Kata Pengantar
Tulisan dalam bentuk terjemahan yang disajikan ini adalah hasil kerja sama dua sarjana Belanda kenamaan, Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th. G.Th. Pigeaud, yang keduanya, sampai usia yang telah lanjut (kedua-duanya lahir pada tahun 1899) telah dan masih memberikan perhatian sepenuhnya kepada Indonesia, khususnya Jawa, dalam bidang sejarah bagi Dr. de Graaf dan kesusastraan Jawa bagi Dr. Pigeaud. Lagi pula kedua-duanya mengenal Indonesia dengan baik, karena mereka bertahun-tahun bekerja dan menetap di Indonesia. Dr. Pigeaud lama di Yogyakarta sebagai seorang "taalambtenaar" dan Dr. de Graaf di kota-kota Malang, Probolinggo, Surakarta, dan Jakarta sebagai guru dan kemudian guru besar, Karangan-karangan Dr. de Graaf mencapai lebih dari 100 buah ditambah karangan buku lebih dari dua puluh, yang utama ialah Geschiedenis van Indonesie (s'Gravenhage,1949) dan mengenai pelaku-pelaku utama sejarah kerajaan-kerajaan dari Jawa Tengah, seperti Sultan Agung, Sunan Mangkurat, tentang Kajoran. Jasa utama beliau terletak pada digunakannya sumber dan naskah pribumi Sehingga karangan-karangan beliau terasa lebih menggambarkan pandangan dan perasaan yang "asli" Indonesia, lebih-lebih karena disertai pula dengan ilustrasi-ilustrasi detail yang meng-"hidup"-kan gaya nafasi dan memudahkan pengertian. Karangan-karangan Dr. Pigeaud pun sangat besar artinya bagi perkembangan penelitian ilmiah terhadap masyarakat Jawa terutama bidang kehidupan budayanya. Karya-karya beliau yang perlu dicatat ialah: Javaanse Voiksvertoningen (Jakarta, 1938), kemudian Java in the 14th Century yang terdiri dari lima jilid (Den Haag,1960-1963), dan Literature of Java (tiga jilid, Den Haag, 1967-1970, ditambah 1 Suplemen, th.1980) yang ketiganya merupakan karya besar yang menunjukkan ketekunan kerja dan luasnya pengetahuan yang beliau miliki tentang kebudayaan Jawa. Hasil karya itu pun masih ditambah dengan sebuah kamus Jawa-Belanda (Gropingen, Batavia, 1938) dan karangan-karangan di pelbagai majalah. Yang perlu diketahui juga ialah bahwa selama beliau di Yogyakarta, sebelum Perang Dunia II, sedang menyusun suatu ensiklopedi bahasa Jawa. Sayang, pekerjaan tersebut hingga kini masih belum terselesaikan dan disimpan di Jakarta.
Terjemahan ini, yang judul aslinya De eerste Moslimse Vorstendommen op Java (s'Gravenhage,1974), berusaha menyajikan kepada para pembaca Indonesia suatu usaha mengisi kekosongan penulisan tentang sejarah politik di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16, suatu episode sejarah yang oleh orang-orang di Jawa Tengah dianggap sebagai suatu transisi dari kekuasaan Kerajaan Majapahit yang "Budha" ke Kerajaan Mataram yang Islam. Di situ diuraikan perkembangan kehidupan politik di pelbagai pusat kekuasaan di wilayah Pulau Jawa bagian utara, mulai Demak ke barat dan ke timur, dari Banten hingga Blambangan di ujung paling timur Jawa. Beberapa kekuasaan setempat di luar Pesisir: Pengging, Pajang, Mataram, juga Palembang mendapat perhatian, tidak ayal lagi karena hubungannya dengan perkembangan agama dan kebudayaan Islam di Jawa. Bab pertama dan terakhir - buku ini terdiri dari 21 bab - merupakan bab-bab yang mencoba mengintegrasikan tulisan ini dalam satu kerangka kaitan yang berarti, yaitu: meluasnya kekuasaan Islam dan usaha dominasi Mataram terhadap daerah-daerah Pesisir. Dimulainya dengan memaparkan sejarah Kerajaan Demak tentu saja mengikuti pendapat umum bahwa sejarah di Jawa pada mula abad ke-15 itu mengalami pemutusan yang tiba-tiba dan final, dan bahwa jatuhnya kekuasaan Majapahit yang sekaligus dianggap eksponen utama kebudayaan Hindu-Budha diikuti dengan timbulnya kekuasaan Demak yang sekaligus dianggap eksponen utama kebudayaan Islam. Para penulis sejak semula telah memperingatkan agar anggapan yang demikian ditinggalkan, karena masih banyak pusat pengislaman lain yang ada di pantai utara Jawa: Madura, Surabaya, Gresik, Tuban, mungkin Jepara, Juwana, kemudian Cirebon di barat dan Banten yang hingga kini masih belum pasti benar akan peranannya di dalam peng-Islam-an Pulau Jawa. Dengan menggunakan Demak dan kemudian Pajang sebagai pusat kegiatan politik maupun pusat penyebaran para pemuka Islam, berturut-turut dibicarakan Pati, Juwana, Kudus, Kalinyamat, kemudian mengarah ke barat hingga Banten. Dari Demak ke timur kemudian dibicarakan Jipang, Tuban, Gresik, Surabaya, Madura, lalu akhirnya menjamah daerah kekuasaan penguasa-penguasa yang masih beragama Hindu di ujung pulau sebelah timur: Blambangan. Untuk tiap daerah kekuasaan yang semua disebut "vorstendommen" (kerajaan kecil), ditelusuri sejarahnya dalam abad ke-15 dan ke-16 maupun abad-abad sekitarnya, dengan memakai berita-berita lama yang historis yang dapat diandalkan, terutama tulisan Tome Pires, Suma Oriental yang terkenal maupun catatan-catatan yang dibuat oleh pelaut dan pedagang Belanda, di samping banyak dan bermacam "legenda" (cerita) yang terdapat dalam tulisan-tulisan orang pribumi. Dengan demikian, maka kepada pembaca disajikan sumber dan bahan yang hingga sekarang kurang atau tidak dikenal orang, sehingga tulisan ini menjadi amat berharga, selain itu karena sampai kini masih kurang sekali orang menulis sejarah tentang zaman peralihan ini. Sesudah dibicarakan Kerajaan Palembang, terutama karena hubungan dan kaitannya dengan Kerajaan Demak, maka dengan menyinggung Pengging dan Pajang sebagai pendahulunya yang langsung, maka buku ini berakhir dengan mengemukakan keadaan dan usaha-usaha pemekaran daerah Mataram pada abad ke-16. Selain memaparkan perkembangan sejarah politik, para penulis buku ini juga berusaha di sana-sini mengemukakan keadaan kehidupan penduduk maupun keadaan ekonomi zaman tersebut, tetapi sesuai dengan judulnya, maka terutama disajikan peranan penting pusat-pusat kekuasaan Islam dan para tokoh politik maupun agama yang telah demikian besar jasanya dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, tentunya termasuk pula para "Wali Sanga". Buku ini dilengkapi pula dengan anotasi-anotasi yang ekstensif sebagai pelengkap dan petunjuk yang amat berharga, terutama dari tangan Dr. Pigeaud.
Tanpa mengurangi pentingnya jasa dan usaha kedua penulis buku ini untuk menyingkap tabir serta menjernihkan sejarah masa peralihan di Jawa ini - tetapi menurut pengakuan beliau-beliau sendiri, tidak ada dan belum lengkapnya bahan-bahan, sumber-sumber untuk digali dan diselidiki - mengharuskan kita untuk memikirkan dan melengkapi lebih lanjut persoalan-persoalan tersebut yang masih belum jelas.
1. Penelitian sejarah selalu memerlukan pembatasan temporal dan spasial yang jelas, sehingga kita dapat menempatkan peristiwa-peristiwa dalam kaitan-hubungan yang bulat dan setuntas-tuntasnya, sehingga tidak diperoleh gambaran yang timpang dan mengambang. Melihat keadaan Pulau Jawa sepanjang sejarahnya, maka kita selalu tertarik pada adanya hubungan pergaulan antara pelbagai daerah yang letaknya berjauhan. Walaupun secara legendaris belaka, hubungan Jawa bagian barat dengan Jawa bagian timur digambarkan telah ada sejak dahulu kala seperti yang diceritakan oleh Babad Tanah Djawi. Hal ini didukung pula oleh kenyataan-kenyataan selanjutnya yang membawa orang-orang yang "lelana" (dan kemudian lagi para santri yang mencari "paguron-paguron" ternama seperti yang dikisahkan dalam babad Cirebon) ke pelbagai penjuru tanah Jawa (dan Seberang), maupun kenyataan juga bahwa orang-orang dari Yogyakarta dan juga dari Surakarta melakukan perlawatan-perlawatan dan banyak yang lalu menetap di daerah selatan ke arah timur hingga Jember melalui jalan terobos inroads yang agaknya terletak di bagian selatan Pulau Jawa yang tandus itu entahlah hal itu kapan dimulainya. Kenyataan-kenyataan sejarah yang demikian tadi kiranya akan mengundang pertanyaan, apakah cukup memberikan gambaran yang jelas, jika kita melihat jangkauan hubungan yang luas tadi hanya dari sudut perkembangan kekuasaan-kekuasaan Islam di pantai utara Jawa dengan mengabaikan pusat kekuasaan politik yang terletak di pedalaman yang (mungkin) terletak di Priangan Selatan, Pasir, daerah Kedu, dan Mataram sendiri, Ponorogo (dengan Betara Katong yang legendaris), Kediri, Ngrowo, serta Lumajang yang merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bukan baru dan yang memang demikian sedikit kita ketahui perkembangannya. Dengan demikian, maka peta politik Pulau Jawa pada kurun waktu yang kita pandang sebagai transisi ini akan lebih lengkap kiranya karena di samping kekuasaan Islam masih ada kekuatan-kekuatan politik lainnya yang cukup penting untuk diperhatikan, terutama kedudukan penguasa daerah yang satu terhadap yang lain. Dalam konstelasi politik pada zaman kerajaan tradisional di Jawa (yang memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran pusat-pusat kekuaasaan karena pentingnya unsur kekuatan fisik), kiranya masih kita dapati pola kepatuhan - jika tidak boleh dikatakan: pengabdian antara penguasa pusat dan pengikut-pengikutnya di daerah yang didasarkan terutama atas tradisi dan kebiasaan, diperkuat dengan tali kekerabatan dan perkawinan maupun upaya-upaya yang lain. Konstruksi-konstruksi yang simbolis untuk menjaga terjadinya penyelewengan-penyelewengan dari pola politik yang sudah dianggap mantap - jadi: keramat karena direstui oleh kekuatan-kekuatan gaib di luar jangkauan kemampuan manusia - sangat banyak dijumpai dalam literatur Jawa. Dalam alam pikiran yang demikian, maka tidak mudah agaknya bagi para penguasa lokal untuk menganggap dan membanggakan dirinya sebagai seorang raja (Jawa: "nata", "raja", "ratu") yang berdiri merdeka di atas penguasa-penguasa lain, walaupun dalam kenyataannya mereka mempunyai kekuatan nyata yang cukup besar untuk menumbangkan penguasa pusat. Melanggar pola tradisi rupanya dianggap suatu risiko yang amat berat, hingga lebih menguntungkan melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya lokal (mendirikan gerbang bea (Jawa: "rangkah") atau malahan mengambil sebagian kecil daerah dari daerah penguasa yang berbatasan daerah lain) daripada menentang dan menantang tata cara yang telah ditetapkan dari "atas". Dengan demikian, agak sulitlah bagi kita untuk melihat kesatuan-kesatuan kekuatan politik di Jawa sebagai kesatuan yang sama derajat dan kedudukannya. Keraton Demak atau Keraton Mataram tidak dapat disamakan dengan kabupaten atau kadipaten Pati, Madiun, atau Pasuruan, juga tidak dengan Surabaya yang ternyata sangat kuat itu. Mereka itu tidak menyebut dirinya lebih dari "bupati" atau "adipati", menyebut "Panembahan" mungkin dan tidak dengan gelar yang dipergunakan raja-raja. Lebih baik dalam penelitian peta politik Jawa pada zaman itu kita berusaha mencari dan memperhatikan pola ikatan afiliasi dan aliansi maupun pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalamnya.
2. Jika menilik pengetahuan kita tentang sejarah sosial dan ekonomi di Jawa waktu itu, maka lebih parah lagi kekurangan-kekurangannya, suatu hal yang diakui sepenuhnya oleh Dr. de Graaf dan Dr. Pigeaud. Tentang hubungan dagang keluar dari orang Jawa banyak yang kita ketahui, karena banyak sumber asing yang menyebut dan mencatatnya sehubungan dengan kepentingan perdagangan mereka, tetapi tentang pola produksi, distribusi, dan konsumsi di dalam negeri sendiri sangat sedikit diketahui. Mungkin kita harus memulai penelitian dari yang telah dirintis oleh Dr. J. Noorduyn[1] tentang tempat-tempat penyeberangan utama zaman dahulu yang pada umumnya juga merupakan tempat-tempat penarikan bea dan cukai terhadap barang-barang yang lewat, yang dilakukan oleh penguasa-penguasa setempat. Hal itu disebut "pabean", "bandar (an)" atau "rangkah" jika didirikan di jalan-jalan urat nadi perdagangan. Juga perlu diselidiki sistem "pasar" yang berpedoman pada perhitungan hari "pasaran" yang lima itu. Pasar-pasar tadi selain merupakan tempat penjualan barang-barang produksi lokal juga penting artinya bagi hash-hash kerajinan yang khusus menjadi ciri khas tempat-tempat atau desa-desa tertentu, apakah itu tenunan yang khusus ataupun sangkar burung perkutut yang halus buatannya yang dijajakan lewat pasar-pasar tersebut sampai jauh dari tempat asainya. Masih perlunya diadakan penelitian-penelitian setempat terhadap kota-kota tua - jika perlu ditopang dengan ekskavasi-ekskavasi - sangat terasa, ditambah dengan penyelidikan-penyelidikan tentang kedudukan dan peranan orang-orang Cina di kota-kota pantai utara Jawa, terutama sebagai pemula dan pendorong usaha dan perusahaan di pelbagai bidang kegiatan ekonomi, tetapi juga peranan mereka di bidang kebudayaan, apalagi pada zaman mulai berkembangnya agama Islam, suatu masalah yang pada waktu sekarang sedang hangat dibicarakan orang. Beberapa pihak telah mulai mengadakan penelitian terhadap kola-kota pantai ini secara lebih luas, antara lain Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, tetapi hasil-hasilnya masih jauh dari cukup untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kehidupan kota-kota tersebut pada waktu lampau. Penyelidikan-penyelidikan Von Faber[2] beberapa waktu yang lalu terhadap Surabaya perlu mendapat perhatian yang lebih besar, meskipun banyak dipergunakan cerita-cerita yang sulit diidentifikasikan secara kronologis-historis dalam konteks sejarah kota ini maupun kebenaran historisnya. Penggunaan legenda-legenda lokal kiranya perlu digalakkan karena dalam sejarah kebudayaan, anggapan dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat juga merupakan "fakta sejarah" yang mempunyai arti sendiri, di samping kemungkinan penggunaannya sebagai bahan perbandingan dan pengkajian yang akan memungkinkan ditemukannya kenyataan-kenyataan sejarah lebih lanjut, asal saja penggunaan cerita-cerita lokal tadi tidak dihadap-tentangkan dengan tulisan/catatan asing dari luar sebagai sumber sejarah yang "tidak dapat dipercaya" dengan yang "dapat dipercaya", apalagi dalam karya tulis orang Jawa lazim sekali dipaparkan sesuatu secara terselubung yang mempersilakan pembaca menginterpretasikannya sedekat atau setepat-tepatnya dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Tulisan-tulisan Prof. C.C. Berg[3] tentang interpretasi terhadap tulisan-tulisan orang Jawa merupakan contoh-contoh yang berharga, bagaimana orang harus mampu membedakan antara apa yang tersurat dan apa yang tersirat (atau yang dimaksud) oleh tulisan tersebut.
Masih dalam kategori sejarah budaya Jawa, kiranya masih ada satu hal yang perlu mendapat perhatian walaupun memang bukan merupakan tujuan dari penulisan buku yang kami sajikan ini, tetapi telah disinggung di sana-sini. Soal itu adalah apa yang disebut "kebudayaan Jawa", dalam hal buku ini: "Kebudayaan Pesisir". Pada umumnya kita telah terbiasa dengan konsepsi tentang adanya "kebudayaan keraton" yang berpusat dan bersumber pada kegiatan-kegiatan di "nagara" (atau "negari") sebagai ibu kota kerajaan, yang bersifat lebih halus, dengan sofistikasi yang tinggi maupun dengan selera dan gaya yang penuh kerumitan dan kekayaan, yang ditentang-hadapkan dengan "kebudayaan desa" yang kasar dan sederhana. Bagaimanapun benamya pembagian atas dua lingkungan kebudayaan yang demikian ini, ia tidak dapat memberikan kejelasan tentang titik (titik-titik) temu di antara keduanya, terutama karena dalam sejarah di Jawa, desa selalu merupakan sumber vitalitas keturunan yang sering ditimba oleh para raja dan penguasa lainnya, di samping merupakan sumber-sumber bagi bakat yang terpendam, terutama di pelbagai bidang kesenian. Hal ini masih diperkuat dengan adanya pusat-pusat pendidikan agama yang berupa pesantren-pesantren yang untuk kepentingan-kepentingan politik perlu diikat dengan penguasa-penguasa negara. Kehidupan di pesantren-pesantren ini ditinjau dari sudut politik maupun dari sudut sosial ekonomi masih memerlukan penelitian dan penyelidikan yang tidak sedikit, apalagi jika kita insafi bahwa antara pesantren-pesantren - dan mungkin sekali juga di antara pusat-pusat pengajaran dan pemahaman agama yang sebelumnya - terdapat hubungan dan pertukaran murid yang tidak sedikit, di antara tempat-tempat yang berjauhan sekah letaknya.
Tempat-tempat ini pun merupakan inroads (jalan terobos) ke lingkungan budaya keraton, juga bagi pusat-pusat kegiatan Islam yang mempunyai ketenaran yang jauh jangkauannya hingga tokoh-tokohnya dicari hubungannya oleh atau mengadakan hubungan dengan keraton atau "dalem-dalem" para bupati. Masih amat minimalnya pengetahuan kita tentang kebudayaan kota-kota perdagangan di pantai utara Jawa atau daerah Pesisir lainnya menambah pula kesulitan kita untuk mendapatkan gambaran yang cukup buat meliput. Tetapi bagaimanapun juga keragaman budaya yang dikemukakan di atas memperingatkan kepada kita agar tidak terlalu tegas berpegangan kepada dikotomi keraton-desa yang sudah terlampau dilazimkan itu.
Dengan memperhatikan segala sesuatu yang telah disajikan tadi, maka dengan menggunakan hasil usaha penelitian dan penulisan Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud, dua sarjana Belanda senior yang tidak kita ragukan lagi kemampuannya, maka tidak ada kemungkinan lain bagi kita selain melanjutkan penyelidikan ini agar lebih jelas keadaan pada zaman transisi dalam sejarah Jawa ini. Tetapi sudah benarkah jika kita menamakan masa ini suatu "masa transisi", suatu peralihan dari kebudayaan yang lama ke kebudayaan yang baru? Bukankah itu hanya suatu transmisi atau pergeseran kekuasaan yang terjadi dari pedalaman ke tepian pantai (dan sebaliknya) suatu proses sejarah yang telah berulang kali terjadi di dalam laju sejarah di daerah kepulauan kita Indonesia ini? Dan dengan demikian tidaklah harus dihadapi dengan sikap-pandang penelitian yang lain?
Jakarta, November 1983
Soemarsaid Moertono
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Dr. J. Noorduyn, Further Topographical Notes on the Ferry Charter of 1359. BKI 124 (1968), hal. 460-473
[2] G.H. von Faber, Er werd een stad geboren. Soerabaja, 1935. Lihat pula sebagai perbandingan "Selected studies on Indonesia" jilid IV. The Indonesian Town. Den Haag 1958. Akhir-akhir ini Amen Budiman mulai menulis tentang Semarang "Semarang riwayatnya dulu", Semarang 1978 dan F.A. Soetjipto telah menulis disertasi yang berharga "Kota-kota pantai di sekitar Selatan Madura", Yogyakarta, 1983.
[3] Dr. C.C. Berg, Javaansche Geschiedschrijving, dalam F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch-Indie. Amsterdam, 1938. Jilid ke-2.
0 komentar: