Sejarah Ujung Timur Pulau Jawa pada Abad ke-16. Bagian Barat dari Ujung Timur Jawa, Pasuruan
XV-1. Berita-berita kuno tentang Pasuruan, legenda dan sejarah
Sebelum zaman Islam, konon Pasuruan atau Gembong merupakan daerah yang paling lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur di Singasari (Tumapel). Di daerah-daerah ini banyak ditemukan peninggalan candi Jawa Timur - tempat permakaman raja-raja serta keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa raja-raja telah mendirikan tempat tinggal di wilayah itu atau (mungkin) menggarap tanah-tanah perladangan. Dalam Nagara Kertagama (abad ke-14), nama Pasuruan berkali-kali disebutkan.[1]
Pada abad ke-19 banyak dikumpulkan dongeng setempat, yang berasal dari berbagai tempat di daerah-daerah Pasuruan dan Singasari. Legenda-legenda tersebut banyak menceritakan pertempuran-pertempuran yang dahulu berkecamuk. Raja Singasari ialah salah seorang dari empat raja (di samping Jenggala, Kediri, dan Ngurawan) yang ditampilkan dalam cerita-cerita Panji yang bersifat legenda itu. Di bagian yang paling timur daerah Jawa Timur ini, yang merupakan "jalan masuk" (antara laut dan pegunungan) ke ujung timur Jawa, diceritakan terjadi pertempuran antara orang Bali - yang dari timur melancarkan serangan tiba-tiba - dan orang Jawa. Terlalu sedikitnya keterangan-keterangan historis tidak memungkinkan kita menentukan apakah cerita-cerita ini dapat dipercaya.
Yang termasuk legenda daerah ini adalah cerita tentang Danau Grati, yang sudah disinggung berulang kali. Grati adalah suatu distrik di pedalaman Pasuruan.[2]
XV-2. Daerah Pasuruan sekitar tahun 1500 M., Keterangan Tome Pires tentang "Gamda"
Dalam buku Suma Oriental terdapat uraian-uraian yang cukup panjang lebar - selingan dengan yang mengenai Surabaya dan Blambangan - tentang daerah-daerah "Gamda", "Canjtam", Panarukan, dan Pajarakan. Jelas, yang dimaksud dengan nama-nama yang telah berubah-ubah ialah daerah-daerah yang terkenal dalam sejarah: Singasari dan Pasuruan yang berbatasan dengan Surabaya.[3] Menurut Tome Pires, pada dasawarsa pertama abad ke-16 yang menjadi raja di "Gamda" adalah putra "Guste Pate", mahapatih kerajaan besar "kafir" itu. la bernama "Pate Sepetat", dan ia menjadi menantu "Pate Pimtor", raja "kafir" yang berkuasa di Blambangan, juga menantu raja Madura. Nama "Sepetat" ini dapat dihubungkan dengan "Menak Sapetak" atau "Menak Supetak", nama pendiri ibu kota Pasuruan, tokoh terkenal dalam legenda, yang ayahnya dikatakan seekor anjing.[4] Kiranya masuk akal jika "Pijntor" berasal dari gelar raja Jawa Binatara yang ejaannya telah rusak, dan berasal dari bahasa Jawa Kuno Bhathara
Tome Pires menyebutkan Tuban, "Gamda", dan kota-kota pelabuhan Jawa yang pada zamannya masih di bawah kekuasaan maharaja "kafir" atau patih "Guste Pate".[5] Tentang perdagangan di "Gamda" ia tidak dapat memberi gambaran banyak. Tetapi yang penting ialah berita bahwa "Pate Sepetat", dengan bantuan ayah mertuanya, patih Majapahit, memerangi raja Surabaya dan menghalang-halangi penyebaran agama Islam di Jawa Timur dan ujung timur Jawa. Yang sesuai dengan berita sekitar tahun 1515 itu ialah cerita Jawa mengenai seorang keturunan patih (Majapahit), yang di Sengguruh melawan laskar Islam yang terus mendesak. Itu terjadi sesudah runtuhnya kota kerajaan "kafir" Majapahit pada tahun 1527.[6] Sengguruh dahulu termasuk daerah yang oleh Tome Pires disebut "Gamda". Begitulah anggapan orang.
Apabila berita-berita Tome Pires dan cerita-cerita Jawa ini ditinjau secara menyeluruh, maka jelaslah bahwa raja-raja dan penguasa-penguasa "kafir" Jawa di pedalaman Jawa Timur dan di ujung timur Jawa itu hingga pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16 memiliki semangat cukup besar. Mereka bertahan terhadap pasukan-pasukan Islam yang mendesak masuk dari daerah-daerah pantai utara dan dari Jawa Tengah, yang dipimpin oleh orang-orang bukan Jawa dan yang berdarah campuran. Tradisi kebudayaan kerajaan-kerajaan "kaflr", yang sejak abad ke-13 berpusat di kawasan "di sebelah timur Gunung Kawi", telah berakar di sana.
XV-3. Pasuruan pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah
Apabila diakui bahwa daerah "Gamda" yang "kafir" yang diberitakan oleh Tome Pires itu meliputi daerah Pasuruan, maka dapat dimengerti mengapa tidak ada cerita Jawa mengenai tempat-tempat (makam) keramat Islam yang terletak lebih timur dari Surabaya. Di daerah-daerah pesisir Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat kekuasaan jatuh ke tangan penguasa-penguasa Islam dengan cara bertahap-tahap tanpa banyak perlawanan dari kalangan anak negeri sendiri. Hal itu disebabkan juga oleh pengaruh pedagang asing yang kaya dan berwibawa dalam masyarakat. Juga berkat para pendiri jemaah-jemaah Islam pertama yang dihormati sebagai orang-orang suci. Di daerah yang lebih timur daripada Surabaya pada abad ke-15 dan ke-16, agaknya golongan pedagang yang membawa agama Islam kurang berpengaruh di kota-kota pelabuhan dibandingkan dengan raja-raja "kafir" setempat. Waktu raja-raja Islam dari Demak dan Mataram pada abad ke-16 dan ke-17 ingin menambah daerah-daerah di ujung timur Jawa pada daerah kekuasaannya, sebagian saja yang berhasil, walaupun perjuangan mereka sudah semaksimal mungkin. Hanya daerah Pasuruan, yang berbatasan dengan Surabaya, yang dapat dimasukkan dalam daerah kekuasaan maharaja Islam di Demak pada paruh pertama abad ke-16.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan yang dilakukan oleh Sultan Tranggana dari Demak (lihat Bab II-12), Surabaya sudah diduduki pada tahun 1531 dan Pasuruan, empat tahun kemudian, yaitu tahun 1535. Penaklukan Sengguruh, kubu terakhir "kekafiran" di Jawa Timur, baru terlaksana pada tahun 1545 (lihat cat. 45). Pada tahun berikutnya Sultan Tranggana melakukan serangan terhadap kerajaan-kerajaan "kafir" yang lebih ke timur lagi, di ujung timur Jawa; usaha itu gagal.
Cerita tutur Jawa setempat, yang menyangkut sejarah penguasa-penguasa zaman pra-Islam yang memerintah Pasuruan dan Sengguruh, masih harus diteliti (lihat cat. 214). Andai kata penguasa-penguasa "kafir" terakhir di daerah-daerah tersebut termasuk keturunan para patih Majapahit (= Guste Pate), mungkin sekali mereka atau sanak saudara mereka yang masih tinggal dengan pengikut-pengikutnya telah menyingkir ke timur, sesudah orang-orang Islam memperoleh kemenangan. Menurut Tome Pires, raja "kafir" di Blambangan dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16 itu ayah mertua "Pate Sepetat" dari "Gamda".
Dalam uraian Mendez Pinto tentang penyerangan Sultan Tranggana terhadap Panarukan (yang disebutnya Pasuruan) pada tahun 1546, seorang "laksamana" dari Pasuruan (yang disebutnya Panarukan) memegang peranan penting. la bertempur di pihak Islam Jawa Tengah. Jelas, bahwa sesudah penguasa "kafir" diusir dari Pasuruan, maharaja Islam dari Demak telah mengangkat seorang pengikutnya yang setia menjadi penguasa pemerintahan di tempat itu. Nama dan asal usulnya tidak diketahui.
