Recent Posts

Sabtu, 17 September 2011

0 komentar

Sejarah Kerajaan Palembang pada Abad ke- 16


XVIII-1. Berita-berita kuno tentang Palembang, legenda dan sejarah

Konon sudah sejak dahulu kala daerah aliran sungai terbesar di Sumatera Selatan, yang sekarang disebut Sungai Musi, memberikan kondisi yang menguntungkan bagi pengembangan kerajaan-kerajaan setempat dengan dipengaruhi orang-orang dari India. Dalam hal itu Palembang dapat dibandingkan dengan muara Sungai Brantas di Jawa Timur. Sepanjang sejarah ternyata antara orang-orang Jawa Timur yang berasal dari daerah-daerah di bagian hilir Sungai Brantas beberapa kali diadakan hubungan dengan penduduk Palembang. Pada abad-abad ke-15, ke-16, dan ke-17 konon keraton dan kota rajanya telah demikian banyak dipengaruhi peradaban Jawa sehingga "peradaban Pesisir" Jawa-Melayu di Palembang dapat kita bandingkan dengan peradaban Jawa-Bali di pura-pura Bali. Itu alasan dimuat satu bab mengenai Palembang dalam buku tentang sejarah Jawa pada abad ke-16 ini.

Sejarah kuno Palembang dan sejarah kuno Sumatera pada umumnya, yakni masa sebelum raja-raja Jawa Timur menguasai - pertama kali pada abad ke-13 - daerah-daerah yang semula merupakan daerah Melayu, masih kabur. Ada kemungkinan bahwa sudah sejak zaman Melayu lama - yang ada kaitannya dengan nama Sriwijaya - di daerah-daerah Palembang dan Jambi telah ada kerajaan-kerajaan, yang penguasanya hidup menurut pola peradaban "India Raya". Sejarah politik dan peradaban Melayu-lama itu tidak akan dibicarakan. Juga ekspedisi Sumatera yang dilakukan pada abad ke-13 oleh raja Jawa Timur, Kertanegara dari Singasari, hanya akan disinggung sepintas lalu.[1]

Dalam cerita tutur Jawa yang bersifat sejarah mengenai awal mula penyebaran agama Islam di Jawa Timur, Palembang mempunyai kedudukan penting sebagai tempat kelahiran tokoh legenda Raden Patah, raja Islam pertama di Demak, dan saudara tirinya Kusen yang menjadi pecat tandha di Terung. Ibu mereka seorang wanita Cina. Rupanya, ayah Raden Patah adalah Brawijaya dari Majapahit; menurut cerita tutur Jawa, ayah Kusen ialah Aria Damar atau Dilah, raja Palembang.[2] Cerita tutur itu tidak besar nilai sejarahnya. Hanya sedikit kecocokan cerita ini dengan sebuah berita sezaman yang benar-benar dapat dipercaya mengenai dinasti Demak yang menyimpulkan bahwa asal dinasti ini pada abad ke-17 mungkin dari Cina. (lihat Bab II-3).

Dalam cerita tutur Jawa Bali tentang direbutnya Bali oleh raja Majapahit, Aria Damar dari Palembang (atau Tulembang, seperti sering terdapat dalam naskah-naskah itu), juga mempunyai peranan yang penting.[3] Konon, ia saudara raja Majapahit dan kawan seperjuangan Patih Gajah Mada yang tenar itu. Mereka bersama telah menaklukkan seluruh Bali bagi maharaja di Jawa. Latar belakang sejarah penaklukan ini tidak jelas. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa tokoh dongeng Aria Damar itu masih keluarga dekat raja Majapahit (menurut cerita tutur Jawa, ia seorang putra raja; menurut cerita Jawa-Bali, ia saudara sepupu raja). Selain itu, ia berperan di dua tempat yang berlainan, di Palembang dan di Bali, yang oleh Kerajaan Majapahit dianggap daerah seberang.

Dalam cerita historis setempat di Palembang, nama Aria Dilah (suatu nama yang di tempat lain dipakai juga oleh Aria Damar) disebut juga di antara nama raja-raja yang hidup di zaman silam. Buku-buku sejarah Palembang setempat yang ditulis dalam bahasa Melayu memuat beberapa catatan yang mengingatkan kembali pada zaman Jawa, sebelum zaman Islam daerah itu mulai. Penyelidikan naskah-naskah Melayu yang bersifat sejarah masih belum selesai.[4]



XVIII-2. Palembang sekitar tahun 1500 M. Keterangan-keterangan Tome Pires

Meskipun Suma Oriental lebih banyak memuat berita penting tentang sejarah, adat istiadat, dan bahasa Pulau Jawa daripada yang mengenai pulau-pulau lain di Nusantara, dalam bagian-bagian mengenai Jambi dan Palembang masih cukup banyak hal yang penting. Tome Pires mendengar bahwa raja-raja "kafir" di Palembang pada zaman dulu mengakui raja cafre di Jawa sebagai atasannya. Waktu "pate-pate" Islam merebut kekuasaan di kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa, mereka berhasil juga menduduki Palembang sesudah pertempuran yang lama. Sejak itu tidak pernah lagi ada raja di daerah tersebut; kekuasaan dipegang oleh sepuluh atau dua belas orang "pate" terkemuka.

Tetapi dari pemberitaan selanjutnya, tentang pertempuran orang Jawa melawan Makassar yang telah direbut orang.Portugis, ternyata bahwa "Pate Rodim" dari Demak dianggap sebagai Yang Dipertuan di Palembang. Menurut Tome Pires, orang-orang Palembang dengan perahu-perahu mereka tidak sepenuh hati melibatkan diri dalam pertempuran tersebut. Konon, mereka menderita kerugian yang tidak sedikit.

Menurut para informan Tome Pires, sebagian besar rakyat Palembang masih kafir dan bertingkatan rendah, dan masih ada pula "patepate kafir".

Penulis Portugis masih menulis berita tentang Jambi, bahwa "pate-pate" Islam itu, sesudah merebut Palembang, mendesak pula raja "kafir" daerah tetangga di sebelah utaranya. Terdapat juga banyak "pate" di situ, semuanya di bawah kekuasaan tertinggi "Pate Rodim" dari Demak. Konon, rakyat Jambi lebih mirip orang Palembang dan orang Jawa daripada orang Melayu.

 Yang agak penting dalam berita-berita pendek musafir Portugis tentang Palembang itu yakni adanya hubungan antara berkuasanya "raja-raja pelabuhan" Islam di pantai utara Jawa dan penggantian seorang raja "kafir" di Palembang, bawahan maharaja Jawa "kafir", oleh sekelompok penguasa setempat yang belum bersatu, yang beragama Islam. Rupanya, menurut para informan Tome Pires, agama Islam di Palembang mulai diterima pada waktu yang sama dengan di pantai utara Jawa, yakni pada permulaan abad ke-16 atau sebelumnya.

Yang perlu mendapat perhatian ialah tidak adanya pemberitaan apa pun, baik dalam cerita tutur Jawa maupun dalam Suma Oriental, tentang ekspansi Islam yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu. Di daerah-daerah ini rakyat golongan atas sejak abad ke-15 atau sebelumnya sudah menganut agama Islam.[5] Mungkin pada abad ke-14 dan ke-15 kekuasaan raja muda Jawa "kafir" atas Palembang (dan Jambi) masih demikian besar sehingga orang-orang Melayu (dan orang-orang Aceh) tidak diperhatikan. Corak kejawaan yang tampak dalam Kerajaan Palembang (dan Jambi) masih tetap terasa pada masa Islam berabad-abad kemudian.



XVIII-3. Palembang dalam abad ke-16, legenda dan sejarah

Menurut cerita-cerita di Jawa mengenai Kerajaan Demak, raja Islam di Palembang telah mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pada paruh pertama abad ke-16. Yang diperistri oleh Sultan Tranggana ialah anak perempuan tokoh legenda Aria Damar dari Palembang.[6] Raja Palembang disebutkan sebagai salah seorang tokoh kelompok penguasa Islam, yang telah merebut kota raja "kafir" Majapabit. Alat-alat bantuan supranatural dari Palembang bahkan mempunyai dua kekuatan yang menentukan sekali dalam mencapai kemenangan.[7]

Dari cerita Jawa ini tidak dapat kita ketahui bagaimana sebenarnya keadaan politik Palembang pada paruh pertama abad ke-16. Dapat dipercaya bahwa penguasa-penguasa Islam di Palembang pada, masa jaya Kerajaan Demak merasa dirinya berhubungan keluarga dengan dinasti Islam itu. Itulah sebabnya mereka bergabung dalam pertempuran laut antara Jepara dan Malaka pada tahun 1512. Mungkin raja-raja Islam di Palembang dalam paruh pertama abad ke-16 menganggap dirinya juga sebagai keturunan tokoh legenda Aria Damar atau Aria Dilah.

Mungkin kericuhan politik di Jawa Tengah, yang terjadi sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, membawa akibat pula bagi Kerajaan Palembang. Berbagai cerita tutur Palembang memberitakan kedatangan seorang pangeran Jawa dari Surabaya sekitar pertengahan abad ke-16, yang membentuk dinasti Jawa yang baru di Sumatera. Ia disebut Ki Gedeng Sura.[8] Apa yang terjadi dengan keturunan Aria Damar, yang sebelum itu telah memerintah di Palembang, tidak diberitakan. Ki Gedeng Sura meninggalkan Jawa karena adanya permusuhan dengan Sultan Pajang. Dalam salah satu dokumen Belanda (tahun 1818) tentang dinasti Palembang disebut sebuah "piyagem" (piagam) Pangeran Jipang. Sebutan itu memungkinkan kita menerima bahwa Ki Gedeng Sura itu keturunan (atau berhubungan dengan) dinasti Demak cabang Jipang, yang diusir dari negaranya oleh Sultan Pajang.[9]

Berdasarkan cerita-cerita di Palembang, dapat kita terima bahwa Ki Gedeng Sura, yang datang ke Palembang pada pertengahan abad ke-16, selang beberapa waktu telah kembali lagi ke Jawa dan meninggal.[10] Ki Gedeng Sura kedua (anak atau adik Ki Gedeng Sura pertama; tentang hal itu tidak terdapat keterangan yang jelas), mungkin memerintah di Palembang kira-kira antara 1572 dan 1589 M. Konon, ia hidup sezaman dengan Ratu Kalinyamat, ratu Jepara yang terkenal itu; armadanya berusaha sampai dua kali - tahun 1551 dan 1574 - mengusir orang-orang Portugis dari Malaka. Masih harus diselidiki apakah perahu-perahu Palembang ikut melancarkan serangan tersebut.

Dalam cerita sejarah tentang Kerajaan Patani yang terletak di pantai timur laut Semenanjung Malaya (sekarang kawasan Muangthai), disebutkan adanya dua ekspedisi di bawah pimpinan laksamana Jawa-Palembang terhadap kota pelabuhan di Melayu Utara itu.[11] Kedua serangan itu dipatahkan oleh orang-orang Melayu. Ekspedisi itu kiranya dilakukan tidak lama sesudah tahun 1563 M., jadi mungkin masih pada masa pemerintahan Ki Gedeng Sura pertama di Palembang. Menurut Hikayat Patani (Teeuw, Patani) yang menjadi alasan raja Jawa itu mengirim ekspedisi-ekspedisi ke Patani ialah harapan untuk mendapatkan harta rampasan. Hal itu dianggapnya mudah dilakukan karena kerajaan Melayu Utara tersebut telah menjadi lemah akibat pelbagai hal. Tetapi ternyata ia menganggap remeh kekuatan orang-orang Melayu. Mungkin kegagalan usaha pihak orang-orang Jawa itu dalam Hikayat Patani agak dilebih-lebihkan demi nama baik mereka. Jika orang-orang Jawa di Palembang pada tahun 1563 hanya datang membajak dan merampok, peristiwa tersebut hanyalah satu di antara sekian petualangan. Sejak dulu, pembajakan di laut dan serangan-serangan terhadap kota-kota di pantai dengan tujuan untuk mendapatkan harta rampasan (budak belian, laki-laki dan perempuan) merupakan sumber nafkah yang penting bagi para penguasa di kerajaan-kerajaan sepanjang pantai Nusantara.

Besar kemungkinan makam Ki Gedeng Sura kedualah (disebut Ki Gedeng Sura "Muda") yang dihormati di Palembang sebagai tempat peristirahatan terakhir pelopor dinasti Palembang.

Dari buku-buku sejarah Banten dapat diperkirakan bahwa pada tahun 1596 Sultan Molana Muhammad yang masih muda itu telah terbujuk oleh seorang kerabatnya yang lebih tua, Pangeran Mas dari Demak - yang sedang dalam pengasingan di Banten - untuk bersama-sama menyerang Palembang. Dalam pertempuran itu ia gugur. Pangeran Mas dari Demak, yang menganggap dirinya maharaja yang sah di Jawa, menyatakan bahwa penguasa di Palembang - dalam Sadjarah Banten diberi nama Soro - sebenarnya merupakan bawahannya, bahkan budaknya (abdan). Sebab itu, ia berhak menyerahkan Soro beserta daerahnya kepada tuan rumahnya, Molana Muhammad. Menurut Sadjarah Banten, Pangeran Mas telah menyebut raja Palembang itu "orang kafir". Jadi, dengan menaklukkan Palembang, Molana Muhammad yang alim itu melakukan suatu amal ibadat.[12]

Maka, wajar kiranya untuk menghubungkan nama Soro, yang dipakai penguasa Palembang dalam Sadjarah Banten, dengan nama Ki Gedeng Sura, yang dipakai raja-raja Jawa-Palembang pertama menurut cerita tutur setempat.[13] Pernyataan Pangeran Mas bahwa Soro itu "budak beliannya" mungkin berdasarkan asal usul dinasti Palembang dari Jipang. Penguasa-penguasa Jipang masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Demak. Andai kata Raja Soro dari Palembang masih saudara dekat Aria Panangsang dari Jipang (ini tidak pasti!), Pangeran Mas dari Demak beralasan penuh untuk memeranginya; bukankah Aria Panangsang telah membunuh Susuhunan Prawata, saudara sepupu Pangeran Mas, dan dengan demikian telah mencelakakan keluarga raja Demak.

Sebaliknya, tidak mungkin untuk menyamakan Raja Soro dari Palembang - menurut Sadjarah Banten ia menjadi lawan Molana Muhammad dari Banten pada tahun 1596 - dengan Ki Gedeng Sura "Muda", yang, menurut cerita tutur Palembang, berkuasa hanya sampai tahun 1590. Jadi, harus kita simpulkan bahwa pada paruh kedua abad ke-16 nama Sura itu menjadi bagian tetap nama-nama para raja Jawa di Palembang. Seperti juga Jaya atau Wijaya pada nama raja Jawa dari keturunan maharaja Majapahit.[14]

Pernyataan yang menurut Sadjarah Banten diucapkan oleh Pangeran Mas dari Demak pada tahun 1596, bahwa Raja Soro dari Palembang itu "orang kafir", bisa dianggap sebagai ungkapan rasa benci terhadap musuhnya, wakil keturunan Jipang itu yang telah mengkhianati Demak. Tetapi di samping itu dapat pula dibayangkan bahwa memang pada akhir abad ke-16 agama Islam di Palembang belum dapat sepenuhnya mengalahkan dan menggantikan "kekafiran". Di Sumatera Selatan (dan juga di kerajaan-kerajaan pantai lain) pada abad ke-16 sampai abad ke-17, keluarga atau masyarakat setempat yang "kafir" masih bertahan, berdampingan dengan mereka yang sudah masuk agama Islam. Suku-suku bangsa Melayu yang tinggal jauh di pedalaman, di daerah aliran tengah dan di bagian udik Sungai Musi, lambat laun pada abad ke-18 dan ke-19 beralih ke agama Islam. Kiranya sulit dipercaya bahwa para penguasa Islam yang baru di kota pelabuhan Palembang di muara sungai besar pada abad ke-16 sudah mempunyai kekuasaan yang besar di daerah pedalaman yang luas itu.

Sadjarah Banten memuat banyak berita mengenai hubungan-hubungan keraton Islam di Jawa Barat dengan penguasa setempat di sepanjang pantai Pulau Sumatera bagian selatan.[15] Hasanuddin, raja Islam kedua di Banten, agaknya sudah mulai mengadakan perlawatan ke Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu pada pertengahan abad ke-16. Yang perlu diperhatikan ialah cerita dalam Sadjarah Banten tentang seorang yang bernama Ki Amar, yang karena telah melakukan kejahatan, ia dibuang ke Lampung. la mengembara di sana dan menyebarkan agama Islam di daerah pedalaman negeri itu sampai ke Palembang. Waktu hal ini diketahui oleh raja di keraton, Ki Amar bersama kepala-kepala rakyat Sumatera Selatan, yang telah diislamkannya, dipanggil kembali ke Banten. la diberi hadiah seorang wanita cantik pingitan istana. Ini terjadi kira-kira pada permulaan abad ke-17. Dari cerita tutur itu boleh diambil kesimpulan bahwa sekitar tahun 1600 masih terdapat masyarakat "kafir" di daerah-daerah Sumatera Selatan, di samping yang sudah beragama Islam.



XVIII-4. Palembang pada abad ke-17; hubungan persahabatan dengan Mataram

Sesudah serangan Banten digagalkan, konon Keraton Palembang berusaha mencari hubungan dengan Sultan Agung, raja Mataram di Jawa Tengah, yang pada paruh pertama abad ke-17 telah kuat. Setelah pada tahun 1625 raja terakhir yang merdeka, yaitu raja Surabaya, terpaksa tunduk pada Mataram, raja Palembang berpendapat bahwa persekutuan dengan raja Jawa Tengah yang berkuasa itu sajalah yang dapat memberikan perlindungan terhadap serangan-serangan Banten. Pada paruh pertama abad ke-17, keraton Jawa-Palembang telah berhasil pula membina hubungan baik dengan VOC di Batavia yang waktu itu baru berdiri.[16]

Yang juga perlu dikemukakan ialah bahwa menurut kronik Palembang (Kronijk van Palembang), Sultan Abdul Rahman (yang memerintah dari tahun 1662 sampai 1702), adalah raja Palembang pertama yang menyebut dirinya "Sultan" dan memakai nama Arab. Beliau pulalah yang membangun "masjid lama". Kronijk tersebut bahkan memberitakan bahwa ia "telah memeluk agama Islam" dan "dengan giat berusaha mengislamkan rakyatnya".[17] Tidak dapat dipercaya bahwa Sultan Abdul Rahman itu menurut asalnya orang "kafir". Tetapi dapat kita anggap bahwa baru pada perempat terakhir abad ke-17 raja yang memerintah bertindak sebagai raja Islam, dan untuk menunjukkannya, ia memakai gelar Sultan. Masih perlu diselidiki lagi bagaimana Islam pada zaman itu mengembangkan pengaruhnya di Keraton Palembang.


--------------------------------------------------------------------------------

[1]       Dalam Brandes, Pararaton (hlm. 280) banyak tempat disebutkan dalam cerita tutur Jawa, yang mengetengahkan Palembang, bahkan juga sebelum zaman Islam. Dari berita orang Cina pada permulaan abad ke-15, dapat diambil kesimpulan bahwa pada waktu itu seorang raja Malaka mempersengketakan daerah Palembang dengan maharaja Jawa, yang menganggap daerah tersebut termasuk wilayahnya. Putusan maharaja Cina kiranya telah membenarkan raja Jawa itu (Brandes, Pararaton, hlm. 185). Lihat juga cat. 293.

[2]       Cerita-cerita tutur Jawa mengenai asal Raden Patah dari Palembang dan mengenai Aria Damar dari Palembang telah diberitakan berwujud ikhtisar dalam Brandes, Pararaton, hlm. 224-225 dan, lebih ringkas dalam Pigeaud, Literature, jil.II, hlm. 362.

[3]       Cerita tutur historis Jawa-Bali mengenai Aria Damar dari Palembang, penakluk Bali Utara berkebangsaan Jawa, telah dibicarakan dalam Berg, Traditie, hlm. 110 dan berikutnya. Cerita tutur ini merupakan bagian penting dari isi karangan Jawa-Bali Usana Jawa. Dalam Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 177 (di bawah "Aria Damar") telah ditunjukkan banyak naskah Jawa-Bali, yang menampilkan pahlawan yang menjadi tokoh legenda ini.

[4]       Perhatikanlah karangan Studer, Palembang.

[5]       Berita yang berasal dari sumber Cina (lihat Groeneveldt, Notes, hlm. 37) mengenai usaha raja (Muslim) dari Malaka untuk mendapatkan kekuasaan di Palembang pada permulaan abad ke-15 kiranya dapat ditafsirkan mempunyai hubungan dengan usaha memperluas daerah Islam sampai Sumatera oleh Raja Melayu.

[6]       Perkawinan Tranggana, anak kedua Adipati Bintara (Raden Patah), dengan putri Aria Damar dari Palembang disebutkan dalam Serat Kandha (Brandes, Pararaton, hlm. 228).

[7]       Seorang sunan Palembang disebutkan sebagai salah satu dari kelompok wali dalam beberapa naskah Jawa yang berisi cerita historis Islam; lihat Pigeaud, Literature, jil. III. hlm. 329. Yang bernama Ki Palembang itu seorang pembantu Sembilan Orang Suci yang telah membangun Masjid Demak; ia diceritakan mengambil tali pengikat atap di tempat Ki Nagur, tokoh legenda yang lain. Cerita ini diungkapkan dalam Brandes, Pararaton, hlm. 229-230.

[8]       Cerita-cerita tutur Palembang yang bersifat sejarah telah dibukukan dalam berbagai-bagai tinjauan ilmiah Belanda, ditulis pada abad ke-19 dan ke-20. Di sini disebutkan: Roo de la Faille, "Palembang"; Kock, "Palembang"; dan dalam bentuk naskah, Studer, Palembang. "Instruksi" yang diberikan kepada W. Bolton, waktu ia diangkat sebagai "pemimpin tertinggi" di Palembang pada bulan Juni 1691, menyebutkan juga adanya hubungan antara keluarga-raja Jawa-Palembang dan Twisten door de nagelaten soone van dan opperregent op Java (Perselisihan-perselisihan yang ditimbulkan oleh putra pembesar tertinggi di Jawa).

[9]       "Piyagem" pangeran Jipang (mungkin buku hukum Jawa), yang juga disebutkan dalam karangan Roo de la Faille, Palembang telah dibicarakan dalam Bab IX-4 tentang sejarah Jipang, dan cat. 155.

[10]     Sebagai tahun kedatangan Ki Gedeng Sura pertama di Palembang tercatatlah oleh de Kock (Kock, "Palembang") tahun 1541 M., dan tahun ini terdapat juga dalam Sturler, "Palembang". Pada tahun tersebut Sultan Tranggana dari Demak masih hidup, dan (yang kelak akan menjadi) Sultan Pajang baru berada pada permulaan riwayat kerjanya. Tidak diberitakan apakah pada waktu itu ia telah "mendalangi" timbulnya "kericuhan-kericuhan". Tentu saja mudah sekali timbul dugaan bahwa pemberitaan tahun 1514 M. itu tidak tepat. Kekacauan-kekacauan yang dimaksudkan dalam cerita-cerita tutur Palembang itu kiranya tidak mungkin lain daripada kekacauan-kekacauan yang terjadi di Demak sesudah pembunuhan yang dilakukan oleh Aria Panangsang dari Jipang terhadap Susuhunan Prawata dari Demak, dan sesudah meninggalnya Aria Panangsang dalam perang melawan raja Pajang, yang kesemuanya mungkin terjadi dalam tahun 1549 M. Sejarah Ki Gedeng Sura, pendiri dinasti Islam di Palembang, juga telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati, hlm. 65-67.

[11]     Hikayat Patani dalam bahasa Melayu telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A. Teeuw dan D.K. Wyatt (Teeuw, Patani). Cerita mengenai serangan-serangan orang-orang Jawa dari Palembang yang gagal itu dimuat dalam Bab 7 naskah itu.

[12]     Sejarah ekspedisi raja Banten ke Palembang pada tahun 1596 telah dibicarakan dalam Djajadiningrat, Banten, hlm. 39 dan 151.

[13]     Sukarlah untuk menerangkan nama-nama Ki Gedeng (atau Gedang, seperti kadang-kadang ditulis juga) Sura dan Soro. Apabila Sura itu diangkat sebagai singkatan nama Surabaya, maka orang kiranya akan bertanya-tanya dalam hati bagaimana nama yang sudah secara merata terkenal di Banten itu menjadi Soro. Di samping berasalnya Ki Gedeng Sura pertama dari Jipang itu masih merupakan kemungkinan saja (juga karena Pangeran Mas pernah menyatakan bahwa Suro itu bekas "budaknya"), masih diragukan pula apakah ia mempunyai hubungan keluarga yang dekat dengan keluarga Jipang. Dalam kronijk ia memakai gegelar "Kentol". Entol dan Kentol itu, di beberapa daerah (Bagelen dan juga Banten) adalah gelar bangsawan tingkat rendah, sering juga diperuntukkan orang-orang terkemuka di luar lingkungan raja, yang tidak mempunyai hubungan dengan keluarga raja atau sudah jauh sekali hubungannya. Lihat karangan Poel, "Bagelen" dan Djajadiningrat, Banten (hlm. 39), yang menampilkan seorang Entol Dalit. Entol ini kiranya masih keluarga Pangeran Mas dari Demak; dan agaknya ia sangat berkenan di hati Molana Muhammad di Keraton Banten, berkat keahliannya tentang kuda dan keterampilan nya naik kuda. Mungkin ia telah datang di Banten sebagai pengikut Pangeran Mas dari Demak. Lihat juga Koentjaraningrat, "Kenthols" dan Bab XIX-5. Apabila Ki Gedeng Sura memang seorang "kentol" dari Jipang, kiranya Pangeran Mas dari Demak dengan cukup alasan akan dapat menganggap Soro sebagai keturunan salah seorang bawahannya. Pemberian gelar "Ki Gede" amat sering terjadi dalam cerita tutur Jawa Tengah. Salah seorang pemakai gelar ini yang paling terkenal ialah tokoh legenda Ki Gede Sesela, yang dapat menangkap kilat dengan tangannya. Sesela dan lipang terletak tidak terlalu berjauhan di Jawa Tengah.

[14]     Dalam Schnitger, "Archeology" disebutkan nama tempat Geding Suro di sebelah timur ibu kota Palembang yang sekarang, tempat Schnitger mendapati reruntuhan bangunan-bangunan dengan gaya Jawa-Hindu. Masih dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut untuk dapat membuktikan apakah peninggalan-peninggalan itu adalah bekas tempat kediaman raja dari abad ke-16. "Gaya Jawa-Hindu" itu tidak membuktikan bahwa tokoh kerajaan yang menghuninya itu adalah seorang raja "kafir"; raja-raja Islam di Jawa dari abad ke-16 dan ke-17 masih juga memerintahkan mendirikan bangunan-bangunan gaya "Jawa-Hindu" (menara Masjid Kudus, pintu-pintu gerbang di Tembayat). Andai kata kemudian terbukti juga bahwa bangunan-bangunan di Geding Sura itu dibangun oleh dan untuk "orang-orang kafir", maka dapatlah kiranya dipertimbangkan apakah nama Geding Sura, yaitu nama pendiri keluarga raja itu sendiri, berabad-abad kemudian diberikan pada reruntuhan bangunan, yang tidak diketahui lagi siapa sebenarnya pendirinya.

[15]     Dalam indeks disertasi Djajadiningrat, (Djajadiningrat, Banten), di bawah "Lampung" dan "Palembang" diberikan petunjuk mengenai tempat dalam naskah yang bersangkutan yang membicarakan daerah-daerah itu.

[16]     Dalam Graaf, Sultan Agung, dibahas hubungan antara keraton Palembang dan raja Mataram (hlm. 274 dst.).

[17]     Kronijk dalam bentuk terjemahan ke dalam bahasa Belanda terdapat dalam koleksi naskah KITLV (lihat cat. 286). Sultan Abdul Rahman dibicarakan pada artikel 13 di dalamnya.

0 komentar:

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Copyright © Design by Dadang Herdiana