Benarkah Rasulullah Enggan Membasmi Nabi Palsu ?
Oleh : Ahmad Rofiqi
Artikel ini pernah dimuat di Republika pada hari Jum'at, 29 Februari 2008 dengan judul "Rasulullah SAW dan Nabi Palsu". Bersama ini kami tampilkan versi lengkapnya (uncut version).
assalaamu'alaikum wr. wb.
Tulisan ini mencoba mendudukkan persoalan nabi palsu dimasa Rasulullah saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Ada anggapan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah berniat apalagi memerintahkan untuk memerangi nabi palsu. Adapun sikap Abu Bakar ra. saat memerangi Musailamah ditafsirkan sebagai usaha stabilisasi negara yang tengah menghadapi guncangan pemberontakan (disintegrasi) atau separatisme. Jadi sejak masa Nabi saw. tidak ada sama sekali motif-motif keyakinan (aqidah) dalam perang melawan nabi palsu. Gerakan Itu dinilai murni pemberontakan separatis. Pandangan ini tentu menjadi masalah.
Ide diatas tergambar diantaranya melalui karya Dr. Muhammad Husein Haekal — sastrawan, politikus dan cendekiawan Mesir terkemuka — berjudul "Hayatu Muhammad" (Sejarah Hidup Muhammad Saw) dan "Abu Bakar As-Shiddiq". Haekal dituduh banyak orang terpengaruh orientalis dalam menulis dan mengulas kehidupan nabi. Diantara pengaruh yang dituduhkan adalah pada cara Haekal menganalisa mukjizat Nabi saw. yang dia tafsirkan bukan sebagai peristiwa luar biasa melainkan proses-proses manusiawi belaka.
Ulasan dalam tulisan ini hanya ditujukan pada sikap Haekal terhadap nabi palsu. Menurut Haekal, nabi palsu yang muncul pada masa Rasulullah saw. tidaklah terlalu mempengaruhi beliau untuk melakukan tindakan-tindakan militer. Dia mengatakan, "Itulah sebabnya, tatkala ada tiga orang yang mendakwakan diri sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan." (Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan dari bahasa Arab oleh Ali Audah. Jakarta, Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1990, hal. 559) Menurutnya, al-Aswad al-Ansi yang muncul di Yaman dengan dakwa kenabian tidak terlalu beliau tanggapi, "Tapi bahaya ini (dakwa kenabian Al Ansi--pen) tidak banyak mempengaruhi pikiran Muhammad." (Sejarah Hidup Muhammad, hal. 560)
Terhadap dua utusan Musailamah (seorang pendakwa nabi dari Yamamah) yang datang di hadapan Nabi saw., juga dia tafsirkan dengan kesan yang sama, ""Setelah surat itu dibaca kedua orang utusan Musailima itu oleh Nabi DITATAPNYA, dan HENDAK MEMBERIKAN KESAN kepada mereka, bahwa Nabi akan menyuruh supaya mereka dibunuh, kalau tidak karena memang adanya ketentuan bahwa para utusan harus dijamin keselamatannya. Kemudian Nabi membalas surat Musailamah dengan mengatakan ia sudah mendengarkan isi suratnya dengan segala kebohongannya itu..." (Sejarah Hidup Muhammad, hal. 559-560). Jadi menurut Haekal tidak ada kandungan perintah untuk memerangi nabi palsu.
Adapun kasus-kasus ekspedisi militer pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq, menurut Haekal lebih disebabkan oleh kekhawatiran akan rusaknya tatanan kehidupan umat Islam yang baru terbentuk. Dia mengatakan:
"Tindakan pencegahan yang diambil oleh Abu Bakr r.a. dan Jemaat Islam terhadap Musailima dan pengikutnya sepeninggal Nabi s.a.w. BUKAN karena pendakwaan kenabiannya. Tindakan militer yang diambil itu karena Musailima dan para pengikutnya bersekutu dengan Banu Hanifah yang bertujuan untuk menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan persatuan Islami Jemaat Muslim yang baru lahir tumbuh berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad s.a.w.''
(Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr As-Siddiq, Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terjemahan dari bahasa Arab oleh Ali Audah, Jakarta, Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1995 hlm. 70.)
Sekali lagi, melalui dua buku ini Haekal ingin mengatakan bahwa Rasulullah saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq tidak pernah berniat memerangi nabi palsu. Aksi-aksi yang dilancarkan Abu Bakar pada masa kekhilafahannya, dikarenakan para nabi palsu itu telah berubah menjadi ancaman disintegrasi terhadap tatanan kehidupan umat Islam.
Untuk menguji kebenaran analisa Dr Haekal ini, ada baiknya kita langsung merujuk kepada sumber-sumber asli yang — seharusnya — juga digunakan beliau dalam kedua bukunya tersebut.
Kisah Dua Utusan Musailamah
Dalam kitabnya Al Sunan (Kitab Al Jihad, Bab Ar Rusul hadits no, 2380) Abu Daud meriwayatkan demikian :
Dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah Saw berkata pada dua utusan Musailamah, "Apa yang kalian katakan (tentang Musailamah)? Mereka menjawab, "Kami menerima pengakuannya (sebagai nabi)". Rasulullah Saw mengatakan pada mereka, "Kalau bukan karena utusan-utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku akan memenggal leher kalian berdua".
Arti "memenggal leher kalian berdua" adalah terjemahan dari lafadz Arabnya, "la-dharabtu a'naaqa-kuma". Lafadz ini diceritakan juga oleh Ahmad (hadits no. 15420), Al Hakim (2: 155 no. 2632). Ahmad (hadits no. 15420) melaporkan melalui Abdullah bin Mas'ud dengan lafadz "la-qataltu-kumaa", "aku pasti membunuh kalian berdua". Versi hadits ini diceritakan kembali oleh kitab-kitab sejarah seperti Al Thabari (Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid) dan Ibnu Katsir (Al Bidayah wa Al Nihayah, Dar Ihya' Al Turats Al Arabi , tt, Juz 6, hal: 5).
Riwayat-riwayat ini menampilkan ketegasan Rasulullah saw. terhadap orang yang mengakui kenabian Musailamah bahwa beliau akan membunuh atau memenggal leher mereka. Dua utusan ini tidak jadi dihukum karena posisi mereka sebagai utusan yang dijamin keamannya.
Yang jelas, semua versi riwayat dari sumber-sumber primer ini (baik kitab hadits atau kitab sejarah) tidak ditemukan ungkapan yang dapat diartikan "kedua utusan itu oleh nabi ditatapnya" atau "hendak memberikan kesan" dan lain-lain yang mengaburkan ketegasan Rasulullah saw. untuk menghukum-bunuh mereka. Dengan demikian kata-kata dalam buku Sejarah Hidup Muhammad itu tidak lain adalah interpretasi penulisnya atas riwayat yang ada dan bukan kandungan dari riwayat itu sendiri. Cara-cara seperti ini tentu tidak dapat dibenarkan mengingat akan menimbulkan penyesatan opini saat membaca sejarah Nabi saw.
Kekeliruan interpretasi Haekal juga dibantah oleh riwayat lain yang menceritakan penafsiran Ibn Mas'ud — saksi mata yang menyaksikan pertemuan Nabi dan utusan Musailamah — terhadap sikap Rasulullah saw. mengenai dua utusan Musailamah tadi. Setelah mengetahui satu dari utusan itu tetap beriman pada Musailamah, Ibn Mas'ud akhirnya memerintahkan kepalanya dipenggal. Utusan yang dipenggal ini bernama Ibn Nuwahah.
Abu Daud (hadits no. 2381), Al Nasa'i (Al Sunan Al Kubra, 2: 205) dan Al Darimi (Kitab Al Siyar, hadits no. 2391) menceritakan kesaksian Haritsah bin Al Mudharib dan Ibn Mu'ayyiz yang mendapati sekelompok orang dipimpin Ibn Nuwahah di sebuah masjid perkampungan Bani Hanifah, ternyata masih beriman pada Musailamah. Setelah kejadian ini dilaporkan pada Ibn Mas'ud, beliau berkata pada Ibn Nuwahah (tokoh kelompok tersebut), "Aku mendengar Rasulullah saw. dulu bersabda "Kalau engkau bukan utusan, pasti aku akan penggal kamu", nah, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan". Maka Ibn Mas'ud menyuruh Quradhah bin Kaab untuk memenggal leher Ibn Nuwahah. Ibn Mas'ud berkata, "Siapa yang ingin melihat Ibn Nuwahah mati, maka lihatlah ia di pasar". Masjid mereka itupun akhirnya turut dirobohkan(ringkasan dari versi aslinya yang agak panjang).
