Recent Posts

Sabtu, 17 September 2011

0 komentar

Sejarah Madura pada Abad ke-16: Madura Barat


XIII-1.    Berita-berita kuno tentang Madura Barat, legenda dan sejarah

Sejak dahulu kala terdapat perbedaan antara Madura Barat, daerah-daerah Aros Baya (yang kelak bernama Bangkalan) dan Sampang, dan Madura Timur, terutama Sumenep dan Pamekasan. Setiap kali nama Madura disinggung dalam sastra Jawa, hampir selalu yang dimaksud adalah Madura Barat. Madura Timur disebut Sumenep. Madura Barat, yang letaknya berhadapan dengan Surabaya dan Gresik, dapat lebih banyak mengambil keuntungan dari perkembangan ekonomi, kebudayaan, dan politik Jawa Timur dan kerajaan-kerajaan Pesisir, jika dibanding dengan Madura Timur. Dalam idiom-idiom bahasa di Madura Barat dan Madura Timur sampai pada abad ke-20 masih kita lihat adanya perbedaan.[1]

Penyebaran penduduk ke Jawa yang jauh lebih luas dan makmur sejak zaman kuno merupakan faktor penting di bidang ekonomi maupun dalam sejarah politik Madura, lebih-lebih dari orang Madura Barat. Penyebaran ini telah menyebabkan perpindahan ke negeri lain dan pembentukan perkampungan-perkampungan Madura di banyak daerah di Jawa Timur dan ujung timur Jawa. Sejak paruh kedua abad ke-18 perpindahan penduduk Madura khususnya ke ujung timur Jawa demikian deras sehingga penduduk asli Jawa terdesak karenanya.

Berbeda dengan suku-suku bangsa utama lainnya yang bertetangga dengan orang Jawa, yaitu orang Sunda dan Bali, orang Madura tidak mempunyai sastra cerita tutur dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-Islam. Menurut cerita-cerita Madura yang dikenal, agaknya sejak dahulu yang menjadi penguasa atas daerah-daerah Madura terpenting berasal dari Jawa. Memang keturunan penguasa-penguasa itu berusaha dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan Madura. Sejak abad ke-16 raja-raja Madura mengadakan ikatan perkawinan dengan para penguasa di sepanjang pantai utara Jawa. Pada abad ke-17 dan ke-18 ada anggota-anggota keturunan raja Madura yang memegang peranan menentukan dalam kehidupan politik dinasti Kerajaan Mataram. Jawa selalu mempunyai kedudukan penting dalam alam pikiran dan cita-cita orang-orang Madura terkemuka.

Dalam ekonomi Nusantara sebelah selatan, Madura telah memberikan sumbangan, terutama tenaga kerja, kepada Jawa Timur. Pulau yang gersang dan gundul, tanpa kota pelabuhan besar, tidak memiliki sesuatu yang penting yang dapat diekspor. Diduga, penguasa-penguasa Jawa, yang telah berhasil mengangkat dirinya menjadi raja di daerah-daerah di sepanjang pantai selatan Madura, menarik keuntungan dari melimpahnya tenaga manusia, pria dan wanita, yang hanya bekerja di rumah dan di tanah-tanah persawahan milik raja dan pembesar di Jawa.

Sejarah Madura Barat, yang berbentuk legenda, dimulai dengan seorang raja di Gili Mandangin atau Sampang, yang bernama Lembu Peteng, putra Raja Brawijaya dari Majapahit dengan putri Islam dari Cempa.[2] Nama yang melambangkan keturunan itu, Lembu Peteng 'Lembu Gelap', dapat menjadi petunjuk adanya hubungan dengan keluarga kerajaan. Gili Mandangin, pulau kecil di Selat Madura, merupakan pentas bagi suatu balada Madura, yang pokok ceritanya berkisar pada sejarah legendaris Sang Bangsacara (atau mungkin Bang Sacara). Mungkin cerita tentang dua insan asyik masyuk yang dipersatukan dalam kematian ini berdasarkan suatu mitos.[3]

Menurut Sadjarah Dalem, Putri Lembu Peteng dari Sampang itu diperistri oleh Putra Maolana Iskak.[4] Menurut legenda Islam tentang orang-orang suci di Blambangan, ahli ilmu ketuhanan bangsa Arab itu, Maolana Iskak, adalah ayah Sunan Giri. Dapat diperkirakan bahwa pada paruh kedua abad ke-15 di Madura Barat para penguasa Jawa dari golongan ningrat dan orang-orang Islam dari seberang lautan mengadakan hubungan persahabatan.



XIII-2.    Madura Barat pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah

Menurut Tome Pires, pada permulaan dasawarsa abad ke-16 raja Madura belum memeluk agama Islam. Ia termasuk golongan bangsawan tinggi, yang memperistri putri "Guste Pate" Majapahit yang perkasa itu. Tetapi ia masih dapat hidup damai dengan tetangga dekatnya, para penguasa di Gresik (yang beragama Islam).[5]

Pada daftar tahun peristiwa Demak yang menyebutkan daerah-daerah yang ditaklukkan (lihat Bab II-12), nama Madura tidak dicantumkan. Menurut cerita Madura, putra mahkota di Madura Barat pada tahun 1450 J. (1528 M.) telah masuk Islam.[6] Angka 1450 (tahun Jawa) yang demikian "bulat" sebenarnya agak mencurigakan. Tetapi apabila diakui bahwa kota kerajaan yang lama, Majapahit, pada tahun 1527 M. telah diduduki oleh orang-orang Islam, tidak mustahil apabila penguasa di Madura Barat - yang sebenarnya seorang raja bawahan yang patuh terhadap maharaja "kafir" - pada tahun 1528 memutuskan untuk mengakui raja Islam baru di Jawa sebagai atasannya. Pada tahun 1527 raja Tuban juga tunduk pada kekuasaan Demak. Menurut cerita tutur, keturunan raja Tuban, seperti juga keturunan raja Madura Barat, mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Majapahit. Mungkin sikap Tuban pada tahun 1527 itu mempengaruhi sikap Madura Barat.

Adanya hubungan dengan jatuhnya kerajaan "kafir" Majapahit lalu menjadi lebih masuk akal, apabila cerita tutur Madura Barat tentang masuk Islamnya raja Islam pertama mengandung pokok kebenaran. Karena mimpi putra mahkota, seorang patih Madura, yang bernama Empu Bagna, diutus ke Jawa Tengah untuk mengetahui seluk-beluk keadaan di sana. la menyerah kepada Sunan Kudus untuk diislamkan, dan sekembalinya di Madura Barat ia dapat menggerakkan hati tuannya, sang putra mahkota, untuk berbuat demikian pula. Munculnya pahlawan yang menaklukkan Majapahit, yang kelak akan diberi gelar Sunan Kudus dalam legenda ini, memungkinkan adanya kebenaran bahwa keluarga raja Madura Barat sebagian besar karena terdorong oleh pertimbangan-pertimbangan politik - tanpa kekerasan senjata -telah mengambil keputusan mengakui penguasa Islam di Demak sebagai maharaja. (Dapat diterima bahwa karena hubungan dengan Gresik dan Surabaya, asas-asas keagamaan dan kemasyarakatan Islam dalam perempat pertama abad ke-16 sudah cukup dikenal di Madura; untuk mendapatkan keterangan tentang hal tersebut, putra mahkota tidak perlu lagi mengutus patihnya ke Jawa Tengah).

Menurut cerita tutur Madura Barat, putra mahkota yang telah masuk Islam itu bernama Pratanu; kelak ia terkenal sebagai Panembahan Lemah Duwur di Aros Baya. Ayahnya, raja tua, kiranya baru pada saat menjelang wafatnya menyatakan persetujuan untuk menerima agama baru, Islam, dengan menganggukkan kepala (bahasa Madura, angguq). Oleh karena itu, dalam cerita tutur ia mendapat julukan Pangeran Ongguq. Sebelum itu ia bernama Pragalba, dan nama istananya Palakaran atau Plakaran. Itulah nama raja tua tersebut dalam silsilah-silsilah. Dapat diperkirakan bahwa Pangeran Pakalaran, meskipun mengakui kekuasaan tertinggi raja Islam di Demak, masih beberapa tahun sesudah tahun 1528 memerintah Madura Barat sebagai raja "kafir" sebelum ia meninggal. Menurut cerita tutur, yang mungkin tidak sepenuhnya dapat dipercaya, konon tempat peristirahatannya yang terakhir ialah salah satu makam tua di tempat permakaman raja-raja "Aeng Mata" dekat Bangkalan. Di sini terdapat pula istri cicitnya, Cakraningrat I di Sampang, yang dianggap paling penting. (Cakraningrat sendiri dimakamkan di Imogiri, Mataram).



XIII-3.    Penembahan Lemah Duwur dari Aros Baya. Madura Barat pada paruh kedua abad ke-16

Cerita tutur tidak memuat pemberitaan yang dapat memberi petunjuk tentang bantuan raja Madura Barat kepada sultan Demak dalam perangnya melawan para penguasa Jawa yang sebelumnya menjadi raja bawahan maharaja "kafir" Majapahit yang belum mau mengakui kekuasaan Islam. Tidak terbukti dengan jelas apakah dalam penyerangan terhadap Panarukan (oleh penulis Portugis disebut Pasuruan) orang-orang Madura telah berjuang di pihak orang-orang Jawa Tengah dan Jawa Timur melawan orang-orang "kafir", seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Surabaya.

 Boleh jadi Pratanu dari Lemah Duwur tersebut, sepanjang hidupnya yang lama itu, terutama menyibukkan diri mengukuhkan dan memperluas kekuasaan atas kerajaan-kerajaan kecil dan daerah-daerah pedesaan yang pada waktu itu agaknya banyak anggota pria keluarga raja secara merdeka menetap dalam perkampungannya sendiri-sendiri. Mungkin penghasilan kepala kerabat tidak cukup untuk membiayai kehidupan semua putra serta anggota kerabat yang lain. Perkampungan-perkampungan tempat tinggal sanak saudara raja itu - yang tersebar di seluruh wilayah - dengan mudah sekali dapat menjadi daerah yang merdeka, apabila kekuasaan pusat menjadi lemah. Daftar keturunan raja-raja Madura yang pertama, yang terdapat dalam Sadjarah Dalem menyebutkan banyak perkampungan atau tanah merdeka tempat tinggal anggota keluarga raja. Beberapa di antaranya kemudian memang berkembang menjadi ibu kota kerajaan-kerajaan kecil yang bebas. Menurut cerita tutur Madura, Pratanu dari Lemah Duwur telah meluaskan kekuasaannya sampai Balega dan Sampang. Ibunya, istri Pangeran Palakaran (Pangeran Ongguq), berasal dari Pamandegan, dekat Sampang; dan cicitnya, Cakraningrat I, menjadikan Sampang pusat Kerajaan Madura Barat sebagai ganti Aros Baya.

Menurut cerita tutur Madura dan Sadjarah Dalem, Panembahan Lemah Duwur dari Aros Baya telah mengawini putri raja Pajang sebagai "anugerah" (bahasa Jawa, triman). Karena perkawinan ini (dan karena kunjungan patih Madura pada sunan Kudus), terwujudlah untuk pertama kalinya hubungan antara keluarga raja Madura Barat dan Jawa Tengah. Kelak hubungan perkawinan ini diperkuat oleh raja-raja dinasti Mataram. Dapat diperkirakan, setelah menjadi menantu Sultan Pajang, untuk beberapa waktu di Keraton Pajang, Panembahan dari Aros Baya dianggap sebagai orang yang terpenting di antara raja-raja Jawa Timur. Cerita tutur yang diberitakan oleh Raffles mengenai "pembebasan diri" raja-raja Jawa Timur dari kekuasaan Madura, dan bertindaknya raja Surabaya sebagai "juru bicara" di Keraton Pajang, mungkin dapat dimengerti dalam rangka hubungan keluarga antara raja-raja Madura dan Pajang itu.[7] Tidak perlu diragukan bahwa pada paruh kedua abad ke-16 di bidang politik ekonomi, raja Madura Barat belum semaju penguasa di Surabaya.

Menurut tutur Madura yang bersifat sejarah, Panembahan Lemah Duwur dari Aros Baya meninggal sekitar tahun 1590, setelah lama memerintah Madura Barat. Juga menurut Sadjarah Dalem, ia telah diganti oleh anaknya dari perkawinannya dengan putri Pajang yang disebut Panembahan Tengah. Raja itu terpaksa melakukan perjuangan lama untuk menundukkan adiknya Sakatah, yang tinggal di Balega, yang akhirnya dapat ditaklukkan juga. Senapati Mataram, yang sesudah meninggalnya Sultan Pajang pada tahun 1589 berusaha supaya kekuasaannya sebagai raja diakui di Jawa Tengah dan di sebagian dari Jawa Timur, tidak berusaha supaya raja Madura Barat mengakui kekuasaannya. Menurut satu cerita tutur Jawa, para penguasa Madura dan Sumenep juga telah menggabungkan diri dengan raja-raja Jawa Timur dan Pesisir. Sekitar tahun 1590, di dekat Japan (sekarang Mojokerto) raja-raja ini telah menahan tentara Mataram yang bergerak ke arah timur (lihat Bab XII-5 dan cat. 219). Yang menjadi soal ialah sampai berapa jauh cerita itu dapat dipercaya.



XIII-4.    Sejarah Madura Barat selanjutnya sampai ditundukkan oleh Mataram pada tahun 1624

Menurut cerita tutur Madura, Panembahan Tengah dari Aros Baya meninggal sekitar tahun 1620; ia diganti oleh seorang adiknya, karena pewaris yang berhak masih muda. Anak Panembahan Lemah Duwur yang kedua ini hanya empat tahun memerintah di Aros Baya. Kemenakannya, pewaris yang berhak, Raden Prasena, yang tinggal di Sampang, pada tahun 1624 menyerah kepada panglima Mataram sesudah terjadi pertempuran sengit dekat Sampang. Salah seorang dari pemimpin pasukan Mataram yang terkenal, Sujana Pura, gugur dalam pertempuran itu. Laskar Mataram menyeberang ke Sampang dari Pasuruan, yang telah diduduki pada tahun 1617; Surabaya pada tahun 1624 belum direbut. Pangeran dari Aros Baya, yang merasa diri seperti diserang dari belakang oleh Mataram, melarikan diri ke Giri; di situ ia meninggal. Raja-raja Pamekasan dan Sumenep telah gugur dalam serangan mendadak Mataram itu. Prasena yang masih muda itu dibiarkan tinggal di Keraton Mataram dan mendapat perlakuan yang sangat terhormat. la dianggap sebagai raja (tituler) di Madura, dan secara anumerta diberi nama Cakraningrat.[8]



--------------------------------------------------------------------------------

[1]       Ikhtisar singkat mengenai hasil-hasil penyelidikan ilmiah tentang bahasa dan kesusastraan Madura telah dimuat dalam Uhlenbeck, Survey. Lihat Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Madura".

[2]       Buku cerita Jawa Tengah sedikit mencentakan selarah Madura yang bersifat legenda; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Darawati".

[3]       Lihat Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 135 dst.

[4]       Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem, terdapat daftar para penguasa Madura pada hlm. 214 dst. Urutan generasi, terutama mengenai zaman dahuiu, tidak selalu dapat dipercaya. Tetapi nama tempat-tempat yang rupanya menjadi tempat kedudukan para penguasa daerah ini, dan yang rupanya menjadi tempat mereka dimakamkan, merupakan bahan menarik untuk dipelajari.

[5]       Dalam Pires, Suma Oriental, Madura baru disebutkan pada bagian akhimya (hlm.  227).

[6]       Cerita-cerita tutur Madura Barat yang bersifat sejarah telah diuraikan dalam Pal mer, "Madoera" dan dalam Pa' Kamar, "Madoera".

[7]       Cerita tutor yang diberitakan oleh Raffles telah dibicarakan dalam Bab XII-5.

[8]       Direbutnya Madura oleh laskar dari Jawa Tengah telah dilukiskan dalam Graaf, Sultan Agung (hlm. 83-94). Nama Cakraningrat diberitakan pada tahun 1678 sebagai hadiah Mangkurat II kepada anak Prasena dari Sampang, waktu ia diangkat menjadi patih. Mengikuti nama anaknya ini, ayahnya pun sesudah meninggal juga disebut dengan nama Cakraningrat (lihat Graaf, Hurdt, hlm. 256).

0 komentar:

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Copyright © Design by Dadang Herdiana