Recent Posts

Rabu, 28 Oktober 2009

1 komentar

Kebudayaan Islam

BAB I


PENDAHULUAN





1.1. Latar Belakang


Islam merupakan agama yang universal. Mayoritas penduduk di dunia ini memeluk agama Islam. Bila kita melihat dari segi sejarah, pada abad pertengahan dakwah Islam gencar sekali dilaksanakan. Sehingga sebagai konsekuensinya, Islam menyebar di berbagai macam wilayah. Adanya dakwah Islam tersebut bukan hanya mempengaruhi penduduk di daerah yang menjadi sasaran dakwah dari segi agama juga, melainkan juga mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan juga kebudayaan penduduk setempat. Sehingga dapat dikatakan bahwa dakwah islam menyebabkan bercampurnya kebudayaan Islam dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada di wilayah tesebut.  Melahirkan suatu akulturasi yang dikenal dengan kebudayaan Islam.


Sebagai umat Islam, hendaknya  kita mengetahui tentang kebudayaan Islam yang berlandaskan pada Al-Quran dan sunah Rasul. Kebudayaan Islam yang berkembang sejak pertama kali Islam diturunkan telah mencapai suatu kemajuan yang amat pesat dan hampir meliputi segala aspek kehidupan kita sebagai umat Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan kita tidak dapat terlepas dari kebudayaan Islam. Untuk itulah, penulis akan mencoba menguraikan mengenai kebudayaan Islam dalam makalah ini.



1.2. Rumusan Masalah


Bagaimanakah kebudayaan Islam yang berkembang pada masyarakat?


1.3. Tujuan


Untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai kebudayaan Islam yang berkembang pada masyarakat sehingga dapat menambah iman seorang muslim.



1.4. Manfaat


Dengan adanya makalah yang membahas kebudayan Islam ini, diharapkan pembaca dapat memahami tentang kebudayaan Islam secara lebih mendalam. Tidak hanya sekadar mengetahui saja, namun diharapkan dapat membuka mata kita sebagai seorang muslim terhadap kebudayaan-kebudayaan yang bercikal bakal dari agama Islam itu sendiri. Karena sesungguhnya budaya bukan merupakan sesuatu yang statis, namun selalu bergerak secara dinami, diharapkan kita sebagai umat muslim dapat mengikuti perkembangan kebudayaan Islam dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.




















BAB II


PEMBAHASAN




2.1. Konsep Kebudayaan dalam Islam


Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpang tindih, sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari.


Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu(i) . Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan(ii).


Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karya manusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukar untuk berubah.


Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil dari keseluruhan gagasan dan karya manusia. Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalam sejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalam sejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit, ia berproses dalam sejarah


Pandangan tersebut telah melahirkan pemahaman rancu terhadap Islam. Pembongkaran terhadap sejarah Al-Qur’an, justifikasi terhadap ide-ide sekulerisme, dan desakan untuk ‘berdamai’ menjadi Islam Inklusif, merupakan produk dari kerancuan pemahaman tersebut.


Agama yang disebut dalam pandangan Kontjaraningrat di atas tentu tidak dapat dinisbatkan kepada Islam. Pemaksaan untuk memasukan Islam dalam teori tersebut akan menghasilkan pemahaman yang rancu. Islam seharusnya diberi kesempatan untuk menafsirkan dirnya sendiri. Islam pun harus berikan keleluasaan untuk mendefinisikan kebudayaan.


Buya Hamka menyatakan bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa itu sedia telah ada dalam jiwa manusia sendiri(iii). Hal itulah yang universal dalam diri manusia, fitrah manusia. Manusia melihat alam yang megah dan berbagai fenomena luar biasa, kemudian mencoba untuk menjelaskannya.


Dari fitrah itulah menusia kemudian mencari tahu “siapa yang Maha Kuasa?”. Pencarian manusia tersebut telah melahirkan banyak paham dan pandangan yang kemudian dipercayai sebagai agama. Agama-agama semacam ini bukanlah agama yang diturunkan Allah Swt kepada para nabinya, tetapi agama yang berasal dari akal budi dan gagasan manusia. Agama semacam inilah yang tepat untuk dinisbatkan kepada teori Kuntjaraningrat di atas.


Hanya Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Buya Hamka menyatakan : Permulaan perjalanan dinamakan fitrah. Akhir dari perjalanan dinamai Islam(iv). Yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu, bahwa fitrah manusia untuk mencari Yang Maha Kuasa, akan tetapi manusia akhirnya menyerah karena akal tidak cukup untuk memahaminya. Islam memberikan penjelasan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh akal. Itulah kenapa agama ini dinamakan Islam.


…maka insaflah manusia akan kelemahan dirinya, dan insaf akan ke-Maha Besarnja Yang Ada itu. Maka menyerahlah dia dengan segala rela hati. Penyerahan yang demikian dalam bahasa Arab dinamakan Islam(v).


Lebih jauh Syed Naquib Al-Attas menyatakan:


…Maka dengan pengertian faham agama yang bernisbah kepada kebudayaan seperti yang biasa difahamkan dalam pengalaman Kebudayaan Barat itu tiada pula dapat dikenakan kepada agama Islam –berbeda dari yang lain yang sesungguhnya merupakan keagamaan belaka— bukan hasil renungan atau teori, bukan hasil agung dayacipta insan sebagaimana kebudayaan itu hasil usaha dan dayaciptanya dalam tindakan menyesuaikan dirinya menghadapi keadaan alam sekeliling. Islam adalah agama dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu agama yang ditanzilkan oleh Allah Yang Mahasuci lagi Mahamurni dengan perantara wahyu menerusi PesuruhNya yang Terpilih, dan dasar-dasar akidahnya dinyatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’anu’l-Karim, dan amalan-amalannya dicarakan dalam Sunnah NabiNya yang Agung itu. Dipandang sebagai suatu peristiwa sejarah pun maka Islam itulah yang mengakibatkan timbulnya kebudayaan Islam, dan bukan sebaliknya: bukanlah sesuatu kebudayaan itu yang mengakibatkan timbulnya agama Islam(vi).


Sementara Prof. Dr. Amer Al-Roubai menyatakan:


Di Barat, agama adalah bagian dari kebudayaan, sedangkan di Islam, budaya didefinisikan oleh agama(vii).


Islam bukanlah hasil dari produk budaya (seperti yang dituduhkan oleh Nasr Hamd Abu Zayd). Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam.


Peradaban Islam memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban lain. Cara pandang hidup yang berbeda inilah yang menghasilkan konsep-konsep yang berbeda pula. Oleh karena itu, merupakan hak Islam untuk menggunakan pandangan hidupnya (dalam bahasa Al-Attas: ar-Ruyatul al Islam li al-wujud) untuk memahami setiap keberadaan, termasuk kebudayaan.


Dengan pemahaman di atas, kita dapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pun dapat membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islam pula.


Konsep kebudayaan dalam Islam juga dapat dikaji melalui perspektif lain, yakni menggunakan pendekatan-pendekatan terhadap ilmu kebudayaan itu sendiri. Secara garis besar ada 6 pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan suatu kebudayaan :


1.         Pendekatan Deskriptif


Menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya. Digunakan oleh Taylor yang menyatakan bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang amat komplek meliputi pengetahuan, keperacyaan, seni, hukum, moral, adat, istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.


2.         Pendekatan Historis


Menekankan pada warisan sosial dan tradisi kebudayaan. Digunakan oleh Park dan Burdess yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sejumlah totalitas dari organisasi dan warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.


3.         Pendekatan Normatif


Digunakan oleh Ralph Linton (Linton, 1945 : 27) yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, mereka miliki, dan diwariskan ke generasi demi generasi.


4.         Pendekatan Psikologi


Menekankan pada aspek penyesuaian diri dan proses belajar. Digunakan oleh Kluckhohn yang menyatakan bahwa kebudayaan terdiri atas semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat.


5.         Pendekatan Struktural


Menekankan pada aspek pola dan organisasi kebudayaan. Digunakan oleh Turney yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang berfungsi untk membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan, baik material non material.


6.         Pendekatan Genetik


Memandang kebudayaan sebagai suatu produk, alat, benda, ide, ataupun simbol. Digunakan oleh Bidney yang menyatakan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai proses dinamis dan produk dari pengolaha diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian akhir individu dan masyarakat.


Dari penjelasan perspektif di atas, dapat dilihat bahwa kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai proses dan sebagai hasil.


Beragam pengertian tentang kebudayaan juga menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan suatu persoalan yang sangat luas. Namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat pada diri manusia, karena kebudayaan tercipta dari tangan manusia.


Dalam Islam sendiri, konsep kebudayaan dapat dilihat dari firman Allah,


”Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak adam, Kami angkat mereka dari daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang kami ciptakan, dengan kelebihan sempurna.” (Q.S. Al Isra : 70)


”...(itulah) Allah yang menjadikan bumi buat kamu untuk tempat tinggal dan langit menjadi atap dan dibentuknya rupamu dan dibuatnya rupamu yang baik, serta diberinya kamu rezeki dengan barang-barang yang baik.” (Q.S. Al Mukmin : 64)


”Tuhan berfirman kepada malaikat, ”Aku menempatkan khalifah di muka bumi.”” (Q.S. Al-Baqarah : 30)


Ayat-ayat di atas merupakan suatu bentuk pengakuan Allah atas keunikan manusia, dimana letak keunikan tersebut adalah pada kemampuan daya ciptanya.


Kemampuan daya cipta ini jelas berbeda dengan daya cipta Tuhan. Tuhan menciptakan sesuatu dari ketiadaan, menciptakan alam, sementara manusia menciptakan sesuatu dari apa yang sudah ada atau, dengan kata lain, mengubah kenyataan agar alam dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini, Montagu berdalil, ”Kebudayaan terdiri dari jawaban manusia terhadap kebutuhan-kebutuhan atasnya. Kebudayaan adalah cara manusia membuat comfort dunia ini.”


Manusia mengubah alam dengan cita, laku, dan perbuatannya yang bersumber pada jiwa. Kebudayaan, tidak saja asalnya tapi juga kelanjutannya bergantung pada perbuatan manusia, dan sekali lagi, perbuatan manusia itu adalah manifestasi serta bergantung pada jiwanya. Untuk itulah, nilai agama menjadi sangat penting dan berperan untuk menentukan nilai moral suatu kebudayaan.


2.2. Prinsip-prinsip Kebudayaan Islam


Kebudayaan tercipta karena adanya manusia dan tidak ada manusia yang tidak memiliki kebudayaan. Kebudayaan sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, budhayah, dalam bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Sehingga dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal.


Intisari dari kebudayaan itu sendiri adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.


Islam sebagai agama berfungsi untuk mengatur segala tingkah laku manusia di dunia termasuk perkembangan manusia dan kebudayaannya. Maka kebudayaan Islam bukanlah kebudayaan yang berasal atau tercipta dari masyarakat Islam, melainkan kebudayaan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Walaupun kebudayaan tersebut berasal atau tercipta dari masyarakat non Islam, jika kebudayaannya tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam maka kebudayaan tersebut dapat dikategorikan sebagai kebudayaan Islam. Adapun karakteristik kebudayaan Islam adalah:


*   Robbaniyah      è      Kebudayaan Islam bernuansa ketuhanan, bercampur dengan keimanan secara umum dan ketauhidan secara khusus.


*   Akhlaqiyah       è      Kebudayaan Islam tiada pemisahan antara akhlak dengan segala aspek kehidupan.


*   Insaniyah          è      Kebudayaan Islam menghormati segala hak asasi manusia.


*   ‘Alamiyah è   Bersifat terbuka (mendunia)


*   Tasamuh          è      Non Islam dalam naungan Islam tidak diwajibkan untuk menjalankah syariat Islam.


*   Tanawwu’ è   Bersifat beraneka ragam. Memuat masalah ketuhanan, ilmu pengetahuan, seni, alam, dan sebagainya.


*   Wasthiyah        è      System pertengahan antara berlebihan dan kekurangan, jasmani dan rohani hak dan kewajiban, pribadi dan kebersamaan, dan antara dunia dan akhirat.


*   Takamul           è      Terpadu dan saling mendukung antara kebudayaan Islam yang satu dengan yang lain.


Bangga terhadap diri sendiri, yaitu bangga terhadap sumber kebudayaan yang berketuhanan, kemanusiaan, dan bernuansa akhlak. Sifat bengga ini menjadikan kebudayaan Islam enggan untuk diwarnai atau dipengaruhi oleh yang lain yang menyebabkan hilangnya keistimewaan dan keasliannya.


Diketahui bahwa kebudayaan Islam merujuk kepada nilai-nilai Islam, begitu pula prinsip-prinsip kebudayaan Islam yang merujuk kepada Islam, yakni pada ajaran Islam itu sendiri antara lain:


*   Mengohormati Akal                è        Akal merupakan manusia dapat memiliki kebudayaan, sehingga Islam mengajarkan untuk menjauhi segala sesuatu yang dapat merusak akal.


*   Motivasi untuk menuntut dan meningkatkan ilmu


*   Meningkatkan ilmu dapat memamjukan kebudayaan Islam itu sendiri.


*   Menghindari taklid buta è    Setiap hal yang baru bagi kita perlu adanya rujukan, terutama rujukan kepada nilai-nilai Islam.


*   Tidak merusak                       è        Kebudayaan Islam harus dikembangkan seluas-luasnya namun harus juga memperhatikan keseimbangan alam sebagai pijakan.


Kebebasan manusia dalam mengolah bumi dan isinya serta kebudayaannya, yang berperan sebagai hamba dan khalifah Allah, hendaknya semua sesuai dengan ajaran-ajaran yagn diturunkan oleh Allah.


2.3. Sejarah Intelektual Umat Islam


Perkembangan Pemikiran Islam mempunyai sejarah yang panjang. Tradisi pemikiran di kalangan Umat Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan berkembangan pertama kali, kedatangannya lengkap dengan tradisi keilmuannya, sebab masyarakat pra-Islam belum memiliki sistem perkembangan pemikkiran secara sistematis.


Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, sejarah intilektual Islam dapat dikelompokkan ke dalam 3 masa dilihat dari segi perkembangannya, yaitu:




  1. MASA KLASIK (antara 650 – 1250 M)


Ditandai dengan lahirnya para Ulama madzhab seperti Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki.


Di masa ini juga lahir para Filsuf Muslim. Di antaranya adalah




  1. Al-Kindi (801M)


Filsuf Muslim pertama. Di antara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum muslim hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam.




  1. Ar-Razi (865M)

  2. Al-Farabi (870M)


Dikenal sebagai pembangunan agung sistem filsafat




  1. Ibnu Miskawakih (930 M)


Pemikirannya yang terkenal adalah tentang pendidikan akhlaq.




  1. MASA PERTENGAHAN (1250-1800 M)


Dianggap sebagai masa kemunduran. Penyebabnya diperkirakan adalah karena filsafat mulai dijauhkan dari umat islam.


Sebagian pemikir islam kontemporer menuduh Al-Gazali sebagai pelopor pemisahan  filsafat dengan islam lewat tulisannya yang berjudul ”Tahafutul Falasifah” (kerancuan filsafat). Tulisan Al-Gazali tersebut dijawab oleh Ibnu Rusyd dengan tulisan ”Tahafutu Tahafut” (kerancuan diatas kerancuan).


Sejalan dengan perdebatan diantara para filsuf, terjadi pula perdebatan diantara ahli fiqih dengan ahli teologi (ahli ilmu kalam). Pemikiran yang berkembang saat itu adalah pemikiran dikotomis antara agama dengan ilmu ataupun urusan dunia dengan akhirat, sehingga ada kecenderungan untuk memisahakan semua itu. Titik kulminasinya adalah ketika para ulama sudah mendekat pada penguasa sehingga fatwa-fatwa mereka tidak lagi diikuti umatnya dan kondisi umat menjadi carut-marut kehilangan figur pemimpin yang dicintai umatnya.Dan pengaruh dari semua hal ini masih terasa hingga sekarang.




  1. MASA MODERN (1800-sekarang)


Bila tadi dibicarakan mengenai sejarah Islam di negara Arab pada masa awal berdirinya, selanjutnya akan dibahas lebih spesifik lagi yakni sejarah Islam di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, Islam merupakan agama yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Untuk itulah kita perlu mempelajari sejarah awal mula berkembangnya kebudayaan Islam di Indonesia. Secara umum dapat dibagi menjadi lima babak sebagai berikut :


1. Babak pertama,  abad 7 masehi (abad 1 hijriah).


Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Da’i yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) da’wah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sejak awal Islam tidak pernah membeda-bedakan fungsi seseorang untuk berperan sebagai da’i (juru da’wah). Kewajiban berda’wah dalam Islam bukan hanya kasta (golongan) tertentu saja tetapi bagi setiap masyarakat dalam Islam. Sedangkan diagama lain hanya golongan tertentu yang mempunyai otoritas menyebarkan agama yaitu pendeta. Sesuai ungkapan Imam Syahid Hasan Albana “ Nahnu duat qabla kulla sai “ artinya kami adalah da’i sebelum profesi-profesi lainnya.


Sampainya da’wah di Indonesia melalui para pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang sambil  membawa dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang Islami. Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya, dimulyakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain sesudah maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama Kristen ke Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan glory (kejayaan atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif penyebaran agama berbarengan dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan Islam dengan cara yang damai.


Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.


2. Babak kedua, abad 13 masehi.


Di abad 13 Masehi berdirilah kerajaan-kerajaan Islam diberbagai penjuru di Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan politik umat khususnya didaerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur turun kewibawaannya karena konflik internal. Hal ini dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga yang membina diwilayah tersebut bersama Raden Fatah yang merupaka keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak. Bersamaan dengan itu mulai bermunculan pula kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya, walaupun masih bersifat lokal.


Pada abad 13 Masehi ada fenoma yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan da’wah di Indonesia. Wali Songo mengembangkan da’wah atau melakukan proses Islamisasinya melalui saluran-saluran:
a)   Perdagangan
b)   Pernikahan
c)    Pendidikan (pesantren)


Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya indonesia, dan juga adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai budaya setempat selama tidak bertentangan dengan nilai-niliai Islam.


d)   Seni dan budaya


Saat itu media tontonan yang sangat terkenal pada masyarakat jawa kkhususnya yaitu wayang. Wali Songo menggunakan wayang sebagai media da’wah dengan sebelumnya mewarnai wayang tersebut dengan nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia dihadapan Allah dengan dimasukannya tokoh-tokoh punakawam seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.Para Wali juga menggubah lagu-lagu tradisional (daerah) dalam langgam Islami, ini berarti nasyid sudah ada diIndonesia ini sejak jaman para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.


e)    Tasawwuf


Kenyatan sejarah bahwa ada tarikat-tarikat di Indonesia yang menjadi jaringan penyebaran agama Islam.


3. Babak ketiga, masa penjajahan Belanda.


Pada abad 17 masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda kedaerah Nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya yakni VOC, semejak itu hampir seluruh wilayah nusantara dijajah oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran da’wah terpotong.


Dengan sumuliayatul  ( kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya,ini  telah diterapkan oleh para Ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.


Potensi-potensi tumbuh dan berkembang diabad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:


o    Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecahbelah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
o    Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.


4. Babak keempat, abad 20 masehi


Awal abad 20 masehi, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebenarnya tujuannya untuk mensosialkan ilmu-ilmu barat yang jauh dari Al Qur’an dan hadist dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak mungkin pegang oleh lagi oleh orang-orang Belanda.Yang mendapat pendidikanpun tidak seluruh masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu yang pemimpin-¬pemimpin pergerakan adalah berasalkan dari golongan bangsawan.


Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal daripada dengan senjata. Berdirilah organisasi Serikat Islam merupakan organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang mempunyai anggota dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah yang luas. Tahun 1908 berdirilah Budi Utomo yang bersifat masih bersifat kedaerahan yaitu Jawa, karena itu Serikat Islam dapat disebut organisasi pergerakan Nasional pertama daripada Budi Utomo.


Tokoh Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut pada usia 25 tahun, seorang kaum priyayi yang karena memegang teguh Islam maka diusir sehingga hanya menjadi rakyat biasa. Ia bekerja sebagai buruh pabrik gula. Ia adalah seorang inspirator utama bagi pergerakan Nasional di Indonesia. Serikat Islam dibawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang di perhitungkan Belanda. Tokoh-tokoh Serikat Islam lainnya ialah H. Agus Salim dan Abdul Muis, yang membina para pemuda yang tergabung dalam Young Islamitend Bound yang bersifat nasional, yang berkembang sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.


Da’wah Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dll. Lembaga-lembaga ke-Islaman tersebut tergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.


Dimasa pendudukan Jepang, dilakukan strategi untuk  memecahbelah kesatuan kekuatan umat oleh pemerintahan Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu (Departemen Agama). Jepang meneruskan strategi yang dilakukan Belanda terhadap umat Islam. Ada seorang Jepang yang faham dengan Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong koordinasi ulama-ulama dipusat dengan didaerah, sehingga ulama-ulama didesa yang kurang informasi dan akibatnya membuat umat dapat terbodohi.


Pemerintahan pendudukan Jepang memberikan fasilitas untuk kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dilanjuti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih mengerucut lagi menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagram Jakarta merupakan konsensus tertinggi untuk menggambarkan adanya keragaman Bangsa Indonesia yang mencari suatu rumusan untuk hidup bersama.Tetapi ada kalimat yang kontropersi dalam piagam ini yaitu penghapusan “7 kata “ lengkapnya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya yang terletak pada alinea keempat setelah kalimat Negara berdasarkan kepada Ketuhan Yang Maha Esa.


5. Babak kelima, abad 20 & 21.


Pada babak ini proses da’wah (Islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri  terjadinya globalisasi informasi dengan pengaruh-pengaruh gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh yang meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses Islamisasi di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awalnya masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan terkuat. Walaupun demikian Allah mentakdirkan di Indonesia merupakan jumlah peduduk muslim terbesar didunia, tetapi masih menjadi tanda tanya besar apakah kualitasnya sebanding dengan kuantitasnya.



2.4. Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam


Masjid, selain sebagai pusat keagamaan, juga menjadi pusat kebudayaan bagi umat Islam. Di sana, umat Islam diajarkan segala sesuatu tentang urusan sosial.


Pada zaman Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin, segala persoalan penting yang menyangkut umat Islam diputuskan dan diumumkan di dalam masjid. Setiap Jumat diadakan khutbah tentang urusan sosial. Selain itu, apabila ada berita penting yang harus disampaikan, maka orang dipersilakan datang ke masjid. Pembentukan dua majelis permusyawaratan untuk menasihati khalifah yang dilakukan oleh Khalifah Umar pun dilakukan di masjid. Para delegasi dari berbagai kalangan juga disambut di masjid, bahkan dalam suatu peristiwa, Rasulullah mengijinkan orang Absynia mengadakan perayaan dengan pertunjukan permainan pedang dan lembing di sana. Dari sini dapat dilihat bahwa masjid menjadi majelis permusyawaratan bagi kaum muslimin.


Saat peperangan atau bertahan dari serangan musuh, masjid juga memiliki peran penting. Segala keputusan tentang bentuk pertahanan dan pengiriman pasukan dibicarakan di sana. Selain itu, pada saat Sa’ad bin Mu’adh mendapat luka parah dalam perang Khandaq, beliau dirawat sekaligus wafat dalam sebuah kemah yang didirikan di halaman masjid, dan Rasulullah difitnah oleh musuh, Hasan bin Tsabit membacakan syairnya di masjid.


Di samping semua itu, masjid juga berfungsi sebagai pusat pendidikan. Di masjid, diadakan sarana dan prsasarana untuk orang-orang yang memperdalam ilmu, bahkan orang-orang yang disiapkan untuk menyebarkan ilmu agam ke tempat lain memiliki tempat di sebuah pondokan, beratap tapi tidak berdiniding, yang berdampingan dengan masjid. Tempat seperti itu disebut shuffs.


Hingga sekarang, hampir tiap-tiap masjid diselenggarakan pengajian, maktab, atau masdrasah yang memang merupakan tambahan yang diperlukan pada tiap masjid. Banyak sekali masjid yang menerima barang-barang wakaf dan hasilnya digunakan untuk membiayai murid dan gurunya.


Jadi masjid itu tidak hanya berfuingsi sebagai pusat kerohanian bagi kaum muslmin tetapi juga sebagai pusat kegiatan politik, sosial, kebudayaan adan bahkan sebagai pusat kegiatan masional dalam arti sebenarnya.


Secara etiomologi, masjid adalah tempat sujud. Secara terminology, masjid dapat diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti luas.  Masjid sebagai tempat ibadah kepada Allah pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad SAW d Qubah ketika berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Di Madinah kemudian Nabi SAW juga mendirikan Masjid Nabawi sebagai pusat dakwah Islam yang baru mendunia. Banyak masyarakat berpendapat bahwa masjid digunakan hanya untuk melakukan kegiatan ibadah yakni shalat. Padahal menilik masjid yang didirikan Nabi SAW adalah sebagai pusat dakwah penyebaran Islam, tempat persatuan umat, serta menjalin silaturrahmi juga diskusi untuk kemaslahatan umat dan mempererat ukhuwah islamiyah. Bahkan Masjid Al-Azhar di Mesir telah menjadi pusat dakwah umat di Negara Mesir yagn kemudian mendirikan berbagai madrasah hingga Universitas Al-Azhar yang sangat terkenal di dunia (Islam khususnya).


Di Indonesia masjid  mengalami kemunduran dalam hal perannya sebagai sumber dakwah agama. Masyarakat hanya menganggap masjid sekedar untuk tempat shalat. Padahal masjid dapat digunakan sebagai kegiatan dakwah, kegiatan baca tulis Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dan Al-Hadist, kegiatan manusia sadar zakat, training-training penggugah iman dan masih banyak lagi. Namun seiring bergulirnya waktu, peranan masjid mulai berubah. Kini banyak masyarakat mulai mendirikan taman pendidikan Al Qur’an mulai dari TK hingga Universitas, pendirian badan amin zakat, kegiatan training motivation, dan lain sebagainya yang membuktikan kesadaran masyarakat akan pentingnya masjid sebagai pusat perkembangan peradaban Islam.


Bahkan pemerintah telah mendirikan daerah Islamic Center tempat masjid sebagai tempat ibadah secara luas yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas perpustakaan, kemudahan akses dunia maya, serta berbagai fasilitas pendukung penyebaran dakwah Islam.


Kegiatan-kegiatan yang dapat kita lakukan dalam mengfungsikan masjid sebagai tempat ibadah dalam arti luas yakni:


*   Menyelenggarakan kajian-kajian keislaman yang teratur dan terarah menuju pembetukan pribadi muslim menuju masyarakat muslim.


*   Melaksanakn diskusi, seminar, atau lokakarya tentang masalah yang aktul.


*   Membuat data jama’ah


*   Mengefektifkan zakat, infaq, dan shadaqah.


*   Menyelenggarakan training-training keislamanan, terutama bagi pemuda.


*   Dakwah bil-lisan dan bil-hal sert pameran-pameran buku islami.


Dengan kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan masjid dapat membuat beratunya umat muslim sedunia.


Dalam rangka mempermudah pemahaman mengenai fungsi masjid dalam kebudayaan Islam, maka kami telah melakukan observasi terhadap sebuah masjid yang memiliki nilai historik cukup penting dalam kancah perkembangan kebudayaan Islam khususnya di Jawa Timur. Keterangan mengenai masjid tersebut beserta profil dan foto-foto dapat dilihat pada halamanLampiran pada makalah ini.


2.5. Nilai-nilai Islam dalam Kebudayaan Indonesia


Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karen Islam berasal dari Arab, maka Islam yang masuk ke Indonnesia juga tidak lepas dari budaya Arabnya hingga masyarakan seringkali beranggapan keliru bahwa budaya Islam sama saja dengan budaya Arab.


Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para penyiar vagama (misalnya para wali di Jawa) mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya dengan begitu luar biasanya, sehinbgga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah menjadi tradisi dalam kehidupan dan, lebih jauh lagi, tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka.


Tugas berikutnya untuk para intelektual Islam adalah melanjutkan dan memnjelaskan dengan sistematis upaya penetrasi yang telah dilakukan pendahulunya. Diharapkan dengan penjelasan yang diberikan itu, umat muslim di Indonesia menjadi paham tentang nilai Islam yang ada dalam budaya mereka dan kemudian mengamalkan ajaran Islam itu sesuai dengan niatan untuk beribadah sesuai ajaran Al-Quran dan sunnah Rosul, bukan semata-mata terpaku karena tradisi dan budaya yang telah ada.


















BAB III


PENUTUP



1.1. Simpulan


Berdasarkan hasil uraian kami di atas, maka dapat dapat disimpulkan beberapa hal yakni :




  • Islam bukanlah hasil dari produk budaya. Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Berbeda dengan bangsa barat yang menganggap agam merupakan produk kebudayaan, Islamlah justru yang membangun kebudayaan tersebut.

  • Masjid, selain sebagai pusat keagamaan, juga menjadi pusat kebudayaan bagi umat Islam. Di sana, umat Islam diajarkan segala sesuatu tentang urusan sosial.

  • Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karen Islam berasal dari Arab, maka Islam yang masuk ke Indonnesia juga tidak lepas dari budaya Arabnya hingga masyarakat seringkali beranggapan keliru bahwa budaya Islam sama saja dengan budaya Arab. Padahal keduanya memiliki perbedaan.


1.2. Saran


Sebagai civitas akademika muslim, kami dapat menyampaikan beberapa saran hubungannya dengan kebudayaan Islam :




  • Hendaknya kita melestarikan kebudayan Islam yang ada di Indonesia pada khususnya agar tidak punah diterpa angin perkembangan. Karena kebudayaan islam termasuk dalam komponen Islam dan merupakan sarana dakwah yang penting.

  • Masjid sebagai suatu simbol kebudayaan Islam sebaiknya dimaksimalkan penggunannya, karena saat ini masjid mulai dilupakan dan dianggap hanya sebagai tempat salat. Padahal masjid merupakan sebuah instrumen dari kebudayaan Islam itu sendiri.

  • Sudah seyogyanya sebagai umat Islam kita memahami dengan baik kebudayaan agama kita sendiri. Karena sudah menjadi kewajiban umat Islamlah melestarikan dan merawat budaya kita sendiri. Umat Islamlah yang bertanggung jawab agar budaya Islam yang telah diwariskan dari generasi ke generasi tersebut tidak punah.






















LAMPIRAN


PROFIL MASJID MUHAMMAD CHENG HOO




A. Selayang Pandang


Masjid Muhammad Cheng Hoo yang berada di Surabaya mulai dibangun pada tanggal 15 Oktober 2001. Masjid ini selesai dibangun pada 13 Oktober 2002, kemudian pada tanggal 28 Mei 2003 bertepatan dengan ulang tahun Pembina Iman Tauhid Islam atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Masjid Muhammad Cheng Hoo diresmikan oleh Menteri Agama RI, Prof. Dr. Said Agil Husain Al Munawar, MA.


Masjid ini berukuran 21x11 meter, dengan bangunan utama berukuran 11x9 meter. Pada sisi kiri dan kanan bangunan utama terdapat bangunan pendukung dengan lantai yang lebih rendah dari bangunan utama. Setiap bagian bangunan Cheng Hoo memiliki arti tersendiri. Panjang bangunan utama 11 meter meneladani ukuran sisi Ka’bah ketika pertama kali dibangun olehNabi Ibrahim AS. Adapun lebar bangunan 9 meter diambil dari keberadaan Walisongo yang melaksanakan syiar Islam di Jawa. Arsitektur yang menyerupai kelenteng adalah gagasan untuk menunjukkan identitas muslim Tionghoa di Indonesia dan untuk mengenang leluhur warga Tionghoa yang mayoritas beragama Budha. Pada bagian atas atap bangunan utama berbentuk segi delapan (pat kwa) yang dalam bahasa Tionghoa berarti jaya dan keberuntungan.


Cheng Hoo adalah utusan raja dinasti Ming yang menjalani kunjungan ke Asia sebagai Utusan/Duta Perdamaian. Sebagai seorang bahariwan dan Laksamana, Cheng Hoo berhasil mengelilingi dunia selama 7 kali beturut-turut dan menjalin hubungan perdagangan dengan negara-negara yang dikunjunginya, termasuk dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Di Indonesia, Cheng Hoo juga sempat singgah di Tuban, Semarang, Cirebon, Palembang, dan Medan.



B. Keistimewaan


Masjid Muhammad Cheng Hoo adalah masjid pertama di Indonesia yang mempergunakan nama muslim Tionghoa, dengan bangunan yang bernuansa etnik dan berarsitektur khas Tiongkok yang didominasi warna hijau, merah, dan kuning.



C. Lokasi


Masjid Muhammad Cheng Hoo terletak di Jalan Gading No. 2 (Kusuma Bangsa) Surabaya.



D. Akses


Masjid Muhammad Cheng Hoo bisa dicapai dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.



E. Akomodasi dan Fasilitas


Di kompleks masjid terdapat berbagai fasilitas seperti Taman Kanak-Kanak, kantor PITI, lapangan olah raga, tempat kursus bahasa Mandarin, dan kantin.


Puncak atap berbentuk segi delapan dengan kaligrafi Allah di puncaknya


Rangka-rangka besi tenda untuk menampung jamaah sholat Jum`at yang sangat banyak


Salah satu sisi masjid dengan kaligrafi berbentuk lingkaran dan bedug







DAFTAR PUSTAKA



Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Rajawali Press, Cetakan Kesatu. 1998


Tim Dosen Agama Islam Unair, Agama Islam,Surabaya:UPT TPB,2006.


Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cetakan ke 12, Bandung : Mizan, 1996.


Tim Diktat Baksos 2006. Panduan Belajar Pendidikan Agama Islam


http://www.isnet.com


http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/kebudayaan


http://www.geocities.com/traditionalislam/KebudayaanDalamPandanganIslam.htm


http://komunitas-nuun.blogspot.com/2007/02/islam-dan-kebudayaan


1 komentar:

Erliana Fajar Setiani mengatakan...

apa bila kebudayan sejarah islam di musnah kan atau di hapus kan dari sebuh sejarah maka ,
akan menyebabkan sebuah pertikaian antar negara, bangsa , dan juga ada efek samping nya .
untuk keturunan kelak
jadi semua apa yang trjadi semua kenangan atau apaan .??
semua harus d ringkas dalam sejarah untk kelak nanti

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

Copyright © Design by Dadang Herdiana