Riwayat ini, tak dapat disangkal lagi menjelaskan cara yang benar dalam menafsirkan hadits Rasulullah saw., bahwa para pengiman nabi palsu — sebagaimana telah disepakati para ulama — seharusnya dihukum mati. Penafsiran ini bukan hanya dijelaskan oleh Ibn Mas'ud yang menjadi saksi pertemuan Nabi saw. dengan utusan Musailamah, bahkan beliau mempraktikkan atau mencontohkan tuntunan Rasulullah saw. sendiri dengan menyuruh orang memenggal leher Ibn Nuwahah dan menghancurkan masjid mereka.
Setelah jelas kedudukan sikap Rasulullah saw. terhadap dua utusan Musailamah ini, maka terbantah pula anggapan Haekal selanjutnya bahwa aksi-aksi militer yang dilakukan terhadap nabi palsu seperti al-Aswad al-Ansi sesungguhnya didorong oleh faktor agresi atau pemberontakan. Anggapan ini tidak benar setelah memperhatikan bagaiman dua utusan Musailamah juga akan dihukum mati (dipancung) setelah diketahui mereka beriman pada Musailamah. Jika ancaman agresi atau pemberontakan militer dijadikan ukuran untuk ditumpasnya nabi palsu, Rasulullah saw. tidak perlu mengancam utusan Musailamah tersebut. Mereka berdua, datang ke Madinah tentu tidak memiliki potensi apapun untuk dianggap sebagai ancaman. Tapi meski begitu, mereka tidak lepas dari vonis hukuman mati, seandainya mereka bukan dalam posisi utusan.
Rasulullah Enggan Memerangi Nabi Palsu?
Dengan penjelasan terdahulu, keyakinan Haekal bahwa Rasulullah Saw tidak mau memerangi nabi palsu, seharusnya sudah bisa ditolak. Bahkan jika kita merujuk kembali pada sumber-sumber primer, pendapat tersebut bertambah jelas kekeliruannya.
Sejarawan Ibn Ishaq menceritakan, pendakwaan Musailamah di Yamamah dan al-Aswad di Yaman terjadi di akhir tahun 10 H (Ibn Katsir, Sirah An-Nabawiyah, Juz 4, hal 98). Tidak didapati adanya perbedaan diantara ahli sejarah mengenai ini. Adapun kapan tepatnya peristiwa ini terjadi, dapat disimpulkan dari keterangan Ibn Abbas berikut:
"Rasulullah Saw telah mengirimkan pasukan Usamah bin Zaid menuju Syam dan beliau dalam keadaan sakit sehingga tidak sanggup untuk menyuruh Musailamah dan al-Aswad bertaubat atau mengirimkan pasukan untuk memerangi mereka"
(Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid)
Di tempat yang sama, keterangan Ibn Abbas ini diperkuat oleh sejarawan muslim paling terkemuka, Ibn Jarir Al Thabari:
"Sungguh telah dikatakan, bahwa kemunculan Musailamah dan orang-orang yang mengaku nabi lainnya terjadi sepulangnya Rasulullah Saw dari Haji Wada', saat beliau mengalami sakit keras dimana beliau meninggal dunia"
Jelaslah, Nabi saw. tidak mungkin memerangi Musailamah maupun al-Aswad dengan pasukan dari Madinah. Pertama, karena pasukan besar telah diberangkatkan menuju Syam yang rencananya akan menyerang daerah kekuasaan Romawi. Kedua, Rasulullah saw. sendiri sudah menderita sakit keras dimana pada sakit inilah akhirnya beliau meninggal dunia.
Mungkin ada yang mempertanyakan alasan Rasulullah saw. tidak mengirim sisa pasukan di Madinah. Ini dapat dijelaskan melalui ukuran besarnya pasukan Usamah. Menurut sejarawan al-Waqidi,
"Tak tersisa satupun dari kaum muhajirin melainkan mereka bergabung dalam pasukan (Usamah) itu. Diantara mereka ada Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah".
(Adz-Dzahabi, Tarikh Al Islam, Kitab Sanah Ihdaa Asyr, Bab Khilafah Abi Bakar).
Selain nama-nama ini, al-Waqidi juga menambah nama-nama lain yaitu: Sa'ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Qatadah bin Nu'man dan Salamah bin Aslam (Al Maghazi, Jilid 3 Bab Ghazwatu Usamah). Bergabungnya para tokoh utama sahabat nabi — Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Sa'id bin Zaid — dalam barisan pasukan Usamah bin Zaid menunjukkan begitu pentingnya ekspedisi militer ini hingga kapasitasnya begitu besar dan para shahabat tua-tua yang senior pun harus juga turun tangan. Komposisi pasukan Usamah ini sangatlah wajar mengingat musuh yang mungkin mereka temui adalah tentara Romawi, pasukan tercanggih di dunia yang dulu pernah mereka hadapi dalam perang Mu'tah.
Kesalahan Haekal makin diperjelas pula saat merujuk pendapat Ibn Khaldun — tokoh sejarawan muslim, peletak dasar-dasar sosiologi modern, penulis kitab ''Muqaddimah'' yang kelewat kesohor, Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, wafat tahun 808 H / 1405 M — dalam masterpiece-nya Tarikh Ibn Khaldun, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan perang terbuka melawan para nabi palsu:
"Sepulangnya Nabi Saw dari Haji Wada', beliau kemudian jatuh sakit. Tersebarlah berita sakit tersebut sehingga muncullah Al Aswad Al Anasi di Yaman, Musailamah di Yamamah dan Thulaihah bin Khuwailid dari Bani Asad; mereka semua mengaku nabi. Rasulullah Saw segera memerintahkan untuk memerangi mereka melalui edaran surat dan utusan-utusan kepada para gubernurnya di daerah-daerah dengan bantuan orang-orang yang masih setia dalam keislamannya. Rasulullah Saw menyuruh mereka semua bersungguh-sungguh dalam jihad memerangi para nabi palsu itu sehingga Al Aswad dapat ditangkap sebelum beliau wafat. Adapun sakit keras yang dialami tidak menyurutkan Rasulullah Saw untuk menyampaikan perintah Allah dalam menjaga agamaNya. Beliau lalu menyerukan orang-orang Islam di penjuru Arab yang dekat dengan wilayah para pendusta itu, menyuruh mereka untuk melakukan jihad (melawan kelompok murtad—pen)".
(Abdurrahman Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Libanon, cet. 1, th. 1992, Jilid 1 hal 474-475).
Nabi-nabi palsu itu tidak lain adalah para oportunis yang mengira sakitnya Rasulullah saw. adalah kesempatan emas untuk menampilkan diri mereka. Ternyata meski Rasulullah saw. sakit dan pasukan tidak cukup tersedia beliau tidak menyerah dalam menyerukan perang terbuka melawan para nabi palsu. Hal ini jauh berbeda dari kesimpulan Dr. Husein Haekal. Keengganan memerangi nabi palsu, disamping tidak ada asasnya dalam sumber-sumber sejarah, malah sebaliknya bertentangan dengan riwayat-riwayat yang ada.
Pasukan Khalifah Abu Bakar ra.
Pada masa Abu Bakar ra., kekisruhan dalam negeri sumbernya ada dua. Yang pertama adalah orang-orang yang menolak membayar zakat, dan kedua adalah para nabi palsu. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, Imam Ibn Katsir menulis judul "Fasal Peperangan Abu Bakar melawan Orang-orang Murtad dan Penolak Zakat" (cet. 1 terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Libanon: 2001, jilid 6 hal 307). Abu Bakar sampai membentuk sebelas ekspedisi militer untuk menumpas gerakan-gerakan tersebut (Ad-Daulah Al-Umawiyah, Muhammad Al Khudhari, Mansyurat Kulliyah Dakwah Islamiyah, Tripoli, Libya: tt. hal 177-178).
Untuk melihat motif aksi militer yang dilancarkan oleh Abu Bakar ini, kita dengarkan ucapan Abu Bakar sendiri kepada Umar ra. yang mencoba membujuknya untuk tidak memerangi para penolak zakat. Kata Abu Bakar :
"Demi Allah, jika mereka berani menolak menyerahkan seutas tali yang dulunya mereka berikan pada Rasulullah saw., aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan ini"
(Dikeluarkan oleh Ahmad 1: 11, 19, 35, 2: 35, 4: 8, Al Bukhari hadits no 1561, Muslim Kitab Al Iman hadits no 82, 83 Juz 1 hal 52.)
Kalau perkara seutas tali saja membuat Abu Bakar menggerakkan pasukan militer besar, bagaimana halnya dengan nabi palsu dan pengikutnya? Jawabannya ada pada riwayat berikut:
Dari Umar ra. ia berkata : Setelah Rasulullah saw. wafat orang-orang Arab banyak yang murtad. Mereka ada yang berkata, "Kami mau sholat tapi tidak mau berzakat". Maka aku mendatangi Abu Bakar dan kukatakan, "Wahai Khalifah! Lakukanlah tindakan lembut pada orang-orang itu dan jinakkan hati mereka karena mereka kini seperti binatang liar!" Abu Bakar menjawab, "Aku mengharapkan pertolonganmu tapi engkau malah datang dengan kehinaan. Engkau perkasa saat jahiliyah tapi pengecut saat Islam. Dengan cara apa aku menjinakkan hati mereka? Dengan syair yang dibuat-buat atau dengan sihir palsu? Tidak mungkin! Rasulullah Saw telah wafat dan wahyu sudah tidak turun lagi! Demi Allah aku akan memerangi mereka selama masih memegang pedang ditanganku meski mereka tidak mau menyerahkan seutas tali!"
(Tarikh Al Khulafa', As-Suyuthi, Fasal fii maa Waqa'a fii Khilafati Abi Bakar Al Shiddiq ra).
Jika dua riwayat ini digabungkan, pada intinya Abu Bakar melakukan tindakan militer karena orang tidak mau membayar zakat dan karena ada yang mengaku menjadi nabi. Sikapnya terhadap nabi palsu ini tercermin dari pernyataannya, "dan wahyu sudah tidak turun lagi". Oleh karena itu, kedua aliran pengacau ini telah dinilai mengingkari Islam. Kesimpulan ini diperjelas oleh pesan Abu Bakar pada Khalid bin al-Walid sebagai panglima yang nantinya sukses membasmi para nabi palsu:
Dari Handzalah bin Ali al-Laitsi ia berkata, "Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Al Walid untuk memerangi orang-orang dengan sebab lima rukun Islam. Siapa saja yang menolak salah satunya hendaknya ia diperangi".
(Adz-Dzahabi , Tarikh Al Islam, Kitab Sanah Ihda 'Asyr Bab Khabar Al Riddah).
Inilah sebab atau motif yang paling tegas dan jelas dari aksi militer di masa Abu Bakar. Keterangan Dr. Haekal dalam bukunya "Abu Bakar ash-Shiddiq" bahwa aksi militer tersebut karena kekhawatiran berkembangnya gerakan disintegrasi, sangat tidak berdasar. Riwayat-riwayat primer tidak ada yang menyebut seperti itu. Malah apa yang kita saksikan disini bertentangan dengan pandangan Haekal sendiri.
Dalam surat yang dibawa oleh para panglima perang itu, Abu Bakar memberikan pesan untuk kaum pemberontak yang akan ditemui pasukan Islam:
"Telah sampai kabar padaku mengenai keluarnya kalian dari agama setelah tadinya mengakui Islam dan mengamalkannya. Dan (karena itu) aku telah mengirimkan untuk kalian panglima perang dengan pasukan yang terdiri dari Muhajirin, Anshar serta orang-orang tabi'in. Aku telah memerintahkan pemimpin pasukan ini supaya tidak memerangi atau membunuh siapapun sebelum ia mengajak kepada ajakan penyeru Allah. Maka, siapa yang memenuhi seruannya, mengakui (Islam), menyerah dan beramal shaleh, dia akan diterima dan akan diberi perlindungan. Adapun bagi yang menolak, aku perintahkan supaya ia diperangi karena penolakannya itu dan dia boleh dibakar dengan api, ditumpas sehabis-habisnya sehingga tidak boleh diterima alasan apapun melainkan alasan Islam".
(Tarikh Ath-Thabari 3: 226, Al-Khulafa' Ar-Rasyidun, Abdul Wahab Najjar, Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyah, Beirut, Libanon: tt. hal 45-46, Ad-Daulah Al-Umawiyah, Muhammad Al-Khudhari, hal: 177-178)
Jelas sekali, motifnya bukan ancaman keamanan, disintegrasi, agresi, pemberontakan dan lain-lain. Motif peperangan yang dilancarkan Abu Bakar adalah "keluarnya kalian dari agama setelah tadinya mengakui Islam dan mengamalkannya". Atau, dalam istilah lain : Murtad.
Sikap Para Shahabat Lainnya
Pemberontakan, pembelotan atau separatisme terhadap negara, dalam Islam diistilahkan dengan baghyu. Pelakunya disebut baghi, jamaknya bughaat. Istilah ini ada dalam Al Qur'an, hadits maupun kitab-kitab referensi umat Islam. Allah berfirman,
"Dan kalau salah satu dari mereka memberontak (baghat) pada yang lainnya, maka perangilah yang memberontak (tabghii) itu sampai mereka kembali pada hukum Allah"
(Q.S. Al-Hujuraat [49] : 9).
Rasulullah Saw bersabda, "Ammar bin Yasir akan dibunuh oleh kelompok pemberontak (fi'ah baghiyah)"
(Muslim Kitab Al Fitan hadits 5194).
Fasal atau bab mengandung judul "ahlul baghyi" dapat ditemukan dalam Subulus Salam 3:266, Nailul Authar 7: 216 dan lain-lain.
Jadi para ulama sudah punya istilah sendiri untuk kaum pemberontak atau agresor yaitu ahlul baghyi. Jika aksi militer Abu Bakar bermotif pembasmian separatisme, maka istilah ini seharusnya ramai disematkan oleh khazanah Islam terhadap orang-orang itu. Nyatanya semua riwayat sepakat menyebut aksi para pemberontak itu sebagai "riddah". Dan kitab-kitab hadits atau sejarah menamai mereka "ahl ar-riddah" (kaum murtad). Kitab-kitab yang dirujuk oleh tulisan ini juga menggunakan istilah "riddah" atau "ahl ar-riddah" untuk mereka. Tak ada yang mengategorikan mereka sebagai "ahl al-baghyi".
Mempertegas kesimpulan ini, terdapat fakta-fakta berikut:
1. Sebelas ekspedisi militer yang diresmikan Abu Bakar untuk memerangi kaum murtad itu menunjukkan banyaknya jumlah nabi palsu di masa tersebut. Padahal Rasulullah saw. hanya menyebut dua (atau tiga) nama nabi palsu saja. Mereka adalah Musailamah, Al-Aswad dan (mungkin) Thulaihah. Petunjuk Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut nabi palsu yang lain seperti Sajah, Malik bin Nuwairah, Al-Maghrur, Laqith bin Malik yang juga diperangi oleh tentara Abu Bakar. Ini menunjukkan bahwa fatwa kesesatan atau murtadnya seseorang tidak harus diberikan oleh Nabi saw. saja. Dengan indikasi yang ada, para shahabat telah memvonis orang-orang itu murtad setelah mendakwa diri sebagai nabi pasca-Rasulullah saw. Jadi para shahabat juga berhak memberikan vonis murtad atau kafir kepada orang yang jelas tanda kemurtadan atau kekafirannya.
2. Al-Waqidi menceritakan dalam Al Maghazi-nya (hal: 1121) bahwa Umar, Utsman, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah dan Sa'id bin Zaid mendatangi Abu Bakar untuk membujuknya agar menunda pasukan Usamah yang akan melakukan ekspansi ke Syam dan lebih mementingkan ancaman internal. Mereka berkata, "Wahai Khalifah! Bangsa Arab telah memberontak padamu, sedangkan engkau membiarkan gerakan hal ini menyebar dimana-dimana. Cobalah engkau jadikan pasukan Usamah sebagian menyerang orang-orang murtad di jantung pertahanan mereka." Riwayat ini menegaskan pandangan shahabat-shahabat senior seperti Umar dan Utsman yang menyebut aksi kaum pengacau itu sebagai riddah ; kemurtadan.
3. Besarnya partisipasi para shahabat dalam berjihad membasmi nabi-nabi palsu, menunjukkan kuatnya dukungan mereka atas sikap Abu Bakar yang tidak mau memberi belas kasihan pada para pemberontak yang dia nilai sebagai kaum murtad. Terkait dengan perang melawan kelompok murtad itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Setelah Rasulullah saw. wafat, kami hampir saja binasa kalau saja Allah tidak menganugerahi kami kepemimpinan Abu Bakar" (Tarikh Adz-Dzahabi, Juz 2, Kitab Sanah Ihda 'Asyr, bab Akhbar ar-Riddah). Setelah Umar gagal membujuk Abu Bakar untuk tidak memerangi para penolak zakat, dia berkata, "Demi Allah, aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan perang dan baru aku tahu, inilah keputusan yang benar". (Al Bukhari hadits no 1561).
Fakta-fakta diatas mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa para shahabat memiliki sikap yang satu terhadap kasus nabi palsu, yaitu:
1. Orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah Rasulullah saw. dan para pengikutnya adalah kelompok yang keluar dari agama atau murtad.
2. Para nabi palsu dan pengikutnya sekalian harus diminta taubat, jika mereka menolak maka mereka harus dihukum mati atau diperangi.
3. Anggapan disintegrasi yang katanya amat dikhawatirkan dari orang-orang murtad, tidak ditemukan pijakannya dalam referensi sejarah Islam.
Dengan demikian jelaslah, pokok persoalan dan pemecahan dari berbagai syubhat sekitar nabi palsu di masa Rasulullah saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Dengan merujuk pada sumber-sumber primer khazanah Islam sedemikian rupa makin tampaklah kekhilafan Dr. Haekal dalam kedua bukunya tersebut.
Oleh karena itu, tidak heran jika buku Haekal "Hayatu Muhammad" sejak awal sudah dikritik. Dua tahun setelah terbitnya buku ini, seorang cendekiawan Arab, Abdullah al-Qashimi (berasal dari Qashim, Nejd), menulis bantahan kitab tersebut berjudul "Naqd Hayatu Muhammad" (Kritik atas Kitab Sejarah Hidup Muhammad) yang diterbitkan pada tahun 1935. Buku tersebut — dicetak ulang baru-baru ini oleh penerbit Muassasah Al-Intisyar Al-Arabi — memuat kritikan yang lebih komprehensif atas karya Haekal itu.
Diantara kritik lain yang diarahkan pada Haekal adalah apa yang ditulis Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Beliau menyindir interpretasi Haekal yang menurutnya menyebabkan "berbagai pemahaman yang membingungkan orang" (Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah, Terjemah oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc: Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw., Jakarta: Robbani Press, th. 1999, hal 33). Kritik al-Buthi ini disebabkan sistem Islam dalam initerpretasi teks syar'i dasar pijakannya adalah kesahihan riwayat bukan dengan mendahulukan motif-motif rasio yang sangat subyektif (lihat hal 33). Menurut beliau suatu lafadz harus difahami secara hakekatnya sebagai wujud dari keimanan yang benar pada Allah. Oleh karena itu al-Buthi menuduh interpretasi gaya Haekal ini menunjukkan penulisnya "orang yang lemah imannya pada Nabi Muhammad saw".
Tidak ada salahnya kita berhati-hati saat membaca sejarah dari sumber-sumber sekunder seperti kedua karya Dr. Muhammad Husein Haekal ini. Pasalnya, metodologi sejarah buku-buku sekunder memang rawan dengan keterlibatan motif atau subyektifitas penulisnya. Tak tertutup kemungkinan disitu akan tercampur antara riwayat sejarah asli dengan tendensi subyektif bahkan usaha reka-reka sang penulis sendiri.
wassalaamu'alaikum wr. wb.
0 komentar: