Jurikulum Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai pendidikan Islam sama dengan bicara peradaban manusia. Hal ini disebabkan karena usia pendidikan Islam sama dengan usia peradaban manusia, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa nabi Adam a. s. sebagai manusia pertama yang dididik Allah dengan berbagai pengetahuan tentang nama-nama benda di sekitarnya.[1] Meskipun pada waktu itu belum ada landasan ysng jelas tentang kurikulum yang digunakan, namun proses pendidikan yang dialami nabi Adam a.s. terkenal dengan genealogi pendidikan.
Adapun kurikulum dalam pendidikan Islam dimulai pada era nabi Muhammad yang mengajarkan Islam kepada para sahabatnya di masjid Nabawi di madinah. Waktu itu kurikulum yang digunakan adalah kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dimana para sahabat senantiasa berkumpul tatkala Nabi sedang memberikan pelajaran di masjidnya itu. Akibatnya para sahabat banyak yang tinggal di serambi masjid karena takut ketinggalan pelajaran yang sewaktu-waktu Nabi berikan ketika ia tidak berada di masjid itu.
Semenjak peristiwa itulah kurikulum dalam pendidikan Islam berkembang sesuai perkembangan zaman para pengikutnya. Namun demikian kurikulum tersebut tidak bisa lepas dan berkembang jauh dari sumbernya terdahulu, yakni metode pendidikan yang dilakukan Nabi pada sahabatnya di masjid Nabawi di Madinah.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan hakikat kurikulum dalam pendidikan Islam ini adalah:
- apa yang dinamakan kurikulum?
- apa yang dinamakan pendidikan Islam?
- apa itu hakikat kurikulum?
- sejauhmana perkembangan kurikulum saat ini?
BAB II
HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Kurikulum
Menurut etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya tempat berpacu. Perkataan kurikulum yang berasal dari kegiatan olahraga itu mengandung arti jarak yang ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai ke garis finish. Selanjutnya perkataan kurikulum itu memasuki dunia pendidikan hingga maknanyapun berubah sesuai dengan prkembangan zaman.[2]
Dalam pengertian lama, kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Nemun dalam perkembangannya, kurikulum tidak lagi terpasung dengan pengertian sempit itu, tetapi telah dikembangkan kepada pengertian yang lebih luas, misalnya pendapat Saylor dan Alexander yang menjelaskan kurikulum adalah segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.[3] Definisi yang disampaikan keduanya jelas bukan hanya sekedar mata pelajaran atau segala situasi di dalam sekolah melainkan juga situasi di luar sekolah.selain dari pengertian di atas, ada juga yang mendefinisikan kurikulum pada arti yang lebih luas seperti definisi yang diungkapkan oleh Alice Miel dalam bukunya Changing the Curriculum a Sosial Proses bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang yang meladeni dan diladeni di sekolah, yaitu anak didik, masyarakat, para pendidik dan personalia.[4] Sedangkan Hasan Langgulung mengartikan kurikulum sebagai sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial olahraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah untuk anak didiknya baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud menolongnya agar dapat berkembang secara menyeluruh dalam semua aspeknya dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.[5]
Dari berbagai definisi yang diungkapakan di atas disimpulkan bahwa kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran yang diajarkan di sekolah saja, akan tetapi lebih luas dari itu. Kurikulum sifatnya dinamis dan terbuka untuk peribahan-perubahan dan pembaharuan dan pengembangan. Hal ini lebih disebabkan karena kondisi masyarakat yang tidak stagnan.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam terdiri dari dua kata, yakni pendidikan dan Islam. Pendidikan yang berarti pembentukan manusia ke arah yang dicita-citakan, disandarkan pada kata Islam yang berarti nilai-nilai yang dibawa oleh Muhammad. Maka Pendidikan Islam mempunyai arti proses pembentukan manusia ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, peserta didik dalam pendidikan Islam harus berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana umat Islam pada umumnya. Namun esensi dalam pendidikan Islam tidak bisa lepas dari esensi pendidikan itu sendiri. Untuk mengenal esensi pendidikan bisa melalui lima unsur dasar pendidikan, yaitu; adanya Unsur pemberi, unsur penerima, adanya tujuan baik, cara atau jalan yang baik dan konteks positif.[6]
Berbeda dengan definisi di atas, Prof. Dr. Haidar Putra Daulay mengartikan pendidikan Islam ke dalam tiga aspek yang terdiri dari;
- Pendidikan Islam sebagai Lembaga, meliputi:
- lembaga pendidikan formal seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dsb.
- Lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan, lembaga kursus, majlis taklim dsb.
- Lembaga pendidikan informal seperti yang dilakukan oleh setiap keluarga dan lingkungan.
- Pendidikan usia dini seperti TK atau Raudhatul Athfal (RA)
- Pendidikan keagamaan seperti madrasah diniyah atau pondok pesantren
- Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran
Mata pelajaran yang terangkum dalam sebuah kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan di sebuah negara.
- Pendidikan Islam sebagai nilai
Hakikat dari nilai-nilai Islam itu adalah nilai yang membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk atau sesuai dengan konsep rahmatan lil’alamin.
C. Perubahan dan Penyusunan Kurikulum
Ada beberapa hal yang mendorong terjadinya perubahan kurikulum. Pertama, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Akibat kemajuan tersebut banyak hal-hal baru yang ditemukan di dunia ilmu pengetahuan, maka sekolah berkewajiban untuk mengikuti perkembangan tersebut.
Kedua, perubahan masyarakat. Keadaan masyarakat yang cenderung berubah baik kebutuhan maupun orientasinya menuntut perubahan di berbagai aspek lainnya, termasuk kurikulum. Karena kurikulum itu sifatnya dinamis dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat serta kemajuan zaman, maka perubahan dan pengembangan kurikulum bukanlah sesuatu yang tabu.
Dalam penyusunan kurikulum itu sendiri tidak boleh sembarangan. Terkait hal ini, Noeng Muhajir menjelaskan ada tiga model dalam penyusunan kurikulum. Pertama pendekatan akademik. Yaitu bertolak dari sistematisasi disiplin ilmu. Program pendidikan yang menggunakan pendekatan ini mendasarkan keahliannya pada kebulatan subdisiplin ilmu itu sendiri, spesialisasi membekali subyek didik pada kebulatan subdisiplin tertentu. Pembekalan dalam disiplin ilmu tersebut diharapkan mampu memunculkan ilmuwan dengan teori baru, tesis baru, produk tekhnologi baru dan penemuan baru lainnya.
Kedua, pendekatan tekhnologi, yaitu menyusun program kurikulumnya berdasarkan tugas kerja yang nanti diembannya. Materi yang diajarkannyapun dipilih sesuai dengan tugas kerja yang akan dipakai sebagai acuan menyusun program tersebut. Hakikatnya tugas tersebut harus dapat dikerjakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan standar kerja masing-masing. Penyusunan kurikulum ini didasari atas tugas yang jelas. Artinya, tugas seorang guru jelas, tugas seorang ulama jelas dan tugas seorang kepala sekolah jelas.
Ketiga, model pendekatan humanistic, yaitu ingin menjangkau cita-cita ideal tertentu. Dalam hal ini yang dipentingkan adalah perkembangan wawasan dan tampilan perilaku sesuai dengan cita-cita ideal yang hendak dicapai, seperti seorang santri yang paling tidak bercita-cita menjadi seorang ulama.
D. Hakikat Kurikulum dalam Pendidikan Islam
Sebagaimana yang diutarakan di atas bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang seutuhnya. Artinya pribadi yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam yang bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.[7]
Dengan jelas al-Qur’an meletakkan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Esensi dari khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin alam. Dalam hal ini manusia bertugas untuk memelihara dan memanfaatkan alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia lainnya.
Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagiman diutarakan diatas, maka sudah semestinyalah manusia itu memiliki potensi untuk mendukung terwujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi itu bisa meliputi potensi jasmani dan potensi rohani.
Potensi jasmani meliputi seluruh organ jasmaniah yang berwujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah bersifat spiritual. Pakar psikologi Islam terkemuka di Indonesia bernama Zakiah Drajat mengemukakan bahwa potensi spiritual manusia meliputi dimensi aqidah, akal, akhlak, perasaan (hati), keindahan dan dimensi sosial. Dengan bermodalkan potensi yang dimilikinya itulah manusia merealisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas memakmurkannya. Selain sebagai khalifah manusia juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah.
Dengan demikian manusia itu memiliki fungsi ganda, yang pertama sebagai khalifah yang tujuannya memegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian alam yang berujung pada pemakmurannya dan fungsi kedua sebagai hamba yang bertujuan sebagai penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah. Untuk menjalankan kedua fungsinya tersebut, diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim pada tujuan akhir pendidikan. Dalam hal ini para ahli pendidikan seperti al-Abrasyi, as-Syaibani dan al-Jamalli berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam itu berorientasi pada tiga hal, yaitu:
- Hablum minallah (hubungan dengan Allah)
- Hablum minannas (hubungan sengan manusia)
- Hablum minal ‘alam (hubungan dengan alam)[8]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum memegang peranan penting dalam pendidikan Islam.
- Masalah Seputar Kurikulum
Ada beberapa hal yang menjadi masalah di seputar kurikulum. Pertama, terlalu sentralistik, kurikulum yang ada selama ini dianggap kurang menunjukkan ciri dan spesifik kedaerahan, baik dalam bentuk geografis maupun sosial budaya. Kedua, kurikulum terlalu sarat dan padat, hal ini berdampak pada kurangnya kompetensi peserta didik terhadap mata pelajaran yang telah ditentukan sekolah. Ketiga, relevansi kurikulum dengan pasaran kerja, akibatnya setiap tahun selalu terjadi penumpukan pengangguran dari output lembaga pendidikan. Dalam hal ini, luaran produksi tenaga kerja lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Untuk itu, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang baru disahkan ini diharapkan mampu menjawab tantangan yang ada dengan mencetak output yang bisa menciptakan lapangan kerja, paling tidak bagi dirinya sendiri.
III
KESIMPULAN
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya tempat berpacu. Perkataan kurikulum yang berasal dari kegiatan olahraga itu mengandung arti jarak yang ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai ke garis finish.
Sedangkan kurikulum dalam pengertian lama diartikan sebagai mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Nemun dalam perkembangannya, kurikulum tidak lagi terpasung dengan pengertian sempit itu, tetapi telah dikembangkan kepada pengertian yang lebih luas, misalnya pendapat Saylor dan Alexander yang menjelaskan kurikulum adalah segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Dari berbagai definisi yang ada menunjukkan bahwa kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran yang diajarkan di sekolah saja, akan tetapi lebih luas dari itu. Kurikulum sifatnya dinamis dan terbuka untuk peribahan-perubahan dan pembaharuan dan pengembangan. Hal ini lebih disebabkan karena kondisi masyarakat yang tidak stagnan.
Adapun makna dari pendidikan Islam adalah proses pembentukan manusia ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan hal yang mendorong terjadinya perubahan dalam kurikulum terbagi dua. Pertama, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kedua, perubahan masyarakat.
Dalam pendidikan Islam, kurikulum memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Untuk itu diharapkan kepada para pakar pendidikan Islam untuk memberikan perhatian khusus terhadap masalah kurikulum ini.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistempendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Kaber, Achasias, Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, 1988.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1996.
Miel, Alice, Changing the Curriculum a Sosial Proses, New York: Holt Rinchat, 1946.
Saylor, J. Galen dan Alexander M. William, Curriculum Panning for Better Teaching and Learning, New York: Holt Rinchat, 1960.
Shihab, Quraisy, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Juz I, 2003.
[1] Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Juz I, 2003, hlm. 113.
[2] Achasias Kaber, Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, 1988, hlm. 7-8.
[3] Galen J. Saylor dan Alexander M. William, Curriculum Panning for Better Teaching and Learning, New York: Holt Rinchat, 1960, hlm. 4.
[4] Alice Miel, Changing the Curriculum a Sosial Proses, New York: Holt Rinchat, 1946, hlm. 10.
[5] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1996, hlm. 44.
[6] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistempendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 3-4.
[7] Ibid., hlm. 153
[8] Ibid., hlm. 155.
0 komentar: