shalat Jum’at. “Saya pun binggung, khawatir menyinggung perasaan mereka bila keluar ruangan. Maka saya pun memutuskan untuk menunggu sambil duduk di bagian belakang ruangan,” kata Crane.
Kala itu, tokoh terkemuka gerakan Islam internasional Sudan, Hasan Al-Turabi, bertindak sebagai imam shalat. Menyaksikan Al-Turabi bersujud, Crane pun terhenyak sesaat. “Saya menyadari bahwa ia membungkuk kepada Allah SWT. Jika ia dapat bersujud kepada Tuhannya, artinya ia jauh lebih lebih baik dari saya, manusia congkak yang tak pernah menyembah Tuhan dengan penuh kerendahan hati seperti itu.” Ia merasa mendapatkan pencerahan dari pemandangan shalat Jum’at.
“Tuhan... begitu hinanya saya...,” rintihnya kala itu. Tak ingin menjadi manusia yang jauh lebih merugi, Crane memutuskan untuk bersujud kepada Tuhannya. Namun bukan tuhan yang selama ini ia sembah. Saat itu juga, Crane bersujud dan memutuskan untuk menjadi seorang muslim.
Setelah memeluk Islam, ia lebih banyak berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang mengkampanyekan Islam.
Berbagai posisi penting dalam pemerintahan Amerika Serikat yang ditempati Robert Dickson Crane ditanggalkan begitu saja. “Tak ada yang lebih mulia daripada berdakwah di jalan Allah SWT.” Subhanallah.
0 komentar: