Riwayat Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-16: Cirebon
VII-1 Berita lama tentang hubungan antara Jawa Tengah serta Timur dan Jawa Barat, legenda dan sejarah
Terlalu sedikit diketahui tentang sejarah Jawa Barat dari zaman sebelum Islam. Karya-karya tulisan Sunda kuno, yang mestinya dapat memberikan keterangan-keterangan, tersimpan dalam keadaan yang menyedihkan sehingga sukar diselidiki.
Sudah sejak zaman pra-Islam Jawa Barat terpengaruh oleh peradaban Jawa. Karena penyebaran agama Islam oleh orang Jawa yang telah merebut daerah sepanjang pantai utara (perebutan daerah ini akan dibicarakan dalam bagian-bagian berikutnya), bahasa Sunda sebagai bahasa tulis untuk waktu lama telah terdesak oleh bahasa Jawa. Baru pada abad ke-18 dan ke-19 menulis dalam bahasa Sunda mulai menjadi kebiasaan lagi. Balada-balada dan sajak-sajak kepahlawanan dalam bahasa Sunda, yang ditulis pada abad ke-19, memuat beberapa cerita legenda tentang zaman dahulu (prasejarah). Bagi sejarawan, legenda-legenda ini sedikit saja artinya.[1]
Hanya dua legenda Jawa yang perlu diberitakan di sini, yaitu yang mengisahkan adanya hubungan antara Jawa Barat dan Jawa Timur. Satu dari dua cerita ini menganggap bahwa berdirinya kota kerajaan Majapahit itu berkat usaha seorang pangeran Sunda, yang konon terpaksa melarikan diri dari tanah asalnya. Legenda ini mempunyai beberapa versi, yang termuat dalam buku-buku cerita (Serat Kandha) dan cerita-cerita babad, baik di Jawa Tengah dan Jawa Timur maupun di Jawa Barat. Tidak diketahui apa yang menjadi dasar penyusunannya; legenda itu tidak didasarkan pada cerita sejarah yang sudah dikenal dari tulisan Jawa yang lebih dapat dipercaya.[2]
Cerita lain tentang hubungan antara orang Sunda dan orang Jawa Timur terdapat dalam balada-balada Jawa atau Jawa-Bali, boleh jadi dari abad ke-15 atau ke-16, yang melukiskan suatu ekspedisi raja Sunda ke Majapahit, dan kekalahannya dalam pertempuran melawan raja Jawa. Seorang putri Sunda, yang seharusnya diperuntukkan bagi raja Majapahit, memegang peranan penting dalam legenda ini.
Juga tentang cerita ini kebenaran sejarahnya diragukan secara menyeluruh atau sebagian.[3]
Satu-satunya yang dapat kita simpulkan dari adanya legenda-legenda Jawa ini ialah kemungkinan adanya hubungan lama yang tidak selalu bersahabat - mungkin lewat laut di sepanjang pantai utara - antara Sunda dan Jawa Timur. Waktu penduduk Jawa Islam dari Jawa Tengah telah menguasai kota-kota pelabuhan di Jawa Barat, berakhirlah hubungan langsung antara Jawa Timur dan Jawa Barat.
Daerah-daerah yang sering disebut dalam legenda-legenda Sunda sebagai daerah kekuasaan raja-raja yang dianggap penting ialah Pajajaran dan Galuh. Keraton Pajajaran konon terletak dekat Kota Bogor sekarang. Di situ ditemukan suatu piagam batu bertulis dari zaman Pajajaran (bertahun 1333 M.).
Kota pelabuhan di pantai utara Pajajaran terletak dekat muara Ciliwung, tempat Jakarta sekarang. Sebelum zaman Islam, tempat itu bernama Sunda Kelapa; nama Kalapa ini kiranya masih lama dikenal orang Indo-Cina. Nama Jakarta, Jaya- Karta, itu diberikan oleh Jawa Islam dari Banten yang telah merebutnya (lihat Bab VIII-4).
Daerah Galuh dahulu terletak di sebelah barat dan barat daya Kota Cirebon sekarang.[4] Tidak diketahui dengan tepat tempat tinggal raja-raja Galuh dahulu. Dapat diduga, Indramayu (mungkin dahulu bernama Dermayu), dekat muara Cimanuk - sungai yang mempunyai daerah aliran yang luas - dahulu merupakan kota pelabuhan Kerajaan Galuh, kerajaan tua di Sunda. Akibat endapan-endapan lumpur, pangkalan lautnya sekarang tidak berarti lagi.
VII-2 Permulaan Jawa Barat memeluk agama Islam: Cirebon
Salah satu berita tertua tentang Cirebon dalam hubungannya dengan agama Islam terdapat dalam buku Suma Oriental, karangan musafir Portugis, Tome Pires. Yang disebutkan oleh Tome Pires sebagai pendiri pedukuhan Islam pertama (mungkin) di Cirebon ialah ayah Pate Rodin Sejarah keluarga Cina ini, yang menurut Tome Pires konon menurunkan raja-raja Demak, telah dibicarakan panjang lebar dalam Bab II-2. Setelah mendarat di Gresik (dan mungkin memeluk agama Islam), lebih dulu Cu-Cu menetap di Demak. Pada waktu itu (dalam sepuluh tahun terakhir abad ke-15) Demak masih diperintah oleh seorang penguasa "kafir", raja taklukan maharaja Majapahit. Penguasa Demak itu telah memanfaatkan jasa-jasa pedagang Cina Islam tersebut, mungkin untuk meningkatkan perkembangan ekonomi kota pelabuhannya. Dalam hubungan itu, sesudah beberapa waktu berlalu ia mengutus Cu-Cu ke Barat, ke Cirebon (atau mungkin membantu prakarsa Cu-Cu dengan kekuasaan dan slat-alat) untuk mendirikan perkampungan di sana, yang akan membantu hubungan dagang yang makin meluas antara Demak dan Jawa Barat. Rupanya, usaha pedagang Cina itu berhasil baik. Sesudah beberapa waktu, setelah menjadi kaya dan mempunyai sekadar kekuasaan, ia kembali ke Demak. Kemudian keluarganya dapat pula memegang kekuasaan pemerintahan di kota pelabuhan itu.
Pemberitaan Tome Pires tentang dasawarsa terakhir abad ke-15 ini tidak dikuatkan oleh cerita-cerita Jawa atau Sunda. Oleh karena musafir Portugis itu kira-kira 25 tahun kemudian berada di Jawa, berita itu pantas dipercaya. Dari keadaan demikian kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum Demak secara pasti dan nyata menjadi Islam, sudah ada hasrat yang kuat untuk memperluas kekuasaan (ekonomi) ke arah barat. Panen padi yang sangat besar, yang dihasilkan dataran rendah aluvial (berkat endapan lampur) yang subur sepanjang pantai utara Kendal dan Cirebon itu, merupakan hasil tambahan yang lumayan bagi perdagangan beras Demak dengan pedagang-pedagang dari seberang.
Dari pemberitaan Tome Pires tidak terbukti bahwa Cina Islam itu di Cirebon telah mendirikan permukiman yang benar-benar baru. Nama tempat itu menimbulkan dugaan bahwa penduduk aslinya orang-orang Sunda. Menurut berita Pires, pangkalan laut yang bagus itu telah dijadikan alasan bagi orang yang penuh inisiatif itu untuk mendirikan factorij 'perkantoran yang diperkuat' bagi perdagangan Demak. Kemungkinan, daerah Cirebon (seperti beberapa daerah lain di sebelah timurnya) ada di bawah kekuasaan raja "kafir" Sunda di Galuh dan Pajajaran. Kerajaan Galuh konon sudah kehilangan kemerdekaannya pada zaman dahulu.
Tome Pires menyebut beberapa kota pelabuhan antara lain Cirebon dan Demak yang pada permulaan abad ke-16 agak penting, yaitu Losari, Tegal, dan Semarang. Mengenai sejarah kota-kota ini ia tidak dapat memberikan keterangan yang terinci. Yang jelas dapat diterima ialah bahwa hubungan antara Demak dan Cirebon diselenggarakan dengan kapal-kapal pantai, seperti juga hubungan antara Demak dan Gresik, tempat asal Cu-Cu.[5] Musafir Portugis itu juga memberikan beberapa keterangan mengenai kota-kota pelabuhan di Jawa Barat yang masih menjadi milik raja Pajajaran yang "kafir" itu, yang menolak kedatangan "kaum Moor" (orang-orang Islam). Ini secara tidak langsung menguatkan dugaan bahwa kampung dagang, yang oleh perantara Cina dari Demak didirikan di Cirebon, merupakan tambahan daerah bagi kaum Islam.
Suma Oriental masih memuat berbagai pemberitaan mengenai perdagangan laut antara para pedagang Cirebon dan Malaka. Kepala kampung Jawa dekat Malaka atau di Malaka, yang bernama Upeh, konon berasal dari Cirebon. Oleh orang Portugis ia disebut Pate Kedir. Pate Kedir dari Malaka-Upeh ini kiranya di tempat asalnya Cirebon termasuk orang yang terpandang, juga di kalangan raja. Tidak diketahui siapa raja itu.
Oleh karena Tome Pites meninggalkan Jawa kira-kira pada tahun 1515, maka berita-berita tentang perdagangan laut yang pesat di Cirebon itu diperkirakan menyangkut masa akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Dari pemberitaannya, dapat dipahami bahwa pada waktu itu baik di Demak maupun di Cirebon terbentuk kelompok-kelompok pedagang Islam yang berhubungan antara yang satu dan yang lain. Para anggota kelompok-kelompok itu konon orang-orang berdarah campuran. Masih belum dilupakan orang bahwa keluarga-keluarga terkemuka mempunyai asal usul Cina.
VII-3 Wali dari Cirebon, Sunan Gunungjati, legenda dan sejarah
Cerita tutur Jawa dan Sunda mengenai permulaan agama Islam di Cirebon ternyata tidak memberitakan apa-apa tentang jemaah Islam lama, yang disebut oleh Tome Pires dan yang asal mulanya sama dengan yang ada di Demak. Menurut cerita-cerita pribumi, pujian tentang pengislaman daerah-daerah ini sepenuhnya ditujukan kepada satu orang perintis agama saja, yang sesudah meninggal diberi julukan Sunan Gunungjati, sesuai dengan nama bukit dekat Cirebon tempat beliau dimakamkan.[6]
Ada sebuah legenda Jawa yang menceritakan bahwa seorang saudara sepupu atau kakak Raden Rahmat (yang kelak menjadi Sunan Ngampel Denta, orang suci di Surabaya) telah menetap di Grage (yaitu Cirebon). la bernama Jenal Kabir. Menurut legenda ini, agama Islam di Jawa Timur dan di Jawa Barat itu sama tuanya. Kecenderungan cerita yang mudah ditafsirkan ini menyebabkan legenda itu kurang dapat dipercaya.
Patut dicatat suatu kisah dalam buku cerita Jawa (Serat Kandha), bahwa Aria Bangah - raja Galuh atau Pajajaran dalam legenda Sunda - adalah anak seorang wanita Islam dari Grage. Jadi, menurut cerita ini, terjalin hubungan keluarga antara masyarakat Islam dan keluarga raja Sunda. Cerita Jawa Timur tentang Ratu Darawati, putri Islam dari Campa, yang telah dimasukkan ke dalam keputrian istana raja Majapahit, merupakan cerita yang senada dengan legenda tentang Cirebon ini.[7]
Selain dari cerita-cerita yang berdiri sendiri-sendiri ini, yang ditemukan dalam sebuah buku cerita, menurut pendapat umum di kalangan penulis cerita-cerita babad, Sunan Gunungjati telah mengangkat agama Islam menjadi agama yang paling penting di Jawa Barat. Banyak cerita dalam kesusastraan Jawa dan Jawa - Sunda yang mengisahkan asal usul dan kehidupan orang suci dari Cirebon ini. Dalam penelitian sejarah ini hal-hal tersebut tidak akan dikemukakan sebab cerita-cerita itu pada umumnya termasuk kelompok legenda tentang orang-orang suci Islam yang bersifat edukatif. Mungkin mitos-mitos kuno dari zaman pra-Islam, dan yang berasal dari Jawa Barat, telah banyak menambah legenda tentang para pendakwah Islam di tanah Sunda, Banten, dan Cirebon ini.[8]
Laporan-laporan dan kisah perjalanan orang Portugis memuat cukup banyak pemberitaan yang dapat dipercaya tentang penyebar agama Islam ini, yang kemudian berkembang menjadi seorang negarawan dan pendiri kerajaan-kerajaan di Cirebon dan Banten. Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya tentang Sadjarah Banten, dan dalam karangan-karangan ilmiahnya yang terbit kemudian, banyak menaruh perhatian terhadap sejarah orang suci ini. la bernama Nurullah; kemudian terkenal dengan sebutan Syekh Ibnu Molana. Penulis-penulis Portugis mengenalnya dengan dua nama, Falatehan dan Tagaril, yang menurut Djajadiningrat merupakan satu orang saja.[9]
Orang yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunungjati itu berasal dari Pasei, kota pelabuhan tua di Aceh. Di situ agama Islam pada akhir abad ke-13 sudah menjadi agama yang paling kuat. Rupanya, perdagangan dengan daerah-daerah di Seberang (Malaka) dan dengan daratan Asia selama dua abad telah mengakibatkan terjadinya percampuran ras di kalangan terkemuka di kota-kota pelabuhan.
Dengan direbutnya Pasei oleh orang-orang Portugis pada tahun 1521, maka Nurullah pergi naik haji ke Mekkah. Tindakan itu, karena dilakukan pada waktu sulitnya hubungan perjalanan dan adanya peperangan di berbagai daerah, jelas merupakan bukti dari semangat keagamaan dan kerasnya kemauan. Setelah kembali dari Tanah Suci pada tahun 1524, ia tidak bermukim di Sumatera Utara atau di Semenanjung, yang dikuasai atau terancam oleh bangsa Portugis yang kafir itu, melainkan ia pergi ke Pulau Jawa; di sana ia disambut baik di keraton raja Demak, yang baru beberapa puluh tahun masuk Islam. Konon, ia diberi hadiah saudara perempuan Raja Tranggana sebagai istri. Mungkin Nurullah, sebagai peziarah dari Mekkah, mengetahui perkembangan pemerintahan Kesultanan Turki di Asia Depan dan Eropa Timur. la menganjurkan kepada raja Demak, iparnya, untuk bertindak sebagai raja Islam sejati. Gelar sultan yang dipakai Tranggana, dan perluasan kekuasaannya dengan kekerasan yang merugikan kerajaan "kafir" Majapahit, mungkin sebagian merupakan pengaruh iparnya, yang dalam perjalanannya telah menginsafi benar panggilan Islam untuk memperluas daerahnya.
Dengan izin dan bantuan Sultan Tranggana, tidak lama sesudah tahun 1524 Nurullah berangkat dari Demak menuju ke Banten untuk mendirikan jemaah Islam di daerah raja "kafir" Pajajaran. Perkembangan Banten akan dibicarakan dalam Bab berikut ini.
Menurut pemberitaan penulis Portugis, Mendez Pinto (yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya), penguasa Islam di Banten yang masih baru ini pada tahun 1546 ikut serta dalam serangan Demak terhadap Pasuruan (baca: Panarukan) di ujung timur Jawa, suatu serangan yang berakibat buruk bagi Sultan Tranggana. Menurunnya kekuasaan pusat, sesudah wafatnya Sultan Tranggana, dimanfaatkan oleh Nurullah dari Banten untuk menetap di Cirebon. Dapat diduga bahwa pada zaman pemerintahan Sultan Tranggana, kota pelabuhan Cirebon dengan masyarakat Islamnya yang berdarah campuran Cina itu tidak besar kebebasannya. Sunan Gunungjati-lah yang berhasil mengubah Cirebon menjadi ibu kota kerajaan yang merdeka.
Waktu ia benar-benar telah pindah dari Banten ke Cirebon, umurnya telah lebih dari 60 tahun. Alasan mengapa ia meninggalkan kota pelabuhan Banten yang makmur itu untuk menetap di Cirebon tidak diketahui orang. Dapat dimengerti bahwa ia - juga karena asal usul istrinya dari Demak - lebih suka tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh dari pusat kehidupan Islam di Jawa Tengah, yaitu Masjid Demak, daripada di sudut negeri yang paling barat. Cerita-cerita tutur Jawa memberitakan adanya pengaruh kebudayaan di Cirebon yang datang dari peradaban Majapahit yang "kafir" itu, yang keluarga-rajanya pada tahun 1526 telah diusir oleh orang-orang Islam. Tempat kediaman raja di Cirebon, yang masih ada peninggalan-peninggalannya, dengan jelas menunjukkan adanya ciri-ciri yang meniru contoh Jawa lama dari abad ke-18 (lihat Pigeaud, Java, jil V, denah I dan fI). Tidak ada kepastian bahwa Sunan Gunungjati, segera sesudah menetap di Cirebon, mulai mendirikan keraton besar. Yang jelas ialah bahwa ia telah menyuruh membuat masjid yang besar, atau menyuruh memperluas tempat ibadat yang ada, dengan gaya yang sama seperti Masjid Suci Demak, yang telah menjadi model bagi semua masjid besar di kota-kota besar Jawa. Tahun yang ditatah pada batu bangunan pada masa pemerintaho raja pertama yang merdeka di kota itu.
Menurut cerita Banten (Sadjarah Banten), Sunan Gunungjati itu sampai tahun 1552 masih berkedudukan di Banten. Kabarnya, ia telah menyerahkan Cirebon yang sudah lama dikuasainya kepada salah seorang putranya. Baru sesudah putra itu - yang hanya dikenal dengan nama anumerta Pangeran Pasareyan, yang mengingat tempat makamnya - meninggal pada tahun 1552, sultan yang telah tua itu mengambil keputusan untuk pindah selama-lamanya dari Banten ke Cirebon. Mungkin ia bermaksud juga membaktikan dirinya pada kehidupan rohani dan penyebaran agama Islam. Di kota pelabuhan Banten yang ramai itu tinggallah putranya yang lain, Hasanuddin, sebagai raja.
Sementara itu, ada kemungkinan bahwa pada masa hidup Sultan Tranggana dari Demak (ia meninggal pada tahun 1546) Sunan Gunungjati - setidaknya sekali-sekali - telah tinggal di Cirebon. Cerita yang memberitakan bahwa ia di situ telah menerima Sahid dari Tuban, yang kelak menjadi Sunan Kalijaga, yang diberinya salah seorang anak perempuannya sebagai istri, memang layak dipercaya. Sahid, seorang bangsawan Jawa yang mungkin berasal dari kerajaan tua Majapahit, sesudah bertempat tinggal di Cirebon baru pergi ke Keraton Demak (mungkin dengan membawa rekomendasi dari Orang Suci Nurullah kepada iparnya Sultan Tranggana). Penghormatan tinggi yang diterima oleh bangsawan Jawa dari Tuban itu di Keraton Demak agaknya telah menyebabkan penghulu Masjid Suci (di Demak) meninggalkan Demak dan mendirikan "kota suci" Kudus (lihat Bab IV-2).
Raja yang tua itu, yang mungkin semasa hidupnya sudah memakai gelar susuhunan, pada tahun 1570 meninggal dalam usia lanjut di Cirebon - mungkin telah lebih dari 80 tahun. la dimakamkan di bukit rendah di luar kota, Gunungjati, konon mula-mula bernama Gunung Sembung. Mungkin juga bahwa ia semasa hidupnya pernah tinggal di situ. (Bandingkanlah Susuhunan Prawata dari Demak, dan Sunan Giri dari Gresik; mereka hidup sezaman).
Pengaruh agama yang meluas dari Cirebon ke tanah Sunda ternyata besar sekali. Makam susuhunan suci dari Gunungjati merupakan tempat ziarah yang paling ramai dikunjungi orang di Jawa Barat. Penyebaran agama Islam dan meluasnya bahasa dan kesenian Jawa ke tanah Sunda bagian timur merupakan pengaruh Cirebon.
Kekuasaan pemerintahan yang berarti tidak dimiliki susuhunan dari Cirebon. la berusaha memperkuat posisi politiknya dengan jalan perkawinan. Setelah ia sendiri kawin dengan saudara perempuan Sultan Tranggana dari Demak, ia menyuruh putranya, Hasanuddin dari Banten, pada tahun 1552 kawin dengan putri yang ditinggalkan raja. Sultan Pajang, Jaka Tingkir, dan Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang karena jatuhnya keluarga-raja Demak telah menjadi penguasa-penguasa yang paling kuat di Jawa Tengah, sangat menghormati dia.
Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa wibawa kerohanian Sunan Gunungjati dan penggantinya di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan dengan "para ulama" Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan lebih-lebih pada abad ke-17 (Djajadiningrat, Banten, hal. 100 dan seterusnya). Mungkin perlu diperhitungkan juga bahwa Gresik dan Surabaya pada awal abad ke-16 sudah mempunyai jemaah Islam. Lagi pula, pengaruh agama Islam yang datang dari Giri/Gresik dikuatkan lagi oleh kenangan akan peradaban "kafir", yang beberapa abad lamanya telah berkembang di Jawa Timur. Dalam kedua hal itu, yaitu usia tradisi Islam dan perkembangan kebudayaan pada abad ke-16 dan ke-17 dan sesudahnya, Jawa Barat masih ketinggalan dari Jawa Timur.
VII-4 Pemimpin•pemimpin agama Cirebon yang selanjutnya
Menurut cerita sejarah di Jawa Barat, pada tahun 1570 Sunan Gunungjati sebagai penguasa Cirebon telah diganti oleh seorang cicitnya, yang hanya terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Tentang dia amat sedikit yang diketahui. Di satu pihak, ia telah mengalami kemakmuran Banten sebagai kota pelabuhan dan runtuhnya kerajaan "kafir" terakhir di Jawa Barat, yaitu Pakuwan Pajajaran. Tidak ada bukti bahwa prajurit-prajurit dari Cirebon ikut bertempur dalam penaklukan Pakuwan; konon Pakuwan telah diduduki oleh orang-orang dari Banten. Di pihak lain, raja Cirebon yang kedua mengalami kematian Sultan Pajang pada tahun 1586 dan lahirnya Kerajaan Mataram di Jawa Tengah sebelah selatan.
Sungguh menarik perhatian bahwa raja-raja Mataram sejak semula dalam perempat terakhir abad ke-16, mempunyai hubungan yang cukup baik dengan penguasa-penguasa setempat di daerah Jawa sebelah barat daerah inti kerajaan, yakni daerah itu di sebelah barat Sungai Bogowonto. Para penguasa di daerah pedalaman bagian barat Jawa dan juga para raja Cirebon agaknya tidak memberikan perlawanan dan mengakui penguasa Mataram. Sebuah cerita mengabarkan bahwa pada tahun 1590 raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu "para pemimpin agama" Cirebon, Pangeran Ratu, untuk mendirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya. Mungkin pada waktu itu raja Mataram menganggap Cirebon suatu pertahanan militer di bagian barat kerajaannya (lihat juga bagian akhir Bab XX-7).
Dapat dipastikan bahwa Pangeran Ratu dari Cirebon, pengganti Orang Suci Sunan Gunungjati, dianugerahi usia panjang sekali, seperti pendahulunya. Ia baru meninggal pada tahun 1650. Penggantinya seorang raja yang dikenal dengan nama Pangeran Girilaya.
Di Cirebon Pangeran Ratu pasti mengalami pergolakan zaman, yaitu munculnya kekuasaan Belanda, berdirinya Batavia, dan peperangan raja-raja Mataram dan Banten melawan kota itu. Tidak ada kenyataan bahwa Pangeran Ratu bertindak dengan kekerasan mempengaruhi keadaan politik pada waktu itu. Meskipun begitu, wibawa kerohanian keturunan Sunan Gunungjati tidak diragukan. Pada paruh kedua abad ke-17 dinasti itu terpecah menjadi beberapa cabang, yang masing-masing mempunyai keraton.
Pada abad ke-17 dan ke-18, di keraton-keraton Cirebon telah berkembang kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal itu antara lain terbukti dari kegiatan mengarang nyanyian keagamaan Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistik. Hal ini pun menunjukkan bahwa pengaruh rohani Sunan Gunungjati itu masih berlangsung.[10]
Kedaulatan atas daerah Cirebon termasuk daerah-daerah Sunda pada tahun 1705 telah diserahkan oleh susuhunan di Kartasura kepada Kompeni (VOC) di Betawi. Keraton-keraton para keturunan Sunan Gunungjati di Kota Cirebon masing-masing tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan dengan tunjangan uang dari pemerintah Hindia Belanda hingga abad ke-20 ini.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Perkembangan kesusastraan Sunda telah dibicarakan dengan singkat dalam Pigeaud, Literature, jil.I, hlm. 143 dst.
[2] Sejarah yang bersifat legendaris mengenai pangeran asal Sunda, pendiri Majapahit, telah dibicarakan dengan singkat dalam Pigeaud, Literature, jil. III di bawah "Suruh" (hlm. 401).
[3] Balada-balada yang berisi sejarah yang menyedihkan tentang Putri Sunda dalam bahasa Jawa dinamakan Kidung Sunda. Balada-balada itu sudah dipelajari oleh Prof. Berg (lihat Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 123 dst.).
[4] Terutama berdasarkan ilmu bahasa dapat dianggap ada kemungkinan daerah-daerah sepanjang pantai barat laut Jawa beserta daerah pedalamannya pada zaman kuno telah didiami oleh suku-suku bangsa yang bahasanya mempunyai langgam corak yang mirip dengan bahasa Sunda sekarang. Sungai Pamali dan Distrik Lebak Siyu dalam cerita tutur Jawa telah dianggap sebagai batas antara daerah-daerah raja Majapahit dan raja Pajajaran (lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 361-b; Codex LOr, no. 6379, Serat Kandha). Nama Cirebon atau Cirebon itu ada bagiannya Ci, yang dalam bahasa Sunda berarti sungai, yang banyak didapat juga pada nama-nama kota (juga jauh di luar daerah-daerah, yang sekarang termasuk daerah Sunda; lihat juga cat. 128 di bawah ini). Nama lain untuk Cirebon, yang masih dipakai, ialah Grage atau Garage; arti nama ini tidak dikenal. Pakungwati ialah salah satu nama Keraton Cirebon, yang sewaktu-waktu muncul dalam cerita-cerita Babad Jawa.
[5] Karangan Dr. Meilink-Roelofsz (Meilink-Roelofsz, Asian Trade, hlm. 112 dst.) berisi informasi yang sangat menarik, sebagian besar bersumber pada Suma Oriental (karya Tome Pires), tentang perdagangan di daerah-daerah Pesisir sebelah barat pada permulaan abad ke-16.
[6] Karya-karya sejarah Jawa setempat tentang kerajaan-kerajaan Islam Cirebon dan Banten sebagian telah diterbitkan: Rinkes, Babad; Djajadiningrat, Banten; Edel, Hasanuddin. Kedua karya tersebut terakhir ini sangat penting bagi pengetahuan kita tentang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Barat. Pada tahun 1972 diterbitkan karya Drs. Atja (Atja, Tjarita) yang berisi transkripsi (berikut pendahuluan dan terjemahan dalam bahasa Indonesia) naskah prosa Jawa yang agak pendek (303 baris (?)), menurut kata-kata penutup ditulis pada tahun 1720 M. (warsaning Walandi saharsa pitung atus rwang dasa jejeg) oleh Pangeran Aria Cirebon, seorang bangsawan keturunan cabang Kesepuhan. Pangeran itu dalam kata-kata penutupnya menyebutkan kitab Nagara Kreta Bumi sebagai sumbernya, suatu buku yang sampai kini tidak kita kenal. Alasan-alasan yang meragukan apakah Tjarita Tjaruban (Caruban, Campuran, kiranya nama lama yang asli untuk Cirebon) benar-benar ciptaan dari perempat pertama abad ke-18 adalah: 1. bahasa yang dipakai adalah prosa "kawi" tiruan; 2. amat banyak tahun dicantumkan menurut tarikh Masehi, dan 3. terdapat maksud yang jelas untuk menerangkan segala sesuatu yang sampai saat ini serba gelap dalam sejarah keluarga raja Cirebon. Dua keanehan yang kita sebutkan terakhir ini mengingatkan kita pada bab tentang sejarah Cina Jawa dari abad ke-15 dan ke-16 dalam buku Parlindungan, Tuanku Rao; karya yang dalam buku kami ini hanya disebut secara sambil lalu saja, karena tidak adanya kepastian tentang sumber pemberitaan-pemberitaannya. Seperti halnya dengan Parlindungan, Tjarita Tjaruban memberitakan adanya laksamana armada Cina yang singgah di Jawa. dan adanya mercu suar yang telah didirikan atas perintahnya. Selain itu diberitakan juga tentang aliran "Shi 'a Muntadar" yang dianut Syekh Lemah Abang di Pengging, orang bid'ah itu, yang telah menjalani hukuman mati, yang dilaksanakan oleh Sunan Kudus di Masjid Cipta Rasa Cirebon dengan menggunakan Keris Kanta Naga milik Sunan Jati Purba.
Selanjutnya Tjarita Tjaruban terutama berisi pemberitaan-pemberitaan mengenai hubungan-hubungan kekerabatan dalam keluarga raja Cirebon dan keturunan-keturunan keluarga ini, yang menghuni tempat-tempat di sekitarnya. Makam-makam di tempat permakaman suci yang sudah tua itu (Gunung Sembung) dengan teliti telah dipastikan sebagai makam raja-raja dan orang bangsawan, yang telah memainkan peranan dalam sejarah. (Masih dapat diragukan apakah pemastian ini dapat dipercaya sepenuhnya karena makam-makam itu sering tidak ada namanya). Banyak nama tempat terdapat dalam teks-teks lain, umpama Japura. Segala sesuatunya menunjukkan bahwa penulis Tjarita Tjaruban, siapa pun orangnya dan apa pun kedudukannya, ternyata mengenal Cirebon baik sekali. Tinjauan lebih lanjut mengenai nilai naskah Jawa ini sebagai sumber pengetahuan kita tentang sejarah Cirebon, dan pandangan mengenai pribadi penulis, tidak dapat kami uraikan di sini (lihat lagi cat. 131 berikut ini). Pendahuluan panjang lebar, yang ditambahkan oleh Drs. Atja pada terbitan Tjarita Tjaruban, berisi pemberitaan-pemberitaan yang sangat menarik tentang tempat-tempat keramat yang dihormati dan adat kebiasaan rakyat di sekitar Cirebon yang ada hubungannya dengan penghormatan terhadap tempat-tempat keramat itu.
Penyebaran bahasa dan peradaban Jawa, yang dilakukan dari pantai utara Jawa Tengah ke arah barat, telah dibicarakan dalam Pigeaud Volksvertoningen (hlm. 109 dst.) dan dalam Pigeaud, Literature, jil.I, hlm. 6, ("C") dan hlm. 12, ("3" dan "4").
[7] Pemberitaan-pemberitaan ini dimuat dalam Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 361 dan 362a.
[8] Legenda-legenda tentang orang suci dalam agama Islam dicantumkan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 150 dst.
[9] Mengenai sejarah Sunan Gunungjati lihat: Djajadiningrat, Banten; Djajadiningrat, "De Naam"; dan Djajadiningrat, "Tjerbon". Djajadiningrat menghubungkan nama Falatehan dengan kata Arab Fath 'kemenangan' dan Tagaril dengan kota Arab Fakhru'llah. Kiranya salah tulis oleh para penyalin Portugis telah menyebabkan perubahan-perubahan ini.
Tjarita Tjaruban (lihat cat. 128) menguraikan tentang silsilah dua pria, yang diperkirakan menjadi pendiri kerajaan Islam Cirebon pada paruh pertama abad ke-16. Yang tertua dari kedua pria itu lahir di Mekkah dari perkawinan seorang raja Arab, Maulana Sultan Mahmud dari Mesir dengan Nyai Lara Santang. Lara Santang - bersama kakak laki-lakinya Walang Sungsang dari Pakuwan Pajajaran, tempat ayah mereka, Siliwangi, memerintah sebagai raja - kiranya, sesudah ibu mereka meninggal, pergi berkelana ke mana-mana. Demikianlah maka mereka tiba di Mesir dan Mekkah. Anak sulung dari perkawinan Lara Santang dengan orang Arab ini, Syarif Hidayat namanya, lalu kembali ke Jawa lewat Gujarat dan Pasei untuk menyebarkan agama Islam. Sebagai Susuhunan Jati, ia lalu menjadi orang suci di Jawa Barat, serta menjadi moyang bagi dinasti Kerajaan Cirebon, dan di situlah ia dapat memerintah karena ia cucu Prabu Siliwangi. Tokoh kedua, yang dalam Tjarita Tjaruban diberi nama Fadhillah Khan, lahir pada tahun 1409 M. di Pasei sebagai anak Maulana Makhdar Ibrahim dan Gujarat. Drs. Atja menyamakan Fadhillah dengan Falatehan dan Tagaril dalam berita-berita Portugis. Fadhillah dari Pasei kemudian bekerja pada raja Demak sebagai kepala pasukan; ia bertempur melawan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa, telah diterima sebagai menantu Susuhunan Jati, dan akhirnya dimakamkan di samping ayah mertuanya di makam keramat Gunungjati.
Dapat dimengerti bahwa Hoesein Djajadiningrat tidak memberikan nilai historis kepada cerita yang telah terkenal merata di Jawa Barat tentang Lara Santang, kakaknya Walang Sungsang, dan ayah mereka Siliwangi: terialu banyak menyerupai mitos. Karena cerita itu orang akan teringat pada mitos padi di Jawa Timur: Sri dan Sadana itu juga kakak beradik. Penyebarluasan cerita tentang Walang Sungsang-Lara Santang dalam hubungannya dengan Syarif Hidayat di Jawa Barat (lihat Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Walang Sungsang" dan "Santang", ibu moyang) dapat diterangkan berhubungan dengan sifatnya sebagai cerita mitos. Penulis Tjarita Tjaruban menghormati Sunan Jati lebih-lebih sebagai pembawa agama Islam di Tanah Pasundan: ia memulai ceritanya dengan Prabu Siliwangi dan Pakuwan Pajajaran. Sudah jelaslah bahwa asal usul orang suci itu dari ibu moyang Keyan Santang yang legendaris ini dijadikan tanda bukti keabsahan bagi keturunan raja-raja Cirebon dan agama Islam pada umumnya.
Yang perlu mendapat perhatian lagi ialah yang berikut ini. Dalam Tjarita Tjaruban, Kota Pasei menduduki tempat penting sebagai pusat bagi para cendekiawan Islam. Dan lebih lanjut: nama Nurullah, yang menurut Djajadiningrat telah dipakai oleh seseorang dari Pasei, yang akan menjadi Sunan Gunungjati kelak, dalam Tjarita Tjaruban diberikan kepada adik Syarif Hidayat, yang telah tinggal di Mesir sebagai raja waktu orang suci itu berangkat untuk mengikuti panggilannya ke Jawa.
Tidaklah mustahil bahwa dalam naskah-naskah Jawa yang lebih tua didapati petunjuk-petunjuk yang lebih meyakinkan daripada yang diberikan oleh-Tjarita Tjaruban bahwa di samping orang suci Sunan Jati di Cirebon masih ada seorang gagah berani dari Pasei yang lebih dikenal oleh orang-orang Portugis daripada sunan itu sendiri (seperti Pate Unus dari Jepara lebih terkenal daripada raja Demak). Tetapi untuk waktu sekarang ini pendapat Hoesein Djajadiningrat kiranya dapat lebih diterima, yaitu bahwa moyang dinasti raja-raja Cirebon, orang suci di Jawa Barat itu, adalah orang Pasei.
[10] Nyanyian-nyanyian mistik dari Cirebon dicantumkan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 85 dst.
0 komentar: