Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-16: Banten
VIII-1 Berita-berita kuno tentang kerajaan Sunda, Pajajaran, legenda dan sejarah
Berdasarkan pemberitaan orang-orang Portugis yang pertama-tama datang di Jawa, dapat diduga bahwa pada permulaan abad ke-16 orang-orang asing menganggap raja Majapahit dan raja Pajajaran sebagai dua penguasa atas Pulau Jawa. Ini sesuai dengan legenda Jawa mengenai hubungan lama antara Jawa Barat dan Jawa Timur (lihat Bab VII-1).
Menurut Tome Pires, pelabuhan "kafir" Sunda Kelapa, dekat muara Sungai Ciliwung itu, tempat Jakarta sekarang, pada zamannya merupakan kota pelabuhan yang terpenting di Jawa Barat, lebih penting dari Banten dan Cirebon. Sunda Kelapa terletak di sebelah hilir Pakuwan, kota kerajaan raja-raja Pajajaran. Pires menamakan tempat itu "Dayo", nama yang juga diberikannya kepada ibu kota Kerajaan Majapahit (lihat Bab II-9 dan cat. 40). Mungkin "Dayo" itu hanya pengucapan yang kurang sempurna bagi kata Sunda dayeuh yang artinya ibu kota.[1]
Dengan memberikan penjelasan arti tahun kejadian yang tertera pada prasasti Sunda kuno di Bogor, yaitu yang disebut Batu Tulis, Hoesein Djajadiningrat telah menunjukkan adanya kemungkinan bahwa Pakuwan, kota Kerajaan Pajajaran, telah didirikan pada tahun 1433-1434 M. (1355 Saka). Raja Sunda, yang kekalahannya di Bubat dilukiskan dalam balada Jawa Timur Kidung Sunda (lihat Bab VII-1), mungkin seorang raja Pajajaran atau setidak-tidaknya ia hidup pada zaman Kerajaan Pajajaran.
Panglima Portugis Henrique Leme pada tahun 1522 telah mengadakan perjanjian persahabatan dengan raja "kafir" Pajajaran, yang memakai gelar "Samiam" (yaitu Sang Hyang, Sang Dewa). Boleh jadi raja Sunda itu menganggap orang Portugis dapat membantunya dalam perang melawan orang Islam, yang di Jawa Tengah telah mengambil alih kekuasaan dari tangan raja-raja "kafir" taklukan maharaja Majapahit. Tetapi orang-orang Portugis tidak dapat mengambil manfaat dari perjanjiannya yang menguntungkan mereka itu. Baru beberapa tahun sesudah tahun 1522, kota pelabuhan Sunda Kelapa, tempat mereka sebenarnya dapat mendirikan pos perdagangan yang kuat untuk perdagangan dengan izin Sang Hyang dari Pajajaran, sudah diduduki oleh penguasa Islam dari Banten.[2]
VIII-2 Didirikannya landasan Islam di Banten oleh tokoh yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati sekitar tahun 1525
Sejak sebelum zaman Islam, di bawah kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang agak berarti. Dalam tulisan Sunda kuno, yaitu Carita Parahyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang; nama ini dapat dihubungkan dengan Banten.[3] Pada tahun 1524 atau 1525 Nurullah dari Pasei, yang kelak menjadi Sunan Gunungjati, telah berlayar dari Demak ke Banten, untuk meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan bagi perdagangan orang-orang Islam. Nurullah sudah menunaikan rukun ke-5, naik haji ke Mekkah; sebelum ia datang di keraton raja Demak. Sebagai haji yang saleh dan sebagai musafir yang mengenal percaturan dunia ia mendapat sambutan hangat di keraton itu. la mendapat salah seorang saudara perempuan raja Demak sebagai istri. Dapat diduga bahwa ia telah berpengaruh terhadap iparnya, seorang keturunan Cina yang baru beberapa puluh tahun masuk Islam. Pasei, kota pelabuhan Sumatera Utara tempat asal Nurullah, sudah lebih dari dua abad beragama Islam. Ada alasan untuk menduga bahwa gelar sultan yang dipakai Tranggana dari Demak, dan sepak terjangnya sebagai pelindung agama, banyak berkaitan dengan ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan agama Islam yang harus meliputi segala aspek hidup. Tentu hal itu sudah dipahami benar oleh Nurullah sepulang dari Mekkah.
Menurut cerita Jawa-Banten, sesudah sampai di Banten, ia segera berhasil menyingkirkan bupati Sunda di situ untuk mengambil alih pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut. Dalam hal itu ia mendapat bantuan militer dari Demak. Langkah berikut yang dilakukan untuk mengislamkan Jawa Barat ialah menduduki kota pelabuhan Sunda yang sudah tua, Sunda Kelapa, kira-kira tahun! 1527. Perebutan kota yang sangat penting bagi perdagangan Kerajaan Pajajaran ini, berlangsung cukup sengit, karena letaknya yang tidak jauh dari kota Kerajaan Pakuwan (Bogor). Sebagai tanda bahwa perebutan ini sungguh penting bagi agama Islam, kota itu diberi nama baru Jayakarta atau Surakarta; jaya berarti kemenangan dan sura pahlawan. Pada abad ke-16 dan ke-17, dan kemudian pada abad ke-20 ini, kota itu dikenal dengan nama Jakarta, singkatan dari Jayakarta. Orang Portugis, karena tidak tahu kota itu telah diduduki oleh orang-orang Islam pada tahun 1527, datang untuk mendirikan perkantoran berdasarkan perjanjian yang diadakannya pada tahun 1522 dengan Sang Hyang dari Pajajaran. Mereka ditolak dengan kekerasan senjata.[4]
Pada tahun 1528-1529 M, (1450 Jawa) Sultan Tranggana menghadiahkan sepucuk meriam besar buatan Demak yang dibubuhi tahun tersebut kepada penguasa baru di Banten sebagai tanda penghargaan atas hasil yang telah dicapai. Meriam itu mula-mula mungkin bernama Rara Banya; kemudian selalu disebut Ki Jimat (seolah-olah itu jimat kerajaan). Menurut Dr. Crucq (Crucq, "Kanon", hal. 359) diperkirakan meriam itu dibuat oleh seorang murtad bangsa Portugis, yang berasal dari Algarvia (Portugis Selatan). la bernama Khoja Zainul-Abidin. Meriam tersebut pada paruh pertama abad ke-20 masih dapat dilihat di Banten, di Kampung Karang Antu.[5]
Penguasa Islam baru atas Banten dan Jakarta rupanya tidak berusaha menyerang kota Kerajaan Pakuwan, yang terpotong hubungannya dengan pantai oleh perluasan daerah yang dilakukan oleh penguasa Islam baru di Banten itu. la memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Kerajaan Pajajaran. Cirebon yang mungkin sudah pada permulaan abad ke-16 menjadi kota dagang Cina-Islam, dan termasuk daerah raja Demak (lihat Bab VII-2), kemudian diserahkan juga ke bawah kekuasaannya. la selalu bersikap sebagai raja taklukan terhadap raja Demak selama Sultan Tranggana masih hidup. Mungkin sekali-sekali ia tinggal di Banten dan sekalisekali di Cirebon.
Dari uraian-uraian Portugis ternyata bahwa pada abad ke-16 perdagangan merica penting di kota-kota pelabuhan Jawa Barat, mula-mula di Sunda Kelapa dan kemudian di Banten. Walaupun orang Portugis tidak berhasil menetap di Sunda Kelapa, seperti yang diharapkan semula, mereka masih tetap singgah di Banten sebagai pedagang, demi kepentingan perdagangan merica mereka. Orang-orang Cina juga mengambil bagian dalam perdagangan merica itu. Yang aneh ialah bahwa menurut Tome Pires perahu-perahu Jawa Barat kadang-kadang berlayar ke Kepulauan Maladewa (di sebelah barat Pulau Sri Lanka) untuk mengambil budak belian dan perempuan yang kemudian dijual di Jawa.[6]
Menurut beberapa cerita babad Jawa, Sunan Gunungjati itu telah menyuruh seorang putranya tinggal di Cirebon, sebagai wakilnya. Putra ini kawin dengan seorang putri Demak, anak perempuan Sultan Tranggana. la meninggal dalam usia muda, mungkin pada tahun 1552. Kematiannya merupakan alasan bagi ayahnya untuk pindah dari Banten ke Cirebon selama-lamanya. Pangeran Cirebon ini hanya dikenal dengan nama anumerta Pangeran Pasareyan, sesuai dengan nama kota/desa tempat ia dimakamkan (lihat Bab VII-3).
Putra yang kedua, Hasanuddin, telah lebih dahulu menggantikan ayahnya di Banten. Waktu Sunan Gunungjati secara pasti menetap di Cirebon, Hasanuddin menjadi penguasa atas Banten dan Jakarta. Dalam riwayat Banten, sudah sejak abad ke-17 (ini tidak benar!) ia dianggap sebagai raja pertama di Banten dan sebagai pendiri keturunan sultan-sultan Banten. Dia pun kawin dengan putri Demak, anak Sultan Tranggana, pada tahun 1552.
VIII-3 Hasanuddin, penguasa Islam yang kedua atas Banten
Dapat dimengerti bahwa Hasanuddin bersikap taat terhadap ayahnya sebagai kepala keluarga, selama ayahnya, orang suci dari Cirebon itu masih hidup. Sunan Gunungjati telah meninggal dunia sekitar tahun 1570. Di Cirebon ia digantikan oleh cicit laki-lakinya, yang pada saat itu masih di bawah umur. Sesudah orang suci itu meninggal dalam usia yang sangat lanjut, hubungan antara kedua cabang keluarga kerajaan di Jawa Barat itu menjadi agak renggang.
Hasanuddin dari Banten dan istrinya dari Demak mendapat dua anak laki-laki. Yang sulung Yusup direncanakan untuk menggantikan ayahnya di Banten, bila saatnya tiba. Anak yang kedua dijadikan anak angkat dan diasuh oleh bibi dari pihak ibunya. Bibi ini, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara, tidak mempunyai anak. Menurut asal usulnya, ia juga seorang putri Demak (lihat Bab VI-2). Sesudah Ratu Kalinyamat meninggal, anak angkatnya (anak Hasanuddin yang kedua) menggantikan bibinya sebagai penguasa Jepara. Dalam cerita tutur ia disebut Pangeran Jepara.
Penguasa Islam yang kedua di Banten meneruskan usaha ayahnya: meluaskan daerah agama Islam. Ia memulai kekuasaan raja-raja Jawa Islam dari Banten di Lampung dan daerah-daerah sekitarnya di Sumatera Selatan, tempat bahasa Melayu Selatan merupakan bahasa pergaulan. Daerah-daerah taklukan raja-raja Banten ini ternyata telah menjadi penghasil merica yang besar. Perdagangan merica itu membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting, yang disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina, India, dan Eropa. Zaman berpengaruhnya Banten-Jawa dalam bidang pemerintahan dan kebudayaan di Lampung berlangsung dari pertengahan abad ke-16 sampai akhir abad ke18.[7]
Mungkin nama Sura-Saji diberikan kepada kota pelabuhan Banten setelah diperbesar dan diperindah pada zaman Hasanuddin. Kota itu menjadi tempat kedudukan seorang penguasa penting, berbeda dengan Banten Girang yang lama, yang letaknya lebih ke arah hulu sungai. Mungkin perkawinan raja muda yang ambisius dengan seorang putri Demak itu merupakan alasan untuk mengadakan pembangunan dan pemberian nama baru.
Menurut perkiraan, Hasanuddin meninggal pada tahun 1570, pada tahun yang sama dengan ayahnya. Tidak mungkin ia mencapai usia lanjut sekali waktu ia meninggal, jika ibunya adalah putri yang telah dinikahi ayahnya - menurut perkiraan - sekitar tahun 1525 atau 1526 di Keraton Demak. Penguasa Islam yang kedua di Banten ini mengalami zaman sesudah jatuhnya Kerajaan Demak, waktu iparnya Sultan Pajang, Jaka Tingkir, berkuasa di pedalaman Jawa Tengah. Dalam cerita tutur Jawa tidak ada berita yang memberi petunjuk bahwa ada sengketa antara raja-raja Banten dan Pajang. Dalam perempat ketiga abad ke-16 Kerajaan Pajajaran "kafir" masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Sunda di Jawa Barat, sehingga daerah-daerah raja Banten dan raja Pajang tidak langsung saling berbatasan.
Dalam cerita Banten, Hasanuddin terkenal dengan nama anumertanya, Pangeran Saba Kingking (atau: Seba Kingking), sesuai dengan nama kota/desa tempat ia dimakamkan, tidak jauh dari Banten. Makamnya telah dijadikan tempat ziarah oleh anak cucunya. Namun, ia tidak pernah mendapat penghormatan keagamaan seperti ayahnya, Sunan Gunungjati.
VIII-4 Yusup, Raja Islam ketiga di Banten; direbutnya Pakuwan Pajajaran
Di Jawa Barat, runtuhnya secara pasti kerajaan "kafir" tua Pajajaran dan direbutnya kota Kerajaan Pakuwan oleh pejuang-pejuang Islam demi agamanya, tidak menyebabkan timbulnya legenda yang sangat banyak, seperti di Jawa Timur sehubungan dengan jatuhnya Majapahit dan lenyapnya Brawijaya yang terakhir. Dari perbedaan ini ternyatalah bahwa bagi generasi kemudian makna Majapahit sebagai utusan peradaban zaman pra-Islam jauh besar daripada Pajajaran. Memang begitulah kenyataannya.
Meskipun demikian, konon pada abad ke-15 kekuasaan politik Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat bukannya tidak penting. Raja Islam di Banten dan Jakarta - berdasarkan pertimbangan keamanan - sudah tidak senang melihat adanya Kerajaan Sunda "kafir" di tanah pedalaman. Mungkin mereka merasa penyaluran hasil bumi ke kota pelabuhan, guna usaha perdagangannya, terancam. Mungkin juga harapan untuk mendapat banyak rampasan perang merangsang semangat tempur mereka.
Cerita Jawa-Banten menetapkan Hasanuddin, (yang menurut cerita itu) raja Islam yang pertama di Banten, sebagai pahlawan yang merebut. Pakuwan Pajajaran. Akan tetapi cukup alasan pula untuk menyangkal hal tersebut. Mungkin sekali Pakuwan ditaklukkan pada tahun 1579, waktu Yusup sudah 9 tahun memegang kekuasaan di Banten. Dari uraian yang cukup panjang dalam Sadjarah Banten mengenai bentrokan bersenjata ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kemenangan tentara Banten telah dipermudah oleh pengkhianatan seorang pegawai raja Pajajaran. Pengkhianat ini telah membuka pintu bagi saudaranya yang memegang komando atas sebagian laskar Banten. Waktu istana raja direbut, dinyatakan bahwa raja dengan keluarganya telah hilang. Tambo Jawa Barat tidak memberitakan apa-apa lagi tentang mereka. Karena sederhana, cerita ini lebih dapat dipercaya. Dari cerita itu pun ternyata bahwa di pihak raja Banten sudah ada orang Sunda Islam yang ikut bertempur. Sesudah kota kerajaan jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam; karenanya mereka diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya.
Menurut Sadjarah Banten, banyak penguasa, juga alim ulama, ikut dalam gerakan melawan Pakuwan. Pimpinan agama dipegang oleh Molana Judah (dari Jeddah, di Tanah Arab); tentang Molana ini, tidak ada lagi yang diketahui lebih lanjut. Tetapi nyata bahwa raja Banten-lah yang paling berkepentingan. Sesudah kemenangan tercapai, ia lebih giat melakukan pembangunan di ibu kota yang baru, Banten-Surasowan (Sura-Saji).
Molana Yusup (begitulah nama raja itu dalam cerita Banten) meninggal hanya satu tahun setelah kemenangan tercapai, jadi dalam usia yang masih agak muda. Sesudah meninggal, namanya tetap dikenal orang di Banten, yaitu Pangeran Pasareyan, mengingat tempat makamnya. Pemerintahannya hanya berlangsung 10 tahun.[8]
VIII-5 Muhammad, raja Islam keempat di Banten, berdiri sendiri dan merdeka. Perang melawan Palembang
Sesudah Molana Yusup meninggal pada tahun 1580, adiknya, Pangeran Aria Jepara (di Jepara ia menggantikan bibinya dan ibu angkatnya, Ratu Kalinyamat), berusaha supaya diakui sebagai penguasa atas Banten, karena putra Yusup almarhum masih kanak-kanak (lihat Bab VI-3). Pangeran Jepara sendiri bersama pasukan bersenjata pergi ke Banten lewat laut. Dalam peperangan yang terjadi antara pembesar-pembesar Jepara dan Banten, Demang Laksamana Jepara tewas. Laksamana ini mungkin sama orangnya dengan panglima yang memimpin pertempuran melawan Malaka pada tahun 1574 yang dikirim Kalinyamat. Karena kehilangan abdinya yang terpenting, Pangeran Jepara memutuskan untuk mengurungkan niatnya; ia kembali ke Jepara.
Menurut Sadjarah Banten, Molana Muhammad yang masih muda itu, berkat tindakan tegas kali (kadi, jaksa agung Islam di Banten), diakui sebagai raja oleh para pembesar kerajaan. Selama ia masih di bawah umur, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh kadi bersama empat pembesar lain. Ditolaknya campur tangan raja Jepara (yang dianggap sebagai orang luar), dan pengangkatan Molana Muhammad yang masih di bawah umur itu sebagai raja oleh para pembesar di bawah pimpinan jaksa agung Islam pada tahun 1580, sangat besar pengaruhnya di Jawa Barat. Para penguasa setempat di Banten dan Jakarta pada waktu itu sebagian telah berasal dari Sunda, atau mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga-keluarga Sunda yang mempunyai kedudukan penting dalam Kerajaan Pajajaran. Kejadian-kejadian pada tahun 1580 di Banten dianggap (mungkin lebih lagi pada masa berikutnya) sebagai pembebasan Jawa Barat yang (sebagian) bersifat Sunda dan yang belum lama berselang menganut agama Islam dari kekuasaan raja-raja di Jawa Tengah. Sejak itu Cirebon merupakan daerah perbatasan, baik di bidang kebudayaan maupun di bidang politik.
Di Jawa Barat, Banten dan Jakarta telah menjadi pengganti kerajaan Sunda Pajajaran. Tetapi raja-raja Banten tidak pernah merasa berhubungan erat dengan para pendahulu "kafir" mereka di Pakuwan, seperti halnya raja-raja Islam Jawa Tengah terhadap raja-raja Brawijaya di Majapahit. Pajajaran memang tidak pernah menjadi pusat kebudayaan seperti Majapahit (mungkin Pajajaran sendiri telah mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan Jawa pada abad ke-15). Di samping itu, boleh kami duga, tindakan keras para penyebar agama Islam di Jawa Barat (peperangan di Banten, Sunda Kelapa, dan Pakuwan) mengakibatkan agama dan pemangkunya (para penghulu) di Banten dan Sunda lebih banyak mempengaruhi jalan pemerintahan; perluasan daerah raja-raja Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur berjalan secara berangsur-angsur. Jaksa tertinggi Islam di Banten ternyata sampai abad ke-19 mempunyai kedudukan penting di keraton, lebih penting dari kedudukan para penghulu-kepala di keraton daerah-daerah kerajaan Yogya-Solo.[9]
Molana Muhammad, raja Islam keempat di Banten, mungkin karena pengaruh ajaran kali yang telah membantu dia naik tahta, menjadi pejuang untuk perluasan daerah Islam. Lagi pula, ia terpengaruh oleh raja Demak yang terakhir. Raja ini, yang telah melarikan diri karena terus terdesak oleh kekuasaan Mataram, mula-mula mencari perlindungan pada orang-orang Portugis di Malaka dan kemudian di keraton keluarganya, di Banten (lihat Bab III-3). Bukankah sultan Pajang, Jaka Tingkir, yang mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga kerajaan di Demak, waktu hidupnya berbaik hati terhadap para kemanakannya di Demak, Jepara, Cirebon, dan Banten? Tetapi kematiannya pada tahun 1587 telah membuka kesempatan bagi Senapati dari Mataram untuk menyerang kota-kota pelabuhan lama yang kaya dan makmur di daerah pantai Jawa dengan kekuatan angkatan bersenjatanya. Saat itu raja Demak yang terakhir terpaksa melarikan diri. Dalam tambo Banten, raja Demak, yang mengungsi ini, dipanggil Pangeran Mas. la yang sedikit lebih tua dari Molana Muhammad, telah membujuk saudara sepupunya yang saleh itu untuk melakukan ekspedisi bersenjata ke Palembang guna memperluas daerah Islam. Pangeran Mas dari Demak berpendirian bahwa ia masih akan dapat menuntut hak atas Kerajaan Palembang. Waktu kota dikepung, Molana Muhammad yang masih muda itu gugur.[10] Ini terjadi pada tahun 1596. Peristiwa ini tercatat dalam kisah perjalanan pelayaran Belanda yang pertama ke Hindia Belanda.
VIII-6. Raja-raja Banten yang kemudian; hilangnya Jakarta
Raja Islam keempat di Banten yang meninggal pada umur 25 tahun itu digantikan oleh seorang anak laki-laki yang baru berumur beberapa bulan, Abdul Kadir namanya. Selama tahun-tahun terakhir abad ke-16 dan dasawarsa pertama abad ke-17, Banten diperintah oleh anggota-anggota kerajaan yang lebih tua. Mereka bertindak sebagai wali untuk raja yang masih kecil itu. Pergantian-pergantian wali dan sengketa antar pangeran tidak menguntungkan Kerajaan Banten.
Tentang zaman sejarah Jawa Barat ini, terdapat cukup banyak berita Belanda dan Inggris. Pada waktu itu kapal-kapal Belanda dan Inggris mulai secara teratur singgah di Banten. Pada tahun 1619 Jakarta direbut Belanda. Kelak Batavia (Betawi) akan menjadi yang paling berkuasa di Jawa Barat. Keraton Banten terpaksa merelakan hilangnya Jakarta ini. Pada abad ke-17 orang Banten mengkhawatirkan pengaruh raja-raja Mataram ke arah barat, dan serangan dari Palembang. Kekuasaan Belanda di Jakarta /Betawi ternyata membawa keamanan dan ketertiban bagi raja-raja Banten dan juga bagi raja-raja Cirebon pada abad ke-17 dan ke-18.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 113 dst.) diuraikan berita-berita Portugis tentang kota-kota pelabuhan Sunda pada permulaan abad ke-16.
[2] Berita-berita Portugis dan Jawa mengenai Pajajaran telah dibicarakan dalam Djajadiningrat, Banten, hlm. 73 dst.
[3] Djajadiningrat, Banten (hlm. 113 dst.) berisi tinjauan panjang lebar mengenai letak dan sejarah tertua kota-kota Banten Girang dan Banten, yang di sini tidak perlu diulangi.
[4] Djajadiningrat dengan cerdik sekali berusaha menetapkan bahwa perebutan Kota Sunda Kelapa telah terjadi pada hari Maulud tahun 933 H. yaitu 17 Desember 1526 M. (Djajadiningrat, "Hari lahimja").
[5] Bahwa meriam-meriam mempunyai kedudukan penting dalam cerita-cerita rakyat tentang sejarah lama kerajaan-kerajaan Pasisir Barat telah dikemukakan di atas (cat. 75). Cerita-cerita yang menyerupai dongeng itu menghubung-hubungkan pegawai raja yang setia, seorang patih, serta istrinya, yang telah berhasil menghalau musuh, dengan meriam-meriam tua. Dalam cerita yang bersifat legenda mengenai Banten dikabarkan tentang adanya serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh orang-orang dari Manila (Pigesud, Literature, jil. II. hlm. 361a). Tentu saja penghadiahan sebuah meriam besar oleh Sultan Tranggana kepada menantunya di Banten itu dapat kita anggap sebagai usaha pengamanan yang lebih praktis untuk melindungi Teluk Banten terhadap ancaman serangan Portugis. Sebelum mencapai maupun waktu mendekati Malaka orang-orang Indonesia telah mengalami sendiri bagaimana unggulnya senjata artileri Portugis. Kekuatan meriam-meriam Portugis ini dalam Sajarah Melayu, dalam cerita tentang direbutnya Malaka oleh d'Albuquerque, diceritakan panjang lebar. Mungkin karena itu juga maka Pati Unus dari Jepara, menurut caranya sendiri, telah memperkuat kapalnya, yang bobot matinya diperkirakan 500 ton (berita dari De Barros yang dikutip oleh Veth, Java jil. I, hlm. 269). Jelaslah kiranya bahwa kapal Jawa tidak dapat menandingi kapal-kapal Portugis. Jadi, bukanlah hal yang mustahil kalau sebuah serangan Portugis terhadap salahsatu pelabuhan di Jawa dapat dilakukan dengan sukses. Meriam-meriam di darat mungkin akan dapat menggagalkan serangan dari laut walaupun orang Jawa belum dapat mengenal kata-kata Napoleon: "Un canon sur terre en vaut cent sur mei" (satu meriam di darat mengimbangi seratus di laut). Meriam Banten, Ki Amuk, yang dipasang pada bangunan pertahanan pelabuhan di sayap kanan, diharapkan dapat dengan satu tembakan yang terarah tepat mengirimkan kapal atau jung Portugis ke dasar laut. Rupanya, raja Demak juga tidak menelantarkan pelabuhan lautnya Jepara, dengan cara melengkapi Gunung Jepara, dalam cerita babad dikenal dengan nama Danaraja, dengan meriam kaliber berat. Crucq dalam karangannya (Crucq, "Keraton", hlm. 100) beranggapan bahwa kedua meriam yang berasal dari Jepara, yang sekarang berada di Solo, adalah hadiah dari Gubernemen Portugis di Malaka pada tahun 1640; meriam-meriam itu dianggapnya identik dengan meriam Kumbarawa dan Kumbarawi. Tetapi dua tahun kemudian (dalam majalah T.B.G. LXXX, tahun 1940, hlm. 38) ia menyinggung kembali hal tersebut dan mengatakan bahwa kedua meriam besar tadi merupakan bagian yang terdiri atas lima buah columbrijnen (meriam-meriam panjang) yang pada abad ke-17 terletak di benteng Jepara. Ia menulis "kiranya mungkin, dan menurut saya kemungkinan ini sangat besar, bahwa barang-barang itu dibuat dengan bantuan ahli-ahli Portugis, namun mereka berasal dari Jawa sendiri dan bukan barang impor". Jadi, mungkin meriam itu berasal dari tempat pengecoran Zainu'I Abidin, seorang pembelot Portugis.
Mungkin di Surabaya ada pula tempat pengecoran meriam kaliber besar; sekurang-kurangnya pada permulaan abad ke-17 ditemukan di sana sejumlah meriam yang agak banyak, satu di antaranya ukuran sangat besar. Pada kunjungannya ke Surabaya pedagang VOC Artus Gijsels melihat adanya tembok ganda (sekitar keraton dan sekitar kota) tetapi ada pula sekitar dua puluh laras meriam ditempatkan di pasar dekat alun-alun. Ada yang dibuat dari besi, tetapi ada juga dari perunggu dan sebuah di antaranya sungguh besar: "noch eens sop laugh als onse hele cartouwen, dat sij selver gegoten hebben" (dua kali sepanjang meriam kita, dan telah mereka buat sendiri). la juga melihat cetakan-cetakan yang tersedia untuk mengecor beberapa buah meriam lagi (lihat juga: Graaf, Sultan Agung, hlm. 13, 14).
[6] Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 113 dst.) memberitakan hubungan dagang pelabuhan-pelabuhan Jawa Barat dengan luar negeri pada abad ke-16. Maladewa, Keling (yaitu Koromandel), Surat (yaitu Surate), Mocha dan Judah (yaitu Jeddah) disebutkan sebagai peristirahatan dalam pelayaran dari Banten ke Mekkah, yang dilakukan oleh utusan-utusan raja, mungkin sekitar tahun 1635, untuk mendapatkan gelar Sultan bagi raja mereka dari Maha Syarief di kota suci (lihat Djajadiningrat, Banten, hlm. 50 dan 175).
[7] Djajadiningrat (Djajadiningrat, Banten, hlm. 118-130) telah menyajikan tinjauan panjang lebar tentang pemberitaan-pemberitaan lama mengenai hubungan antara Banten dan Sumatera Selatan. Lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Lampung"; di situ dicantumkan naskah-naskah Jawa, yang ada hubungannya dengan Lampung.
[8] Djajadiningrat, Banten (hlm. 131 dst.) mencantumkan tinjauan-tinjauan panjang lebar mengenai kronologi pemerintahan Molana Yusuf dan mengenai jatuhnya Pakuwan Pajajaran.
[9] Dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 322 dst.), terdapat pemberitaan tentang arsip-arsip hakim tertinggi di Banten, yang masih tersimpan. Nama jabatan pejabat-pejabat tinggi kerohanian di Keraton Banten ini ialah Fakih Najmu'd-Din. Pada abad ke-17 nama ini sudah dikenal (Djajadiningrat, Banten, hlm. 66 dan 198).
[10] Djajadiningrat, Banten, berisi tinjauan-tinjauan panjang lebar tentang sejarah Molana Muhammad dan gugurnya dalam penyerbuan terhadap Palembang (hlm. 37 dst. dan 148 dst.). Sejarah Palembang pada abad ke-16 akan dibicarakan dalam Bab XVIII buku ini.
0 komentar: