Recent Posts

Selasa, 17 September 2002

0 komentar

Pendahuluan


Penulisan Sejarah Jawa

Pada abad ke-15 dan ke-16, yaitu kurun waktu yang dibicarakan buku ini, telah terjadi perkembangan-perkembangan penting di bidang spiritual, sosial, dan struktur politik bangsa-bangsa dan negara-negara di Asia Te ggara, seperti juga halnya di India, Timur Tengah, dan Eropa. Sejarah Eropa dan Timur Tengah pada masa tersebut boleh dianggap sudah diketahui umum. Semangat petualangan telah mendorong beberapa bangsa Eropa Barat berdagang ke seberang lautan melewati ujung selatan Afrika ke India; dan dari sana terus ke Asia Tenggara, Cina, dan Jepang. Hal itu sekaligus berarti suatu perluasan hubungan antara Timur dan Barat, yang di kemudian hari menyebabkan terjadinya perubahan penting di bidang sosial dan politik di India dan Asia Tenggara. Orang Portugis merebut Goa dan Malaka pada tahun 1510 dan 1511, dan orang Belanda merebut Jakarta pada tahun 1619. Arti perluasan hubungan perdagangan tersebut bagi bangsa-bangsa Eropa Barat tersebut tidak perlu dibicarakan di sini.

Demikian pula telah diketahui luasnya pengaruh perebutan-perebutan daerah yang dilakukan oleh raja-raja Islam di Timur Tengah, selama beberapa ratus tahun terus-menerus sejak abad ke-7 terhadap perkembangan sosial dan politik di Eropa. Pada abad ke-15 penakluk yang berkebangsaan Portugis di India dan Asia Tenggara berhadapan lagi dengan pemeluk agama Islam, yaitu agama yang telah dikenal dalam sejarah Semenanjung Pirenea. Kalau pada zaman itu agama Islam berabad-abad menjadi agama keturunan raja yang penting di India, maka di Kepulauan Indonesia - tegasnya di Pulau Jawa - agama dan tata kemasyarakatan yang pra-Islam masih tetap bertahan sampai pada permulaan abad ke-16; dan Bali tidak pernah berada di bawah kekuasaan Islam. Pada masa orang Portugis mulai menetap di Malaka raja-raja yang beragama Syiwa-Budha, yaitu Pajajaran dan Majapahit, masih memerintah bagian terbesar Jawa. Kepulauan Nusantara dapat dianggap sebagai tempat pertemuan antara alam perdagangan Eropa Barat yang terus mendesak dan alam kebudayaan Islam yang berkembang dari India dan Asia Tenggara.

Di bidang politik, orang-orang Portugis mampu menahan pengaruh Islam yang terus meluas terhadap kerajaan-kerajaan Indonesia. Kerajaan-kerajaan itu hampir semuanya masuk ke dalam kekuasaan Islam. Sebaliknya, agama Islam di Asia Tenggara tidak dapat meluas lebih jauh ke arah timur Semenanjung Malaka dan Filipina. Dinasti kekaisaran Ming di Cina (1368-1644) pada mulanya bersikap cukup baik terhadap agama yang datang dari Barat itu, agama Islam, tetapi mengubah sikapnya pada pertengahan abad ke-15, dan itu besar pengaruhnya. Berlainan dengan perkembangan Islam, perdagangan bangsa Eropa Barat-lewat laut pada abad ke-16 dan ke-17 dapat meluas sampai ke Cina dan Jepang. Ini adalah dunia asing bagi pedagang Eropa Barat dan mereka tidak lagi berjumpa dengan agama Islam, saingan lama.

Asal mula dan perluasan pusat-pusat perdagangan Portugis dan Belanda di India dan Asia Tenggara telah menjadi pokok penyelidikan para peneliti Barat. Dalam uraian-uraian mereka juga ditunjukkan perhatian terhadap negeri-negeri dan bangsa-bangsa yang telah dijumpai oleh para perintis. Akan tetapi, pada masa sekarang, waktu bangsa-bangsa Asia Tenggara itu mengenyam kemerdekaan politik, terasa kebutuhan akan suatu uraian ilmiah tentang sejarah bangsa-bangsa itu - baik sebelum maupun selama penjajahan asing - dengan sedapat-dapatnya menonjolkan kepribadian masing-masing. Perkembangan sosial dan keagamaan masing-masing akan dijadikan pusat perhatian. Untuk itu, para penulis sejarah harus pertama-tama memperhatikan sumber-sumber sejarah pribumi dari abad-abad yang lalu.

Sejak permulaan abad ke-20 telah diterbitkan buku-buku dalam bahasa Belanda mengenai sejarah Jawa dan Bali pada masa pra-Islam, yang sebagian besar berdasarkan data yang digali dari sumber-sumber ptibumi. Pengaruh terhadap peradaban yang pada zaman tersebut datang dart India mendapat perhatian dalam buku-buku tersebut, malah mungkin terlalu banyak! Walau demikian, sudah pada tempatnyalah kalau pandangan sejarah mengenal zaman pra-Islam itu - yang dihimpun dalam karya-karya Profesor Krom dari Leiden - telah disambut di Indonesia dengan rasa terima kasih sebagai suatu awal sejarah tanah air yang begitu didambakan.

Tersedianya dokumen Belanda, yang dapat dipergunakan sebagai sumber sejarah sejak akhir abad ke-16, menyebabkan penulis-penulis Barat menunjukkan sedikit saja perhatian terhadap naskah-naskah sejarah Jawa dan Bali. Tidak dapat disangkal bahwa dokumen Belanda tersebut lebih dapat dipercaya fakta dan data kejadiannya daiipada cerita sejarah pribumi, yang sering kali baru dicatat beberapa dasawarsa sesudah zaman yang diterangkan tersebut terjadi, dan disertai tujuan samping pula. Para penulis menyusun cerita sejarah itu bukan terutama untuk mencatat kejadian masa lampau secara teliti. Sementara itu, kecenderungan pemakaian sumber Barat dan penolakan cerita sejarah pribumi yang tidak dapat dipercaya menyebabkan penulis-periulis Barat akhir-akhir ini memberikan gambaran yang kurang tepat tentang zaman Islam, setidak-tidaknya gambaran yang tidak sesuai dengan rangka sejarah tanah air Indonesia yang dikehendaki.

Salah satu keberatan utama terhadap pandangan mengenai sejarah Jawa yang sampai belum lama ini umum diterima ialah gambaran bahwa ada jurang yang dalam antara zaman Hindu-Jawa dan zaman Islam. Gambaran itu kita jumpai juga dalam cerita sejarah pribumi yang khusus memperhatikan agama Islam, tetapi dalam pandangan sejarah ala Barat hal itu lebih ditonjolkan oleh uraian-uraian ilmiah tentang masa Hindu-Jawa. Akhir masa tersebut, yakni jatuhnya Kerajaan Majapahit, dianggap sebagai keruntuhan suatu peradaban. Sebelum ini pandangan sejarah Barat itu terlalu sedikit menaruh perhatian terhadap cerita Jawa yang banyak sekali jumlahnya itu, yang mengisahkan pengambilalihan kekuasaan secara damai atas Jawa oleh penguasa Islam Demak dari "kafir" Majapahit. Peradaban Jawa Majapahit tidak lenyap, melainkan sedikit demi sedikit diislamkan.

Cerita-cerita terkenal tentang orang-orang sakti, legenda-legenda mengenai orang yang telah menyebarluaskan agama Islam- di Pulau Jawa pada abad ke-15 dan ke-16, harus dilihat sebagai bukti adanya keyakinan yang tumbuh di Jawa, bahwa peradaban Islam-Jawa yang dikembangkan oleh para wali dalam banyak hal merupakan kelanjutan dan pembaruan-peradaban Hindu-Jawa.kuna.

Kekurangan lain dalam pandangan Barat mengenai sejarah Jawa ialah sedikitnya perhatian yang diberikan terhadap perkembangan sosial dan mental pada umumnya, dan khususnya terhadap perkembangan golongan masyarakat yang dianggap kurang terpandang, di pedesaan dan di kota-kota pedalaman. Hal ini merupakan akibat wajar suatu kebiasaan mempergunakan sumber sejarah yang berupa naskah-naskah Jawa yang ditulis di kota keraton oleh para pujangga keraton, yang sering bertujuan memuliakan keturunan raja-raja yang mengayomi mereka. Kalau dokumen Belanda zaman itu dipakai sebagai sumber sejarah, gambaran yang demikian dengan sendirinya menjadi salah, karena pada dasarnya pegawai dan perwira Kompeni Belanda yang melakukan perjalanan ke pedalaman Jawa terutama meminta dan memperoleh keterangan dari penghuni keraton dan abdi raja yang mereka kenal akrab. Hal-hal itu menyebabkan tumbuh dan berkembangnya suatu pandangan tentang sejarah Jawa, yang menempatkan segala hal ihwal mengenai silsilah-silsilah raja yang berkuasa - yaitu berturut-turut keluarga raja Majapahit dan keluarga raja Mataram -sebagai pusat perhatian. Sekalipun pandangan sejarah itu sesuai dengan alam pikiran Jawa yang memberikan raja suatu kedudukan pusat dalam alam ini, penulis sejarah zaman sekarang dituntut memberi perhatian juga kepada perkembangan mental, spiritual, dan sosial di luar suasana keraton dan di daerah.

Data mengenai hal ini tidak mudah didapatkan. Namun, akan bermanfaat apabila dari naskah Jawa dan dokumen Belanda kita mencari keterangan yang dapat menjelaskan keadaan yang kurang diketahui dan perkembangan spiritual di daerah pedalaman. Dalam kepustakaan pra-Islam telah ditemukan beberapa naskah, umpamanya Tantu Panggelaran, yang ternyata memuat keterangan-keterangan mengenai perkembangan spiritual dan keadaan sosial di pedesaan. Dalam kepustakaan zaman Islam keterangan serupa itu hendaknya dicari dalam cerita-cerita mengenai para wali yang dapat disamakan dengan Tantu Panggelaran, dan cerita-cerita yang lazim terdapat di kalangan Muslim yang saleh, guru-guru mistik di pondok-pondok terpencil di pegunungan serta penduduk desa yang bersahabat dengan mereka, dan kaum pedagang golongan menengah di desa-desa dan wilayah perdagangan. Cerita-cerita seperti itu antara lain terdapat dalam Jatiswara dan Centini.

Di samping karya-karya sejarah besar tentang dinasti Mataram, kepustakaan Jawa zaman Islam masih memiliki sejumlah riwayat tentang silsilah penguasa setempat yang tinggal di wilayah-wilayah yang kemudian dikuasai dan digabungkan ke dalam Kerajaan Mataram. Walaupun keturunan penguasa setempat di dalam riwayat-riwayat tersebut ditonjolkan pula - sama seperti keluarga raja Mataram dalam cerita babad Jawa Tengah bagian selatan - riwayat-riwayat tersebut sering pula memuat bagian dan keterangan yang memberi gambaran mengenai perkembangan sosial dan spiritual pada abad ke-16, yang berbeda dengan pandangan Babad Mataram.

Kedua faktor penting dalam sejarah Jawa tersebut di atas, yaitu agama - dalam hal ini agama Islam - dan silsilah raja-raja, pada taraf tertentu, telah ditampilkan sebagaimana mestinya, baik dalam penulisan sejarah Jawa maupun Barat modern. Tetapi tidak demikian halnya dengan dua faktor lain, yaitu ekonomi dan susunan penduduk.

Tidak perlu diragukan lagi, perekonomian rakyat dan perekonomian negeri di Jawa dan Bali telah sangat berkembang selama sepuluh abad terakhir. Penulisan sejarah pribumi hampir tidak.memperdulikan perkembangyan ekonomi itu, tetapi hal tersebut sangat penting bagi sejarawan Barat zaman sekarang. Dalam kesusastraan Jawa dan dokumen (prasasti atas batu dan lempengan kuningan) zaman pra-Islam, amat sulit ditemukan keterangan dan penjelasan yang dapat dipergunakan sebagai sumber pengenalan tentang keadaan masa itu di bidang perekonomian rakyat dan perekonomian negeri. Berdasarkan akal sehat dan daya cipta - serat penggunaan data yang sangat sedikit jumlahnya itu -masih mungkin kita memberi gambaran secara dangkal mengenai keadaan yang dialami pelbagai lapisan masyarakat zaman Majapahit pada abad ke-14. Namun banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Perkembangan di bidang perekonomian rakyat dan perekonomian negeri yang dimulai pada abad ke-15 dan ke-16 itu seiring dengan maju mendesaknya perdagangan Eropa Barat serta meluasnya agama Islam di Kepulauan Indonesia. Ketiga kegiatan itu saling mempengaruhi. Berita pelaut-pelaut Portugis dan Belanda terutama menyangkut soal perdagangan, sehingga berita-berita tersebut memberikan gambaran juga tentang ekonomi pribumi Jawa. Dengan menggunakan keterangan-keterangan asing ini, penelitian ilmiah Barat mencoba menyusun gambaran mengenai perekonomian kerajaan-kerajaan Islam yang pertama pada abad ke-16, terutama Kerajaan Mataram. Hingga sekarang hasil penelitian tersebut tidak sepenuhnya memuaskan, sebab keterangan asing itu sebagian besar meliputi perdagangan luar negeri mengenai barang-barang yang menarik perhatian orang asing. Keterangan mengenai perekonomian rakyat di desa-desa pedalaman, pertanian, peternakan, kerajinan tangan, organisasi pekerjaan, dan upah sama sekali tidak disinggung-singgung.

Di antara pedagang-pedagang Asia, yang selama berabad-abad sebelum datangnya orang-orang Portugis telah mengambil bagian penting dalam perdagangan luar negeri di Asia Tenggara, orang Cinalah yang mencatat berita yang sangat penting tentang negeri-negeri di sebelah selatan ini. Sebagian di antaranya masih perlu diselidiki lebih lanjut. Berita Cina itu juga kurang sempurna meskipun tidak seperti berita Barat. Berita Cina menaruh sedikit perhatian terhadap keadaan dan kehidupan penduduk pribumi yang menghasilkan barang dagangan itu.

Berita Cina yang disampaikan ke istana Kaisar diperkirakan sebagian besar berasal dari keterangan pedagang-pedagang Cina atau orang-orang yang ada sangkut-pautnya dengan pedagang-pedagang tersebut, yang menetap untuk sementara atau untuk masa yang lama di negeri-negeri sebelah selatan ini. Orang-orang tersebut terutama mempunyai hubungan akrab dengan keraton-keraton pribumi. Tetapi dalam perekonomian rakyat dan pergaulan dengan masyarakat desa, para "Cina-Indo" zaman dulu, seperti juga di kemudian hari, tampaknya mempunyai kedudukan tersendiri.

Data mengenai kehidupan dan perekonomian rakyat Jawa di daerah pedesaan pada awal zaman Islam, yaitu abad ke-15 dan ke-16, sebagian kecil dapat ditemukan di dalam kisah mengenai orang saleh dan buku yang disebut terdahulu; tentu setelah diteliti dengan saksama. Fakta kejadian cerita-cerita tersebut jarang sekah dapat dipercaya sepenuhnya, karena ditulis pada abad ke-17 atau ke-18 atau bahkan sesudah itu, tetapi masih dapat juga disimpulkan suatu gambaran mengenai keadaan yang dialami pelaku-pelaku utamanya. Bagaimanapun, berita-berita mengenai keadaan sosial dalam lingkungan spiritual yang terbatas di luar keraton Jawa mempunyai arti, karena berasal dari sumber pribumi. Sangat mencolok tergambar di dalam legenda-legenda orang saleh dan naskah-naskah Jawa sejenis itu, bahwa orang-orang yang termasuk golongan menengah agama Islam ini ternyata menempati kedudukan penting; mereka berbeda dari golongan Keraton di satu pihak, dan dari golongan tani di pihak lain. Maka, timbul kesan yang cukup beralasan bahwa pada abad ke-15 dan ke-16, golongan menengah Islam di wilayah perdagangan dan lingkungan spiritual di luar kota Keraton banyak sumbangannya terhadap perkembangan pembaruan peradaban Jawa yang sudah dipengaruhi Islam. Pada masa itu, tampaknya perekonomian rakyat dan pergaulan masyarakat Jawa di luar suasana Keraton terpengaruh oleh agama Islam yang cenderung ke arah pemerataan. Hal tersebut berlawanan dengan masyarakat pra-Islam di Jawa yang berkasta sakral dan berjiwa ningrat.

Kini kita masih harus memusatkan perhatian pada aspek keempat dalam penulisan sejarah Jawa, yakni: susunan dan pertambahan penduduk. Tidak dapat diragukan bahwa penduduk Jawa dewasa ini adalah keturunan nenek moyang yang sangat berlainan asal usulnya, yang berturut-turut atau bersamaan waktunya menetap di Pulau Jawa selama beberapa abad, sejak zaman prasejarah. Secara ilmiah tidak benar untuk mengadakan perbedaan yang tajam antara dua hal: pertama, perpindahan orang-orang Indonesia yang erat hubungan budayanya dari wilayah ke wilayah yang lain, atau dari pulau yang satu ke pulau yang lain; dan kedua, permukiman, atau kolonisasi golongan-golongan yang berasal dari lingkungan budaya luar Indonesia. Sesungguhnya perpindahan bangsa dan permukiman "kelompok asing" itu, dalam perkembangan sejarah, sentuh-menyentuh dan pengaruh-mempengaruhi; para pendatang dari luar itu cepat juga terserap atau diterima dalam pergaulan hidup pribumi. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh, perlu terlebih dahulu diperhatikan perpindahan bangsa dalam jumlah besar atau kecil yang telah terjadi di Jawa atau sekitarnya. Sesudah itu baru dibicarakan permukiman bangsa dari daerah luar.

Kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini pada zaman prasejarah, dari Hindia Belakang, atau dari daerah yang lebih jauh, telah diungkapkan sesuai dengan dalil-dalil ilmu pengetahuan Barat yang tidak perlu dikemukakan lagi di sini. Pada mulanya, di Pulau Jawa, Madura, dan Bali berbagai suku bangsa hidup berdampingan dan lambat laun berbaur menjadi empat suku bangsa yang sekarang dapat dibeda-bedakan dengan jelas, yaitu suku bangsa Sunda, suku bangsa Jawa, suku bangsa Madura, dan suku bangsa Bali. Pada zaman kuno dapat diperkirakan kepadatan penduduk masih jarang bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk sekarang ini. Sebagian besar pulau-pulau masih tertutup hutan belantara.

Tidak hanya pada zaman kuno, tetapi juga sampai pada abad ke-19 di Pulau Jawa terjadi perpindahan bangsa secara besar-besaran atau kecil-kecilan. Tidak dapat disangkal bahwa pada abad ke-10 dan ke-11 banyak penduduk meninggalkan daerah Sungai Opak dan Progo di wilayah Mataram untuk menetap di Jawa Timur, karena tanah mereka telah binasa oleh letusan gunung berapi. Perpindahan itu menyebabkan berpindahnya pusat peradaban Jawa dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Perpindahan bangsa yang penting di Jawa yang telah dicatat dalam sejarah ialah berpindahnya orang Jawa Islam pada abad ke-16 dari daerah-daerah Pesisir Jawa Tengah menyusuri pantai ke barat, sehingga sebagian Cirebon, Jakarta, dan Banten menjadi daerah orang Jawa; dan orang Sunda pun terpisah dari pantai utara. Dahulu Jakarta dan daerah sekitarnya merupakan daerah orang Sunda; pada abad ke-17 pada zaman Kompeni (VOC) daerah tersebut diduduki orang-orang Indonesia dari berbagai asal serta orang Cina, hingga di Jawa Barat tumbuh suatu pusat permukiman baru.

Selanjutnya pada abad ke-17 raja-raja Kerajaan Mataram memerintahkan perpindahan penduduk cukup besar dari wilayah kerajaan yang telah ditaklukkan di daerah Pesisir, Jawa Timur, dan Madura ke pusat kerajaan di Jawa Tengah bagian selatan, untuk memperkuat tenaga kerja di sana. Perpindahan penduduk itu agaknya telah ikut mengaburkan perbedaan bahasa dan adat istiadat antara daerah-daerah Pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhimya pada abad ke-18, ke-19, dan ke-20 terjadi perpindahan terus-menerus orang Madura dari pulau (Madura) ke seberang, ke ujung timur Pulau Jawa, serta ke Malang, Pasuruan, Surabaya, dan Gresik. Terutama di bagian ujung timur hal itu menyebabkan penduduk Jawa asli menjadi golongan minoritas terhadap para pendatang baru.

Tambahan lagi ada cerita-cerita Jawa, dan juga berita Kompeni, yang mengisahkan bahwa di sepanjang pantai laut di utara berkali-kali terdapat serangan bajak laut dan petualang yang boleh disamakan dengan bangsa Viking di Eropa, yang mengincar harta benda masyarakat Jawa yang makmur. Beberapa kali kaum penyerbu menetap di Jawa untuk waktu yang agak lama. Menurut cerita, orang-orang Sunda dari Jawa Barat telah muncul di daerah-daerah pantai timur laut, hingga ke Tuban. Orang-orang Makassar dan Bugis menyerang pantai-pantai Jawa Timur, dan orang-orang Bali kadang-kadang menguasai sebagian besar bagian timur Pulau Jawa. Sebaliknya, orang-orang Jawa pun mengadakan penyerbuan ke pulau-pulau lain. Hubungan dengan orang-orang Indonesia lain seperti itu pasti meninggalkan bekas. Di daerah pantai kiranya banyak terjadi percampuran darah.

Percampuran yang setiap kali berulang terjadi pada masa lampau -baik antarsuku di Pulau Jawa maupun antara orang Jawa dan orang Indonesia lain dari bermacam-macam asal - boleh dianggap sebagai sebab mengapa di Pulau Jawa hampir tidak tampak sisa kelompok-kelompok suku kuno. Hal ini berlawanan dengan keadaan di beberapa daerah lain di Kepulauan Indonesia. Dalam kehidupan keluarga, hubungan semenda kuno dan pertalian perkawinan kuno telah lama tidak berperan lagi.

Dalam cerita babad Jawa seperti juga dalam berita Kompeni di sana-sini disebutkan terjadinya perpindahan penduduk. Pengaruhnya atas perkembangan hidup sosial dan peradaban Jawa pada umumnya hanya diketahui secara samar-samar. Dalam buku-buku tersebut tidak ada perhatian terhadap penderitaan, kesengsaraan, dan kematian yang timbul sebagai akibat perpindahan besar-besaran yang diperintahkan dari atas itu. Keterangan mengenai orang asing dari luar Kepulauan Indonesia - yaitu pengaruh peradaban India sejak permulaan tarikh Masehi atas penduduk Jawa dan Bali - dimulai dengan pelayaran dan perdagangan dari dan ke India. Demikian anggapan orang. Lama-kelamaan orang India di beberapa daerah mencapai kedudukan tersendiri dalam kerajaan-kerajaan pribumi dan lambat laun golongan yang berkuasa terpengaruh oleh peradaban India. Ini suatu perkiraan tentang perkembangan peradaban Hindu-Jawa dan Hindu-Bali, yang, meskipun menarik, tidak berdasarkan fakta yang pasti. Tidak ada kepastian, baik mengenai asal usul orang India dari salah satu daerah pantai Anak Benua yang besar itu, maupun alasan-alasan mereka untuk mengarungi laut mengadakan perjalanan berbahaya. Rempah-rempah Kepulauan Maluku dan logam mulia, yang dikabarkan dapat digali dari sungai di daerah pegunungan Jawa, Sumatera, dan Bali, telah menarik minat orang asing pada zaman dulu. Begitu dugaan orang.

Pengaruh India atas peradaban Jawa dan Bali lebih mencolok dalam bidang agama dan kesusastraan. Banyak sekali kata pinjaman dari bahasa Sanskerta. Namun, kurang dikenalnya asal usul dan bahasa induk orang India, yang mempunyai hubungan pribadi dengan orang Jawa, menyebabkan beberapa kata pinjaman dari satu atau beberapa bahasa rakyat India (bahasa Dravida atau yang lain) sampai sekarang belum dikenal asal usulnya.

Hubungan yang sudah lama sekali antara India dan Jawa disadari oleh kaum bangsawan Jawa. Sastra Jawa memiliki legenda yang mengisahkan hubungan kuno tersebut. Salah satu di antaranya ialah cerita tentang pemindahan sebagian dari gunung suci di India, Gunung Meru ke Jawa oleh para dewa, dengan maksud agar menjadi gunung suci di Jawa. Cerita lain memilih tema permukiman penduduk di Jawa oleh orang-orang seberang lautan yang diutus oleh raja Rum yang perkasa. Perutusan itu konon dipimpin oleh Aji Saka. Dalam legenda itu digambarkan pertentangan antara, Aji Saka sebagai wakil peradaban Hindu, dan Nabi Muhammad. Cerita-cerita itu tidak dapat membantu kita mengetahui keadaan sebenarnya. Cerita-cerita itu hanya disebut karena dapat menerangkan sedikit mengenai pengertian sejarah para pemikir Jawa.

Kehadiran orang-orang India di Jawa dan Bali terutama terbukti dari pengaruh unsur Hindu atas peradaban Jawa dan Bali; tetapi kunjungan orang Cina lebih diketahui dari laporan dinas yang disampaikan oleh para pejabat Cina ke istana Maharaja Cina seperti yang disebut terdahulu. Pernah terjadi, pasukan tentara pendarat armada laut Cina menimbulkan kerusakan sedemikian hebat di pedalaman Jawa, sehingga perlu didirikan kota keraton baru yaitu Majapahit. Patut diduga bahwa sudah lama di daerah-daerah pantai Jawa, dan mungkin juga jauh ke pedalaman, terdapat permukiman pedagang Cina. Di keraton-keraton para raja Jawa dan para penguasa di daerah, di samping orang India, keturunan Cina menempati jabatan penting pula.

Tidak seperti pengaruh Hindu, pengaruh peradaban Cina terhadap peradaban Jawa dan Bali kurang diketahui. Namun ada kemungkinan seni rupa Jawa Timur dan Bali zaman pra-Islam memiliki lebih banyak unsur dan motif Cina daripada yang diungkapkan hingga kini. Kekurangan pengetahuan mengenai asal usul, watak bangsa, dan bahasa ibu orang-orang yang datang dari negeri yang sekarang dikenal sebagai Cina Selatan atau Indocina - yang memelihara hubungan Kepulauan Indonesia - sampai sekarang menyebabkan sangat kurangnya pengetahuan tentang saham penduduk Cina bagi pertambahan penduduk di Jawa, perluasan pengetahuan di bidang pertanian dan perkebunan, perkembangan kesenian dan teknik, dan penambahan perbendaharaan kata orang Jawa dan Bali.

 Serangan bala tentara Cina di Jawa Timur tersebut di atas, yang menyebabkan didirikannya kota Kerajaan Majapahit, diceritakan dengan panjang lebar dalam kesusastraan Jawa kuno. Dalain cerita-cerita Jawa berkali-kali dikisahkan masalah pengunjung Cina. Yang sangat menarik ialah kisah mengenai orang-orang yang membentuk masyarakat Islam pertama di Gresik dan Surabaya: konon mereka mempunyai nama Cina, dan berasal dari Cempa, di Hindia Belakang. Belum lama berselang, suatu sumber yang tidak jelas menceritakan permukiman Cina di Jawa Tengah dan Cirebon. Sepanjang dapat dipercayai, cerita-cerita tersebut menegaskan pendapat penulis sejarah pribumi bahwa keturunan Cina telah mengambil bagian penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa.

Meluasnya kekuasaan orang Cina di Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-18 telah menyebabkan pengusiran seorang raja Jawa dari kota keratonnya, sehingga ia terpaksa mendirikan kota kerajaan baru, yaitu Surakarta. Pada abad ke-18 dan ke-19 di Cirebon, di Jawa Timur, dan di ujung timur Pulau Jawa terdapat keluarga-keluarga Cina yang mencapai kedudukan tinggi dan mempunyai kekuasaan besar.

Perkembangan masyarakat pribumi di Jawa tidak dapat digambarkan secara tepat tanpa menyebut pengaruh orang Cina tersebut.

Akhirnya, kontak pertama suku bangsa di Jawa dengan orang-orang Eropa, yang dimulai pada abad ke-16, menjadi perhatian utama ilmuwan Barat. Dalam kisah Jawa, penampilan pertama orang Eropa antara lain dikaitkan dengan meriam. Pertumbuhan dan susunan penduduk Jawa sejak abad ke-19 sangat dipengaruhi oleh pemerintahan Eropa, karena perbaikan dan pengamanan lalu lintas bahari antarpulau. Hal tersebut menyebabkan, lebih-lebih dari masa sebelumnya, orang-orang Indonesia dari bagian timur dan dari Sumatera, kemudian orang-orang India, Arab, dan bahkan orang Negro, bermukim di Jawa. Perbaikan hubungan dalam pulau, terutama lintas kereta api, serta pelaksanaan keamanan dan ketertiban yang ketat, menumbuhkan rasa kebersamaan penduduk Jawa. Ekonomi Barat dan pemeliharaan kesehatan modern telah memungkinkan tambahan penduduk dengan cepat sekali. Sejak abad ke-19 banyak orang Jawa dan juga orang Sunda dan Madura mengadu nasib membentuk kehidupan baru di lahan pertanian yang baru dibuka oleh usahawan-usahawan Barat, yang letaknya di daerah-daerah terpencil di Jawa, Sumatera, dan Malaysia - bahkan di Suriname. Kepadatan penduduk di negeri sendiri menyebabkan kepindahan tersebut.



Sejarah Jawa pada abad ke-15 dan ke-16

Dari uraian tersebut di atas kiranya jelas bahwa para penulis sejarah Indonesia, khususnya mengenai sejarah Jawa, Madura, dan Bali perlu memperhatikan perkembangan-perkembangan di pelbagai bidang, yang selama ini kurang diperhatikan. Penelitian-penelitian sejarah abad ke-15 dan ke-16 berikut ini tidak saja memperhatikan perkembangan politik kerajaan-kerajaan, tetapi juga penyebaran agama Islam serta tokoh-tokoh yang menonjol semasa itu.

Kiranya jelas bahwa pelbagai bidang masih perlu diteliti secara mendalam. Sejarah lokal mengenai kota-kota sepanjang pantai utara Jawa dan daerah pedalaman, baik di dalam maupun di luar kerajaan-kerajaan Surakarta dan Yogyakarta - yang dalam buku ini mendapat perhatian utama - akan lebih diketahui apabila naskah-naskah Jawa dan Belanda diselidiki secara lebih cermat. Juga perlu diadakan penyelidikan kepurbakalaan. Tempat kediaman raja-raja, masjid dan tempat permakaman, ketenteng-kelenteng Cina, serta permukiman kuno pada umumnya hendaknya diselidiki dan dicatat secara ilmiah; demikian pula penyelidikan tanah dan penggalian-penggalian. Meski selama hampir satu abad telah banyak waktu dan biaya dihabiskan untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno pra-Islam, yaitu candi-candi, penyelidikan bangunan kuno zaman Islam diabaikan. Penelusuran jalan-jalan kuno di pedalaman berdasarkan keterangan beberapa naskah dan kisah perjalanan Jawa kiranya akan dapat memberikan pengertian tentang penyebaran unsur-unsur kebudayaan oleh para musafir dari satu daerah ke daerah Jawa lainnya.

Penelitian ini kiranya dapat menambah pemahaman akan sejarah Jawa pada abad ke-15 dan ke-16, terutama mengenai hal-hal yang dijelaskan berikut ini. Agama Islam berangsur-angsur berkembang menjadi agama yang paling berkuasa di Jawa. Hal tersebut terjadi karena di beberapa titik temu perdagangan laut internasional di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Gresik-Surabaya dan Jepara-Demak), golongan menengah Islam, yaitu pedagang-pedagang berdarah campuran yang telah lama menetap, menjalankan pemerintahan setempat.

Pada mulanya para penguasa baru Islam itu, dengan mengikuti contoh para pendahulunya, yang umumnya merupakan keluarga ningrat Keraton Majapahit, mengakui kedaulatan raja Hindu-Jawa di Majapahit. Segala sesuatunya masih berjalan seperti dahulu. Tetapi menjelang akhir perempat pertama abad ke-16, ibu kota Keraton Majapahit yang sudah tua itu diserang dan direbut oleh sekelompok orang Islam fanatik dari Jawa Tengah yang waktu itu merupakan daerah perbatasan kerajaan. Kemudian penguasa Islam dari Demak - seorang keturunan Cina - oleh kelompok-kelompok orang saleh diakui sebagai sultan. Pada pertengahan abad ke-16 raja Demak yang penuh semangat itu berhasil menjadikan penguasa setempat lainnya di dalam Kerajaan Majapahit kuno mengakui supremasinya dan mengakui kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Setelah ia meninggal dalam usia muda, penggantinya yang kurang gesit kehilangan kekuasaan atas raja-raja di Jawa Timur. Menantunya, raja Pajang di pedalaman Jawa Tengah, selanjutnya berkat bantuan moril dari pemimpin rohani dari Giri-Gresik, berhasil mempersatukan raja-raja Islam di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam suatu ikatan formal. Ini dimaksudkan juga untuk mempertahankan diri terhadap ancaman serangan dari ujung timur Pulau Jawa yang dikuasai oleh orang-orang Bali yang "kafir" itu.

Warisan Sultan Pajang jatuh ke tangan Kiai Gede Mataram, karena tidak ada keturunan laki-laki. Mataram berbatasan dengan Pajang di pedalaman Jawa Tengah. "Orang Baru" (homo novus) itu, yang tidak berasal dari keturunan raja terkemuka atau lama, adalah anak emas dan hamba raja yang lama. Para penguasa pertama keluarga raja Mataram yang baru ini, pada dasawarsa-dasawarsa terakhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, telah berhasil menaklukkan hampir semua raja di Jawa. Hal tersebut dilakukan dengan serangan bersenjata, dari wilayah mereka yang strategis, yang merupakan daerah pedalaman yang belum banyak digarap.

"Dinasti raja", yang sudah lama berdiri sejak abad ke-15 dan ke-16, banyak yang musnah dalam peperangan perebutan kekuasaan tersebut; di Jawa Timur terjadi kehancuran dahsyat.

Setelah kekuasaan Sultan Demak diambil alih oleh raja Pajang, titik berat ketatanegaraan bergeser jauh dari pantai. Sejak abad ke-17 pedalaman Jawa Tengah menjadi pusat politik dan kebudayaan keraton Jawa, berkat perang penaklukan yang dilakukan oleh raja-raja Mataram dengan penuh keberanian. Sejak itu masyarakat, kesenian, dan kesusastraan Jawa berkembang mengikuti jalan sendiri, kurang terbuka terhadap pengaruh-pengaruh kebudayaan asing di Nusantara, India, dan Cina; tidak seperti pada abad ke-15 dan ke-16. Hanya, lambat laun, sejak abad ke-18, pengaruh kebudayaan Eropa Barat di bidang sosial dan politik menjadi kuat, berpusat di Semarang dan Batavia.

Untuk perkembangan kesadaran nasional Jawa, perkembangan kekuasaan dinasti Mataram sangat penting. Di bawah perlindungan pemerintah Belanda lebih dari tiga abad raja-raja dinasti ini dapat mempertahankan kekuasaannya di Jawa Tengah bagian selatan. Kepemimpman mereka meningkatkan pembauran kelompok-kelompok penduduk berbagai daerah yang dahulu diperintah oleh keturunan raja pribumi sendiri, menjadi suatu masyarakat suku bangsa Jawa yang boleh dikatakan homogen. Kebudayaan keraton mereka, yang mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-18 dan ke-19, dikagumi seluruh Jawa dan Madura, dan ditiru oleh keturunan-keturunan lain yang berpengaruh. Di alam Indonesia baru, kebudayaan tersebut menjadi sumber inspirasi untuk perkembangan kebudayaan Indonesia.

Perkembangan tersebut dimulai pada periode yang dibicarakan dalam studi ini, yakni abad ke-15 dan ke-16. Sejarah politik raja-raja dinasti Mataram pada abad ke-17 telah dibicarakan dalam berbagai buku dan karangan ilmiah H.J. de Graaf. Baik studi ini maupun karya-karya tulis lain, telah dibuat ikhtisar dalam bahasa Inggris dengan maksud diterbitkan sendiri.[1] Suatu ikhtisar sejarah abad ke-18 dan ke-19 - dari sudut pandangan Jawa - belum dapat disajikan. Kecuali itu, pemakaian kata "Tinjauan" pada judul dalam buku tentang abad ke-15 dan ke-16 ini merupakan pernyataan keyakinan para penulis bahwa dengan penyelidikan lebih lanjut masih banyak hal yang menarik dapat terungkap.

Keterangan-keterangan yang jelas aktual tentang akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 di Jawa terdapat dalam buku Portugese Relacion karangan Tome Pires. Keterangan-keterangan pengembara yang cerdas ini, yang telah meninggalkan Kepulauan Indonesia pada tahun 1515, sudah barang tentu ditinjau dari sudut permukiman Portugis di Malaka, yang baru saja direbutnya. Hal itu terutama menyangkut soal dagang. Penulis menaruh perhatian terhadap hubungan sosial dan politik di Jawa, tetapi sedikit sekali tulisan tentang perkembangan rohaniah. Soal agama Islam hampir tidak dibicarakan sama sekali. Karena Tome Pires tidak tahu bahasa-bahasa di Indonesia, maka penyebutan nama-nama geografis dan nama-nama orang kadang-kadang sukar dimengerti.

Karya tulis kedua yang banyak digali isinya untuk penyusunan buku ini, termasuk kelompok karya tulis Jawa yang disebut Serat Kandha 'buku cerita'. Naskah-naskah tertua Serat Kandha dalam koleksi naskah di Leiden dan Jakarta ditulis pada abad ke-18. Tetapi ditinjau dari isinya dapat diduga, sebagian berdasarkan karya pengarang-pengarang dan masa kejayaan peradaban Pesisir (dan setelah itu) pada abad ke-16 dan ke-17. Kemudian pada abad ke-18, tulisan tersebut diringkaskan dalam Babad Mataram, riwayat keluarga raja Mataram. Baik Serat Kandha maupun Babad Mataram memuat penulisan sejarah dinasti, sering bercampur dengan mitos dan legenda. Keterangan mengenai perkembangan di bidang ekonomi dan kemasyarakatan bangsa Jawa hanya dapat ditemukan dengan susah payah. Teks-teks Serat Kandha memuat juga cerita-cerita yang berhubungan dengan penyebaran agama Islam di Jawa pada abad ke-16. Versi Serat Kandha yang paling banyak dipergunakan dalam penyusunan buku ini adalah terjemahan dalam bahasa Belanda, yang dibuat sekitar tahun 1800 untuk keperluan seorang pejabat tinggi pemerintah di Semarang. Buku tersebut kini disimpan dalam himpunan naskah Museum Nasional di Jakarta.

Kelompok ketiga karya tulis Jawa yang dijadikan sumber penulisan studi ini terdiri dari sejarah-sejarah setempat seperti telah disebut sebelumnya. Seperti Serat Kandha yang hebat dan Babad Mataram, sejarah-sejarah semacam itu juga memuat sejarah dinasti. Tetapi penulisan sejarah dinasti itu menyangkut keturunan-keturunan daerah yang kurang berkuasa dan berada di luar wilayah keluarga raja Mataram. Pemberitaan kejadian di daerah-daerah di luar pusat kerajaan itu layak mendapat perhatian karena membantu terbentuknya pengertian yang lebih tepat mengenai perkembangan politik dan sosial di tanah Jawa pada umumnya.

Sayang sekali, penulisan sejarah lokal ini sampai sekarang hanya sebagian yang dipublikasikan, dan hanya berupa ikhtisar yang sering kali kurang sempurna pelaksanaannya. Memang harus diakui bahwa buku karangan Hoesein Djajadiningrat tentang Sadjarah Banten (Djajadiningrat, Banten) yang amat baik itu telah banyak membantu memperjelas pengetahuan tentang perkembangan politik Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Naskah-naskah lebih pendek yang tersedia tentang daerah-daerah lain di Jawa telah diolah dalam buku ini.

Kelompok keempat, karya tulis Jawa yang penting untuk penulisan sejarah terdiri dari daftar tahun kejadian, yang dalam bahasa Jawa sering disebut Babad Sangkala. Pada daftar itu terdapat tahun-tahun disertai pemberitaan-pemberitaan (sebagian besar sangat singkat) tentang kejadian-kejadian yang konon berlangsung pada tahun-tahun tersebut. Dapat dimaklumi bahwa daftar tahun kejadian yang menunjuk pada masa lampau yang terlalu jauh dan termasuk alam mitos itu, dikesampingkan oleh sejarawan karena dianggap bahan yang tidak dapat dipercaya. Daftar tahun kejadian pada abad ke-16 dan berikutnya pantas mendapat perhatian yang lebih besar daripada yang sudah-sudah.

Pada masa sebelum Islam, para cendekiawan Jawa sudah menyusun daftar tahun kejadian serupa itu. Pada zaman Islam umumnya minat terhadap sejarah bertambah besar sekaligus bertambah pula minat untuk menyusun daftar tahun kejadian. Kesibukan penyusunan daftar tahun itu terus berlangsung di samping penulisan cerita yang panjang dan sedikit diromantisir, yaitu Serat Kandha dan berbagai Babad. Dalam cerita-cerita tersebut, tahun-tahun kejadian hanya sedikit atau sama sekali tidak disinggung. Pada daftar semacam itu ditemukan pemberitaan peristiwa dari lingkungan penulis yang hanya sedikit hubungannya dengan pemerintahan, seperti tentang banjir, kebakaran, letusan gunung berapi, epidemi, dan didirikannya atau runtuhnya bangunan atau permukiman yang penting. Sering ditemukan selisih beberapa tahun mengenai suatu kejadian yang sama antara satu daftar dan yang lain. Tentang hal-hal yang mengganggu ini dapat dikemukakan sebab-sebab yang kurang lebih dapat diterima.

Dalam karya-karya penulis Barat yang lebih tua dicantumkan daftar tahun kejadian Jawa, tetapi penyelidikan perbandingan yang sistematis di bidang ini belum banyak dilakukan. Dr. Ricklefs dan Dr. Soebardi berharap dalam waktu singkat akan menerbitkan "buku tarikh" Jawa dari zaman Kartasura (permulaan abad ke-18). Dalam buku kami ini digunakan buku tarikh tua yang memuat keterangan tentang kejadian pada abad ke-16, yang tidak tercantum dalam buku-buku cerita (Serat Kandha).

Kelompok kelima karya-karya tulis Jawa yang perlu mendapat perhatian sebagai sumber-sumber sejarah adalah daftar dan silsilah keturunan raja-raja dan orang-orang penting lainnya. Para pujangga keraton Jawa sejak zaman dahulu telah menyusun juga daftar keturunan dan tahun kejadian. Para penulis buku cerita dan babad agaknya lebih banyak mencurahkan perhatian terhadap urutan keturunan daripada mengenai tahun-tahun. Hanya sedikit sekali terdapat daftar keturunan yang disertai tahun-tahun kejadian. Ketiga cara yang dapat mengungkapkan minat ilmu sejarah tidak dihubungkan secara erat dalam kesusastraan Jawa.

Keturunan dewa, pahlawan mitos, atau raja yang berbau dongeng dari zaman purba, menyebabkan bagian awal dari sebagian besar daftar keturunan raja semacam itu sulit dipercaya. Berita tentang raja-raja dan penguasa-penguasa daerah dari generasi selanjutnya yang hidup pada abad ke-16 dan sesudahnya masih dapat dipercayai. Lebih-lebih jika terdapat tambahan data tentang tempat kediaman dan tempat permakaman, dan asal usul ibu serta istri mereka. Tambahan-tambahan tersebut dapat dihubungkan dengan hikayat-hikayat setempat.

Hingga sekarang naskah keturunan Jawa tidak banyak mendapat perhatian dari pihak sejarawan Barat. Untuk buku ini banyak juga bahan yang diambil dari Sadjarah Dalem yaitu silsilah raja-raja dari keluarga raja Mataram yang disusun di Surakarta pada akhir abad ke-19 dengan mengutip daftar keturunan yang lebih tua. Tetapi silsilah-silsilah lain perlu juga diselidiki lebih lanjut.

Kelompok keenam karya-karya tulis yang dapat memberikan keterangan tentang perkembangan-perkembangan masyarakat dan agama dalam abad ke-15 dan ke-16, ialah legenda-legenda tentang orang suci dan riwayat para wali - orang-orang yang dipandang sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Usaha untuk secara berlebihan menampilkan kekuasaan para orang suci dan keluhuran agama Islam sangat mengurangi nilainya sebagai sumber sejarah. Para penulis buku cerita dan babad - abdi dalem yang silau akan kebesaran duniawi majikan mereka - hanya memberikan perhatian terhadap pemimpin-pemimpin rohani sejauh tindakan mereka ini mempengaruhi politik. Para sejarawan Barat telah menolak hikayat orang suci itu, sebab terlalu banyak mengandung hal-hal yang ajaib. Apabila cerita mukzijat tersebut dikesampingkan (supaya dipelajari saja oleh para penyelidik agama), maka legenda tersebut ternyata masih memuat cukup banyak bahan mengenai hubungan sosial dalam lingkungan golongan menengah yang beragama Islam dan berdarah campuran. Orang-orang suci itu banyak berasal dari golongan tersebut. Karena itu, orang-orang suci di Jawa beserta legendanya mendapat perhatian juga dalam buku ini. Penyelidikan yang lebih mendalami naskah-naskah itu akan mengungkapkan banyak hal lagi yang penting diketahui.

Berita Cina mengenai Kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ketujuh untuk sejarah politik Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Mengenai masa pra-Islam, keterangan-keterangan yang telah didapat dari arsip maharaja Cina ternyata sangat penting; hal itu sudah dinyatakan dalam utaian kami di atas ini. Di samping adanya berita tentang hal itu dalam arsip kemaharajaan Cina, ada pula kemungkinan terdapat catatan sejarah atau cerita yang berasal dari pusat-pusat perdagangan Cina di Jawa, bertalian dengan abad ke-15 dan ke-16. Bahwa pada waktu itu sudah ada orang-orang Cina yang beragama Islam menetap di Jawa, terbukti dari cerita-cerita mengenai permulaan penyebaran agama Islam di Jawa Timur.

Sekalipun apa yang disebut kronik Jawa-Cina, yang terdapat dalam buku Tuanku Rao karangan Parlindungan (Parlindungan, Tuanku Rao), sudah sepenuhnya diuraikan dalam buku Prof. Slametmuljana tentang permulaan zaman Islam di Jawa (Slametmuljana, Runtuhnya), dalam buku kami ini tidak ada hal-hal yang dikutip dari buku-buku tersebut. Karya Parlindungan masih perlu diselidiki secara kritis.


--------------------------------------------------------------------------------

[1]       Buku ini diterbitkan oleh KITLV pada tahun 1976 dengan judo: Islamic States in lava 1500-1700; A summary, bibliography and index.

0 komentar:

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Copyright © Design by Dadang Herdiana