Sejarah Ujung Timur Jawa pada Abad ke-16 Bagian Timur Ujung Timur: Blambangan
XVII-1. Berita-berita kuno tentang Blambangan, legenda dan sejarah
Waktu membicarakan lagenda-lagenda yang menyangkut Probolinggo (Bab XVI-1), telah diketengahkan bahwa Blambangan, sebagai kerajaan yang berada jauh di sebelah timur, mempunyai kedudukan penting dalam cerita tutur Jawa. Menakjingga, raja Blambangan, dalam sastra Jawa telah menjadi terkenal sebagai lawan Damarwulan, tokoh suatu kisah yang sejak abad ke-17 benar-benar menjadi kesayangan rakyat; bagi penelitian sejarah, Damarwulan tidak banyak artinya.[1] Tetapi yang pasti ialah bahwa Kerajaan Blambangan telah mengalami masa-masa perkembangan kekuasaan yang mencolok.
Tempat (mungkin lebih dari satu) di daerah Banyuwangi, yang sebelum zaman Islam merupakan tempat raja-raja Blambangan mendirikan istana, tidak dapat ditunjukkan dengan pasti. Di pelbagai tempat ditemukan peninggalan-peninggalan bangunan tembok. Tetapi banyak di antara bangunan-bangunan itu dahulu milik penguasa-penguasa setempat yang hidup pada abad ke-17 atau ke-18.[2] Dugaan bahwa Semenanjung Blambangan atau Purwa yang sekarang tidak berpenduduk itu menyimpan peninggalan-peninggalan kota keraton suatu kerajaan lama zaman pra-Islam masih harus dikuatkan atau dibuktikan dengan penggalian arkeologi.
Dalam buku-buku cerita abad ke-17 atau ke-18 terdapat suatu cerita tutur tentang asal usul legendaris Raja Menakjingga dari Blambangan. la dikatakan sebagai seorang tokoh yang dilindungi, atau bahkan diciptakan oleh seorang rohaniwan "kafir" dari Dataran Tinggi Tengger yang bernama "ajar" Guntur Geni yang telah mematahkan serangan di pantai Jawa Timur; serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuh raja Majapahit dari seberang laut. Penyerang-penyerang itu adalah orang-orang Siyem (Siam), Kaboja (Kamboja), dan Sukadana (Kalimantan). Sebagai imbalan, "ajar" yang gagah berani itu dianugerahi gelar Pamengger beserta wewenang untuk memerintah Blambangan jauh di sebelah timur.[3] Dari cerita legenda ini dapat disimpulkan bahwa para penulis Jawa abad ke-17 dan ke-18 berkeyakinan bahwa ada hubungan-hubungan lama antara penduduk Dataran Tinggi Tengger yang tidak beragama dan raja-raja Blambangan yang menguasai tanah pedalaman ujung timur Jawa itu. Wilayah penuh pegunungan di sebelah selatan Dataran Tinggi Yang dan Dataran Tinggi Raung juga termasuk daerah mereka.
Blambangan, yang masih lama "kafir" itu, mendapat tempat penting dalam alam pikiran orang Bali dan sastranya. Karena tidak ada tanggal yang dapat dipercaya, sulit sekali menetapkan apakah pengaruh Bali di bidang politik dan kebudayaan di Blambangan, dan pada umumnya di bagian timur dan tengah ujung timur Jawa, sudah ada pada zaman sebelum Islam, pada abad ke-15. Pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18 dengan kekerasan senjata raja-raja Bali ikut mencampuri pemerintahan di ujung timur Jawa. Tidak mustahil bahwa campur tangan itu merupakan lanjutan suatu tradisi yang telah berabad-abad usianya.
Pada tahun 1339 M. Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, dalam perjalanan kelilingnya menjelajahi ujung timur Jawa, tidak mengunjungi Blambangan. Di Patukangan - dapat disamakan dengan Panarukan yang sekarang - ia menerima (tanda-tanda) penghormatan penguasa setempat di Madura, Bali, dan Blambangan. Jelas sekali bahwa, seperti orang dari pulau-pulau (Bali dan Madura), orang dari Blambangan juga pergi ke Panarukan lewat laut. Jalan darat lewat lereng-lereng timur dan utara Pegunungan Raung pada waktu dahulu mungkin terlalu berat untuk ditempuh.[4]
Yang masih perlu disebutkan ialah dongeng mitos Sri Tanjung, yang digubah dalam bentuk tembang, yang digolongkan dalam kesusastraan Jawa-Bali. Tembang itu sudah terkenal, baik yang versi Bali maupun yang versi Banyuwangi. Cerita ini mungkin ditulis di daerah Blambangan pada abad ke-16. Legenda setempat tentang ibu kota Banyuwangi menghubungkan nama ini (banyu wangi = air harum) dengan salah satu bagian tembang tersebut. Tidak dapat ditentukan lagi apakah legenda ini sudah sangat tua. Bagaimanapun Sri Tanjung dan - yang sejenis -Suda Mala boleh kita anggap sebagai hasil ciptaan peradaban Kerajaan Blambangan; di sini sampai pada permulaan abad ke-17 "kekafiran" ujung timur Jawa, dengan bantuan dan mungkin karena pengaruh raja-raja Bali, masih tetap mampu bertahan terhadap desakan para penakluk Jawa-Islam yang datang dari barat.[5]
XVII-2. Blambangan sekitar tahun 1500 M. Pemberitaan-pemberitaan Tome Pires tentang "Bulambuam"
Uraian tentang kerajaan-kerajaan Jawa di dalam Suma Oriental berakhir dengan Blambangan.[6] Penulis Portugis itu mendapat kesan dari para informannya bahwa raja "kafir" kerajaan itu memerintah sebagian besar ujung timur Jawa. Nama "Pate Pimtor", nama raja itu dalam Suma Oriental, mungkin ucapan yang keliru dari kata Binatara, suatu gelar yang berasal dari Bhathara . Raja-raja "kafir" Majapahit pada zamannya memakai gelar Dewa Bhatara. "Pate Pimtor" itu kemenakan "Guste Pate" dari Jawa Timur, jadi saudara sepupu "Pate Sepetat" dari "Gamda" (Pasuruan, Singasari). Sekitar tahun 1510 M. ia merebut "Canjtam" (Gending?, Probolinggo?), Pajarakan, dan Panarukan, untuk mencegah daerah-daerah itu dikuasai oleh raja Islam di Surabaya. la juga menguasai seluruh tanah pedalaman ujung timur Jawa. Daerah yang terpenting di pedalaman disebut "Chamda" (mungkin Sadeng). Lumajang, di sebelah selatan Probolinggo, rupanya juga sudah dikuasai oleh raja Blambangan yang perkasa itu.
Menurut Suma Oriental, ekonomi Blambangan sepenuhnya bersifat agraris; perdagangan ke daerah-daerah di seberang lautan tidak diberitakan. Yang perlu diperhatikan ialah pemberitaan bahwa di semua daerah Jawa yang lebih ke barat letaknya diperdagangkan budak-budak belian laki-laki dan wanita dari Blambangan. Di Jawa dan Bali, di bawah pemerintahan raja-raja "kafir" telah banyak laki-laki (bersama istri dan anak-anaknya) yang menjadi budak (menggadaikan diri), karena tidak dapat membayar utang atau karena denda atau hukuman yang berat, yang dijatuhkan oleh hakim-hakim raja sesuai dengan buku undang-undang Jawa-Bali lama. Apabila ada orang yang terbukti salah dan tidak dapat membayar denda, raja berhak menggunakan tenaganya. Pada abad ke-17 dan ke-18, di Batavia banyak didatangkan budak belian laki-laki dan wanita dari Bali.
Kekayaan raja Blambangan akan kuda, seperti yang diberitakan dalam Suma Oriental, sudah kita bicarakan dalam bagian tentang "Gamda". Juga telah diberitakan tentang abdi raja di Keraton Surakarta yang disebut Gajah Mati, yang sebagai "tawanan perang" dibawa dari Jawa sebelah timur ke Jawa Tengah dan dipekerjakan sebagai pemelihara kuda.
Yang aneh dalam uraian menarik tentang Blambangan dalam Suma Oriental ini ialah tidak adanya pemberitaan macam apa pun mengenai hubungan antara kerajaan-kerajaan Jawa Timur dan kerajaan Bali. Pada masa kunjungan Tome Pires ke daerah ini (awal abad ke-16), hubungan itu sudah ada, seperti pada waktu sebelumnya ataupun sesudahnya. Mungkin para informan Tome Pires, yang termasuk golongan pedagang, hanya sedikit perhatiannya terhadap masalah-masalah kebudayaan dan politik, hingga dipandang tidak perlu dikemukakan.
XVII-3. Sejarah Blambangan pada abad ke-16. Direbut oleh raja Islam dari Pasuruan sekitar tahun 1600 M.
Tentang sejarah politik kerajaan terbesar di ujung timur Jawa pada paruh pertama abad ke-16 itu, hanya kita ketahui apa yang diberitakan Tome Pires. Daftar tahun peristiwa mengenai penaklukan daerah oleh Demak memberitakan bahwa Blambangan diduduki pada tahun 1546.
Pada tahun itu menurut Mendez Pinto terjadi serangan militer terhadap Pasuruan (seharusnya Panarukan), yang membawa malapetaka bagi kerajaan Islam muda di bawah pimpinan Sultan Tranggana dari Demak itu. Gerakan militer itu ditujukan kepada raja Blambangan, yang menurut Tome Pires sekitar tahun 1510 telah menduduki "Canjtam", Pajarakan, dan Panarukan. Jadi, pemberitaan dalam daftar tahun peristiwa Demak itu tidak keliru. Mungkin pasukan-pasukan Jawa Tengah dan Pasuruan pada tahun 1546 di ujung timur Jawa bagian tengah dan bagian timur telah mencapai hasil yang lebih besar daripada yang dapat disimpulkan berdasarkan uraian Portugis yang sedikit berkhayal itu. Tetapi tidak ada petunjuk bahwa orang-orang Islam Jawa Tengah pada waktu itu telah menerobos terus sampai pada daerah inti kerajaan ujung timur Jawa yang sekarang merupakan daerah Banyuwangi. Pada tahun 1559 pelaut-pelaut Portugis tidak melihat masjid-masjid, melainkan pagoda dan penyembah-penyembah berhala. Pada waktu itulah misionaris-misionaris Roma Katolik dari Malaka merencanakan membawa agamanya ke ujung timur Jawa.[7]
Raja Batu Renggong dari Gelgel mempunyai kedudukan penting dalam sejarah politik Kerajaan Blambangan maupun di bagian tengah ujung timur Jawa. Pemerintahan Raja Batu Renggong pada perempat ketiga abad ke-16, bagi Kerajaan Bali Selatan ini, merupakan zaman kemajuan kebudayaan dan perluasan kekuasaan pemerintahan.[8] Menurut cerita sejarah Bali Selatan, raja itu telah memerangi raja Blmnbangan yang menggunakan gelar "Juru". Sang "Juru" ini konon gugur dalam perang tanding melawan seorang perwira pasukan Bali. Itu sebenarnya tidak dimaksudkan raja Gelgel, karena dia dan sang "Juru" masih mempuhyai hubungan keluarga; keduanya adalah keturunan Raja Kapakisan dari Samorangan. Raja itu hidup pada ketika keluarga raja Majapahit berhasil merebut kekuasaan di Bali Selatan, antara lain dengan ekspedisi yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada yang tersohor beserta Aria Damar yang telah menjadi tokoh legenda itu. Menurut Tome Pires, raja yang pada permulaan abad ke-16 memerintah di Blambangan masih mempunyai hubungan saudara dengan keturunan para patih Majapahit. Pemberitaan ini dan cerita tutur Bali tidak bertentangan.
Yang menarik perhatian kita ialah cerita Pamancangah Bali yang mengisahkan seorang putri Blambangan yang - karena menolak untuk menjadi istri Raja Batu Renggong - telah menyebabkan terjadinya perang antara ayahnya dan raja Bali itu. Ia dapat lolos dari Raja Batu Renggong berkat bantuan salah seorang saudaranya lain ibu, yang bernama Bima Cili. Mereka bersama telah melarikan diri ke Pasuruan. Pada pertengahan abad ke-16 Islam merupakan agama utama di Pasuruan, dan raja-raja Pasuruan bermusuhan dengan raja-raja Blambangan. Oleh karena itu, dapat dimengerti (jika cerita tutur Bali itu berdasarkan kenyataan) bahwa penolakan putri Blambangan dan pengungsiannya kemudian ke Pasuruan yang beragama Islam itu ada hubungannya dengan adanya pertentangan antara "kekafiran" dan Islam.[9]
Konon, Raja Batu Renggong dari Gelgel meninggal sekitar tahun 1570. Jadi ia hidup sezaman dengan Sultan Pajang yang meninggal pada tahun 1587, sezaman juga dengan Sunan Prapen dari Giri yang masih hidup lama sesudah keduanya meninggal. Munculnya dinasti Mataram dimulai dengan Panembahan Senapati - yang naik tahta pada tahun 1584 - tidak dialami lagi oleh Raja Batu Renggong.
Menurut berita yang berasal dari pelaut-pelaut Eropa, seorang raja Blambangan yang bernama Santa Guna pada tahun 1575 merebut Panarukan dari tangan orang-orang Islam.[10] Ini mungkin merupakan salah satu babak dalam peperangan yang pada abad ke-16 telah terjadi di bagian tengah ujung timur Jawa antara raja-raja Islam dari Pasuruan dan Surabaya dan penguasa-penguasa "kafir" dari Blambangan dan Bali Selatan. Panarukan diperebutkan antara mereka. Menurut berita-berita Portugis, pada tahun 1559 Panarukan masih di bawah pemerintahan "kafir". Tidak ada tanda atau bukti apakah Raja Santa Guna dari Blambangan itu adalah seorang bawahan raja Gelgel. Mungkin juga ia telah menyatakan dirinya bebas sewaktu pemerintahan menjadi lemah di bawah raja Bekung yang merupakan pengganti Raja Batu Renggong.
Pada waktu pemerintahan Raja Santa Guna di Blambangan dan Panarukan berkat kegiatan Misi Roma Katolik bahkan di kalangan keraton ada yang memeluk agama Katolik. Tiga romo "Capucijn", yang datang pada tahun 1584, disambut dengan ramah oleh raja, dan mereka mendapat kesempatan untuk memulai pekerjaannya. Sebagai akibat pelbagai kerumitan dan makin meningkatnya ancaman dari orang Islam, pos misi tersebut ditutup sebelum akhir abad ke-16.
Raja "kafir" dari Blambangan selama sebagian besar dari perempat terakhir abad ke-16 telah menguasai bagian tengah ujung timur Jawa dengan atau tanpa bantuan prajurit-prajurit Bali. Waktu pada tahun 1581 raja-raja Islam dari Jawa Tengah dan Jawa Timur - atas dorongan Sunan Prapen - mengakui raja Pajang yang lanjut usia itu sebagai sultan, sudah terbayang di muka mata mereka semua bahwa ada bahaya yang mengancam karena makin bertambah kuasanya Blambangan "kafir".
Konon, Raja Santa Guna meninggal sekitar tahun 1590, dalam usia lanjut. Beberapa tahun setelah anaknya menggantikan kedudukannya (namanya tidak dikenal), ia sudah mulai diserang raja Islam dari Pasuruan. Raja Pasuruan ini, yang namanya juga tidak diketahui, pada tahun 1590 merencanakan perluasan kekuasaannya ke barat sampai melewati Kediri; di dekat Madiun pasukannya terbentur Senapati Mataram yang saat itu masih muda. Tetapi di ujung timur Jawa sesudah pertempuran-pertempuran sengit mulai tahun 1596 ia berhasil menduduki kota kerajaan "kafir" Blambangan. Kelompok-kelompok laskar Bali dipimpin oleh seorang keturunan Jlantik datang membantu raja "kafir" di ujung timur Jawa itu, tetapi mereka dikalahkan dan Jlantik pun gugur.[11] Dengan kemenangan yang diraih pada tahun 1600 atau 1601 oleh raja Islam Pasuruan atas Blambangan yang "kafir" inj, akhirnya - sesudah melalui perkembangan yang berjalan lebih dari satu abad - semua kerajaan penting di seluruh Jawa telah berada di bawah pemerintahan Islam.
XVII-4. Blambangan pada paruh pertama abad ke-17. Direbutnya bagian timur dari ujung timur Jawa oleh Sultan Agung dari Mataram
Diduduki dan dihancurkannya kota raja kerajaan "kafir" yang terakhir di Jawa oleh laskar raja Islam dari Pasuruan pada tahun permulaan abad ke-17 hanya merupakan satu babak saja dalam peperangan antara agama Islam - yang masih muda namun bersifat ekspansif - dan pihak "kekafiran" Jawa-Bali. Keluarga raja Islam di Pasuruan bergabung dengan Kapulungan dan Surabaya, yang mungkin pada dasawarsa pertama abad ke-17 telah berkuasa atas sebagian besar ujung timur Jawa, hingga dengan demikian pengaruh Bali terdesak mundur. Tetapi pada tahun 1617 ibu kota Pasuruan diserang dari darat dan diduduki oleh tentara Sultan Agung dari Mataram, cucu Panembahan Senapati yang pada tahun 1570 mengakhiri gerakan penaklukannya di Jawa Tengah dengan menduduki Madiun. Pada tahun 1617 Sultan Agung tidak melanjutkan ekspansinya; ia tidak memerintahkan pasukan-pasukannya menyusup lebih dalam ke ujung timur Jawa. Seperti tokoh terkenal yang menjadi pendahulunya kira-kira 80 tahun yang lalu - Sultan Tranggana dari Demak - untuk beberapa puluh tahun ia menjadikan Pasuruan daerah perbatasan kerajaannya.[12]
Sesudah 1617, tahun jatuhnya Pasuruan, pengaruh raja-raja "kafir" Bali di bagian tengah dan bagian timur ujung timur Jawa mulai bertambah kuat lagi. Ini ternyata dari berita-berita orang-orang Kompem (VOC), yang sejak menetap di Batavia pada tahun 1619 telah mulai mengikuti dan mencatat perkembangan-perkembangan politik di Jawa. Pada tahun 1632 diberitakan bahwa raja Gelgel telah berkuasa di ujung timur Jawa sampai di Panarukan, Blater (di sebelah timur Puger), dan Blambangan. Penguasa-penguasa setempat di ujung timur Jawa minta bantuan raja-raja Bali untuk menghadapi ancaman serangan tiba-tiba laskar Mataram. Tidak diketahui apakah dalam periode ini penguasa-penguasa ujung timur Jawa itu seluruhnya atau sebagian terdiri dari orang Jawa-Bali yang "kafir" atau dari orang-orang yang sudah masuk Islam. Besar kemungkinan bahwa keluarga-keluarga Jawa yang terkemuka di ujung timur, yang telah menganut agama Islam dalam masa pemerintahan raja-raja Islam dari Pasuruan sejak permulaan abad ke-17, berusaha menolak pemerintahan penakluk-penakluk dari Jawa Tengah dengan jalan menggabungkan diri dengan orang-orang Bali yang sejak dahulu kala telah mereka kenal.
Penaklukan Blambangan oleh gerombolan Mataram dilaksanakan pada tahun 1639. Ekspedisi Bali yang dipimpin oleh seorang raja Tabanan rupanya tidak berhasil menghadapi serangan Mataram di ujung timur Jawa ini.[13] Sesudah serangan oleh orang Jawa Tengah selama abad ke-17 dan ke-18, masih berulang kali kita temukan catatan tentang campur tangan raja-raja Bali dalam sejarah bagian tengah dan bagian timur ujung timur Jawa.[14]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Kedudukan Kisah Damarwulan dalam kesusastraan Jawa telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil. 1, hlm. 231 dst. Lihat juga cat. 256 dan 267.
[2] Babad Tawang Alun telah dibicarakan dalam Pigeaud, "Aanteekeningen". Cerita babad ini merupakan sejarah keluarga keturunan para penguasa di Macan Putih, di pedalaman daerah Banyuwangi yang sekarang, dan yang menjadi tempat asal banyak bupati Banyuwangi dari abad ke-18 dan ke-19. Peninggalan-peninggalan dari Macan Putih dari abad ke-18 masih dapat ditunjukkan. Bayu adalah nama tempat lebih jauh ke pedalaman. Moyang keturunan ini, yang setengah bersifat tokoh legenda, yaitu Tawang Alun, kiranya hidup pada abad ke-17.
[3] Sejarah yang bersifat legenda mengenai Pamengger dari Blambangan telah diuraikan oleh Brandes, Pararaton (hlm. 219) dan lebih singkat lagi dalarn Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 361b. Lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, dengan judul "Pamengger", hlm. 330 dan cat. 256.
[4] Dalam Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 83, "durbar" Raja Hayam Wuruk pada tahun 1339 di Patukangan (Panarukan) telah dibicarakan. Ada kemungkinannya bahwa Balumbung(an) dalam Nagara Kertagama (tembang 28, bait 1) merupakan suatu bentuk lain nama Blambangan. Balungbungan terdapat juga dalam naskah lain; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 183.
[5] Naskah Sri Tanjung sudah diterbitkan oleh Dr. Prijono (Prijono, Sri Tanjung), Suda Mala oleh Dr. van Stein Callenfels (Stein-Callenfels, Suda Mala.) Dalam Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 194 terdapat pemberitaan-pemberitaan tentang Blambangan yang bersumber pada kesusastraan Jawa dan Jawa-Bali.
[6] Dengan pemberitaannya tentang Blambangan ini, maka Tome Pires mengakhiri gambaran-gambarannya yang panjang lebar tentang kehidupan masyarakat. Apa yang ditulisnya tentang pulau-pulau lain di Nusantara, sayang sekali, sangat kurang.
[7] Karangan C. Wessels sudah disebutkan pada cat. 264 sehubungan dengan sejarah Panarukan.
[8] Dalam karangan Berg, Traditie, terdapat pembicaraan panjang lebar tentang Kerajaan Gelgel di Bali Selatan (hlm. 138 dst.). Cerita tutur Bali yang bersifat sejarah mengenai abad ke-16 sebagian besar bertopang pada Pamancangah, yang sifatnya Jawa-Bali itu. Suatu versi karya penting ini dengan judul Kidung Pamancangah berbentuk puisi berirama dan telah diterbitkan oleh Berg, tanpa terjemahan, tetapi disertai daftar nama orang yang sangat berguna (Berg, Pamancangah). Babad Buleleng (Worsley, Babad) berisi cerita historis tentang suatu keturunan Bali, keturunan Jlantik, yang telah melahirkan beberapa tokoh prajurit terkenal, yang juga ikut berperang di ujung timur Jawa.
[9] Dalam sudut kehidupan bermasyarakat, baik bagi kaum pria maupun kaum wanita, terdapat perbedaan penting antara "kekafiran" dan agama Islam, yaitu perbedaan yang berhubungan dengan kedudukan perkawinan di dalam kedua ajaran itu masing-masing. Dalam "kehidupan kafir" secara Jawa-Kuno dan Jawa-Bali, yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat India, pemilihan istri terikat pada peraturan-peraturan yang keras, yang ditentukan oleh asal keturunan masyarakat ("kasta" atau penggolongan-penggolongan yang serupa). Perkawinan, sekali disahkan, amat sukar diputus lagi. Janda tidak kawin lagi. Pembakaran diri seorang janda, bila suaminya meninggal, dirasakan sebagai suatu kehormatan bagi seluruh keluarga. Hampir semua istri raja diharapkan mengorbankan hidupnya (bila raja meninggal). Sebaliknya, dalam agama Islam, perkawinan itu bukan hal yang mengikat untuk seumur hidup dan pemutusan perkawinan mudah dilakukan oleh pihak pria, sedang dari pihak wanita pemutusan perkawinan itu setidak-tidaknya bukan hal yang mustahil. Agama Islam tidak mengakui adanya rintangan/halangan terhadap perkawinan karena keturunan kemasyarakatan. Wanita yang diceraikan dan para janda tetap memiliki hak hidupnya pribadi dalam masyarakat. Dapat diduga bahwa perbedaan antara "kekafiran" dan agama Islam ini kadang-kadang mempunyai sifat menentukan bagi kaum wanita, bila mereka mau pindah ke agama lain. Bukti-bukti yang dapat membenarkan dugaan ini sukar sekali ditemukan dalam kesusastraan Jawa. Oleh sebab itu, cerita Jawa-Bali tentang pengkhianatan putri Blambangan, yang bersama saudara laki-lakinya yang tidak seibu, lari ke daerah musuh, yang dikuasai agama Islam, sungguh amat menarik. Tindakan kedua putra raja itu dalam Pamancangah diberitakan dengan penuh rasa jijik, tetapi tanpa petunjuk jelas bahwa mereka di Blambangan memang sudah beragama Islam. Hal tersebut masing-masing dapat kita anggap mungkin terjadi. Dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 220) diberikan perhatian pada hubungan antara kesusastraan romantis abad ke-16 dan ke-17 dan pendapat-pendapat baru mengenai perkawinan yang berkaitan dengan agama Islam.
[10] Pada tahun 1588 pelaut Inggris Thomas Cavendish dalam pelayarannya mengelilingi dunia telah singgah di Banyuwangi. Berita tentang Raja Santa Guna berasal darinya. Pada tahun 1580 pelaut senegaranya, Francis Drake, berlabuh di muka Blambangan.
[11] Adegan cerita tentang kegagalan Jlantik dalam campur tangannya di ujung timur Jawa, yang dimuat dalam cerita tutur Jawa-Bali, Pamancangah, dengan panjang lebar telah dibicarakan oleh Berg, Traditie, hlm. 153 dst. Lihat juga cat. 272.
[12] Riwayat direbutnya Blambangan oleh orang-orang Jawa Tengah telah dibicarakan dalam Graaf, Sultan Agung, hlm. 254 dan berikutnya.
[13] Dalam Graaf, Sultan Agung (hlm. 259) terdapat keterangan adanya " Sejarah Aria Tabanan" dalam bahasa Melayu. Isinya mengisahkan tutur Bali mengenai Ngurah Wayahan Pamadekan dari Tabanan, raja taklukan Dalem Di Made dari Gelgel, yang berperang di ujung timur Jawa melawan raja Mataram.
[14] Tawang Alun yang setengah tokoh legenda itu, moyang keturunan para penguasa setempat di Macao Putih di tanah pedalaman Banyuwangi, kiranya mengadakan kunjungan ke Keraton Mataram. la boleh dipastikan hidup pada paruh kedua abad ke-17. Macan Putih ialah nama yang termasuk mitologi Jawa-Bali (lihat Pigeaud, Literature, jil.III, di bawah "tiger", hlm. 412). "Macao Putih" agaknya merupakan penengah antara alam manusia dan alam dewa-dewa menurut penggambaran/ kepercayaan para ahli pikir dan penulis Jawa Timur dan ujung Timur Jawa abad ke-16 dan sebelumnya. Bagaimana menghubungkan "Macao Putih" ini dengan nama tempat (Macao Putih) itu masih belum jelas.
0 komentar: