Recent Posts

Senin, 29 Agustus 2011

0 komentar

SALAH KAPRAH TERHADAP UCAPAN SALAF




Oleh :

Abu Salma al-Atsari


Seringkali kita mendengar atau membaca ucapan-ucapan hikmah ulama salaf, terutama yang berkaitan dengan pensikapan terhadap ahli bid’ah. Misalnya :

Al-Imam Al-Fudhail bin Iyyadh berkata :

Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi Al- Hikmah. Dan saya ingin jika antara saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang kokoh. Dan saya makan di samping yahudi dan nashrani lebih saya sukai daripada makan di sebelah ahli bid’ah.” (Al Lâlikâ`i 4/638 nomor 1149)

Al-Imam Hanbal bin Ishaq berkata, saya mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata :

Tidak pantas seseorang itu bersikap ramah kepada ahli bid’ah, duduk dan bergaul dengan mereka.” (Al-Ibânah 2/475 nomor 495)

Al-Imam Al Barbahary berkata :

Apabila tampak bagimu satu perkara bid’ah pada seseorang maka jauhilah dia sebab sesungguhnya yang dia sembunyikan darimu jauh lebih banyak dari yang dia tampakkan.” (Syarhus Sunnah 123 nomor 148)

Dan masih banyak lainnya…

Sungguh ucapan para imam di atas adalah ucapan hikmah dan haq, sebagai upaya untuk menjaga kemurnian agama umat. Namun, suatu hal penting yang patut dicatat di sini adalah : ucapan para imam tersebut akan menjadi hikmah apabila ditempatkan pada proporsi dan tempatnya, sebab diantara makna hikmah adalah : wadh’u asy-Syai` fil mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Sesuatu yang tidak ditempatkan pada tempatnya adalah sia-sia, bahkan dapat memadharatkan.

Ironinya, betapa sering kita lihat sebagian pemuda dan sahabat kita, yang dibakar oleh semangat tanpa ilmu, menerapkan ucapan para ulama salaf dengan serampangan dan asal-asalan. Ketika bertemu dengan saudaranya seislam ia tidak mau salam maupun menjawab salam, tidak mau senyum, bersikap kaku lagi keras, dan sifat-sifat buruk lainnya. Anehnya, ketika ditanyakan sebab mereka melakukan ini, mereka menjawab bahwa mereka sedang menerapkan ucapan ulama salaf untuk menjauhi ahli bid’ah dan bersikap keras terhadap mereka.

Parahnya lagi, terhadap sesama ahlus sunnah, mereka halalkan ghîbah (menggunjing) dengan alasan tahdzîr (memperingatkan dari kesesatan), mereka halalkan muqôtho’ah (pemboikotan) dengan alasan hajr (isolir), mereka halalkan sikap keras dan bengis dengan alasan tabdî’ (menvonis bid’ah) terhadap hizbî mubtadi’!? Mereka sibukkan diri dengan tatabbu’ al-Aktho’ (mencari-cari kesalahan) dengan alasan jarh wa ta’dîl!? Ketika ditanya, maka jawaban yang meluncur adalah : “Bertetangga dengan yahudi dan nashrani lebih aku sukai daripada bertetangga dengan pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena ini menyebabkan hatiku berpenyakit.” (Ucapan Imam Abu Musa dalam Al-Ibânah 2/468 nomor 469) dan ucapan semisal...

Akhirnya syiar mereka terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka adalah :


لاَ نَسَبَ اليَوْمَ وَلاَ خُلَّةً         اتُّسَعَ الخَرْقُ عَلَى الرَّاقِعِ


Tidak ada nasab pada hari ini dan tidak pula hubungan persahabatan

Perpecahan benar-benar telah melebar atas keretakan yang ada

Al-Ustadz Abu Sumayyah, ‘Abdur Ra’ŭf Muhammad hafizhahullahu mengabarkan : Setelah menyelesaikan ibadah ‘Umrah dengan keluargaku pada hari Kamis malam, 5 Juli 2007, saya menghadiri durus (pelajaran) Fadhîlatusy Syaikh Shâlih bin Muhammad al-Luhaidân hafizhahullahu (ketua Mahkamah Tinggi Agama Arab Saudi) di al-Haram al-Makki pada hari Jum’at  Juli 2007 ba’da sholat Maghrib. Syaikh ketika itu menyampaikan ceramah yang bermanfaat tentang rukun Islam, kemudian diikuti sesi tanya jawab. Syaikh ditanya dalam salah satu sesi :

“Apa pandangan anda terhadap beberapa pemuda yang menggunakan ucapan para salaf berkenaan tentang hajr dan tahdzîr terhadap ahli bid’ah, dalam rangka untuk menjustifikasi (membenarkan) hajr dan tahdzîr mereka terhadap ahli sunnah, yang memiliki beberapa perbedaan dalam beberapa masalah dengan mereka (yang tidak melibatkan perbuatan bid’ah) atau di dalam suatu perkara yang ada ikhtilâf pendapat di dalamnya?”

Syaikh menjawab :

“Pemahaman ini tidak benar dan seorang thôlibul ‘ilmi tidak boleh mengikuti cara seperti ini di dalam berhubungan dengan orang-orang yang berbeda dengannya. Perbuatan ini disebabkan oleh karena kesesatan dan kejâhilan para pemuda ini. Allôhu a’lam” [http://madeenah.com]

Sungguh benar apa yang dinyatakan oleh Fadhîlatusy Syaikh Shâlih bin Muhammad al-Luhaidân hafizhahullâhu, bahwa tindakan seperti itu bukanlah tindakan para thôlibul ‘ilmi, namun tidak lebih tindakan dari para pemuda yang jâhil namun bersikap muta’âlim (sok berilmu) !!! Dan sikap seperti ini sungguhlah jauh dari sifat dan hakikat salaf. [Masalah hakikat dan sifat salaf, akan saya turunkan tersendiri dari buku al-‘Allâmah asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hâdi al-Madkholî yang berjudul “Quthŭf min Nu’ŭtis Salaf”, semoga Allôh memudahkannya].

0 komentar:

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Copyright © Design by Dadang Herdiana