Eudokia Artinya Ahmad
Menerjemahkan ulang sebuah karya besar seorang penulis terkenal dari versi bahasa asing jika ia membiarkan tulisan-tulisan lain dalam bahasanya sendiri. Tidak akan terlalu sulit. Karena si penerjemah dapat mengkaji pikiran, alasan, dan ungkapan-ungkapan dalam karya-karya si penulis asing tersebut. Namun, sejauh mana ia akan berhasil adalah pertanyaan yang hanya dapat diputuskan dan ditetapkan oleh penerjemah-penerjemah yang cakap.
Sama halnya, jika terdapat sedikit dua epistel atau tulisan Lukas dalam bahasa Ibrani, maka kitab Injilnya dapat diterjemahkan kedalam bahasa itu dan terhitung tidaklah sulit dibandingkan dengan upaya saat ini kita lakukan. Sayangnya, yang terjadi pada Perjanjian Baru tidaklah demikian. Karena sudah tidak ada lagi tulisan-tulisan kuno dalam bahasa Yesus dari mana Lukas menerjemahkan Kidung Malaikat; juga ia sendiri tidak mewariskan kepada kita buku lain dalam bahasa Semit.
Bahasa Yunani modern seringkali menggunakan kata “Eudokia” dan “Eudoxia” untuk kata benda nama diri perempuan mereka. Dan kedua kata benda ini terdiri dari dua elemen “eu” dan “dokeo”, serta “eu” dan “doxa” yang berarti “kemuliaan” atau “pujian”, dan sebagainya.
Untuk menemukan kata Semit asli dalam nyanyian yang didengar dan diceritakn oleh para gembala dan diceritakan oleh gembala dan yang telah dirumuskan oleh Lukas menjadi “Eudokia”, maka kita dipaksa untuk memeriksa dan melacaknya langsung dari akar dan derivasinya dalam bahasa Yunani.
Ada dua versi utama Perjanjian Baru dari teks Yunani, satu dalam bahasa yang disebut bahasa Syriac, dan satu lagi dalam bahasa Latin. Keduanya memuat judul yang sama pentingnya yakni “simplex” atau “simple” yang berarti “pshittha” dan “Vulgate”. Terdapat banyak bahan informasi baru mengenai dua versi kuno yang terkenal ini yang pasti membuat malu mengenai dua versi kuno yang terkenal ini yang pasti membuat malu para sejarawan kristen dan teolog kristen yang dogmatis.
Umum diketahui bahwa Gereja Roma selama empat abad pertama tidak mempunyai kitab suci atau Liturgi dalam bahasa Latin melainkan dalam bahsa Yunani. Sebelum Konsili Nicea pada 325 M, undang-undang dari kitab-kitab Perjanjian Baru tidak disempurnakan atau bahkan tidak ditegakkan. Terdapat puluhan kitab Injil dan Epistel yang dianggap sakral oleh berbagai macam sekte Kristen, namun ditolak oleh Konsili Nicea karena dianggap palsu.
Karena pusat bahasa dan pembelajaran Syriac adalah Orhai, yakni Edessa, dan tidak pernah di Antioch, maka disinilah kitab-kitab Perjanjian Baru diterjemahkan dari bahasa Yunani setelah Konsili Nicea yang terkenal bercitra buruk.
Pemeriksaan dan kajian yang dalam terhadap literatur dan sejarah Kristen awal akan menunjukkan bahwa penyebar-penyebar Injil pertama adalah orang Yahudi yang berbicara bahasa Arami atau bahasa Syriac lama. Apakah “Injil” merupakan sebuah dokumen tertulis, atau doktrin tidak tertulisa atau agama yang disebarkan secara lisan, adalah sebuah pokok bahasan yang perlu dijawab namun diluar pokok pembahasan kita sekarang. Namun satu yang pasti, yakni umat Kristen awal menjalankan ibadah keagamaan mereka dalam bahasa Arami. Itulah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh bangsa Yahudi , Syria , Phoenicia , Khaldea, dan Assyria .
Kini jelaslah bahwa kaum Kristen yang bahasa ibunya adalah bahasa Arami pasti akan lebih senang membaca dan berdoa dalam bahasa mereka sendiri, dan konsekuensinya berbagai macam kitab Injil, Epistel, dan doa-doa, dan liturgi ditulis dalam bahasa Syriac.
Dilain pihak, para pemeluk agama baru dari kaum nonYahudi yang pindah ke agama Kristen membaca Perjanjian Lama dalam versi Yunaninya dari “tujuh puluh” (The seventy) . Seperti lazimnya para filsafat Yunani, begitu pindah ke agama baru (Kristen) dan ada Septuagint dihadapan mereka, tidak mengalami kesulitan dalam pembuatan “Perjanjian Baru” sebagai penyelesaian atau kelanjutan dari Perjanjian Lama.
Bagaimana kitab Injil dari nabi yang terlahir di Palestina menjadi sumber dari dua arus pemikiran yang kiat, semitik, dan Hellenik, dan bagaimana pemikiran politeistik Yunani akhirnya menggagahi akidah Semitik yang monoteistik dibawah para kaisar Yunani-Latin yang zalim dan dibawah para uskup trinitas Romawi yang tidak toleran dan takhayul, adalah hal-hal ekstrem untuk sebuah kajian yang dalam oleh para sarjana Unitarian Muslim.
Kemudian ada pertanyaan tentang kesatuan iman, kesatuan doktrin, dan kesatuan teks wahyu. Selama lebih dari 3 abad, gereja kristen belum mempunyai Perjanjian Baru seperti kita saksikan dalam bentuknya yang beredar sekarang. Tidak satu pun dari Gereja Semit atau Gereja Yunani, juga Antioch, Edessa, Byzantium, dan Romawi mempunyai semua kitab Perjanjian Baru, bahkan tidak juga empat Injil sebelum Dewan Nicea. Dan saya bertanya-tanya apa gerangan keyakinan umat Kristen yang hanya memiliki beberapa Injil sekarang, mengenai dogma-dogma Ekaristi, pembaptisan, trinitas, konsep yang menakjubkan tentang Yesus dan puluhan dogma dan doktrin lainnya!
Versi Syriac dan pshittha tidak mengandung apa yang disebut “Essential Word” (Firman Pokok) atau “Institutional Words” (Firman Kelembagaan) yang sekarang masih ada di Injil Lukas (22:17-19).
12 terakhir dari pasal ke 16 Injil kedua tidak terdapat dalam manuskrip-manuskrip Yunani kuno. Yang namanya “doa Tuhan” (Matius 6:9, Lukas 11:2) tidak dikenal oleh pengarang Injil kedua dan keempat.
Sebenarnya banyak ajaran penting yang termuat dalam satu kitab Injil tidak dikenal oleh gereja-gereja yang tidak memilikinya. Konsekuensinya tidak ada keseragaman ibadah, disiplin, otoritas, keyakinan, perintah, dan hukum pada gereja awal, sebagaimana terjadi pada kristen sekarang.
Yang dapat kita simpulkan dari literatur Perjanjian Baru hanyalah umat Kristen pada jaman Apostolik menjadikan kitab-kitab suci Yahudi sebagai alkitab mereka, dengan sebuah kitab yang memuat wahyu sebenarnya yang disampaikan oleh Yesus, dan bahwa substansinya persis sama dengan yang dikemukakan dalam Serephic Canticle (Kidung Makhluk Angkasa) ini- yakni ISLAM dan AHMAD.
Misi khusus yang diemban oleh Allah kepada Yesus adalah meluruskan keyakinan keliru terhadap anggapan bahwa mesias adalah dari keturunan Daud, dan meyakinkan mereka bahwa Kerajaan Tuhan dibumi yang sedang mereka tunggu-tunggu tidaklah datang melalui mesias keturunan Daud (baca. Matius 22:41-45), tetapi melalui mesias keturunan Ismail yang bernama Ahmad atau Muhammad (baca. Barnabas 142:3) , padanan yang benar dari nama yang telah dipertahankan oleh kitab-kitab Ijil Yunani dalam bentuk “Eudoxos” dan “Periclytos” dan bukan “Paraclete” sebagaimana yang ditetapkan oleh gereja-gereja. Dengan sendirinya “Periclyte” akan menjadi salah satu topik penting dalam serial artikel ini.
Namun apapun pengertian dari “Paraclete” (penghibur) atau ortografi etimologis yang benar, tetap saja ada kebenaran yang cemerlang yang Yesus tinggalkan dan agama yang belum tuntas yang harus diselesaikan dan disempurnakan oleh apa yang digambarkan Yohanes (ubi supra) dan Lukas (24:49) sebagai “roh”. “Roh” ini bukanlah salah satu Tuhan yang ketiga dari yang tiga dalam trinitas Tuhan-tuhan, melainkan roh kudus Ahmad yang eksis seperti roh-roh para nabi lainnya disurga (bandingkan dengan Injil Barnabas).
Jika roh Yesus atas kesaksian seorang rasul Yohanes (17:5), eksis sebelum ia menjadi seorang manusia, kaum unitarian muslim pun dibenarkan sepenuhnya untuk meyakini eksistensi roh Muhammad atas kesaksian rasul lainnya, Barnabas! Mengapa tidak? Karena hal ini akan dibicarakan dalam artikel berikutnya, untuk saat ini yang ingin saya tanyakan kepada Gereja Kristen apakah kalian memiliki Injil keempat sebelum Dewan Nicea? Jika jawabannya YA, berdoalah, kemukakan bukti-bukti Anda. Jika jawabannya TIDAK, maka haruslah diakui bahwa sebagian besar kaum Kristen tidak tahu apa-apa tentang “Paraclete”, sebuah kata keji yang tidak berarti “penghibur” ( comforter ) atau penengah ( mediator ) atau tidak ada arti sama sekali! Sudah pasti semua ini merupakan tuduhan sangat serius dan berat terhadap agama Kristen.
Mari kita kembali ke pokok permasalahan. Pshittha telah menerjemahkan kata Yunani “Eudokia” (bangsa Yunani membaca kata itu, “Ivdokia” atau malah mengucapkan “Ivthokia”) sebagai “Sobhra Tabha” (diucapkan “Sovra Tavra”), yang berarti “harapan yang baik” atau “penantian yang baik”, sementara versi latin Vulgate dilain pihak menerjemahkan “Eudokia” sebagai “Bona Voluntas” atau “kehendak baik”
Saya tidak takut menantang semua sarjana bahasa Yunani, jika mereka berani untuk menentang saya ketika saya menyatakan bahwa penerjemah Injil versi Syriac dan Latin telah membuat kesalahan yang serius dalam menerjemahkan “Eudokia”. Namun demikian, saya harus mengakui bahwa tidak bisa sama sekali menyalahkan para penerjemah itu sebagai telah sengaja menyelewengkan arti kata Yunani ini. Karena saya mengakui bahwa kedua versi tersebut memiliki dasar rapuh untuk membenarkan terjemahan mereka masing-masing. Sehingga kedua versi tersebut telah kehilangan makna dan arti sesungguhnya dari kosa kata Semit ketika diubah menjadi kata Yunani “Eudokia”.
Padanan yang tepat dari “harapan yang baik” dalam bahasa Yunani bukan “Eudokia”, tetapi “eu elpis” atau malah “euelpistia”. Penjelasan yang rinci tentang “evelpistia” (pengucapan Yunaninya) ini cukup untuk membungkam Pshittha. Istilah yang tepat dan persis dengan bahasa Latin “bona voluntas”, atau “kehendak baik”, dalam bahasa Yunani pasti bukan “eudokia”, melainkan “euthelyma”. Dan penjelasan yang singkat namun meyakinkan ini lagi-lagi cukup menjadi teguran bagi para pendeta Vatikan, Phanar (Konstantinopel), dan Canterbury, yang menyanyikan “Gloria in Excelsis” ketika mereka merayakan misa atau sakramen lainnya.
Etimologi dan Pengertian “Eudokia”
Sekarang mari kita lanjutkan dengan memberikan arti yang sebenarnya dari “Eudokia”.
Awalan kata “eu” artinya “baik, benar, lebih, dan paling”. Contohnya “eudokimeo” artinya “dihargai, diakui, dicintai, dan memperoleh kemuliaan”; “eudokimos” artinya “sangat dihargai, paling termasyur, dan mulia”. Kata substantif Yunani “doxa” yang dipakai dalam kata benda gabungan “ortodox”, “doxology”, dan sebagainya, adalah berasal dari kata kerja “dokeo”.
Setiap peneliti literatur Inggris mengetahui bahwa “doxa” berarti “kemuliaan, kehormatan, terkenal”. Terdapat banyak ungkapan pada pengarang Yunani kuno dimana “doxa” digunakan dalam arti “kemuliaan”. “Peri doxis makheshai yang artinya adalah “berjuang memperoleh kemuliaan”.
Orator Athena terkenal yang bernama Demosthenes, “lebih menyukai kemuliaan daripada kebenaran yang tentram”, “kemuliaan sama dengan kemuliaan tuhan-tuhan”.
Saya mengetahu fakta bahwa “doxa”, meskipun jarang digunakan dalam arti (a) opini, kepercayaan; (b) dogma, prinsip, doktrin; dan (c) penantian atau harapan. Tetapi semuanya sama. Pengertian yang umum dan komprehensif adalah “kemuliaan”. Sebenarnya, bagian pertama dari Canticle dimulai dengan “Doxa [mulialah] Allah Yang Maha Tinggi”.
Dalam Dictionnaire Grec-Francais (diterbitkan pada 1846 di Paris oleh R.C. Alexandre) kata “eudokia” diartikan “ bienveillence, tendresse, volunte, bon plaisir , dan sebagainya”. Dan penulisnya menyebutkan “dokeo” sebagai akar kata “doxa” dengan berbagai macam pengertiannya yang saya sebut diatas.
Orang-orang Yunani Konstantinopel, beberapa diantara gurunya sudah saya kenal, meskipun dengan suara bulat memahami “eudokia” dengan makna “kesenangan, kemolekan, kesukaan, dan keinginan”, juga mengakui bahwa kata itu benar-benar menunjukkan orang yang “terkenal, termasyur, dan terhormat” dalam pengertian yang asli.
Etimologi Bentuk Bahasa Ibrani dari MaHMaD dan HiMDaH serta pengertiannya
Saya yakin bahwa jalan satu-satunya untuk memahami makna dan spirit dari alkitab adalah mengkajinya dari sudut pandang Islam. Hanya setelah itu, baru sifat nyata dari wahyu Tuhan dapat dipahami. Juga hanya setelah itu lah baru elemen-elemen palsu, dusta, dan yang ditambahkan kedalamnya dapat ditemukan dalam segi-seginya yang paling gelap dan dihilangkan. Dan dari sudut pandang inilah saya menyambut kata Yunani “eudokia” yang dalam pengertiannya yang benar bersesuaian dengan arti kata Ibrani “Mahmad, Mahamod, Himdah, dan Hemed” yang seringkali digunakan dalam Perjanjian Lama.
Hamad. Kata kerja ini yang terdiri dari 3 konsonan pokok hmd , dan lazim digunakan disemua dialek Semit, ada dimana-mana dalam Tulisan Suci kaum Yahudi, berarti “mendambakan, jatuh cinta, rindu, gembira, senang” dan “menginginkan dengan nafsu”. Mereka yang mampu berbahasa Arab pasti akan memahami pengertian yang komprehensif dari kata “syahwat” yang diartikan dalam bahasa Inggris sebagai “lust, cupidity, ardent desire, dan appetile”. Nah inilah arti tepat dari kata kerja “hamad” dalam kitab-kitab suci Ibrani. Salah satu dari sepuluh perintah Tuhan di Taurat juga memuat kalimat ini ” lō’-tahəmōd ’ēšet rē‘ek_ā “ (“Janganlah engkau mengingini istri tetanggamu”).
Hemed. Kata benda substanstif dalam jenis kelamin laki-laki dan “Himdah” dalam jenis perempuan, berarti “syahwat, hasrat, kesenangan, kegembiraan, objek, kerinduan, keinginan, dan kemolekan”. Contohnya Hagai 2:7 “wəhirə‘ašətî ’et-kāl-hagōwyim ûb ā’û hemədat……”. Contoh lain adalah di Yeremia 25:34 “….ûnəfalətem kik_əlî hemədâ.” Dan lain-lain.
MaHMaD, MaHaMoD. Bentuk partisipel ini juga berasal dari kata kerja “hamad” dan berarti “paling dirindukan, menyenangkan, sedap, lezat, menarik, berharga, dan dicintai”. Contoh penggunaan kata ini dalam alkitab adalah terdapat di Ratapan 1:7,10;2:4. Bahwa bentuk MuHaMMaD dan bentuk Ibrani MaHMaD dan MaHaMoD berasal dari satu kata kerja atau akar kata yang sama dan bahwa mereka, sekalipun ada perbedaan ortografis tipis diantara bentuk-bentuk itu, memiliki asal dan arti yang sama, tidak mungkin ada sedikit pun keraguan. Saya telah mengartikan bentuk-bentuk Ibrani nya sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Yahudi dan para Leksikografer.
Oleh karena itu, nampak bahwa kata Yunani “eudokia” pastilah merupakan representasi harfiah dari bentuk substantif Ibrani HiMDaH, dan bahwa keduanya berarti: “kegembiraan, kenikmatan, kesenangan yang baik (bon plaisir), hasrat, kemolekan, dan kemuliaan” dan beberapa kata sinonim lainnya. Selanjutnya adalah bahwa padanan yang bersesuaian dengan kata Ibrani “MaHaMoD” tidak lain selain “eudoxos” yang merupakan objek keinginan dan kerinduan, yang paling menyenangkan, menggembirakan, dan dirindukan, dan paling dihargai, diakui, dan mulia.
Bahwa diantara semua anak Adam, nama Muhammad diberikan pertama kali hanya pada anak Abdullah dan Aminah di kota Mekkah, adalah suatu keajaiban yang unik dalam sejarah agama. Tidak mungkin ada muslihat, upaya, atau kebohongan didalamnya. Orang tua dan kerabatnya adalah kaum musyrikin kota Mekkah yang tidak tahu apa-apa tentang ramalan dalam kitab-kitab suci Yahudi ataupun Kristen mengenai seorang nabi besar yang dijanjikan akan datang untuk memperbaiki dan menegakkan agama Islam. Pilihan mereka terhadap nama Muhammad atau Ahmad tidak dapat dijelaskan sebagai peristiwa yang terjadi secara kebetulan atau aksidental. Ia benar-benar takdir Tuhan dan diwahyukan.
Apakah para penyair dan sastrawan Arab telah mempertahankan arti yang tidak dipakai lagi dari kata kerja passive participle bahasa Ibrani hamad bentuk fi'il, atau tidak, saya tidak bermaksud untuk membuktikan dengan cara apa pun. Namun, bentuk passive participle Arab dari konjungsi ( fi'il ) dari kata kerja Hammida adalah Muhammad, dan dari kata Ibrani himmid adalah Mahmad atau Mahamod. Afinitas antara persamaan dan identitas dari kedua bentuk itu tidak dapat disangkal lagi.
Saya tetap memakai arti dari bentuk Ibrani sebagaimana diberikan oleh para leksikografer dan penerjemah. Namun makna intrinsik atau spiritual dari “himdah” dan “Mahamod” adalah “pujian dan patut dipuji, keterkenalan, dan terkenal, kemuliaan, dan mulia”. Karena diantara wujud-wujud dan benda-benda yang diciptakan, apa yang dapat “lebih mulia, terhormat, termasyur, dan terpuji dari yang paling dirindukan dan diinginkan” dalam arti praktis inilah AL-Qur'an menggunakan kata “hamdu” dimana kata Ahmad dan Muhammad berasal, dan “hamdu” adalah kata yang sama dengan “hemed” dalam bahasa Ibrani.
Kemuliaan Muhammad melampui makhluk lain manapun, sebagaimana digambarkan oleh Daniel (7) dan dalam firman Allah: “law la ka lama khalaqnal aflaka” (seandainya bukan karena engkau, seandainya bukan karena engkau (Muhammad), Kami tidak akan menciptakan dunia ini”. Namun kehormatan dan kemuliaan tertinggi yang diberikan oleh Allah kepada rasulnya yang paling mulia adalah bahwa ia ditugaskan untuk menegakkan dan menyempurnakan agama Allah yang sejati, dibawah nama “Islam”, yang seperti nama pendirinya Muhammad, memiliki arti-arti yang begitu sangat menghibur dan menyegarkan: “kedamaian, keamanan, ketentraman, kebaikan, dan keselamatan”, disamping berarti juga sebagai “ketundukan dan kepatuhan pada Allah semata”.
Penglihatan yang diterima oleh para Gembala yang shaleh mengenai kelahiran Yesus adalah tepat pada waktunya dan pas. Karena seorang nabi yang agung, seorang penyebar Islam telah lahir pada malam itu. Sebagaimana Yesus adalah Bentara Kerajaan Allah, begitu pula kitab Injilnya adalah pengantar untuk Al-Qur'an. Kelahiran Yesus merupakan permulaan dari suatu era baru dalam sejarah agama dan moral. Dia sendiri bukanlah sang “Mahamod” yang akan datang untuk menghancurkan kejahatan dan kemusyrikan dinegeri-negeri yang dijanjikan.
Sumber:
"Menguak Misteri Muhammad SAW", Benjamin Keldani, Sahara Publisher, Edisi Khusus Cetakan kesebelas Mei 2006
0 komentar: