Sejarah Kerajaan-Kerajaan yang Lebih Kecil di Daerah-Daerah Pesisir Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Pati dan Juwana
IV-1 Berita-berita kuno tentang Pati dan Juwana, legenda dan sejarah
Daerah ini, dengan Pati dan Juwana sebagai ibu kotanya, terletak dekat muara timur sebuah selat tua, yang sejak dahulu memisahkan Pegunungan Muria di Jawa. Demak dan Jepara terletak di sebelah barat muara ini. Mungkin dapat kita bandingkan hubungan kedua kota-pelabuhan laut Jepara dan Juwana pada satu pihak, dengan hubungan antara kedua kota tempat kedudukan raja Demak dan Pati pada pihak lain. Hanya saja Juwana (atau kota pelabuhan di daerah itu, yang disebut Tome Pires "Cajongam") menjadi kurang penting untuk perdagangan laut; berbeda dengan Jepara yang memiliki teluk yang baik.
Jepara dan Juwana keduanya disebut sebagai daerah yang termasuk wilayah Sandang Garba, "raja kaum pedagang" dalam cerita mitos, yang dikalahkan oleh adiknya yang bungsu, Dandang Gendis, "raja kaum beragama", yang memerintah di Koripan dan Jenggala (di delta Sungai Brantas). Kemenangan itu diraih atas bantuan orang-orang Cina.[1] Cerita Jawa ini agak bernilai, sebab dari cerita itu terbukti, Juwana dahulu sudah dianggap sebagai kota pelabuhan yang agak penting.
Juwana konon disinggahi oleh Sahid, yang kemudian menjadi Sunan Kalijaga, pada perjalanannya dari Pulo Pinang ke Demak. la tidak melanjutkan perjalanannya ke ibu kota itu, tetapi singgah lebih dulu di Cirebon.[2] Cerita ini juga memberi petunjuk tentang Juwana sebagai pelabuhan yang agak penting.
Perlu disebutkan di sini adanya keanehan bahwa di Juwana apa yang biasa disebut pasaran Jawa (sepekan terdiri dari lima hari: Legi-Pahing-Pon-Wage-Kliwon) tidak dipakai. Ini baru ditetapkan pada abad ke-20.[3] Tetapi sebenarnya terasa sangat gegabah menerangkan hal yang menyimpang dari sistem yang sudah umum berlaku di Jawa Tengah mengenai pasaran (yang ada hubungannya dengan gagasan-gagasan pribumi-kuno tentang alam semesta-alam dewa), dengan berpangkal pada sejarah Pati dan Juwana yang sangat tua itu.[4]
IV-2 Pati dan Juwana pada permulaan abad ke-16. Berita Tome Pires tentang Cajongam
Tidaklah mengherankan bahwa antara kedua pasangan Demak-Jepara dan Pati-Juwana timbul iri hati dan terjadi pertempuran pada masa lampau. Mungkin yang menjadi pokok persoalannya pertama-tama ialah kepentingan masing-masing dalam perdagangan, khususnya dalam penyaluran beras dari pedalaman, yang dijual kepada orang-orang asing yang menyinggahi pelabuhan-pelabuhan itu.
Dalam cerita tutur sejarah di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat berita tentang masa jaya Kerajaan Pati yang berlangsung pendek pada permulaan abad ke-16. Di alas (Bab II-11) telah diberitakan bahwa raja yang baru saja masuk Islam di Pasir, yang terletak di pedalaman di perbatasan Jawa dan tanah Sunda, yang mempunyai kedudukan penting di keraton Sultan Tranggana, raja Demak yang ketiga, telah memperistri seorang putri dari Pati. Mungkin ini terjadi setelah penguasa Pati menyatakan tunduk pada raja Islam di Demak. Menurut daftar tahun peristiwa di Jawa Tengah, Babad Sangkalaning Momana, konon di Pati pada tahun Jawa 1433 (1511 M.) telah diangkat seorang "bupati" yang bernama Kayu Bralit (oleh siapa, tidak diketahui). Menurut daftar tahun peristiwa lain yang dapat dibandingkan (yang telah dimasukkan dalam Chronological Table karangan Raffles), Adipati Kayu Bralit itu pada tahun 1518 telah gugur dalam peperangan. Perang pecah pada tahun itu untuk melawan Pati (dilakukan oleh siapa, juga tidak diketahui). Menurut naskah ini, dengan kejadian tersebut masa kemakmuran Kerajaan Pati telah berakhir.
Musafir Portugis Tome Pires, yang pada tahun 1513 mengunjungi pantai utara Jawa, memberitakan bahwa daerah Cajongan atau Cajongam telah dihancurkan oleh panglima pasukan raja "kafir" Majapahit. Menurut Pires, prajurit ini terkenal dengan nama-gelar "guste Pate". Setelah kehancurannya, konon daerah Cajongam dibagi antara tetangganya Rembang dan Tuban. Pate Rodin di Demak pun mengambil sebagian daerah ini.
Sayang, letak Cajongam tidak dapat dipastikan. Nama itu terdapat pada peta-peta Portugis lama. Mungkin sekali, tempat itu letaknya kira-kira di tempat Kota Juwana sekarang.[5] Tetapi berita Pires tentang bertetangganya Rembang dan Tuban (yang lebih ke timur letaknya) tidak cocok dengan keadaan. Diperkirakan pada teks Pires ada kesalahan.
Berdasarkan berita-berita pendek dan tidak lengkap ini, dihubungkan dengan tahun-tahun pada daftar tahun peristiwa Jawa, kiranya dapat dibenarkan bahwa Kerajaan Demak dalam dasawarsa pertama abad ke-10 telah berselisih hubungan raja-raja di Pati (dan Juwana?), yang menguasai bagian timur jalur lalu lintas di sebelah selatan Pegunungan Muria. Sekalipun berita Pires tentang serangan orang-orang Majapahit yang "kafir" terhadap Cajongam itu berdasarkan kebenaran, dapat diduga bahwa gerakan itu merupakan usaha (terakhir) untuk mempertahankan kekuasaan maharaja "kafir" itu di sebelah barat laut kerajaannya.
IV-3 Sejarah Pati pada paruh kedua abad ke-16. Hubungannya dengan Mataram, legenda dan sejarah
Dalam cerita sejarah di Jawa Tengah, para penguasa di Pati agak penting kedudukannya. Pada abad-abad ke-16 dan ke-17 mereka terpaksa mengakui kekuasaan tertinggi raja-raja Demak, Pajang, dan Mataram; tetapi daerah mereka, yang secara ekonomis dan strategis mempunyai posisi cukup kuat, agaknya telah memungkinkan mereka untuk sekali-sekali menanamkan pengaruh politik mereka sampai di Jawa Tengah sebelah selatan. Pati dan Juwana dapat dianggap daerah-daerah peralihan antara kerajaan tua Lasem, salah satu dari "tanah-tanah raja" kerajaan Majapahit "kafir" pada abad ke-14, dan daerah-daerah di Jawa Tengah, tempat kerajaan-kerajaan Islam setengah merdeka dan kemudian merdeka penuh, terus berkembang pada abad ke-15 dan ke-16.
Menurut tambo di Mataram, pada paruh kedua abad ke-15 dan pada paruh pertama abad ke-16 di daerah-daerah yang kelak bernama Grobogan dan Sokawati dan sekitarnya, hidup pelbagai keturunan penguasa setempat, masih saling berhubungan keluarga, yang seluruhnya merupakan lingkungan asal bagi timbulnya keluarga-keluarga raja Pati dan Mataram kemudian. Seperti yang dapat diharapkan, cerita Mataram lebih menaruh perhatian pada asal usul yang diperkirakan itu; Yang Dipertuan Mataram yang pertama, Ki Gede Pamanahan, adalah cucu seorang penguasa di Sesela yang legendaris itu. Sesela ini tergolong kota tua di daerah Grobogan. Dalam cerita Mataram, raja Pati yang pertama bernama Ki Panjawi; ia seorang teman seperjuangan Ki Gede Pamanahan. la termasuk keturunan para penguasa di Tarub, keturunan raja "kafir" Majapahit yang beristrikan wanita dari Wandan, di seberang lautan. Menurut cerita Mataram, Ki Panjawi, Ki Pamanahan, dan yang kelak menjadi sultan Pajang, ketiga-tiganya pada masa mudanya mengabdi pada Keraton Demak sebagai anggota korps Tamtama. Masuk korps militer ini agaknya dianggap kehormatan istimewa, dan hanya diperuntukkan bagi pemuda-pemuda kerabat para penguasa daerah.
Menurut cerita dinasti Mataram, ketiga pemuda itu bersama bertempur demi kepentingan pengganti raja yang berhak, melawan Aria Panangsang dari Jipang yang diliputi rasa tidak puas. Karena keluarga raja Demak sudah jatuh, mereka mendapat kesempatan untuk memerdekakan dirinya masing-masing di daerah sendiri-sendiri. Ki Panjawi dapat mengangkat dirinya menjadi raja di Pati pada pertengahan abad ke-16.[6]
Jika diakui bahwa yang menjadi dasar cerita-cerita tutur ini ialah ingatan-ingatan akan hubungan-hubungan keluarga yang dapat dipercaya, mengherankan sekali bahwa justru Ki Panjawi yang dapat menetap di Pati. Daerah ini letaknya dekat daerah-daerah Grobogan dan Sokawati. tempat-asal keturunannya sendiri dan keturunan Ki Pamanahan. Letaknya tidak jauh dari Jipang, kerajaan Aria Panangsang, keturunan keluarga raja Demak yang memberontak. Boleh jadi pada pertengahan abad ke-16 daerah Pati (bersama Juwana) itu, walaupun secara ekonomis tidak sama makmurnya (lagi) dengan Demak (bersama Jepara), masih merupakan kerajaan penting yang berkembang dengan baik juga, yang mengadakan hubungan dengan para penguasa di daerah-daerah lebih ke timur, sepanjang pantai utara Jawa sampai Surabaya.[7] Sebaliknya Mataram, terpencil di pedalaman, tempat Ki Pamanahan menetap pada pertengahan abad ke-16, masih dalarn tingkat berkembang. Waktu cicit Ki Pamanahan, yaitu Sultan Agung Mataram, pada paruh pertama abad ke-17 mencapai puncak kekuasaan dan kebesaran, asal usul keturunannya terbawa naik namanya. Tetapi dapat diduga bahwa pada abad ke-16 keluarga Ki Panjawi di Pati lebih tinggi derajatnya, dan lebih banyak hubungannya dengan keturunan-keturunan penting lain, daripada Ki Pamanahan di Mataram yang jauh di pelosok.
Pada paruh kedua abad ke-16, Sultan Pajang telah memegang kekuasaan tertinggi di Jawa Tengah selama beberapa puluh tahun. Menurut cerita, para Yang Dipertuan di Pati dan Mataram - yang seperti Sultan juga mengabdi di Demak dalarn korps Tamtama - telah mengakui kekuasaan tertinggi Sultan Pajang itu. Antara Sultan Pajang dan Ki Pamanahan sering terjadi cek-cok; tetapi tentang Ki Panjawi di Pati, tidak dikabarkan adanya kesulitan dalam hubungannya dengan atasannya.
Berita tentang perkawinan putra Ki Panembahan, yang kelak bernama Panembahan Senapati Mataram, dengan putri Ki Panjawi di Pati, dapat dipercaya, mengingat cerita-cerita lainnya. Putri Pati ini kelak menjadi ibu Susuhunan Seda-ing-Krapyak ('wafat di Krapyak') dan nenek Sultan Agung Mataram.
Pengganti Ki Panjawi, yang memerintah Pati pada perempat terakhir abad ke-16, dalam tambo Jawa diberi nama Pragola. Pragola Pati ini adik ipar Senapati Mataram. Menurut cerita, timbul permusuhan antara kedua ipar itu, waktu Senapati pada tahun 1590 mengusir Panembahan Mas - keturunan keluarga raja Demak dan ipar Sultan Pajang yang telah meninggal - dari daerahnya Madiun. Secara paksa ia mengambil anak perempuan Panembahan Mas sebagai istri mudanya. Pragola menganggap ini sebagai suatu penghinaan terhadap saudara perempuannya, permaisuri pertama Senapati. la memandang itu sebagai pengungkapan nafsu berkuasa yang berlebih-lebihan, yang lama-kelamaan dapat membahayakan semua penguasa daerah di Jawa Tengah, apabila mereka hendak mempertahankan sebagian kemerdekaan mereka.
Pada tahun-tahun 1598 dan 1599 prajurit-prajurit Mataram melancarkan serangan-serangan terhadap Kota Tuban yang kukuh itu, mungkin dari daerah Madiun. Serangan-serangan terhadap Tuban dapat dipatahkan; tetapi boleh jadi Raja Pragola di Pati menganggap pertempuran-pertempuran ini juga sebagai serangan terhadap kekuasaannya sendiri di daerah-daerah Pesisir. Pada tahun 1600 ia menggerakkan angkatan bersenjatanya dalam jumlah yang besar dari Pati ke Mataram, untuk memperkuat tuntutannya atas penguasaan terhadap tanah-tanah di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Menurut cerita Mataram, ia hanya sampai di Prambanan, pada batas timur daerah inti Kerajaan Mataram; dengan kekerasan ia dipaksa kembali.
Senapati Mataram pada tahun 1601 mangkat di Jenar, Distrik Sragen yang sekarang, yang termasuk daerah Sokawati. Tidak ada kepastian apakah Raja Pragola masih hidup sepeninggal Senapati.[8] (lihat juga Bab XX-7 akhir, dan cat. 384).
Putra Pragola yang pertama ini, untuk jelasnya kita sebut Pragola II, agaknya selama pemerintahan pengganti Senapati, Susuhunan Seda-ing-Krapyak, dan juga selama tahun-tahun permulaan pemerintahan cucunya, Sultan Agung (yang mulai memegang tampuk pimpinan pada tahun 1613), bersikap bersahabat terhadap raja Mataram yang terus bertambah kuasa. Tetapi pada tahun 1627 masih juga terjadi perang secara terang-terangan. Dari berita-berita orang-orang Belanda yang hidup sezaman, ternyata bahwa perang ini telah mengakhiri kemerdekaan dan kemakmuran Pati. Menurut cerita Mataram, Raja Pragola II gugur. Putranya yang masih sangat muda diungsikan oleh abdi yang setia ke Prawata, tempat kediaman Susuhunan Prawata yang "suci" itu, raja merdeka terakhir dari keluarga raja Demak, yang dibunuh kira-kira tiga perempat abad sebelumnya.[9]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Cerita tutur Jawa mengenai Sandang Garba dari Jepara dan Juwana telah dilukiskan dalam ikhtisar sebuah buku cerita dari Jawa Tengah (Pigeaud, Literature, jil.II, hlm. 359-360). Lihat juga cat. 108 mengenai sejarah Jepara yang bersifat legenda. Juwana dan Jepara disebut bersama dalam Codex LOr no. 6686 (Pigeaud, Literature, jil.II, hlm. 408).
[2] Legenda Sunan Kalijaga telah dimuat dalam ikhtisar Serat Kandha, olahan Brandes (Brandes, Pararaton. hlm. 227).
[3] Dr. H. Kraemer, dalam laporannya tentang perjalanan menjelajahi Jawa Tengah yang dilakukannya pada tahun 1923, telah mencantumkan catatan mengenai tidak dipakainya minggu-pasaran di Juwana (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 129).
[4] Dugaan Ir. Moens (Moens, "Crivijaya", hlm. 354 dst.), bahwa kola pelabuhan Po Li, yang diberitakan dalam kronik Cina dapat disamakan dengan Pati, masih harus menunggu saat pembenarannya.
[5] Dr. Rouffaer (Rouffaer, "Pajang") telah menempatkan Cajongam, yang terdapat pada peta-peta Portugis, di lokasi daerah Juwana sekarang.
[6] Ikhtisar tentang cerita-cerita tutur sejarah di Jawa Tengah sebelah selatan, yang mengisahkan asal usul keluarga raja Mataram, terdapat dalarn Brandes, Register, hlm. 3, 32, 36, 44, 59, 61, dan 69.
[7] Yang perlu diperhatikan ialah bahwa nama Panjawi (mungkin sebuah nama tempat, yang belum diketahui lokasinya) juga terdapat dalam nama gelar Retna Panjawi, menurut Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, Sadjarah, hlm. 101) dipakai oleh anak perempuan Aria Lembu Sura dari Surabaya, putri yang telah menjadi permaisuri raja Brawijaya ketiga di Majapahit. Aria Lembu Sura dari Surabaya juga disebutkan pada daftar keturunan yang legendaris yang menyangkut keluarga raja Tuban dari zaman Islam muda (keluarga Aria Teja, lihat Padmasoesastra, Sadjarah, hlm. 41 dan Bab XII-1 buku ini). Andai kata cerita keluarga ini dapat dipercaya, maka dapatlah diduga bahwa raja Surabaya ini (seorang bawahan Muslim?) kiranya hidup pada abad ke-14. Nama gelar anak perempuannya, permaisuri raja Majapahit, Retna Panjawi, agaknya telah diberikan kepadanya karena adanya hubungan keluarga antara para penguasa di Surabaya, Tuban, dan beberapa daerah-daerah milik raja kecil yang lebih ke arah barat letaknya, di daerah Grobogan dan Sokawati. Nama Mas Jawi (Padmasoesastra, Sadjarah, hlm. 47) mungkin juga terdapat dalarn nama tempat lama Panjawi itu. Mas Jawi ini kiranya anak seorang pangeran dari Kudus, keturunan para pemimpin rohani di Kudus. Pada akhir abad ke-17, atau pada permulaan abad ke-18, kiranya ia telah menjadi bupati di Pati dengan nama Suma Dipura, dan kelak ia menjadi moyang para bupati Kudus, yang berkali-kali telah berkaitan perkawinan dengan keluarga raja Mataram.
[8] Dalam karangan Graaf, Senapati (hlm. 130) dibicarakan suatu keterangan pada daftar tahun peristiwa Jawa, yang mengatakan bahwa pada tahun Jawa 1522 (1600 M.) ada "Adipati Mesir" yang telah meninggal pinejahan enjang. Dapat diperkirakan bahwa pada abad ke-16, Kota Pati sedikit banyak telah disamakan dengan Mesir (Kairo) seperti Tajug-Ngudung dengan Kudus (Yerusalem), Demak dengan Mekkah, dan Kadilangu dengan Medinah (tempat dimakamkannya Nabi Muhammad saw). Pinejahan enjang, yaitu "terbunuh pada pagi hari", hampir tidak mempunyai arti apa-apa sebagai pemberitaan pada daftar tahun peristiwa. Apabila pinejahan enjang dapat dibaca sebagai pinejahan endang 'terbunuh waktu bertamu' atau sedang dalam perjalanan, maka pemberitaan ini kiranya dapat kita kaitkan dengan peristiwa kematian Raja Pragola I dari Pati. Perlu dicatat, nama Mesir ini muncul beberapa kali; lihat cat. 42.
[9] Pahlawan wanita dalam kisah historis "Pranacitra" dari Surakarta pada abad ke-19, yang bernama Lara Mendut, rupa-rupanya seorang wanita cantik dari Pati yang sesudah kota asalnya direbut oleh tentara Sultan Agung dari Mataram, dibawa oleh panglima andalan Wiraguna sebagai bagian dari harta rampasan perang.
0 komentar: