Recent Posts

Minggu, 28 Agustus 2011

0 komentar

Bagaimana (sejauhmana) proses ta’aruf yang Islami, sehingga kita terhindar dari fitnah dan zina mata atau hati?

T : “Bagaimana (sejauhmana) proses ta’aruf yang Islami, sehingga kita terhindar dari fitnah dan zina mata atau hati”
J : Proses pra-nikah dilakukan dengan ta’aruf (mengenali, melihat) dan khitbah (meminang, melamar). Kadang-kadang seorang pria langsung meminang calon istrinya tanpa melakukan ta’aruf. Namun Rasulullah SAW lebih menyarankan adanya proses ta’aruf. Beliau pernah menyuruh salah seorang sahabatnya untuk melihat dahulu calonnya dengan maksud untuk ta’aruf. Abu Hurairah mengatakan: “Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.” (HR Muslim).

Mengapa ta’aruf lebih baik dilakukan sebelum menikah? Karena (1) Dapat menghindarkan perasaan tertipu ketika ternyata ada sifat atau perilaku yang tidak disukai, bahkan penyakit yang sebelumnya tidak diketahuinya (2) Dapat meningkatkan keinginan untuk menyegerakan menikah. (3) Merupakan pangkal tumbuhnya kasih sayang (pepatah: “tak kenal maka tak sayang”).
Pada hadits tersebut Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat atau diperlihatkan. Namun karena belum ada ikatan mahram, kita hanya boleh memperlihatkan muka dan dua tapak tangannya. Di samping itu, kita juga bisa lebih mengenali sosok tubuhnya, mengenali wajahnya, melihat sepintas perilaku dan tutur bahasanya.
Dalam ta’aruf itu, kita berhak bertanya yang mendetail, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya, karena bila tidak dapat berakibat fatal nantinya. Karena proses ta’aruf bersifat interaktif maka tidaklah cukup hanya dengan mengajukan foto dan biodata saja. Namun, selama proses interaktif itu berlangsung harus ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya, bukan guru atau ustaznya.
Itulah sebabnya ta’aruf via internet, telepon, dan sms banyak disangsikan oleh para ulama apakah sesuai dengan syarat ini (acuan: konsultasi eramuslim dan syariahonline). Batasan apakah ini merupakan khalwat (menyepi berdua) atau bukan menjadi tidak jelas lagi. Memang secara fisik tidak terjadi khalwat, yang terjadi hanyalah mungkin- sebuah “cyber khalwat”. Tapi esensi khalwat itu adalah “rasa bebas dan aman” untuk berekspresi dengan lawan khalwatnya, dimana isi dan tema pembicaraan tidak diketahui oleh orang lain. Intinya, ta’aruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada pembicaraan realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua.
Selanjutnya kita menempuh proses peminangan yang lebih banyak pengecualian. Sudah seharusnya kita boleh memperlihatkan lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah.” (HR Abu Daud).
Dalam proses khitbah itu juga kita boleh bepergian bersama dengan calon suami dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahram kita ke tempat yang boleh dikunjungi dengan maksud untuk lebih mengetahui perasaan, kepandaian, dan kepribadiannya. Dalam proses ini kedua orang tua wanita tidak boleh menghalang-halangi. Sebuah hadits meriwayatkan: Mughirah bin Syu’bah pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Rasulullah SAW mengatakan kepadanya: “Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.”. Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang disabdakan Rasulullah SAW, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (HR Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).

0 komentar:

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Copyright © Design by Dadang Herdiana