XV-4. Pasuruan pada paruh kedua abad ke-16, legenda dan sejarah
Kekacauan-kekacauan yang terjadi di Keraton Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, dan pengambilalihan kekuasaan kerajaan Islam di Jawa Tengah oleh raja Pajang, tidak menimbulkan keguncangan di Pasuruan maupun di daerah-daerah Jawa Timur lainnya. Ketika pada tahun 1581 raja Pajang diakui sebagai sultan oleh Sunan Prapen dari Giri dalam suatu rapat raja-raja Jawa Timur, menurut cerita tutur Jawa, raja Pasuruan hadir juga. Ada dugaan bahwa penyatuan kekuasaan politik raja-raja Islam Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah pimpinan pemuka agama dari Giri dan Sultan Pajang juga bertujuan mengatasi ancaman raja-raja di ujung timur Jawa yang masih "kafir" yang dibantu oleh Dewa Agung dari Bali. Raja Pasuruan, yang daerahnya hampir berbatasan langsung dengan Blambangan, mempunyai alasan kuat untuk mengusahakan persahabatan (jika mungkin, bantuan mereka) dari raja-raja Islam lainnya. Tidak diberitakan bahwa Sultan Pajang memang juga menguasai daerah Pasuruan.
Menurut cerita tutur Madura Barat, pada paruh kedua dan abad ke-16 raja Aros Baya, Panembahan Lemah Duwur yang menjadi menantu Sultan Pajang itu, telah berkuasa juga di seberang, yakni daerah Jawa yang berhadapan dengan wilayahnya di Madura; daerah itu adalah Sidayu, Gresik, dan Pasuruan.[7] Ada kemungkinan raja yang kuat itu mempunyai pengaruh di kerajaan-kerajaan tetangganya. Menurut Sadjarah Dalem, anak perempuannya yang tertua - dari perkawinannya dengan putri Pajang - kawin dengan Adipati Kapulungan di Pasuruan (Perkawinan ini kemudian batal).[8] Seseorang yang bernama Ki Gede Kapulungan disebut namanya dalam sejarah lokal Jawa tentang raja-raja Pasuruan dan Surabaya.[9] Jika kita teliti tutur Jawa setempat dan bandingkan lebih lanjut, mungkin akan muncul kepastian lebih banyak tentang sejarah dinasti penguasa-penguasa tersebut pada abad ke-16.
Ada. petunjuk samar-samar bahwa pada perempat terakhir abad ke-16 raja Pasuruan telah berhasil melebarkan sayapnya ke pedalaman Jawa Timur hingga daerah Kediri. Hanya sedikit yang kita ketahui tentang sejarah kerajaan penting ini pada abad ke-16. Yang diberitakan pada kronik peristiwa Jawa ialah campur tangan pemuka agama di Giri dalam urusan daerah pedalaman itu dari tahun 1548 sampai 1552, mungkin untuk memperkuat atau memulihkan kekuasaan agama Islam di situ (ini telah dibicarakan di bab XI-5, pemerintahan Sunan Prapen). Pada tahun 1579 serangan-serangan pasukan raja Pasuruan telah menghabisi riwayat kekuasaan raja "kafir" di Kediri itu.
Dapat diperkirakan bahwa di Kediri, salah satu kota utama Kerajaan Majapahit, setengah abad sesudah didudukinya kota kerajaan yang lama, masih terdapat perlawanan terhadap kekuasaan maharaja Islam di Pajang. Mungkin juga perlawanan berkobar kembali setelah jatuhnya Kesultanan Demak. Tradisi "kafir" daerah tua itu kiranya memegang peranan yang pokok dalam perlawanan terhadap orang-orang Jawa Tengah. Pada waktu yang sama, raja Islam di Pasuruan mungkin telah berhasil memperkukuh kekuasaannya atas bagian tengah Kerajaan Majapahit (termasuk Sengguruh yang masih lama tetap "kafir"), hingga tentaranya dapat bergerak ke arah barat lewat bagian hilir Sungai Brantas, hingga dapat mencapai Kediri. Raja Pasuruan ini (yang belum kita ketahui namanya) mungkin sudah hampir berhasil - sesudah kira-kira 50 tahun - memulihkan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tetapi sekarang di bawah kekuasaan Islam.
Dalam cerita historis Jawa Tengah mengenai munculnya dinasti Mataram dalam dasawarsa terakhir abad ke-16 disebut juga seorang raja Pasuruan. Sesudah menduduki Madiun pada tahun 1590, Senapati Mataram yang masih muda itu di dekat kota tersebut mendapat kemenangan atas Adipati Kaniten dalam pertempuran berkuda. Adipati Kaniten adalah seorang bawahan raja Pasuruan. Kemenangan dekat Kali Dadung pada tahun 1591 itu tidak menghasilkan perluasan wilayah raja Mataram ke timur. Sekembalinya, atas perintah raja Pasuruan, Adipati Kaniten dibunuh sebagai hukuman karena ia telah mundur perang, suatu hal yang sangat memalukan.[10]
Kaniten ini nama daerah. Dalam kronik-kronik Jawa, pada permulaan abad ke-16, (tahun 1510 M. ), telah dicantumkan munculnya keluarga penguasa Kaniten. Dapat diperkirakan bahwa seorang Adipati Kaniten pada tahun 1590 atas perintah raja Pasuruan, yang menganggap Kediri termasuk wilayahnya, berkewajiban menahan Senapati Mataram bergerak lebih jauh ke sebelah timur Madiun.[11]
Raja Pasuruan, yang pada perempat terakhir abad ke-16 telah berhasil meluaskan kekuasaannya mungkin sampai dengan Kediri, di ujung timur Jawa pun konon bertindak keras. Kerajaan "kafir" Blambangan pada tahun 1596 dan 1597 telah diserang oleh tentara Islam dari Pasuruan. Pada tahun 1600 atau 1601 kota Kerajaan Blambangan direbut. Orang-orang Bali, yang dikirim oleh raja Gelgel untuk membantu, tidak dapat menghalang-halangi kerajaan "kafir" penting yang terakhir di Jawa. Peristiwa-peristiwa itu dapat disimpulkan dari pemberitaan pelaut-pelaut Belanda yang pertama (pimpinan Cornelis de Houtman), yang pada tahun 1597 singgah di Blambangan. Dalam pembicaraan mengenai sejarah daerah itu (Bab XVII-4) akan diperhatikan lagi perluasan daerah yang dilakukan oleh raja Islam di Pasuruan pada akhir abad ke-16.
XV-5. Sejarah Pasuruan pada permulaan abad ke-17. Direbut oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1616
Hubungan antara raja-raja Pasuruan dan Surabaya pada perempat terakhir abad ke-16 mungkin erat. Ketika pada tahun 1589 gabungan raja-raja Jawa Timur dan Pesisir dekat Japan (Mojokerto) menghentikan gerakan pasukan Senapati Mataram ke timur, menurut cerita tutur, raja Pasuruan juga membantu raja Surabaya, lawan terpenting penakluk dari Jawa Tengah itu. Ada petunjuk bahwa para penguasa di Surabaya, Kapulungan, dan Pasuruan sekitar tahun 1600 mempunyai hubungan keluarga.[12]
Ketika cucu Senapati Mataram pada tahun 1613 naik tahta, ia melanjutkan siasat politik ekspansif dinastinya. Para prajurit yang harus mempertahankan ibu-ibu kota di Jawa Timur dan daerah-daerah Pesisir yang besar dan sudah maju itu tidak mampu bertahan terhadap Mataram yang gagah berani. Pada tahun 1616 atau 1617 Pasuruan diduduki oleh pasukan-pasukan Sultan Agung. Hal itu sudah pasti karena dikuatkan oleh berita-berita Belanda. Waktu itu Batavia belum didirikan (1619). Menurut cerita tutur Jawa Tengah, yang mempertahankan Pasuruan ialah seorang tumenggung dari Kapulungan. Setelah menderita kekalahan itu, ia melarikan diri ke Surabaya.[13]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Pasuruan dan Banger (yaitu Probolinggo) disebutkan dalam Nagara Kertaaganta (Pigeaud. Java jil. V, hlm. 353 dan 428). Bagian besar sejarah kerajaan Jawa Timur dark abad ke-13, yang diuraikan dalam Pararaton, tentu mengenai daerah-daerah Singasari dan Pasuruan (Brandes, Pararaton, hlm. 281).
[2] Cerita-cerita legenda tentang daerah Pasuruan telah disebutkan dalam Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 340b, di bawah "Pasuruan".
[3] Gamda disebutkan dalam Pires, Suma Oriental, hlm.196-198; lihat juga indeksnya. Perkiraan bahwa "Gamda" dapat dihubungkan dengan Gajah Mada, nama patih Majapahit, terasa menarik karena menurut Tome Pires tanah itu milik keturunan "Guste Pate". Dalam komentar pada tembang 19-2 dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 65) maka daerah Gajah Mada, yaitu tanah Sengguruh dengan pegawai-pegawai raja di Keraton Surakarta yang disebut Gajah Mati (mungkin sesuai dengan tempat tinggal mereka yang asli) telah dihubungkan satu dengan yang lainnya. Yang mengherankan ialah bahwa tugas yang dibebankan pada orang-orang Gajah Mati adalah memelihara kuda-kuda tunggang, sedang menurut Tome Pires memiliki kuda-kuda merupakan salah satu kekayaan raja-raja "Gamda" dan Blambangan. Pada halaman (52) buku ini dikemukakan anggapan bahwa nama kota pantai Gamda, seperti yang terdapat dalam Pires, Suma Oriental, ada kaitannya dengan nama perdana menteri Majapahit, Gajah Mada. Sebagai bandingan pendapat ini, perlu dipertimbangkan pandangan S.O. Robson yang mengemukakan bahwa Gamda merupakan salah tulis dari kata "Garuda". Nama itu pada abad ke-17 adalah nama kota pelabuhan sebelah barat dekat Pasuruan, yang pada permulaan abad tersebut telah terdesak kedudukannya oleh tetangga di timurnya itu. Pada zaman Valentijn, pelabuhan ini telah merosot menjadi suatu "desa" saja (Valentijn, Oud en Nieuw, jil. IV, hlm. 50). Walaupun tetap merupakan soal yang merisaukan hati untuk beranggapan bahwa telah terjadi suatu salah tulis, hipotesa Robson ini kiranya perlu dipertimbangkan (lihat Robson, "Gamda"). Gamda-Garuda lalu harus kita lihat sebagai ibu kota daerah Pasuruan. Yang dapat merangsang pendapat ini lagi ialah bahwa Pate Sepetat, seperti yang tersebut sebagai penguasa Gamda-Garuda, kita jumpai dalam Babad Pasuruan sebagai Menak Sapetak, raja Pasuruan.
[4] Menak Sapetak dari Pasuruan disebut dalam legenda-legenda setempat di Jawa Timur (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 374 dan 399). Bahwa Menak dari Jawa Timur ini dianggap mempunyai hubungan keluarga dengan anjing, diberitakan dalam banyak cerita mitos lain. Yang menarik perhatian lagi ialah bahwa Menakjingga dari Blambangan, tokoh legenda yang menjadi musuh Ratu Kenya dari Majapahit, dalam cerita kisah Jawa Timur yang terkenal, Damarwulan dikatakan mempunyai hubungan keluarga dengan anjing.
[5] Dalam Pires, Suma Oriental (hlm. 179 dst.), telah dimasukkan suatu bagian cerita yang menarik tentang adat istiadat Jawa, dan kemudian disusul dengan sebutan berturut-turut ketiga kota pelabuhan, yang pada zaman Pires masih di bawah kekuasaan maharaja "kafir" dan "Guste Pate" di tanah pedalaman.
[6] Tanah Sengguruh disebutkan dalam Bab II-11(dan catatan 45), yang membicarakan perluasan kekuasaan Demak ke arah timur, dan dalam Bab XI-4, tentang serangan-serangan orang-orang Sengguruh terhadap Giri, pada tahun 1535, yaitu waktu pasukan Demak menduduki Pasuruan.
[7] Mengenai Panembahan Lemah Duwur dari Aros Baya, lihat Bab XIII-3 dan Graaf, Senapati (hlm. 57 dst.).
[8] Keturunan Panembahan Lemah Duwur dicantumkan dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 216 dst.).
[9] Lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 272. Aneh, bahwa dalam cerita wayang Banyuwangi muncul Danyang Kapulungan yang bersanggama dengan anjing. Hal ini pun dikenakan bagi Adipati Dengkol, anak Menak Sapetak (Pigeaud, Literature, jil. II hlm. 61). Kapulungan ini letaknya cukup jauh di sebelah barat Pasuruan. Distrik Kapulungan sering disebut dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 194 dan 357, di bawah "Pulungan"). Sebelum zaman Islam tempat ini sudah penting. Pulungan disebutkan dalam cerita mitos mengenai pembagian dwitunggal Pulau Jawa oleh Bharada (Empu Bradah); lihat komentarnya pada Nagara Kertagama tembang 68 (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 201-205).
[10] Adegan cerita tentang Adipati Kaniten dalam buku-buku sejarah Jawa Tengah, yang menceritakan hidup Senapati Mataram, telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 112-114) dan dalam Bab XX-6.
[11] Dalam Tuuk, Woordenboek (jil. II, hlm. 33) "Kaniten" disebutkan: (1) sebagai nama distrik di Magetan (daerah Madiun) dan (2) sebagai nama keturunan berderajat keningratan tinggi yang mempunyai hubungan keluarga dengan Blambangan. Sebagai nama keluarga Bali-Jawa, Kaniten tercantum dalam cerita tutur historis Bali (Pamancangah, lihat karangan Berg, Traditie, catatan pada hlm. 145) sehubungan dengan direbutnya Blambangan oleh raja Bali di Gelgel pada paruh kedua abad ke-16. Kedua Kaniten ini sukar dihubungkan satu sama lain. Menurut Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 123), anak Senapati Mataram yang agak muda, yang lahir dari perkawinannya dengan putri Madiun, diberi nama Raden Mas Kinitren. Kelak pangeran ini mendapat gelar Adipati Martalaya dari Madiun. Dapat diperkirakan bahwa nama Kinitren ini ada hubungannya dengan Kaniten, dan bahwa Kinitren ini bahkan bentuk lama nama Kaniten (di Yogyakarta ada kampung yang terkenal dengan nama Mitten; kitri ialah kata dari bahasa lama yang menyatakan hak milik berwujud tanah ladang dengan pohon-pohon buah-buahan). Pangeran Mataram ini kiranya dapat diberi nama Raden Mas Kinitren, berdasarkan relasi yang ada antara ibunya (asal Madiun) dan "kerajaan" kecil lama Kaniten. Akhirnya, ada baiknya disebutkan juga suatu daftar yang sangat menarik, yang mungkin baru disusun pada abad ke-19, yang memuat 101 "putra dan putri" Raja Brawijaya yang terakhir dari Majapahit yang dicantumkan dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem. Putra ke-86 (hlm. 111) pada daftar itu adalah Raden Keniten. Nama-nama yang dicantumkan pada daftar ini dalam banyak hal dikenal dari sejarah politik atau dari kesusastraan Jawa. Disebutkannya Kaniten dalam daftar itu (seperti juga Tembayat, dengan nomor urutan yang lebih lanjut) menunjukkan bahwa nama ini masih dikenal pada abad ke-19.
[12] Dalam Graaf, Sultan Agung (hlm.18 dan berikutnya), telah dicantumkan beberapa pemberitaan tentang Pasuruan pada permulaan abad ke-17.
[13] Direbutnya Pasuruan oleh pasukan-pasukan tentara Mataram pada tahun 1616 dan 1617 telah diuraikan dalam Graaf, Sultan Agung, hlm. 41 dst.
0 komentar: